Kamis, 15 Desember 2011

TINJAUAN HISTORIS OBYEKTIF PLURALISME AGAMA


1.      Pengertian Pluralisme Agama
Pada saat ini sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab dalam Islam Inklusif, bahwa umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antar agama adalah fenomena nyata.[1]
Pluralisme agama harus benar-benar dapat dimaknai sesuai dengan akar kata serta makna sebenarnya. Hal itu merupakan upaya penyatuan persepsi untuk menyamakan pokok bahasan sehingga tidak akan terjadi “misinterpretation” maupun “misunderstanding”.
Pertama, bertolak dari akar kata yang pertama yaitu pluralisme. Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata “plural” yang berarti banyak atau majemuk. Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer, pluralisme berarti: “Teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi”.
Akar kata yang kedua adalah agama, yang berasal dari kata “ugama” dalam bahasa Sansekerta yang berarti aturan-aturan. Dalam al-Qur’an, agama biasa dilambangkan dengan kata “diin”. M. Quraish Shihab, dalam Membumikan Al-qur’an mengatakan bahwa, agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah untuk memberikan penjelasan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat lebih-lebih bagi para pakar. Mengapa? Hal itu, masih menurut Quraish Shihab adalah disebabkan antara lain karena dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Adapun kemudahan yang dialami orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan.[2]
Lebih lanjut, dalam Wawasan Al-Qur’an, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri.[3] Dalam Membumikan Al-Qur’an dijelaskan pengertian agama, sebagai hubungan antara makhluk dan khaliqnya yang mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin dalam sikap kesehariannya.[4]
Menurut seorang Guru Besar di Al-Azhar, Syaikh Muhammad Abdullah Badran dalam Al-Madkhal ila Al-Adyan seperti dikutip dari Membumikan Al-Qur’an bahwa yang dikatakan agama itu merupakan hubungan antara dua pihak dimana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.[5] Artinya agama adalah sarana penghambaan seorang hamba (‘abid) yang oleh al-Qur’an dinyatakan bahwa memang tugas manusia ialah beribadah, sedangkan Tuhan mempunyai otoritas untuk membalas ibadah yang telah dilakukan oleh hamba-Nya tersebut.
Dalam An Introduction to The Psychology of Religion, Robert Thouless (1971) mendefinisikan agama sebagai suatu sikap terhadap dunia, sikap mana menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih luas dari pada lingkungan dunia ini yang bersifat ruang dan waktu, lingkungan yang lebih luas itu adalah dunia rohani.[6] Jika Thouless menekankan agama sebagai sikap, maka William James berpendapat lebih luas dari itu. Seperti yang dikutip dari The Varieties of Religious Experience (1937) oleh Elizabeth K. Nottingham dalam Agama dan Masyarakat, James menyatakan bahwa yang dimaksud dengan agama adalah: Perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian mereka … [dan] dalam hubungan dengan apa saja yang mereka anggap Tuhan.[7]
Sementara itu seorang ulama Mesir pengarang kitab Al-Fatawa, Syaikh Mahmud Syaltut mendefinisikan agama sebagai ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat diambil pengertian yang mendasar tentang pluralisme agama sebagai bentuk kemajemukan, keragaman dalam beragama, dan itu merupakan sebuah realita yang harus diterima. Seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.[8]
  
Sejarah Perkembangan Hubungan Antar Agama
Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah, ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di sinilah paling tidak akan tampak betapa perluanya mengetahui perbedaan sekaligus persamaan yang ada pada agama lain untuk kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan yang sangat berguna.
1.      Asal Mula Agama
Dalam Watch Tower Bible And Tract Society of Pennsylvana disinggung bahwa:
“Sejarah agama itu pada hakikatnya sudah setua sejarah itu sendiri. Demikianlah yang dikatakan oleh para arkeolog dan antropolog kepada kita. Bahkan dalam peradaban yang paling “primitif”, yaitu yang tidak berkembang, ditemukan bukti peribadatan dalam bentuk tertentu. Sebenarnya The New Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa, “sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada orang, dimanapun, kapanpun, yang sama sekali tidak religius.”[9]
Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikiran. Dari mana semua agama muncul? Karena ada perbedaan maupun persamaan yang mencolok, apakah agama-agama ini mulai secara terpisah, atau berkembang dari satu sumber. Atau dapat juga bertanya: Mengapa agama ada? dan bagaimana ia bisa muncul? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang berminat mengetahui kebenaran mengenai agama.
Untuk apa ada agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut rasanya tidak terlalu sulit, kalau agama dipahami sebagai pedoman hidup bagi manusia. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya memang membutuhkan aturan yang dapat mengatur hidup mereka. Aturan itu kesepakatan  yang harus ditaati seluruh komponen masyarakat tidak ada kecuali, dan harus dipatuhi semua pihak. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menganalogikan hidup manusia sebagai lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlain-lainan, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.[10]
Dengan demikian manusia membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yang akan memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan hati-hati (lampu kuning), dan lampu hijau (silakan jalan), dan sebaginya. Siapa yang mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam pengaturan di atas, manusia mempunyai dua kelemaham: pertama keterbatasan pengetahuannya dan kedua sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Kalau demikian yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan adalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun. Yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu.
Allah, yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci khususnya bila perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan itulah yang kemudian dinamakan agama.
Mengapa harus beragama? William James seperti dikutip M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1996) menyatakan: “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama” (berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Jadi dorongan yang ada dalam diri manusia itu tidak lain karena adanya perasaan membutuhkan suatu hal di luar dirinya yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang Maha.[11]
Jika menyangkut asal-usul agama, nama-nama seperti Muhammad, Yesus, Budha, dan Kong Hu Chu timbul dalam pikiran orang-orang dari berbagai agama. Dalam hampir setiap agama, didapati seorang tokoh utama yang diakui sebagai pendiri “iman yang benar”. Beberapa diantaranya pembaharu yang menentang penyembahan berhala. Yang lainnya filsuf moral. Yang lain lagi pahlawan-pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri sendiri. Banyak dari mereka yang meninggalkan karya tulis maupun ucapan-ucapan yang menjadi dasar suatu agama. Bahkan dalam buku Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan bahwa lambat laun apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui, dan diberi kesan mistik. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan dipuja.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap pendiri agama-agama besar, perlu diperhatikan bahwa mereka bukanlah pencipta dari agama. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pencarian Manusia Akan Allah bahwa dalam kebanyakan kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan agama yang sudah ada, meskipun kebanyakan pendiri mengaku mendapat “ilham ilahi” sebagai sumber mereka. Atau mereka mengganti dan mengubah sistem agama yang sudah ada yang dalam satu atau lain cara tidak memuaskan lagi. [12]
Agama, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kediaman, menurut al-Qur’an sudah ada sejak manusia pertama Adam as. Walaupun sistem ataupun ajaran agama yang ada masih sangat sederhana. Karena pada dasarnya risalah agama selalu mengalami perkembangan sampai risalah terakhir, Islam. Dikatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 5:
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا
Artinya:
  “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”. [13]
Agama sudah ada sejak Nabi Adam adalah berdasarkan ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 37:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه (البقرة: 37)
Artinya:
                                    “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya”. [14]
Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebagai ahli tafsir mengartikan dengan kata-kata bertaubat Artinya bahwa Adam telah menerima pedoman hidup berupa kalimat taubat, jadi agama sudah ada saat itu karena adanya hubungan dari Khaliq dengan makhluk-Nya. Ayat di atas diperkuat oleh ayat berikutnya:
قلنا اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة: 38)
Artinya:
“Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [15]
Apa yang diperlihatkan oleh begitu banyak ragam pengabdian agama? Yaitu bahwa selama ribuan tahun manusia mempunyai kebutuhan dan kerinduan akan hal-hal rohani. Manusia hidup dengan pencobaan dan kesulitannya, keraguan dan pertanyaan-pertanyaannya, termasuk teka-teki mengenai kematian. Perasaan religius diungkapkan dalam banyak cara sewaktu orang berpaling kepada Allah atau Tuhan-Tuhan mereka, memohonkan berkat dan penghiburan.

2.      Persinggungan Antar Agama
Interaksi antar agama berbeda telah terjadi sejak beberapa abad yang telah lalu. Dan selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalil demi mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa.
Kalau ditelusuri, sebenarnya agama-agama yang ada saat ini adalah berasal dari induk yang sama yaitu agama tauhid. Hal tersebut berdasarkan kenyataan historis, bahwa Ibrahim (Abraham) menurut keimanan Yahudi, Nasrani, dan Islam diakui sebagai bapak agama. Ketiga agama samawi tersebut akarnya adalah dari Nabi Ibrahim as.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari sebagian cara ibadah mereka yang menurut tuntunan aslinya mengenal istilah sujud bagi yang dipujanya. Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Nasrani mengenal itu sebagai rangkaian ibadah mereka. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan bahwa, dari luar, banyak agama yang dewasa ini tampaknya sangat berbeda satu sama lain. Namun jika, jika kita menanggalkan hal-hal yang hanya merupakan bumbu-bumbu dan yang ditambahkan dikemudian hari, atau jika kita menyingkirkan perbedaan-perbedaan akibat pengaruh iklim, bahasa keadaan tertentu dari negeri asalnya, dan faktor-faktor lain, sungguh menakjubkan betapa serupanya kebanyakan dari agama-agama tersebut.[16] Memang banyak persamaan diantara agama tersebut disamping perbedaan yang sangat menonjol, terutama masalah keimanan yang akhirnya mengalami perkembangan sesuai pengalaman batinnya masing-masing.
Adanya persamaan-persamaan tersebut ternyata tidak cukup membuat mereka untuk tidak bersitegang antara yang satu dengan yang lainnya. Dapat dilihat tentang bagaimana sikap permusuhan orang Yahudi terhadap Nasrani yang begitu banyak menelan korban. Yesus (Isa al-Masih) dikejar-kejar dan akan dibunuh karena sebagai utusan Tuhan dia ternyata bukan berasal dari Yahudi (kebencian serupa juga terjadi pada diri nabi Muhammad Saw).
Dalam surat al-Baqarah ayat 87 diceritakan tentang kebencian mereka terhadap para utusan Allah dari kalangan Nasrani, yaitu:
ولقد آتينا موسى الكتاب وقفينا من بعده بالرسل وآتينا عيسى ابن مريم البينات وأيدناه بروح القدس افكلما جاءكم رسول بما لا تهوى انفسكم استكبرتم ففريقا كذبتم وفريقا تقتلون (البقرة: 87)
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” [17]
Petentangan antara Yahudi dan Nasrani tergambar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 113:
وقالت اليهود ليست النصرى على شيء وقالت النصرى ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب كذلك قال اللذين لا يعلمون مثل قولهم فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون
Artinya:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,”padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” [18]
Di dalam surat ar-Ruum ayat 2-5 diceritakan hubungan emosional antara umat Islam Makkah dengan Umat Nasrani  Romawi pernah terjadi, saat tentara Romawi dikalahkan oleh tentara Persia (Majusi), umat Islam merasa sedih dan terpukul. Namun tatkala tentara Romawi dapat memenangkan peperangan, umat Islam Makkah merasa senang. Mengapa demikian? Hal itu karena adanya ikatan emosional sebagai sesama penganut agama Tauhid.
Asal-usul Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah satu. Agama Yahudi dan Kristen adalah dari Nabi Ibrahim as. dan Sarah yang menurunkan garis keturunan Nabi Ishaq as. sampai pada Nabi Isa as. Sedangkan Siti Hajar melahirkan garis keturunan Nabi Ismail as. sampai pada Nabi Muhammad Saw. Sebagai pembawa ajaran dan tradisi agama Islam.[19]
Namun hubungan umat Islam dan Kristen menjadi rusak dengan meletusnya perang salib. Perang yang menghabiskan kerugian materi yang tidak sedikit. perang yang membuat dendam kuat mengakar dihati sanubari generasi kedua agama besar tersebut. Meski sebenarnya banyak orang tidak mengetahui siapa yang memulai peperangan itu, mengapa berperang, atau bagimana peperangan itu dimenangkan.[20] Warisan perang salib ini tergantung pada tempat seseorang berpijak dalam sejarah. Kaum Kristen dan Muslim bersaing dalam visi dan kepentingan, serta masing-masing senantiasa ingat pada komitmennya terhadap agama dan kisah-kisah kepahlawanan para nabi terdahulu melawan kaum “kafir”.
Itu merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata hubungan antar agama lebih banyak diwarnai konflik. Konflik anta agama merupakan konflik yang sangat rumit dan sulit mengatasinya tanpa dilandasi kesadaran mencari titik temu kreatif bagi pencipta sebuah kedamaian yang hakiki.
  
Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini
“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological Semanary, New York)
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir, pengikut agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum Budha dan kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen dan Islam saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang tampak langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon, Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan ini selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[21]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi, sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabur oleh ketidakpahaman manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain.
Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan, situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini paling tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang lebih menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, bahwa karena wilayah konflik itu berada dalam ranah agama, yang selalu dipandang sebagai “problem of ultimate concern”, suatu problem yang berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka biasanya konflik akan melahirkan trauma yang cukup mendalam, dan karena itu akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan perseteruan antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa sebab yang begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Sebab-sebab itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor intern), dan ada yang berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.      Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai saat sekarang ini, seperti termuat tidak hanya dalam buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, misalnya, (Republika, 24 Juni 2000 dalam Opini) masih menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other religions are false paths, that mislead their followers” (Agama lain adalah jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat keras dan langsung tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa kitab suci membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar Rachman seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak konsili Vatikan II (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-kristiani.
Dalam Theological Investigations seperti dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman kepada umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya juga menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia dijadikan Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic religions) sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang didasarkan kepatuhan kepada Allah.  Namun dengan adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang ada, jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik yang terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan pandangan pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka’bah? oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat  tidak terbatas jumlahnya, tetapi apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan.”
Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik untuk dikaji, yaitu surat al-Baqarah ayat 62

ان الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)


Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada pula mereka bersedih hati” [22]
Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[23] menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana), percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk, beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[24]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan itu akan terlaksana.[25]

2.      Sentimen Keagamaan, Fanatisme dan Fundamentalisme
Sentimen keagamaan sebagai perasaan tidak menyukai hadirnya orang yang beragama lain disekitarnya atau bahkan dalam kehidupannya merupakan sikap kekanak-kanakan dan sangat tidak familer. Sikap seperti ini pada akhirnya akan selalu menimbulkan kebencian yang mudah sekali meledak menjadi konflik tatkala tercipta kondisi yang tidak menyenangkannya. Hal serupa juga terjadi pada fanatisme, sebagai sebuah perasaan cinta yang berlebihan terhadap agamanya. Fanatisme dalam artian kecintaan yang berlebihan terhadap agamanya pada dasarnya tidak dilarang, hanyasannya diharapkan tidak menyebabkan seseorang meremehkan atau menyalahkan orang yang berlainan agama.
Umat beragama diharapkan dapat menempatkan arti fanatisme secara benar dalam kehidupannya. Fanatisme pada dasarnya adalah kekuatan iman yang ada di dalam jiwa, dan apabila ternyata mencuat kepermukaan dalam bentuk kekerasan sudah merupakan sikap sentimen keagamaan. Dan itu jelas sangat merugikan kerukunan hidup beragama yang selama ini dengan susah payah berusaha dijalin.
Pada dasarnya agama adalah penganjur kedamaian, maka dengan adanya fanatisme hendaknya tidak mengaburkan tujuan agama tersebut. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah, ada dikutip sebuah pernyataan dari Charles Caleb Colton (1825), ia mengatakan:
“Manusia akan bergumul demi agama, menulis demi itu, bertempur demi itu, mati demi itu; berbuat apa saja kecuali hidup demi itu. Apabila agama yang sejati mencegah satu kejahatan, agama-agama palsu membuat dalih untuk ribuan kejahatan”.[26]
Berbicara tentang sentimen keagamaan dan fanatisme pada dasarnya tidak akan terlepas dari rasa emosional umat beragama. Umat beragama tidak akan senang dan tidak akan membenarkan orang lain merendahkan martabat agama yang diyakini kebenarannya. Namun, pelampiasan emosi juga bukan merupakan solusi terbaik mengingat begitu banyak kepentingan yang dapat membawa umat menuju kesadaran hidup damai tanpa darah dan permusuhan.
Jelaslah bahwa perkembangan kehidupan agama sangat tergantung pada daya tangkap intelektual dan penghayatan para pemeluknya. Persoalannya, seperti yang dinyatakan A. Malik Fadjar, (2000), keberagaman seperti apakah yang dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat milenium baru ini? Pertanyaan ini agaknya memerlukan perenungan secara mendalam mengingat kehidupan beragama saat ini justru menghadapi persoalan pada tingkat penghayatan.
Fenomena yang terjadi saat-saat ini, tentang timbulnya sentimen keagamaan, fanatisme buta, dan fundamentalisme adalah persoalan pada tingkat penghayatan tentang agama. Memang beberapa futurology seperti John Naisbitt dan Patricia Aburdene, menangkap adanya kegairahan dalam beragama yang mereka sebut dengan kebangkitan agama. Tapi jika dicermati lebih mendalam lagi, apa yang disebut dengan kebangkitan itu masih berada pada tataran penghayatan skriptual, simbolik, dan eksklusif serta sarat dengan klaim-klaim kebenaran (truth claim). Meskipun mengundang perdebatan, banyak dari kalangan pengamat sosial-keagamaan yang menyebut keberagaman semacam itu dengan fundamentalisme.
Sebuah fundamentalisme, apapun bentuknya, menurut Malik Fajar (2000) biasanya bermakna “pejoratif”, dan mengundang kekhawatiran dari pihak lain, tak terkecuali dalam kehidupan agama. Setidaknya ada tiga ciri utama dalam fundamentalisme agama ini. Pertama, dalam memahami agama lebih mengutamakan teks. Segala bentuk penafsiran dihindari, karena dikhawatirkan akan mereduksi absolusitas dan universalitas kebenaran agama. Dengan pemahaman seperti ini kalangan fundamentalisme agama dikatakan terpasang oleh teks.
Kedua, agar pemahaman yang tekstual atau skriptual itu selalu diakui otoritasnya, fundamentalisme agama melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolitik dan otoritatif. Pemimpin ini diberi hak penuh dalam menentukan hitam putihnya agama.
Ketiga, sebagai konsekuensi pertama dan kedua, klaim-klaim kebenaran menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Klaim-klaim ini biasanya menyimpan “prejudice” terhadap kelompok agama lain.
Nuansa fundamentalisme belakangan ini sudah merasuki pada sebagian masyarakat. Hal ini dapat diamati dari sejumlah tindakan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut sinyalemen, tindakan kekerasan itu salah satunya dipicu oleh praktik manipulasi simbol-simbol agama yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bertujuan meraih kepentingan sesaat (Syamsul Arifin, 2000: IX). Jelas bahwa, fundamentalisme agama merupakan contoh keberagaman parsial yang berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan destruktif dalam kehidupan sosial.

3.      Kondisi Politik, Sosial dan Ekonomi
Bagaimanapun kondisi politik sebuah negara, situasi sosial dan ekonomi akan mempunyai andil dalam menciptakan konflik yang terjadi antar agama. Seperti dinyatakan John L. Esposito dalam Political Islam: Beyond The Green Menace (diterjemahkan dengan judul Bahaya Hijau !) bahwa perang salib dalam masa kerajaan Utsmaniyah menunjukkan walaupun akar teologis Kristen dan Islam sama, namun akibat kepentingan politik dan agama yang terus bersaing menghabiskan sejarah konfrontasi dan peperangan.[27]
Di Indonesia, elit politik secara manis dapat bermain di sela-sela sentimen keagamaan dengan memanfaatkan para pemuka agama untuk dapat mengajak umatnya mendukung partai tertentu. Dan ternyata memang cukup manjur. Namun yang terjadi akhirnya adalah terjadinya benturan antara dua kubu yang berbeda untuk membela salah satu partai politik yang diyakini juga membela agamanya. Karena sesuai dengan propaganda bahwa partai yang bersangkutan adalah partai yang memperjuangkan hak-hak agama tertentu.
Keadaan ekonomi dalam sebuah negara akan berkaitan  erat dengan keamanan negara. Bila ekonomi kuat, baik maka negara akan relatif aman. Namun jika ternyata kondisi ekonominya menyedihkan, maka di sana sini akan timbul situasi sosial yang penuh dengan gejolak. Kejahatan dan tindakan kekerasan akan mudah timbul. Dan akan ada pula orang-orang yang menggunakan isu agama sebagai isu untuk membenarkan tindakan perusakan, penjarahan dan perampasan hak orang lain yang berlainan agama dengannya. Ini adalah kondisi riil saat ini di manapun di belahan dunia ini.
Dalam sebuah Seminar Nasional tentang Kemajemukan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan dalam Kehidupan Berbangsa di Era Modern yang diadakan oleh Pusat Studi Islam dan Penelitian Sosial Universitas Islam Indonesia, 17 Juni 1997. Drs. Edy Suandi Hamid, M.Sc., mengemukakan pendapat William Suhanda bahwa sentimen berbau sara yang sering muncul adalah berkaitan erat dengan adanya kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara penduduk pribumi dan non pribumi (William Suhanda, 1996).
Begitulah fenomena pluralisme agama dewasa ini, yang jauh dari harapan tuntutan ajaran agama-agama yang dianutnya. Seperti dikatakan seorang sejarawan, Arnold Toynbee dalam Pencarian Manusia Akan Allah,[28] menyatakan:
“Tujuan yang sebenarnya dari agama yang lebih luhur adalah untuk menyebarkan nasihat-nasihat rohani dan kebenaran yang menjadi dasarnya  kepada sebanyak mungkin jiwa yang dapat dicapainya, agar setiap jiwa tersebut mampu memenuhi tujuan manusia yang sesungguhnya. Tujuan manusia yang sesungguhnya adalah memuliakan Allah dan memiliki Dia selama-lamanya”.


[1]Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 39
[2]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 209.
[3]Shihab, M. Quraish, Wawasan Al Qur’an, (Bandung, Mizan), hal. 375
[4]Ibid., hal. 210.
[5]Ibid., hal. 209.
[6]Thouless, Robert H., Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1985), hal. 17.
[7]Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat: Suatu Pemngantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VI, 1996), hal. 2.
[8]Shihab, Alwi, Islam Inklusif,  hal. 41
[9]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[10]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 211.
[11]Ibid.
[12]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[13] Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[14] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[15] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag,  Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15
[16] Watch Tower and Tract Society of New York, Op. Cit., hal. 32
[17]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 87, hal. 24
[18] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 113, hal. 30
[19] John L. Esposito, Bahaya Hijau!, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Cet. I) hal. 62
[20] Ibid., hal. 62. 
[21] Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[22]Al Qur’an dan terjemah, Depag,  Al Baqarah (2) : 62, hal. 19
[23]Alwi Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[24]Shihab, M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.  
[25]Ibid.
[26] Pencarian Manusia Akan Allah, Op. Cit.  
[27]Esposito, L.  John.  Op. Cit., hal. 67.
[28]Pencarian Manusia Akan Allah, Op. Cit., hal. 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi