1. Pengertian Pluralisme Agama
Pada saat ini sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab
dalam Islam Inklusif, bahwa umat beragama dihadapkan kepada serangkaian
tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami
sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antar agama adalah fenomena
nyata.[1]
Pluralisme agama harus benar-benar dapat dimaknai
sesuai dengan akar kata serta makna sebenarnya. Hal itu merupakan upaya
penyatuan persepsi untuk menyamakan pokok bahasan sehingga tidak akan terjadi “misinterpretation”
maupun “misunderstanding”.
Pertama, bertolak dari akar kata yang pertama
yaitu pluralisme. Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari
kata “plural” yang berarti banyak atau majemuk. Sedangkan dalam Kamus
Ilmiah Populer, pluralisme berarti: “Teori yang mengatakan bahwa
realitas terdiri dari banyak substansi”.
Akar kata yang kedua adalah agama, yang berasal
dari kata “ugama” dalam bahasa Sansekerta yang berarti aturan-aturan.
Dalam al-Qur’an, agama biasa dilambangkan dengan kata “diin”. M. Quraish
Shihab, dalam Membumikan Al-qur’an mengatakan bahwa, agama adalah satu
kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah untuk memberikan penjelasan
maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan
(definisi) yang tepat lebih-lebih bagi para pakar. Mengapa? Hal itu, masih
menurut Quraish Shihab adalah disebabkan antara lain karena dalam menjelaskan
sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya
rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus
mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Adapun kemudahan yang dialami
orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan
itulah yang mereka lukiskan.[2]
Lebih lanjut, dalam Wawasan Al-Qur’an, M.
Quraish Shihab berpendapat bahwa tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di
dunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan
seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama
itu sendiri.[3] Dalam Membumikan
Al-Qur’an dijelaskan pengertian agama, sebagai hubungan antara makhluk dan
khaliqnya yang mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang
dilakukannya dan tercermin dalam sikap kesehariannya.[4]
Menurut seorang Guru Besar di Al-Azhar, Syaikh
Muhammad Abdullah Badran dalam Al-Madkhal ila Al-Adyan seperti dikutip
dari Membumikan Al-Qur’an bahwa yang dikatakan agama itu merupakan
hubungan antara dua pihak dimana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi
dari pada yang kedua.[5]
Artinya agama adalah sarana penghambaan seorang hamba (‘abid) yang oleh
al-Qur’an dinyatakan bahwa memang tugas manusia ialah beribadah, sedangkan
Tuhan mempunyai otoritas untuk membalas ibadah yang telah dilakukan oleh
hamba-Nya tersebut.
Dalam An Introduction to The Psychology of Religion,
Robert Thouless (1971) mendefinisikan agama sebagai suatu sikap terhadap dunia,
sikap mana menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih luas dari pada
lingkungan dunia ini yang bersifat ruang dan waktu, lingkungan yang lebih luas
itu adalah dunia rohani.[6] Jika
Thouless menekankan agama sebagai sikap, maka William James berpendapat lebih
luas dari itu. Seperti yang dikutip dari The Varieties of Religious
Experience (1937) oleh Elizabeth K. Nottingham dalam Agama dan
Masyarakat, James menyatakan bahwa yang dimaksud dengan agama adalah:
Perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian
mereka … [dan] dalam hubungan dengan apa saja yang mereka anggap Tuhan.[7]
Sementara itu seorang ulama Mesir pengarang kitab Al-Fatawa,
Syaikh Mahmud Syaltut mendefinisikan agama sebagai ketetapan-ketetapan ilahi
yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas
dapat diambil pengertian yang mendasar tentang pluralisme agama sebagai bentuk
kemajemukan, keragaman dalam beragama, dan itu merupakan sebuah realita yang
harus diterima. Seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut
apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama
dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.[8]
Sejarah Perkembangan Hubungan Antar Agama
Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of
nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan
pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa
mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah,
ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu
hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat
merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada
kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya
perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat
dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik
perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau
interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami
secara sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat
kekerasan dan permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan
perbuatan suci. Di sinilah paling tidak akan tampak betapa perluanya mengetahui
perbedaan sekaligus persamaan yang ada pada agama lain untuk kemudian
menjadikannya sebagai pengetahuan yang sangat berguna.
1.
Asal Mula Agama
Dalam Watch Tower Bible And Tract Society of Pennsylvana disinggung
bahwa:
“Sejarah agama itu pada hakikatnya sudah setua sejarah itu sendiri.
Demikianlah yang dikatakan oleh para arkeolog dan antropolog kepada kita.
Bahkan dalam peradaban yang paling “primitif”, yaitu yang tidak berkembang,
ditemukan bukti peribadatan dalam bentuk tertentu. Sebenarnya The New
Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa, “sejauh yang telah ditemukan para
sarjana, tidak pernah ada orang, dimanapun, kapanpun, yang sama sekali tidak
religius.”[9]
Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikiran. Dari mana
semua agama muncul? Karena ada perbedaan maupun persamaan yang mencolok, apakah
agama-agama ini mulai secara terpisah, atau berkembang dari satu sumber. Atau
dapat juga bertanya: Mengapa agama ada? dan bagaimana ia bisa muncul? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang berminat
mengetahui kebenaran mengenai agama.
Untuk apa ada agama? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut rasanya tidak terlalu sulit, kalau agama dipahami sebagai pedoman
hidup bagi manusia. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi
dengan sesamanya memang membutuhkan aturan yang dapat mengatur hidup mereka.
Aturan itu kesepakatan yang harus
ditaati seluruh komponen masyarakat tidak ada kecuali, dan harus dipatuhi semua
pihak. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada
sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menganalogikan
hidup manusia sebagai lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat
sekaligus cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlain-lainan,
maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi
benturan dan tabrakan.[10]
Dengan demikian manusia membutuhkan peraturan demi
lancarnya lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas
yang akan memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan
hati-hati (lampu kuning), dan lampu hijau (silakan jalan), dan sebaginya. Siapa
yang mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam
pengaturan di atas, manusia mempunyai dua kelemaham: pertama keterbatasan
pengetahuannya dan kedua sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan
diri sendiri). Kalau demikian yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan
adalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan
sedikitpun. Yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu.
Allah, yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut,
baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci khususnya bila
perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia.
Peraturan-peraturan itulah yang kemudian dinamakan agama.
Mengapa harus beragama? William James seperti dikutip
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1996) menyatakan: “Selama
manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama”
(berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan
salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Jadi dorongan yang ada dalam
diri manusia itu tidak lain karena adanya perasaan membutuhkan suatu hal di luar
dirinya yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang Maha.[11]
Jika menyangkut asal-usul agama, nama-nama seperti
Muhammad, Yesus, Budha, dan Kong Hu Chu timbul dalam pikiran orang-orang dari
berbagai agama. Dalam hampir setiap agama, didapati seorang tokoh utama yang
diakui sebagai pendiri “iman yang benar”. Beberapa diantaranya pembaharu yang
menentang penyembahan berhala. Yang lainnya filsuf moral. Yang lain lagi
pahlawan-pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri sendiri. Banyak dari
mereka yang meninggalkan karya tulis maupun ucapan-ucapan yang menjadi dasar
suatu agama. Bahkan dalam buku Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan
bahwa lambat laun apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui,
dan diberi kesan mistik. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan dipuja.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap pendiri
agama-agama besar, perlu diperhatikan bahwa mereka bukanlah pencipta dari
agama. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pencarian Manusia Akan Allah bahwa
dalam kebanyakan kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan agama
yang sudah ada, meskipun kebanyakan pendiri mengaku mendapat “ilham ilahi”
sebagai sumber mereka. Atau mereka mengganti dan mengubah sistem agama yang
sudah ada yang dalam satu atau lain cara tidak memuaskan lagi. [12]
Agama, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai
keselamatan dan kediaman, menurut al-Qur’an sudah ada sejak manusia pertama
Adam as. Walaupun sistem ataupun ajaran agama yang ada masih sangat sederhana.
Karena pada dasarnya risalah agama selalu mengalami perkembangan sampai risalah
terakhir, Islam. Dikatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 5:
اليوم
اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا
Artinya:
“Pada hari ini telah
kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan
telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”. [13]
Agama sudah ada sejak Nabi Adam adalah berdasarkan
ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 37:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب
عليه (البقرة: 37)
Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat
dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya”. [14]
Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan
yang diterima oleh Adam sebagai ahli tafsir mengartikan dengan kata-kata
bertaubat Artinya bahwa Adam telah menerima pedoman hidup berupa kalimat
taubat, jadi agama sudah ada saat itu karena adanya hubungan dari Khaliq dengan
makhluk-Nya. Ayat di atas diperkuat oleh ayat berikutnya:
قلنا
اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولا
هم يحزنون (البقرة: 38)
Artinya:
“Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika
datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku
niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [15]
Apa yang diperlihatkan oleh begitu banyak ragam pengabdian agama? Yaitu
bahwa selama ribuan tahun manusia mempunyai kebutuhan dan kerinduan akan
hal-hal rohani. Manusia hidup dengan pencobaan dan kesulitannya, keraguan dan
pertanyaan-pertanyaannya, termasuk teka-teki mengenai kematian. Perasaan
religius diungkapkan dalam banyak cara sewaktu orang berpaling kepada Allah
atau Tuhan-Tuhan mereka, memohonkan berkat dan penghiburan.
2.
Persinggungan Antar Agama
Interaksi antar agama berbeda telah terjadi sejak
beberapa abad yang telah lalu. Dan selama berabad-abad sejarah interaksi antar
umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalil
demi mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber
dari Yang Maha Kuasa.
Kalau ditelusuri, sebenarnya agama-agama yang ada saat
ini adalah berasal dari induk yang sama yaitu agama tauhid. Hal tersebut
berdasarkan kenyataan historis, bahwa Ibrahim (Abraham) menurut keimanan
Yahudi, Nasrani, dan Islam diakui sebagai bapak agama. Ketiga agama samawi
tersebut akarnya adalah dari Nabi Ibrahim as.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari sebagian cara
ibadah mereka yang menurut tuntunan aslinya mengenal istilah sujud bagi yang
dipujanya. Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Nasrani mengenal itu sebagai
rangkaian ibadah mereka. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan
bahwa, dari luar, banyak agama yang dewasa ini tampaknya sangat berbeda satu
sama lain. Namun jika, jika kita menanggalkan hal-hal yang hanya merupakan
bumbu-bumbu dan yang ditambahkan dikemudian hari, atau jika kita menyingkirkan
perbedaan-perbedaan akibat pengaruh iklim, bahasa keadaan tertentu dari negeri
asalnya, dan faktor-faktor lain, sungguh menakjubkan betapa serupanya
kebanyakan dari agama-agama tersebut.[16]
Memang banyak persamaan diantara agama tersebut disamping perbedaan yang sangat
menonjol, terutama masalah keimanan yang akhirnya mengalami perkembangan sesuai
pengalaman batinnya masing-masing.
Adanya persamaan-persamaan tersebut ternyata tidak
cukup membuat mereka untuk tidak bersitegang antara yang satu dengan yang
lainnya. Dapat dilihat tentang bagaimana sikap permusuhan orang Yahudi terhadap
Nasrani yang begitu banyak menelan korban. Yesus (Isa al-Masih) dikejar-kejar
dan akan dibunuh karena sebagai utusan Tuhan dia ternyata bukan berasal dari
Yahudi (kebencian serupa juga terjadi pada diri nabi Muhammad Saw).
Dalam surat
al-Baqarah ayat 87 diceritakan tentang kebencian mereka terhadap para utusan
Allah dari kalangan Nasrani, yaitu:
ولقد آتينا موسى الكتاب وقفينا من بعده بالرسل
وآتينا عيسى ابن مريم البينات وأيدناه بروح القدس افكلما جاءكم رسول بما لا تهوى
انفسكم استكبرتم ففريقا كذبتم وفريقا تقتلون (البقرة: 87)
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada
Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan
rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada
`Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap
datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai
dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka)
kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” [17]
Petentangan antara Yahudi dan Nasrani tergambar dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 113:
وقالت
اليهود ليست النصرى على شيء وقالت النصرى ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب
كذلك قال اللذين لا يعلمون مثل قولهم فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه
يختلفون
Artinya:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak
mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang
Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,”padahal mereka (sama-sama) membaca Al
Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti
ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat,
tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” [18]
Di dalam surat ar-Ruum ayat 2-5 diceritakan hubungan
emosional antara umat Islam Makkah dengan Umat Nasrani Romawi pernah terjadi, saat tentara Romawi
dikalahkan oleh tentara Persia (Majusi), umat Islam merasa sedih dan terpukul.
Namun tatkala tentara Romawi dapat memenangkan peperangan, umat Islam Makkah
merasa senang. Mengapa demikian? Hal itu karena adanya ikatan emosional sebagai
sesama penganut agama Tauhid.
Asal-usul Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah
satu. Agama Yahudi dan Kristen adalah dari Nabi Ibrahim as. dan Sarah yang
menurunkan garis keturunan Nabi Ishaq as. sampai pada Nabi Isa as. Sedangkan
Siti Hajar melahirkan garis keturunan Nabi Ismail as. sampai pada Nabi Muhammad
Saw. Sebagai pembawa ajaran dan tradisi agama Islam.[19]
Namun hubungan umat Islam dan Kristen menjadi rusak
dengan meletusnya perang salib. Perang yang menghabiskan kerugian materi yang
tidak sedikit. perang yang membuat dendam kuat mengakar dihati sanubari
generasi kedua agama besar tersebut. Meski sebenarnya banyak orang tidak
mengetahui siapa yang memulai peperangan itu, mengapa berperang, atau bagimana
peperangan itu dimenangkan.[20]
Warisan perang salib ini tergantung pada tempat seseorang berpijak dalam
sejarah. Kaum Kristen dan Muslim bersaing dalam visi dan kepentingan, serta
masing-masing senantiasa ingat pada komitmennya terhadap agama dan kisah-kisah
kepahlawanan para nabi terdahulu melawan kaum “kafir”.
Itu merupakan fakta sejarah yang tidak dapat
dipungkiri bahwa ternyata hubungan antar agama lebih banyak diwarnai konflik.
Konflik anta agama merupakan konflik yang sangat rumit dan sulit mengatasinya
tanpa dilandasi kesadaran mencari titik temu kreatif bagi pencipta sebuah
kedamaian yang hakiki.
Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini
“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang
memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu
titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian
berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap
suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological
Semanary, New York)
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka
akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks,
Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat
Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat
Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata
adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir,
pengikut agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum
Budha dan kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen
dan Islam saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang
tampak langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara
orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon,
Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang
menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan
ini selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan
sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada
nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam
wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita
membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[21]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi,
sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang
setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah
agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabur oleh ketidakpahaman
manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain.
Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan
alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan
menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun
Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan,
situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan
saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini
paling tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang
lebih menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah Jalan Baru Dalam Beragama,
bahwa karena wilayah konflik itu berada dalam ranah agama, yang selalu
dipandang sebagai “problem of ultimate concern”, suatu problem yang
berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka biasanya konflik akan melahirkan
trauma yang cukup mendalam, dan karena itu akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan
perseteruan antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh
beberapa sebab yang begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling
berkaitan. Sebab-sebab itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor
intern), dan ada yang berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.
Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai
eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain
sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai
saat sekarang ini, seperti termuat tidak hanya dalam buku-buku polemis, tetapi
juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer,
misalnya, (Republika, 24 Juni 2000 dalam Opini) masih
menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other religions are false paths, that
mislead their followers” (Agama lain adalah jalan yang sesat, dan
menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat keras dan langsung
tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa kitab suci
membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar
Rachman seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa
dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi
itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak
konsili Vatikan II (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat
terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama
non-kristiani.
Dalam Theological Investigations
seperti dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang
menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu
terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own
religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam
pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam
Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan
kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an
sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara
penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan
bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca
secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman
kepada umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya
juga menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia
dijadikan Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic
religions) sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang
didasarkan kepatuhan kepada Allah. Namun
dengan adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang
ada, jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik
yang terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan
pandangan pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu.
Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka’bah? oleh karena itu
apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan
sangat tidak terbatas jumlahnya, tetapi
apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya
pada satu tujuan.”
Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik
untuk dikaji, yaitu surat
al-Baqarah ayat 62
ان الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa saja diantara
mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada
pula mereka bersedih hati” [22]
Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[23]
menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina
aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat
Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat
ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan
keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh
yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat
bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana),
percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk,
beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan
dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari
tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[24]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat
bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan
keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut
memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah
dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada
agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung
dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan
itu akan terlaksana.[25]
2.
Sentimen Keagamaan, Fanatisme dan
Fundamentalisme
Sentimen keagamaan sebagai perasaan tidak menyukai
hadirnya orang yang beragama lain disekitarnya atau bahkan dalam kehidupannya
merupakan sikap kekanak-kanakan dan sangat tidak familer. Sikap seperti ini
pada akhirnya akan selalu menimbulkan kebencian yang mudah sekali meledak
menjadi konflik tatkala tercipta kondisi yang tidak menyenangkannya. Hal serupa
juga terjadi pada fanatisme, sebagai sebuah perasaan cinta yang berlebihan
terhadap agamanya. Fanatisme dalam artian kecintaan yang berlebihan terhadap
agamanya pada dasarnya tidak dilarang, hanyasannya diharapkan tidak menyebabkan
seseorang meremehkan atau menyalahkan orang yang berlainan agama.
Umat beragama diharapkan dapat menempatkan arti
fanatisme secara benar dalam kehidupannya. Fanatisme pada dasarnya adalah
kekuatan iman yang ada di dalam jiwa, dan apabila ternyata mencuat kepermukaan
dalam bentuk kekerasan sudah merupakan sikap sentimen keagamaan. Dan itu jelas
sangat merugikan kerukunan hidup beragama yang selama ini dengan susah payah
berusaha dijalin.
Pada dasarnya agama adalah penganjur kedamaian, maka
dengan adanya fanatisme hendaknya tidak mengaburkan tujuan agama tersebut.
Dalam Pencarian Manusia Akan Allah,
ada dikutip sebuah pernyataan dari Charles Caleb Colton (1825), ia mengatakan:
“Manusia akan bergumul
demi agama, menulis demi itu, bertempur demi itu, mati demi itu; berbuat apa
saja kecuali hidup demi itu. Apabila agama yang sejati mencegah satu kejahatan,
agama-agama palsu membuat dalih untuk ribuan kejahatan”.[26]
Berbicara tentang sentimen keagamaan dan fanatisme
pada dasarnya tidak akan terlepas dari rasa emosional umat beragama. Umat
beragama tidak akan senang dan tidak akan membenarkan orang lain merendahkan
martabat agama yang diyakini kebenarannya. Namun, pelampiasan emosi juga bukan
merupakan solusi terbaik mengingat begitu banyak kepentingan yang dapat membawa
umat menuju kesadaran hidup damai tanpa darah dan permusuhan.
Jelaslah bahwa perkembangan kehidupan agama sangat
tergantung pada daya tangkap intelektual dan penghayatan para pemeluknya.
Persoalannya, seperti yang dinyatakan A. Malik Fadjar, (2000), keberagaman
seperti apakah yang dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat milenium baru ini?
Pertanyaan ini agaknya memerlukan perenungan secara mendalam mengingat
kehidupan beragama saat ini justru menghadapi persoalan pada tingkat
penghayatan.
Fenomena yang terjadi saat-saat ini, tentang timbulnya
sentimen keagamaan, fanatisme buta, dan fundamentalisme adalah persoalan pada
tingkat penghayatan tentang agama. Memang beberapa futurology seperti John
Naisbitt dan Patricia Aburdene, menangkap adanya kegairahan dalam beragama yang
mereka sebut dengan kebangkitan agama. Tapi jika dicermati lebih mendalam lagi,
apa yang disebut dengan kebangkitan itu masih berada pada tataran penghayatan
skriptual, simbolik, dan eksklusif serta sarat dengan klaim-klaim kebenaran (truth
claim). Meskipun mengundang perdebatan, banyak dari kalangan pengamat
sosial-keagamaan yang menyebut keberagaman semacam itu dengan fundamentalisme.
Sebuah fundamentalisme, apapun bentuknya, menurut
Malik Fajar (2000) biasanya bermakna “pejoratif”, dan mengundang
kekhawatiran dari pihak lain, tak terkecuali dalam kehidupan agama. Setidaknya
ada tiga ciri utama dalam fundamentalisme agama ini. Pertama, dalam
memahami agama lebih mengutamakan teks. Segala bentuk penafsiran dihindari,
karena dikhawatirkan akan mereduksi absolusitas dan universalitas kebenaran
agama. Dengan pemahaman seperti ini kalangan fundamentalisme agama dikatakan
terpasang oleh teks.
Kedua, agar pemahaman yang tekstual atau
skriptual itu selalu diakui otoritasnya, fundamentalisme agama melembagakan
kepemimpinan agama yang tunggal, monolitik dan otoritatif. Pemimpin ini diberi
hak penuh dalam menentukan hitam putihnya agama.
Ketiga, sebagai konsekuensi pertama dan kedua,
klaim-klaim kebenaran menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Klaim-klaim ini
biasanya menyimpan “prejudice” terhadap kelompok agama lain.
Nuansa fundamentalisme belakangan ini sudah merasuki
pada sebagian masyarakat. Hal ini dapat diamati dari sejumlah tindakan
kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut sinyalemen, tindakan kekerasan
itu salah satunya dipicu oleh praktik manipulasi simbol-simbol agama yang
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bertujuan meraih kepentingan sesaat
(Syamsul Arifin, 2000: IX). Jelas bahwa, fundamentalisme agama merupakan contoh
keberagaman parsial yang berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan destruktif
dalam kehidupan sosial.
3.
Kondisi Politik, Sosial dan Ekonomi
Bagaimanapun kondisi politik sebuah negara, situasi
sosial dan ekonomi akan mempunyai andil dalam menciptakan konflik yang terjadi
antar agama. Seperti dinyatakan John L. Esposito dalam Political Islam: Beyond The Green Menace
(diterjemahkan dengan judul Bahaya
Hijau !) bahwa perang salib dalam masa kerajaan Utsmaniyah
menunjukkan walaupun akar teologis Kristen dan Islam sama, namun akibat
kepentingan politik dan agama yang terus bersaing menghabiskan sejarah
konfrontasi dan peperangan.[27]
Di Indonesia, elit politik secara manis dapat bermain
di sela-sela sentimen keagamaan dengan memanfaatkan para pemuka agama untuk
dapat mengajak umatnya mendukung partai tertentu. Dan ternyata memang cukup
manjur. Namun yang terjadi akhirnya adalah terjadinya benturan antara dua kubu
yang berbeda untuk membela salah satu partai politik yang diyakini juga membela
agamanya. Karena sesuai dengan propaganda bahwa partai yang bersangkutan adalah
partai yang memperjuangkan hak-hak agama tertentu.
Keadaan ekonomi dalam sebuah negara akan berkaitan erat dengan keamanan negara. Bila ekonomi
kuat, baik maka negara akan relatif aman. Namun jika ternyata kondisi
ekonominya menyedihkan, maka di sana
sini akan timbul situasi sosial yang penuh dengan gejolak. Kejahatan dan
tindakan kekerasan akan mudah timbul. Dan akan ada pula orang-orang yang
menggunakan isu agama sebagai isu untuk membenarkan tindakan perusakan,
penjarahan dan perampasan hak orang lain yang berlainan agama dengannya. Ini
adalah kondisi riil saat ini di manapun di belahan dunia ini.
Dalam sebuah Seminar Nasional tentang Kemajemukan
Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan dalam Kehidupan Berbangsa di Era Modern
yang diadakan oleh Pusat Studi Islam dan Penelitian Sosial Universitas Islam
Indonesia, 17 Juni 1997. Drs. Edy Suandi Hamid, M.Sc., mengemukakan pendapat
William Suhanda bahwa sentimen berbau sara yang sering muncul adalah berkaitan
erat dengan adanya kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara penduduk
pribumi dan non pribumi (William Suhanda, 1996).
Begitulah fenomena pluralisme agama dewasa ini, yang
jauh dari harapan tuntutan ajaran agama-agama yang dianutnya. Seperti dikatakan
seorang sejarawan, Arnold Toynbee dalam Pencarian Manusia Akan Allah,[28]
menyatakan:
“Tujuan yang sebenarnya dari agama yang lebih luhur
adalah untuk menyebarkan nasihat-nasihat rohani dan kebenaran yang menjadi
dasarnya kepada sebanyak mungkin jiwa
yang dapat dicapainya, agar setiap jiwa tersebut mampu memenuhi tujuan manusia
yang sesungguhnya. Tujuan manusia yang sesungguhnya adalah memuliakan Allah dan
memiliki Dia selama-lamanya”.
[1]Alwi
Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 39
[2]Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal.
209.
[3]Shihab,
M. Quraish, Wawasan Al Qur’an, (Bandung,
Mizan), hal. 375
[4]Ibid.,
hal. 210.
[5]Ibid.,
hal. 209.
[6]Thouless,
Robert H., Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. II, 1985), hal. 17.
[7]Nottingham,
Elizabeth K., Agama dan Masyarakat: Suatu Pemngantar Sosiologi Agama,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VI, 1996), hal. 2.
[8]Shihab,
Alwi, Islam Inklusif, hal. 41
[9]Watch Tower
and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York:
International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[10]Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal.
211.
[11]Ibid.
[12]Watch
Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New
York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[13]
Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[14]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[15]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag,
Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15
[16]
Watch Tower and Tract Society of New York, Op. Cit., hal. 32
[17]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 87, hal. 24
[18]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 113, hal. 30
[19] John L. Esposito, Bahaya
Hijau!, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997, Cet. I) hal. 62
[20] Ibid.,
hal. 62.
[21]
Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah,
(New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[22]Al
Qur’an dan terjemah, Depag, Al Baqarah
(2) : 62, hal. 19
[23]Alwi
Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[24]Shihab,
M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.
[25]Ibid.
[26]
Pencarian Manusia Akan Allah, Op. Cit.
[28]Pencarian
Manusia Akan Allah, Op. Cit., hal. 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar