Jumat, 28 Desember 2012

Natal Dalam Bingkai Islam Dan Indonesia


Sungai waktu yang mengalir deras kini kembali menghantarkan kita kepenghujung tahun di bulan Desember, yang sekaligus membawa kita menuju tahun baru, serta akan membawa kaum Kristiani kepada peringatan Natal (25 Desember). Membicarakan tahun baru Masehi di Negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam tentunya tidak akan menjadi masalah, kecuali bagi segelintir orang yang masih saja menganggap tahun Hijriah menjadi harga mati bagi umat Islam.
Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang bukan saja tidak menjadi masalah, namun juga ikut dirayakan oleh mayoritas Muslim Indonesia, peringatan Natal justru masih saja dianggap sebagai “binatang buas” yang mampu memangsa hidup-hidup akidah umat Islam.  “binatang buas” tersebut menjelma kedalam sebuah kalimat “Selamat Hari Natal” yang konon katanya jika diucapkan Muslim, maka dapat mencabik-cabik akidahnya. Apakah mungkin akidah yang merupakan sebuah hal yang dianggap penting pundamental sedemikian rapuhnya sehingga dengan mudah tercabik hanya karena sebuah kalimat?.
Imam Ahmad bin Hambal menilai bahwa ucapan selamat (tahniah) kepada umat lain adalah hal yang dibolehkan. Prof.DR. Hamka Haq menambahkan bahwa pembolehan tersebut tentunya dengan menjaga agar penyampaian tidak bersifat sinkretis, yakni pencampur adukan keimanan. Dengan demikian, pemilihan kalimat yang bersifat umum, yang dapat dipahami dan diterima oleh umat lain dalam menjaga harmonisasi kehidupan bersama, disamping tetap berada dalam bingkai aqidah Islam tentunya tidaklah menjadi persoalan.
Terlepas dari sejarah yang dituduhkan atau mungkin benar terjadi perihal asal-usul peringatan Natal, namun Natal yang hari ini diperingati kaum Kristiani adalah sebagai peringatan mereka atas kelahiran Yesus, yang dalam Islam dikenal sebagai Nabi Isa as. Al-Qur’an sendiri dalam surat al-Shaffat ayat 181 mengucapkan selamat atas para Rasul Tuhan yang tentunya juga bagi Nabi Isa  “wasalam ‘ala al-mursalin” (dan selamatlah atas Rasul-rasul Tuhan). Bahkan ucapan “selamat Natal” pernah diucapkan sendiri atasnya oleh nabi Isa yang tertuang dalam QS.19;33 “dan selamat atasku, pada hari aku dilahirkan (dinatalkan), pada hari wafatku, dan pada hari kebangkitanku kembali”.
Dengan demikian jelaslah mengucapkan selamat Natal bagi seorang muslim sepanjang itu sebagai bentuk penghargaan terhadap diri Yesus (Nabi Isa), sebagai anak manusia pilihan Tuhan, tentulah tidak masalah, apalagi sampai menciderai akidah. al-Qur’an yang selama ini kita yakini sebagai pedoman hidup, haruslah dipahami dengan jujur, cerdas dan obyektif, serta lepas dan jauh dari segala macam kepentingan baik pribadi maupun kelompok, serta dendam masa lalu. dengan begitu Islam sebagai rahmat bagi alam, akan dapat benar-benar terwujud dibumi ini.
Selanjutnya, terlepas dari bingkai Islam, bahwa Natal merupakan bahagian dari hari besar bangsa Indonesia adalah sesuatu yang tak terbantahkan, karena membantahnya sama dengan membantah apa yang telah diatur Negara. Dengan demikian tanggung jawab untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban serta keharmonisan saat berlangsungnya Natal harusnya juga menjadi tanggung jawab penduduk bangsa dengan tidak memandang latar belakang agama. Islam, Hindu, Budha dan Konghucu bahkan atheis sekalipun jika merasa bahagian dari bangsa ini juga ikut bertanggung jawab untuk menjaganya. Sebagai bahagian dari bangsa majemuk, anak bangsa harus bisa bersikap Profesional dan Proporsional. Anak bangsa juga harus bijak untuk menempatkan diri sebagai bangsawan dan agamawan sesuai waktunya. Untuk itu menyikapai Peringatan natal yang sebentar lagi tiba, diperlukan kesadaran seluruh masyarakat bangsa untuk bisa menjadi seorang bangsawan yang siap mengawal keamanan, ketertiban dan keharmonisan bangsanya, termasuk kegiatan Natal yang juga merupakan bahagian dari hari besar Indonesia.
Dengan saling menjaga antar sesama penganut agama dibawah payung Bangsa, diharapkan mampu memperkecil lobang yang bisa dimasuki para penyusup yang siap mempropaganda keharmonisan umat beragama di bangsa ini. Bukankah esensi dari kehadiran islam di muka bumi merupakan “rahmatan lil’alamin”, rahmat bagi seluruh alam tanpa memandang ras, warna kulit dan agama. Perbedaan agama bukanlah sesuatu yang lantas bisa menghancurkan harmonisasi hidup berbangsa dan Negara. Dengan sikap toleran dan saling menjaga antar sesama penganut agama, Indonesia sebagai bangsa akan mampu berdiri lebih tegak. Bahkan islam sendiri melalui Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Syaibah dan Bukhari mengajarkan ”Ahabbu al-din ila Allah al-hanifiyyah al-samhah (Agama yag paling dicintai Allah adalah Ajaran yang lurus dan Toleran). Mengenai siapa yang benar dan salah biarlah Allah yang menjadi Hakim tertinggi atasnya di akhirat kelak. Dalam konteks kehidupan dunia, perdamaian harus jadi prioritas dengan kita semua ikut serta dalam menjaganya. Perbedaan baik ras maupun agama dengan formula “bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan” harus bisa kita jadikan sebagai “jembatan emas” untuk saling menguatkan dan bersatu padu. Dengan demikian perbedaan akan tampil sebagai produsen peradaban baru yang cinta perdamaian.


Senin, 10 Desember 2012

FILSAFAT; POSITIVISME AUGUSTE COMTE


PENDAHULUAN
      Semenjak abad ke 17 rasionalisme Rene Descartes mencapai posisi penting bagi  ilustrasi keilmuan manusia, pemikirannya bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Lalu dilanjutkan dengan empirisisme yang mencapai puncak pada masa David Hume yang mana pengetahuan kita hanya bersumber dari pengalaman dan hanya terbatas pada dunia cerapan indra saja. Selanjutnya pada abad ke 19 muncullah positivisme yang diperkenalkan oleh Agustus Comte.
      Istilah “positivisme” berasal dari kata “positif” yang berarti “factual” atau apa yag berdasarkan fakta-fakta. Sehingga positivisme dalam hal ini diartikan sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati. Dalam pandangan positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu.[1]
      Positivisme memang berkaitan erat dengan dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Ia pun mengutamakan pentingnya pengalaman. Akan tetapi, berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman bathiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima pengalaman bathiniah sebagai sumber pengetahuan. Baginya, pengetahuan sejati hanyalah pengalaman obyektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, menurut F. Budi Hardiman, positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam pencerahan Prancis.
     
PEMBAHASAN 
Biografi Auguste Comte
Auguste Comte memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir di Montpelier, Prancis pada tanggal 19 Januari 1798, dan meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Comte kecil tinggal di sebuah kota kecil bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di École Polytechnique di Paris (1814), yang kemudian menghantarkannya menjadi seorang matematikawan yang brilian.[2]
Comte memulai karir profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika. Meskipun ia telah memperoleh pendidikan dalam bidang matematika, namun perhatian yang sebenarnya ialah masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Perhatiannya tersebut kemudian berkembang setelah ia bertemu dengan Henri de Saint-Simon, seorang ahli teori sosial yang tertarik pada reformasi utopis dan pendiri awal sosialisme Eropa, yang kemudian  mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.[3]
Dengan Simon, Comte menjalin kerjasama yang erat dalam pengembangan karya awalnya. Namun, setelah tujuh tahun pasangan ini akhirnya pecah karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Comte pun meninggalkan pembimbingnya tersebut.[4] Namun, walaupun Comte tidak lagi bekerjasama dengan Simon, pengaruhnya tetap saja melekat sepanjang hidup comte.
      Pasca meninggalkan Simon, comte selanjutnya meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya.
      Sementara Comte sedang mengembangkan filsafat positifnya yang komprehensif, ia menikah dengan seorang bekas pelacur bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, pada tahun 1842 ia bercerai dengan Massin. Saat-saat di antara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Course of Positive Philosophy.
      Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clothilde de Vaux, seorang wanita yang sedang di tinggal suaminya. Perasaan Comte terhadap Clothilde cukup besar, namun sayangnya hal itu tak berlangsung lama karena Clothilde mengidap TBC dan akhirnya meninggal. Hal ini mengakibatkan Comte cukup terguncang, sampai bersumpah bahwa ia akan membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari” nya tersebut.
      Sifat tulisan Comte umumnya berubah secara mencolok pasca menjalin hubungan dengan Clothilde. Dalam karya keduanya System of Positive Politics, ia menggagas bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta murni tanpa egois demi kebesaran manusia. Tujuannya ialah mengembangkan suatu agama yang baru yaitu agama Humanitas.[5] Dan pada gilirannya ia menyatakan diri sebagai pendiri agama universal, Imam Agung Humanitas.[6]
      Meskipun egois dan egosentris, Auguste Comte mengabdikan dirinya untuk kemajuan masyarakat sampai akhir hayatnya. Ia meninggal karena kanker perut di Paris pada tanggal 5 September 1857.

Filsafat Auguste Comte
      Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai pemikiran Auguste Comte, baiknya mengetahui terlebih dahulu apa-apa yang melatarbelakangi/ mempengaruhi pemikirannya. Dalam buku Hotman M. Siahaan  (1986) dijelaskan ada beberapa sumber penting yang menjadi latar belakang yang menentukan jalan pikiran Comte[7], yaitu:
1. Revolusi Perancis dengan segala aliran pikiran yang berkembang pada masa itu. Comte tidaklah dapat dipahami tanpa latar belakang revolusi Perancis dan juga restorasi dinasti Burbon di Perancis pada masa itu. Pada masa mana menimbulkan krisis sosial yang maha hebat di negeri itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang terjadi tersebut. Dan dia berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientific. Revolusi itu oleh karenanya merupakan stimulus bagi pikiran Comte sendiri.
2. Sumber lain yang menjadi latar belakang pemikiran Comte adalah filsafat sosial yang berkambang di Perancis pada abad ke-18, khususnya filsafat yang dikembangkan oleh para penganut paham Encyclopedist Perancis. Comte banyak menyerap ajaran filsafat kaum encyclopedist ini, terutama dasar-dasar pikirannya, sekalipun kelak dia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari aliran ini.
3. Sumber ketiga adalah aliran reaksioner dari pada ahli pikir Theocratic, terutama yang bernama De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner dalam pemikiran Katholik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan di mana kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu peiode yang dapat secara paling baik memecahkan berbagai masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang mengatakan bahwa abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagnasi di dalam ilmu pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan kehidupan. Comte telah membaca karya-karya pemikir theocratic di bawah pengaruh Saint Simont. Sebagaimana diketahui, Saint Simont juga menganggap bahwa abad pertengahan adalah periode organic yang bersifat konstruktif.
4. Sumber terahir yang melatarbelakangi pikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Saint Simont. Comte telah membangun hubungan yang sangat erat dengan Saint Simont juga dengan para ahli pikir sosialis Perancis lainnya. Dan seperti itu juga mereka, Comte di satu pihak akan membangun ilmu pengetahuan sosial yang bersifat scientific. Sebenarnya Comte memiliki sikap tersendiri terhadap aliran ini, tetapi sekalipun demikian, dasar-dasar aliran ini masih tetap dianutnya, terutama pemikiran mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat, dan mendasarkan pengawasan tersebut di dalam suatu dasar bersifat scientific.

a. Positivisme
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh ibn al-Haytham dalam karyanya kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte.[8]
      Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Discours L’esprit Positive (1844). Dalam karya inilah Comte menguraikan pendapat-pendapat positivis, hukum tiga tahap, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai mengenai tatanan kemajuan.[9]
      Dalam kaitannya (positivisme) tentang masyarakat, Comte meyakini bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya.[10] Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.
      Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian melakukan copy-paste metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial, dengan begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat (hukum sosial).[11]
      Comte memulai pekerjaannya tersebut denga melakukan refleksi mendalam terkait sejarah perkembangan alam pikir manusia. Ia kemudian mendapati bahwa sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu teologik, metafisik dan positif, yang akan di jelaskan pada bahagian berikutnya. Dari ketiga tahapan tersebut, tahap positif merupakan babak terakhir dimana pada tahapan itu manusia telah memasuki peradaban yang positif. Selanjutnya, Comte membuat norma-norma ilmiah yang disebut metodologi ilmiah.
      Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek positif. Objek positif sebagaimana dimaksud dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi, yaitu; antara yang nyata dan yang khayal, yang pasti dan yang meragukan, yang tepat dan yang kabur, yang berguna dan yang sia-sia, yang mengklaim memiliki kesahihan relative dan yang mengklaim memiliki kesahihan mutlak.[12] Distingsi-distingsi tersebut, oleh Comte diterjemahkan kedalam norma-norma metodologis sebagai berikut:
Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif.
Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuna ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.
Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara tekhnis. Ilmu pengetahuan memungkinkan control tekhnis atas proses-proses alam maupun sosial.
Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relative, sesuai dengan sifat relative dan semangat positif.[13]
      Atas dasar pandangan diatas, menurut Comte metode penelitian yang harus digunakan dalam proses keilmuan adalah observasi, eksperimentasi, dan komparasi. Yang terakhir ini digunakan untuk melihat hal-hal yang lebih komplek, seperti biologi dan sosiologi. Berkaitan dengan sosial, asumsi comte berkonsentrasi pada tiga hal, yakni; pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu alam.  Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat tekhnis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni.
      Dengan uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa dalam perspektif positivisme, ilmu-ilmu menganut tiga prinsip; bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ketiganya tidak hanya berlaku pada ilmu alam, namun juga berlaku bagi ilmu sosial, dan inilah kontribusi terbesar daru Auguste Comte, yang menghantarkannya sebagai bapak sosiologi modern.

b.  Hukum Tiga Tahap
      Dalam Cours de Philosophy Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yaitu Teologi, Metafisis dan Positif.[14]
      Hukum tiga tahap ini merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Mengenai hukum tiga tahap ini, comte menjelaskannya sebagai berikut;
“Dari studi mengenai perkembangan intelegensi manusia, dan melalui segala zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar. Inilah hukumnya: bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoritis yang berbeda; teologis atau fiktif, metafisik atau abstrak dan ilmiah atau positif” (Doyle Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang,85).[15]
      Dalam tahap teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk insani biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif  yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia, dimana mereka menganggap bahwa benda-benda memiliki jiwa, lalu beranjak kepada politeisme, yang menganggap adanya Dewa-dewa yang menguasai suatu lapangan tertentu, dan kemudian Monoteisme yang menganggap hanya ada satu Tuhan penguasa.
      Selanjutnya tahap metafisik. Tahapan ini merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
      Tahap terakhir ialah tahap positif, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental. Akan tetapi pengetahuan selalu bersifat sementara, dan tidak mutlak. Karenanya, semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali.
      Sebagai contoh perbedaan dan peralihan dari tiap tahap tersebut, dapat dilihat misalanya dari penjelasan tentang angin topan. Pada tahap teologis, hal ini akan dijelaskan sebagai hasl tindakan lagsung dari seorang dewa angin, atau tuhan yang agung. Dalam tahap metafisik, hal ini akan dijelaskan sebagai manifestasi dari hukum alam yang tidak dapat diubah. Dan dalam tahap positif, angin topan akan dijelaskan sebagai hasil dari kombinasi tertentu dan tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembapan dan suhu.

c.   Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial
Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara bagian-bagian masyarakat, dan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali.
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.[16]
Menurut comte, individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga. Dalam keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individunya. Akan tetapi begitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian pekerjaan meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan dengan itu mendorong individualisme, sekaligus meningkatkan derajat saling ketergantungan. Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, berstandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.

d.  Agama Humanitas
      Wawasan Comte tentang konsekuensi-konsekuensi agama yang menguntungkan dan ramalannya terhadap tahap positif postreligius dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada masalah rumit. Melirik fakta sejarah, ia tidak bisa menafikan peran penting agama terhadap keteraturan sosial yang paling utama. Akan tetapi, kalau dilihat dalam perspektif ilmiah (positif), agama didasarkan pada kekeliruan intlektual asasi yang mula-mula sudah berkembang pada saat-saat awal perkembangan intlektual manusia. Lalu, pertanyaan rumit yang dihadapi Comte adalah bagaimana keteraturan sosial itu  dapat dipertahankan dalam masyarakat positif pada masa-masa yang akan datang, Dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme.
      Mengatasi masalah tersebut, Comte kemudian mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu agama baru yakni agama Humanitas, dan mengangkat dirinya sebagai imam agung agama tersebut. Ini aspek kedua dari perhatian Comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama meliputi suatu analisis objektif mengenai sumber sumber stabilitas dalam masyarakat, sedangkan aspek kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial dengan agama Humanitas sebagai cita-cita normatifnya.
      Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positive di bawah bimbingan moral agama Humanitas makin lama makin terperinci. Misalnya, dia menyusun satu kelender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuan-ilmuan besar dan lainnya, yang sudah bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia. Akan ada beberapa ritus doa yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya ke dalam the great being of humanity. Selain itu, ada juga ritual dimana Comte sebagai imam agung berlutut didepan altarnya sambil memegang seikat rambut kepala Cothilde de Vaux. Ia juga bahkan mengusulkan agar kuburan de Vaux dijadikan sebagai tempat ziarah.[17] Dalam agama baru ini,  moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah pada abad pertengahan digantikan dengan “Le Grand Etre” (Ada Agung), yakni Kemanusiaan.[18]

e.  Altruisme
      Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai penyerahan diri kepada keseluruhan masyarakat. Bahkan bukan hanya salah satu masyarakat, melainkan suku bangsa manusia pada umumnya. Dengan demikia, altruism bukanlah sekedar lawan dari egoisme.
      Keteraturan masyarakat yang diidamkan oleh positivisme haya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruism sebagi prinsip dalam setiap tindakan mereka. Sehubungan dengan ini, Comte sampai beranggapan bahwa bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Keilahian baru dari positivisme ini disebut le Grand Eire (Maha Makhluk).[19]
      Bila paham altruism ini dibandingkan dengan filsafat islam, maka akan tampak dalam pemikiran yang dikembangkan oleh filusuf islam yang membagi dua macam hak. Pertama haqqullah dan hak adamyy. Haqqullah ini digunakan untuk menjelaskan kepantingan bersama, baik masyarakat maupun Negara yang merupakan symbol dari kehendak Allah. Sementara hak adamyy yang berarti hak manusia, melambangkan kebebasan individu untuk menggunakan hak pribadinya.
      Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologinya.

f.   Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
      Ilmu pengetahuan tidaklah mencapai titik kematangan yang sama secara serentak. Karenanya, perlu dilukiskan perkembangannya berdasarkan tingkat kerumitan bahan yang dipelajari di dalamnya. Ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga ilmu yang satu selalu mengandalkan ilmu yang lahir mendahuluinya. Auguste Comte membedakan ilmu pengetahuan pokok menjadi enam, yaitu; ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi dan puncaknya pada sosiologi. Semua ilmu pengetahuan, dapat dijabarkan kepada salah satu dari enam ilmu tersebut diatas.[20]
      Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakannya juga tentang gerak, sedangkan dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya kimia membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi yang kini membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan yang diberi nama sosiologi yang mengambil objek penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk hidup yang merupakan objek biologi (ilmu sebelum sosiologi).
      Karenanya, sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha manusia seluruhnya, sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu lainnya mencapai kematangan. Oleh karena itu, Comte beranggapan bahwa selaku pencipta sosiologi, ia mengantarkan ilmu pengetahuan ke tahap positifnya. Comte dalam merancang sosiologinya bermaksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna.

KESIMPULAN
     
      Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerjasama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perluanya eksperimen dan ukuran-ukuran. Dengan demikian positivisme sama dengan emperisme plus rasionalisme
      Dalam kaitannya tentang sosial, positivisme merupakan doktrin Comte yang menjadi pondasi strategi rekonstruksi masyarakat. Bagi Comte, sosiologi merupakan puncak perkembangan positivisme dan menjadikannya ratu dari ilmu-ilmu sosial. Sehingga, sosiologi positif diharapkan Comte mampu menjadi kunci kemajuan sosial dimasa depan
      Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologinya.





[1] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, (Bandung; Pustaka Setia- 2008), hlm. 296.
[2] Wikipedia; Ensiklopedia Bebas, Biografi Auguste Comte, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte
[3] Bio, True Story, Auguste Comte. Biografi, dalam http://www.biography.com/people/auguste-comte-9254680
[4] Hakim, Filsafat, hlm. 290.
[5] Hakim, Filsafa, hlm. 291-292.
[6] Ibid, hlm. 293
[7] Little Science, Sejarah Sosiologi, dalam http://mohammadhasbi.blogspot.com/
[8] Rabbani. Auguste Comte dan Positivisme, dalam http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/
[9] Hakim, Filsafat, hlm. 296.
[10] Ibid, hlm.297.
[11] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta; Belukar, 2008-Cet. V), hlm. 108.
[12] Ibid, hlm. 109
[13] Ibid, hlm. 111.
[14] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama-2007), hlm. 206.
[15] Hakim, Filsafat, hlm. 301.
[16] Ibid, hlm. 307.
[17] Ibid, hlm.311
[18] Hardiman, Filsafat, hlm. 212.
[19] Hakim, Filsafat, hlm. 317.
[20] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Bogor; Kencana, 2003), hlm. 136.

Kamis, 08 November 2012

Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif al-Qur'an


PENDAHULUAN 
          Konsep “ilmu”di dunia Islam pada umumnya cendrung dimaknai secara konservatif. Artinya memaknai ilmu sebagai sesuatu yang statis. Islam sebenarnya bukan hanya menganjurkan belajar secara statis, tetapi perlu pengembangan ilmu yang dinamis, progresif dan kritis; dan menghendaki seseorang itu untuk terus menerus melakukan pembelajaran dan riset. Hal ini senada dengan hadits Nabi ;
جحل فقد علم قد اٰنه فإذاظن العلم ماطلب عالما الرجل يزاللا
“seseorang itu dikatakan berilmu jika ia masih dan terus belajar, jika ia menyangka/mengaku telah berilmu, maka sesungguhnya dia itu bodoh”
          Pada dasarnya keberadaan ilmu pengetahuan adalah untuk kepentingan manusia terutama dalam memperbaiki hidupnya dalam rangka meningkatkan serta mencapai kebahagiaan dan ketenangan hidupnya. Namun dalam usaha untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis, penelitian ilmiah perlu terus  dilakukan oleh para ilmuan dengan tidak meninggalkan moral dan agama yang seharusnya mendasari segala legiatannya. Azas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan, merupakan sumbangan positif, baik bagi pembentukan karakter perseorangan manusia, maupun pembentukan karakter bangsa.
          Dalam Islam pengembangan ilmu didasarkan pada tujuan hidup manusia yang dipandu Al-Qur’an. karenanya, tujuan hidup manusia untuk meraih ridho Allah menjadi karakter dasar utama tujuan hidup sekaligus menjadi karakter dasar utama pengembangan ilmu.
          Dengan demikian, wilayah penelitian dan pengembangan ilmu haruslah memenuhi kebutuhan dasar dan tujuan hidup manusia yang utamanya adalah mencapai ridho Ilahi. Konsep-konsep tersebut dibingkai dalam satu konsep awal tentang Ilm dalam Al-Qur’an yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam upayanya mencapai tujuan kehidupan.

PEMBAHASAN

I.               Pengertian dan Term Ilm dalam Al-Qur’an
          Pengertian
          Secara etimologis kata ilmu berasal dari bahasa Arab علم yang padanannya dalam bahasa inggris science, dalam bahasa jerman wissenschaft dan dalam bahasa Belanda wetenschap.[1]
          Kata Ilmu merupakan suatu perkataan yang mengandung lebih dari satu arti. Karenanya, dalam penggunaan kata tersebut haruslah ditegaskan dahulu arti mana yang dimaksud. Umumnya ilmu diartikan sebagai pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat dikatakan ilmu, melainkan hanya pengetahuan yang diperoleh berdasarkan cara-cara tertentu berdasarkan kesepakatan para ilmuan.
          Secara terminologis, istilah ilmu atau science ialah pengetahuan sistematis mengenai dunia fisik atau material.[2] Dari segi maknanya, pengertian ilmu sekurang-kurangnya menunjuk pada tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas dan metode. Pengertian tersebut merupakan satu kesatuan logis yang mesti ada. Ilmu harus diusahakan dengan manusia, aktivitas itu harus diusahakan dengan metode tertentu, dan akhirnya metode itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Selanjutnya, The Liang Gie yang di kutip oleh imam syafi’i mengatakan bahwa ketiga pengertian tersebut saling bertautan logis dan berpangkal pada suatu kenyataan yang sama bahwa hanya terdapat dalam masyarakat manusia.
          Kenapa harus manusia? Sebab hanya manusia yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif, dan mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Dalam pandangan Al-Qur’an, manusia memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya seizin Allah. Ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggul dari makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahan.
          Pengerian Ilmu dalam Al-Qur’an pada dasarnya dibagi menjadi dua, pertama ilmu yang diperoleh langsung dari Allah tanpa upaya manusia, disebut ilmu Laduni kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, disebut ilmu kasbi.
          Term Ilm dalam Al-Qur’an
          Al-Qur’an merupakan sumber ilmu, karenanya mencari dan memperoleh substansi ilmu muthlak pada Al-Qur’an. Dalam berbagai ayat banyak dikemukan term ilmu. Kata  ilmu  dengan  berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran.[3] Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.  'Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari  akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata 'alam (bendera), 'a'lam (gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata  ini berbeda dengan 'arafa (mengetahui)' a'rif (yang mengetahui), dan ma'rifah (pengetahuan).
          Allah Swt tidak dinamakan a'rif' tetapi 'alim, yang berkata kerja ya'lam   (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran menggunakan  kata  itu  untuk  Allah dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan kepada Allah: ya'lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan), ya'lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa (apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan),  ma fi anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh (yang ada di langit dan di  bumi), khainat al-'ayun wa ma tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga 'ilm yang disandarkan kepada  manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.[4]
          Dalam penelitian Abdurrahman Shahih Abdullah, kata ‘alim dalam bentuk mufrad terulang sebanyak 13 kali dalam al-Qur’an yang kesemua ayatnya berhubungan dengan alam ghaib yang hanya Allah sendiri yang mengetahui. Selanjutnya, kata ‘alim dalam al-Qur’an terdapat 163 penggulangan dengan berbagai perubahan bentuk. Model ini menggambarkan kekuasaan Allah yang disebutkan sebanyak 155 kali, dan menjelaskan tentang tabi’at manusia yag disebutkan delapan kali.
          Dengan penjelasan diatas, maka cukup relevanlah jika dikatakan bahwa ilmu merupakan kata yang komprehensif dan cukup dapat untuk digunakan dalam menerangkan pengetahuan Allah. Selanjutnya, akan di tuliskan beberapa ayat yang dimaksudkan oleh Abdurrahman Shahih Abdullah dalam menggambarkan pemahaman ini. Seperti QS al-Mujadalah ayat 11 tentang penghargaan tinggi kepada orang yang berilmu
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû Ä§Î=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×ŽÎ7yz ÇÊÊÈ  
             Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[5]
          Dalam QS al-Baqarah ayat 31-32, yang menjelaskan bahwa ilmu menjadi keunggulan manusia atas malaikat.
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ   (#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ  
31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
32. mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana"[6]
Kemudian dalam QS Thoha ayat 114
@è%ur Éb>§ ÎT÷ŠÎ $VJù=Ïã ÇÊÊÍÈ  
"Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."[7]
QS az-Zumar ayat 9 yang menjelaskan perbendaan orang yang berilmu dan yang tidak berilmu
ô3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ã©.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ  
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.[8]
          Dalam QS al-Ankabut ayat 43 yang menjelaskan bahwa kata ‘Alim dan ‘Ulama hanya diperuntukkan bagi manusia
šù=Ï?ur ã@»sVøBF{$# $ygç/ÎŽôØnS Ä¨$¨Z=Ï9 ( $tBur !$ygè=É)÷ètƒ žwÎ) tbqßJÎ=»yèø9$# ÇÍÌÈ  
dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.[9]
Dan QS Al-Fathir ayat 28
šÆÏBur Ä¨$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøƒèC ¼çmçRºuqø9r& šÏ9ºxx. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 žcÎ) ©!$# îƒÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ  
dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.[10]
Serta banyak lagi ayat lainnya yang membicarakan tentang ilmu seperti al-Kahfi ; 65, al-Haqqoh 38-39, an-Nahl ; 8, an-Isra’ ;85, ayat ini menjelaskan tentang objek ilmu dan proses pencapaiannya.
          Deskripsi diatas paling tidak menunjukkan bahwa ilmu merupakan proses dan objek. Sebagai proses paling tidak dijelaskan pada QS 2; 31, bahwa Allah mengajarkan Adam nama-nama benda. Dan sebagai objek pada ayat 32 surat yang sama yang menggambarkan bahwa hal yang diketahui, atas proses yang telah disampaikan Tuhan.  Disamping itu, ilmu juga dapat dipahami sebagai kapasitas, artinya kemampuan subjek terhadap objek. Dalam artian lain, ilmu juga dapat dipahami sebagai “bukti”. Hal ini dapat dilihat pada QS Luqman ayat 20 yag didalam ayat tersebut ilmu yang dimaksud adalah bukti-bukti yang telah diperoleh dan dirasakan sebelumnya.
          Selanjutnya, ilmu dapat pula diartikan sebagai pengetahuan yag sistematis. Hal ini didasarkan pada QS al-Hijr ayat 21, 38 dan 42. Dari ayat itu dipahami bahwa yang dikatakan ma’lum ialah sesuatu yang telah direncanakan secara akurat, sistemnya telah di atur atas perhitungan-perhitungan yang valid. Model ini merupakan upaya memprediksi masa depan dengan merekayasa kehidupan kearah yang lebih baik.
  II.          Klasifikasi Ilmu
          Dari beberapa ayat tentang ilmu dalam al-Qur’an, terlihat bahwa adanya terma yang menunjuk kepada beberapa sumber ilmu dan maknanya. Hal ini memberikan pemahaman akan perlunya klasifikasi ilmu.
          Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Allah merupakan sumber ilmu, dengan demikian ayat-ayat (tanda-tanda) Allah bisa dikaji pada kalam Tuhan yang berbentuk teks maupun non teks. Kalam yang berbentuk teks adalah al-Qur’an dan non teks adalah alam semesta termasuk manusia. Dari pernyataan ini, Fazlur rahman mengklasifikasikan ilmu kepada beberapa kategori yakni; pertama, pengetahuan tentang alam, kedua pengetahuan tentang sejarah (sosial), dan ketiga pengetahuan tentang dirinya sendiri (psikhologi).[11]
          Pengetahuan tentang alam dimaksudkan agar apa yang telah diperuntukkan Allah dimuka bumi ini bagi kesejateraan manusia, dapat dimanfaatkan sebaik mungkin sehingga pada gilirannya dapat memperkuat nilai spiritual. Dalam al-Qur’an terdapat lebih dari 750 ayat yang menunjuk kepada fenomena alam, dan hampir kesemua dari ayat tersebut memerintahkan manusia untuk mempeajari hal-hal yang berhubungan dengan penciptaan alam dan merenungkannya.[12] Selanjutnya, pengetahuan sejarah atau sosial menunjukkan pentingnya sunnah-sunnah Allah pada umat manusia dan struktur masyarakat.
          Sedangan dalam pemahaman al-Farabi, selain klasifikasi di atas beliau menambahkan bahasa sebagai bahgian dari klasifikasi ilmu. Sebab al-Qur’an sebagai kalamullah yang telah disepakati sebagai sumber ilmu harus bisa benar-benar dipahami, dan untuk itu maka peran bahasa dalam membatu pemahamannya amatlah penting.
          Dengan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan seperti yang juga dinyatakan Abdurrahman Shaleh Abdullah dan Fazlur Rahman bahwa sejarah, psikhologi dan ilmu alam merupakan identitas penting dalam ilmu pengetahuan dan merupakan satu kesatuan, yang berarti menolak dikotomi ilmu antara agama dan sekuler. Sebab dikotomi tersebut akan memperkeruh suasana pengembangan ilmu serta menimbulkan kerancuan dalam dunia ilmu pengetahuan muslim. Dikotomi tersebut juga dapat memecah kepribadian pelajar dan menyeretnya kepada pemikiran sekuler seolah-oleh ilmu itu ada yang memuat nilai agama dan ada yang bebas nilai. Karenanya menurut Abdurrahman, pengklasifikasian ilmu seperti dituliskan di atas menjadi sangat penting. karena dengan begitu dapat diketahui bahwa kesemuanya berasal dari pengembangan klasifikasi yang ada dan bersumber dari al-Qur’an yang merupakan kalamullah.
III.          Metode Ilmu dalam al-Qur’an
          Kendati dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara sistematik tentang metode ilmu pengetahuan, namun dapat dijumpai di berbagai ayat dalam al-Qur’an, setidaknya ada beberapa metode yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan beberapa cabang ilmu pengetahuan. Beberapa metode yang dimaksud adalah:

1.      Observasi (Pengamatan)[13]
       Dalam berbagai ayatnya, al-Qur’an senantiasa mendesak manusia untuk mengadakan observasi terhadap ciptaan-Nya yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Untuk menjelaskan hal ini dapat dicontohkan dari dua ayat berikut : QS. Al-A’raf ayat 185
óOs9urr& (#rãÝàZtƒ Îû ÏNqä3n=tB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $tBur t,n=y{ ª!$# `ÏB &äóÓx« ÷br&ur #Ó|¤tã br& tbqä3tƒ Ïs% z>uŽtIø%$# öNßgè=y_r& ( Ädr'Î7sù ¤]ƒÏtn ¼çny÷èt/ tbqãZÏB÷sムÇÊÑÎÈ  
“dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu?”
          Dalam ayat tersebut al-Qur’an mengemukakan tema ayat yang bersifat sinkronisp, artinya berupa pandangan tentang eksistensi langit, bumi, manusia, dan sebagainya. Selanjutnya dalam QS. Ali Imran ayat 191
tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
          Tema kedua ayat diatas bersifat diakronis, artinya berupa pandangan tentag proses penciptaan dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu maupun yang akan datang. Setiap ciptaan Allah pastilah memiliki maksud dan tujuan. Namun untuk mengungkap hal tesebut, diperlukan pemikiran yang mendalam dan hanya orang beriman sajalah yang dapat memetik hikmah dibalik penciptaan-Nya.

2.      Eksplorasi (Pemaparan)[14]
       Pada bagian ini, ilmu falak atau yang sering disebut sebagai ilmu perbintangan atau astronomi menempati posisi penting. gerakan, penyebaran dan sifat-sifat benda samawi adalah hal-hal yang berkaitan dengan ilmu astronomi, namun semua kejadian alam yang beraneka ragam dan mengagumkan itu bukan semata untuk pelajaran ilmu falak/astronomi semata, namun lebih menekankan sebagai manifestasi serta refleksi tentang keagungan, kebenaran dan Maha Kuasa Penciptanya. Sebagai contoh dapat kita lihat pada QS. Yunus ayat 6
¨bÎ) Îû É#»n=ÏG÷z$# È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur $tBur t,n=yz ª!$# Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqà)­Gtƒ ÇÏÈ  
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa”
       Ayat tersebut memaparkan fenomena alam sesuai dengan hukum alam (sunnatullah) yang berlaku atau masih dalam tahap pemahaman (description). Bila fenomena pergantian siang dan malam akan diangkat sebagai suatu metode ilmu pengetahuan, maka seseorang harus menempuh prosedur sebagaimana prosedur dalam ilmu pengetahuan seperti analisis, deskripsi, penggolongan dan pemikiran. Dengan demikian, pemaparan merupakan salah satu lagkah dalam metode penelitian ilmiah.

3.      Eksperimen (Percobaan).
       Metode ini merupakan kelajutan dari metode sebelumnya (observasi dan eksplorasi). Dari rahim metode ini telah lahir berbagai cabang ilmu seperti Geologi. Ilmu ini (Geologi) mempelajari gerak bumi, lapisannya, serta hubungan dan perubahannya. Dalam hal ini, al-Qur’an membrikan dorongan kuat untuk melakuakn penelitian tentang adanya kebenaran dibalik fenomena fisik dari alam semesta. Dalam kaitan ini setidaknya ayat berikut (QS. An-Naba’ ; 6-7) dapat dijadikan isyarat untuk menggali dan mengembangkan ilmu
óOs9r& È@yèøgwU uÚöF{$# #Y»ygÏB ÇÏÈ   tA$t7Ågø:$#ur #YŠ$s?÷rr& ÇÐÈ  
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?”
       Dalam memahami ayat tersebut tentuya tidak cukup hanya dengan pemahaman melalui bahasa saja, melainkan memerlukan pengamatan secara cermat dan bila perlu eksperimen.

4.      Penalaran dan Intuisi.[15]
       Penalaran terhadap proses kejadian manusia telah melahirkan ilmu kedokteran dan dengan intuisi manusia telah melahirkan ilmu jiwa. Manusia merupakan objek sekaligus sebjek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik manusia dipelajari melalui ilmu kedokteran. seperti bagaimana ia mengisyaratkan untuk mempelajari manusia dari proses kejadiannya, yang tertuang pada QS. Al-Alaq ayat 1-3
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ  
“bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,”
       Disamping unsur jasmani tersebut, unsur jiwa juga tak luput dari perhatian al-Qur’an, seperti tertuang pada QS. Asy-Syams ayat 7-10.
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”

KESIMPULAN
          Dalam Al-Qur’an pengertian ilmu pada dasarnya dibagi menjadi dua, pertama ilmu yang diperoleh langsung dari Allah tanpa upaya manusia, disebut ilmu Laduni. kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, disebut ilmu kasbi.
          Kata  ilmu  dengan  berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan.
          Dari beberapa ayat tentang ilmu dalam al-Qur’an, terlihat bahwa adanya terma yang menunjuk kepada beberapa sumber ilmu dan maknanya. Hal ini memberikan pemahaman akan perlunya klasifikasi ilmu.  Dan selanjutnya Fazlur rahman mengklasifikasikan ilmu kepada beberapa kategori yakni; pertama, pengetahuan tentang alam, kedua pengetahuan tentang sejarah (sosial), dan ketiga pengetahuan tentang dirinya sendiri (psikhologi)
          Kendati tidak dijelaskan secara sistematik tentang metode ilmu pengetahuan di dalam al-Qur’an, namun dari berbagai ayat dalam al-Qur’an, setidaknya ada beberapa metode yang dapat dikemukakan seperti Observasi (Pengamatan), Eksplorasi (Pemaparan), Eksperimen (Percobaan), dan Penalaran dan Intuisi.

DAFTAR PUSTAKA

          Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Cahaya Qur’an-2006).
Imam Syaf’I, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur;an”, (Yogyakarta; UII Press-2000), hlm. 26.
M. Darwan Rahardjo, Ilmu, Ensiklopedi Al-Qur’an.” Ulumul Qur’an, No. 4 Vol. 1, Jakarta, 1990, hal. 56.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan-1996), hlm. 426.



[1] M. Darwan Rahardjo, Ilmu, Ensiklopedi Al-Qur’an.” Ulumul Qur’an, No. 4 Vol. 1, Jakarta, 1990, hal. 56.
[2] Imam Syaf’I, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur;an”, (Yogyakarta; UII Press-2000), hlm. 26.
[3] Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan-1996), hlm. 426.
[4] Ibid, hlm. 428.
[5] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Cahaya Qur’an-2006).
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, (Chicago ; Biblitoheca Islamica, 1980). Hlm, 34.
[12] Syafii, Konsep, hlm. 85
[13] Ibid, hlm. 68
[14] Ibid, hlm. 69
[15] Ibid. hlm, 71

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi