Refleksi Peringatan Nuzul Qur’an 17 Ramadhan 1433 H
Satu dari sekian banyak
keberkahan dan kemulian bulan Ramadhan ialah didalamnya Allah SWT menurunkan
wahyu pertama (Al-Qur’an) bagi Muhammad yang menjadi tonggak awal kenabian
dalam mengemban misi ilahiyyah sebagai utusan Allah yang terakhir. kendati
kemudian masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ‘alim ulama tentang awal
turunnya pesan langit tersebut,
tentulah bukan satu hal yang perlu diperdebatkan, karena selain hanya akan
menguras energi, hal ini juga hanya akan mempersempit ruang silaturrahmi.
Dalam konteks Indonesia, jumhur
ulama sepakat bahwa pesan langit tersebut turun perdana pada bulan Ramadhan
berdasarkan firman Allah : (Beberapa hari
yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS
Al-Baqarah : 185).
Karenanya, dalam suasana
Ramadhan disetiap masanya kita akan melihat dan menyaksikan berbagai bentuk
peringatan Nuzul Qur’an (turunnya
Al-Qur’an), mulai dari kegiatan khatam qur’an, tausiah, zikir dan lainnya.
Tentunya ini patut di apresiasi sebagai salah satu upaya dalam proses
menanamkan kecintaan terhadap kalamullah tersebut. Namun apakah berbagai rangkaian
kegiatan peringatan Nuzul Qur’an tersebut
telah berhasil membawa qur’an benar-benar nuzul
(turun) kedalam hati kita, sehingga menghasilkan sifat dan sikap yang merupakan
cerminan dari Al-Qur’an?.
Jika masih ada tempat untuk
berkata jujur, tentunya kita akan temukan jawaban bahwa “hal itu masih jauh panggang dari pada api”. Al-qur’an yang di
hormati dalam kata, ternyata di injak-injak dalam laku. Ketika teks Qur’an di
injak, kita seakan siap mati untuk membelanya, tapi tanpa kita sadari, hari-hari
yang kita lalui tak pernah luput dari penginjakan demi penginjakan terhadap
substansi doktrin langit tersebut. Kita hampir tak pernah bosan memohon hidayah (petunjuk) dari Allah, namun
disaat yang sama petunjuk yang ada justru terabaikan.
Kehadiran Al-Qur’an merupakan
petunjuk bagi manusia, itu tidak terbantahkan karena telah jelas dikatakan
Allah dalam firmannya. Permasalahannya ialah ketidakmampuan atau mungkin
ketidakmauan kita dalam me-nuzul kan
fungsi Qur’an sebagai petunjuk dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Padahal
inilah pilihan yang tepat jika menginginkan kebahagian dunia dan akhirat. Hal
ini senada dengan tawaran yang di berikan Nabi dalam hadits-Nya “barang siapa yang menjadikan qur’an
didepannya (sebagai Imamnya), maka qur’an akan menghantarkannya ke Syurga, dan
barang siapa yang menjadikan Qur’an di belakangnya, maka qur’an akan
menyeretnya ke neraka”
Karena urgensitasnya (Al-Qur’an)
sebagai pelita digelapnya kehidupan, maka me-nuzul kannya ke bumi manusia (hati) merupakan harga mati yang tak
boleh ditawar. Untuk itu, Prof. Komaruddin Hidayat dalam bukunya “Agama Punya
Seribu Nyawa” menuliskan, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dilakukan agar
Al-Qur’an bisa benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya, untuk kemudian bisa
membawa rahmat bagi kehidupan seluruhnya.
Syarat pertamanya : Menyucikan Hati.
Sebagai kitab yang senantiasa
terjaga kesuciannya, maka ia (Al-Qur’an) hanya akan turun kepada mereka yang
telah menyucikan hatinya. Hal ini ditegaskan langsung dalam salah satu ayat
Al-Qur’an. Karenanya, melalui keberkahan
syahru as-shiyam ini, pendekatan
intensif harus benar-benar dilakukan kepada Allah dengan berbagai ibadah,
manfaatkan peluang sekecil apapun sebagai sarana ibadah dan pengabdian kepada
sang Khaliq yang di imbangi dengan permohonan ampun kepada Allah atas segala
salah dan dosa yang pernah dilakukan, baik dosa spiritual, terlebih atas dosa
sosial yang harus terlebih dahulu mendapatkan ampunan sosial (maaf) dari mereka
yang di zholimi.
Syarat kedua : Berpikir
Cerdas dan Kritis (Head).
Untuk me-nuzul kan Qur’an ke Bumi Manusia (hati) maka diperlukan pemahaman terhadap apa
yang akan di-nuzul kan tersebut. Maka
untuk dapat memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar seseorang harus bisa
berpikir cerdas dan kritis. Cerdas dengan melepaskan berbagai kepentingan pribadi
maupun kelompok terhadap Qur’an, sehingga
dalam mahaminya dapat bersikap obyektif tanpa memilah dan memilih antara
ayat yang menguntungkan untuk di pedomani dan ayat yang dianggap merugikan
dirinya. Dan kritis dengan melakukan dialog terhadap Al-Qur’an. Ia (Qur’an)
akan berbicara dan mengajari siapa saja yang mau bertanya dan berdialog dalam
memahami kandungannya. Al-Qur’an sebagai hudan
linnas akan senantiasa “menantang” siapa saja yang ingin memahaminya, dan
disaat yang sama Al-Qur’an akan membimbing orang tersebut.
Syarat ketiga : Mengimplementasikannya
Dalam Kehidupan.
Dengan hati yang bersih dan
pikiran yang cerdas/kritis, maka untuk dapat menuzulkan al-qur’an seseorang
harus dapat mengimplementasikannya dalam sifat dan sikap, serta karya dan
tindakan dalam kehidupan nyata. Sehingga buah dari kecintaannya kepada Kalamullah tersebut akan membuahkan amal saleh, yang
tercermin dalam berbagai karya nyata yang benar dan bermafaat bagi umat
manusia.
Dengan demikian, ketika Al-Qur’an
telah benar-benar nuzul dan berfungsi sebagai pelita di kehidupan, maka
perlahan berbagai permasalahan kompleks kehidupan global diharapkan mampu terjawab
dan terselesaikan. Tentunya dengan ikut menularkan virus-virus Qur’an kedalam hati muslim lainnya. Sejarah telah
mencatat bahwa dengan Al-qur’an, Nabi Muhammad mampu menyeret umat dari
jahiliyah menuju sebuah perdaban baru.
Akhirnya, di atas pentas
Ramadhan kali ini mari bersama kita perbaiki lagu dan tarian
. Resap dan hayati dengan baik dan benar syair serta nada yang diiramakan
oleh Qur’an untuk kemudian di implementasikan dalam lagu dan tarian kehidupan.
Dengan demikian pementasan panggung kehidupan ini akan sukses. Baik sukses di
dunia, terlebih sukses di akhirat. Amin
ya Rabb. Billahi fii sabilil haq, fastabiqul khairot. Wassalamu’alaikum.
Yogyakarta, 04 Agustus 2012
Mukhrizal Arif, S.Pd.I
Penulis adalah Alumni FAI UMSU