BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama “bungsu” dari deretan agama samawi yang pernah ada (yahudi dan Nasrani),
hadir sebagai penyempurna “agama kakak” tersebut. Kesempurnaan Islam dibuktikan
dengan diturunkannya Al-qur’an sebagai doktrin langit yang maha suci kepada
khotimu al anbiya’ Nabi Muhammad
SAW dan di bumikan kepada seluruh umat manusia sebagai petunjuk utama dan pertama
dalam mengarungi hidup dan kehidupan
yang kemudian di ikuti dengan Sunnah nabi (hadits) setelahnya (Al-qur’an). Bahwa Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an Hampir sudah menjadi sebuah
konsensus seluruh umat Islam (kecuali segelintir golongan yang dikenal dengan
sebutan kelompok Ingkar Sunnah). Sabda, tingkah laku, dan ketetapan Nabi Saw.
menjadi sebuah penjelas sekaligus penuntun kehidupan dan keberagamaan umat
Islam di seluruh penjuru dunia.
Posisi hadits sebagai sumber hukum kedua setelah
Al-Qur’an membuat kajian tentangnya seakan tak pernah lapuk dimakan zaman.
Sejak era khulafaurrasidin sampai hari ini para cendikiawan muslim dari
berbagai kolong langit masih terus mengkaji hadits dan ilmu hadits. Salah satu
kajian hadits yang selalu menarik perhatian para
sarjana adalah kajian yang berkaitan dengan Nâsikh Manshûkh. Meskipun
kajian ini termasuk kajian klasik, akan tetapi kajian ini memiliki daya tarik
yang cukup luar biasa untuk dikaji di era modern ini. Setidaknya hal ini bukan
hanya disebabkan karena kajian ini merupakan wilayah kajian hukum fikih
(legal-formal), atau juga merupakan kajian-kajian teologis, maupun wilayah
kajian ushul fikih. Melainkan, disebabkan juga karena Nâsikh Mansûkh juga
merupakan bagian dari salah satu metode dalam menyikapi hadits-hadits yang secara zhahir kontradiktif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ilmu Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi
kata ناسخ adalah bentuk isim fa’il,
sedangkan منسوخ adalah
bentuk isim maf’ul dari kata kerja نسخ
yang mempunyai beberapa makna, yaitu : اِزاله
(menghapus), اِبطال (membatalkan), التبديلِ
(mengganti), التحويل (mengalihkan), النقل (memindah).[1] Sehingga
seolah-olah orang yang menasakh itu
telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya
kepada hukum yang lain. Sedangkan Nasakh secara terminologinya dapat
diartikan
النسخ هو الخطاب الدال على رفع الحكم
الثابت بالخطاب المتقدم على جهة لولاه لكان ثا بتا مع تراخيه عنه
Yaitu khitab Allah
yang menunjukkan hukum yang telah ditetapkan lebih dahulu dengan gambaran bahwa
seandainya tidak ada khitab kedua pasti hukum akan tetap berlaku sebagaimana
awal disyariatkannya. Atau secara sederhananya nasakh dapat diartikan
النسخ هو رفع الحكم الشرعيعن المكلف بحكمشرعي مڽلهمتأخر
Yang berarti pembatalan
hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dari seorang mukallaf dengan hukum
syara’ yang sama yang datag kemudian.[2]
Kedua pengertian diatas sebenarnya
tidak berbeda, hanya saja pada definisi kedua
mengandung kemungkinan terjadinya naskh sebelum sebelum hukum yang
dinasakhkan itu dilaksanakan oleh mukallaf.
Selanjutnya, secara
spesifik dijelaskan bahwa ilmu nasikhil hadits dan mansukhnya, ialah:
الحكم حيڽ من بينها التوفيق يمكن لا التي المتعارضة الاحاديڽِ عن يبحڽ الذي
العلم
منسوخا كان تقدمه ڽبت فما منسوخ بانه الاخرِ بعض على و ناسخ باٰنه بعضها على
ناسخاٰ كان تاٰخره ڽبت وما
“ilmu
yang membahas hadis-hadis yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin
dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia
sebagai Nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebahagian yang
lain, dan ia sebagai Mansukh (yang dihapuskan), karena itu hadis yang
mendahului adalah mansukh, dan yang terakhir adalah sebagai Nasikh.[3]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat dipahami bahwa
ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
bermakna kontradiktif antara satu hadits dengan hadits lainnya yang diantaranya
terdapat distance yang cukup lebar dan tak bisa disatukan/dikompromikan secara
hukum, sehingga harus ada yang dihapuskan.. karenanya hadits yang turun lebih
dahulu disebut mansukh karena ia
dihapuskan dengan hadits yang turun terakhir dan disebut nasikh.
B. Urgensi
Ilmu Nasikh dan Mansukh
Untuk bisa menyelami dalamnya syariat islam, tentu
pemahaman yang mendalam dan universal terhadap hadits dan ilmu tentangnya
merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam kaitan ini, ilmu nasikh dan
mansukh termasuk bahagian penting dalam ilmu hadits yang harus dipahami. Karena
seorang pembahas ilmu syariat tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil
nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa mengethui dalil-dalil nash yang
sudah dinasakh dan dalil-dalil nash yang menasakhnya.[4]
Atas dasar
itulah al Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab
sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu ialah
adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan
menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah
dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami khitab Hadits menurut arti
literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang
menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang
tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan)
ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang
terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna”.[5]
Peran penting ilmu nasikh dan mansukh ini sehingga
dimasukkan dalam sarana penyempurna ijtihad cukup menyita perhatian para
sahabat, para Tabi’in, dan ulama-ulama yang datang setelah mereka. Diriwayatkan
dari Ali ibn Abi Thalib melalui seorang qadli yang sedang memutuskan hukum,
maka Ali bertanya kepadanya :
لا : قال وِالمنسوخ؟ الناسخ اتعِرف
“apakah kamu mengetahui Nasikh dan Mansukh?, Qadli
berkata ; tidak”
Mendengar
jawaban Qadli, Ali lantas berkata :
واهلكت هلكت
Dari riwayat diatas terlihat bagaimana ali menganggap
penting ilmu nasikh dan mansukh dalam penetapan suatu hukum, tanpanya (ilmu
nasikh dan mansukh), penetapan hukum akan berdampak celaka, baik bagi penetap
hukum tersebut maupun masyarakat luas yang menjalankan ketetapan hukum itu. Karenaya, Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai
fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang
suatu hukum tidak kacau dan kabur. dan dengannya (ilmu nasikh dan mansukh) pemahaman hadis akan menjadi benar
dan tidak sempit.
C.
Metode
dan Contoh Nasikh dan Mansukh Hadits.
Sebagai
bahagian dari ilmu hadits yang menjadi pelengkap ijtihad, ada langkah dan
tahapan yang harus di lalui dan dimengerti untuk mengetahui serta memahami ilmu
nasikhil hadits tersebut yang meliputi syarat-syarat Nasakh, cara mengetahui
nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.
1.
Syarat-Syarat Nasakh
a.
Adanya mansukh (yang dihapus) dengan
syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat
‘amali, tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.
b.
Adanya mansukh bih (yang digunakan
untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).
c.
Adanya nasikh (yang berhak
menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
d.
Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum
yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf).
Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah
tertuju pada mereka.
Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany
mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
a.
Adanya dua hukum yang saling
bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara
sekaligus dalam segala segi.
b.
Ketentuan hukum syara’ yang berlaku
(menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat
atau dihapus.
c.
Harus diketahui secara meyakinkan
perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan
ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.[7]
2.
Cara
mengetahui hadits nasikh dan mansukh.
Nasikh
dan mansukh dalam kajian ilmu hadits dapat diketahui dengan hal-hal berikut ini
:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير ومحمد بن المثنى
واللفظ لأبي بكر وبن نمير قالوا حدثنا محمد بن فضيل عن أبي سنان وهو ضرار بن مرة
عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نهيتكم عن زيارة القبور
فزوروها
“ Dari Buraidah, dia berkata,
Rasulullah SAW bersabda: Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah
kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian ”.
Hadits diatas menjelaskan bahwasanya
rasulullah pernah melarang/mengharamkan untuk ziarah kubur, hingga ia sendiri
yang kemudian menganjurkan untuk berziarah. Bahkan dalam riwayat lain
dijelaskan beberapa manfaat dari ziarah kubur seperti dapat mengingatkan
peziarah akan kematian dan menyiapkan diri untuk menujunya.
أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن
الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول توضئوا مما مست
النار
Hadis diatas
mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasa’i :
أَخْبَرَنَا
عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ
اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ
الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Dari Muhammad
bin Munkadir ia berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdillah berkata: “Perkara
yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam adalah
meninggalkan wudhu dari makanan yang disentuh api.” (HR.
Nasai No 185 dan dishahihkan oleh Syeikh Albani).[8]
Kedua
redaksi hadith menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal:
dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang pertama
menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau
makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum
melaksanakan ritual salat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan salat
setelah memakan makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis
yang kedua memposisikan diri sebagai Nasik, sedang hadis pertama mansukh.
Media pernyataan sahabat ini Ahli
ushul mewajibkan adanya penjelasan bahwa hadits kedua dalam kronologisnya
datang setelah hadits pertama.
Ø
Fakta
sejarah, (diketahui waktu kedua hadits). Contoh : hadits yang
diriwayatkan Imam Tarmudzi tentang batalnya puasa orang yang berbekam dan
membekam.
حدثنا محمد بن رافع النيسابوري ومحمود بن غيلان ويحيى بن
موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن ابي كثير عن ابراهيم بن عبد الله
بن قارظ عن السائب بن يزيد عن رافع بن خديج عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "افطر الحاجم
والمحجوم"
Hadits
diatas dimansukh oleh hadits berikut yang juga diriwayatkan Imam Tirmidzi:
حدثنا بشر بن هلال البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد
حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم
صائم
Dua hadis
ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa orang
yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa
bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits
tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam juga diriwayatkan oleh
Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits
yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu
makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji
Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada
tahun 10 hijriyah, maka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.
Ø
Ijma’ ulama’; seperti
hadits yang berbunyi :
حدثنا نصر بن عاصم الأنطاكي حدثنا يزيد بن
هارون الواسطي حدثنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن
أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه
,قال أبو داود وكذا حديث عمر بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي
هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد
الرابعة فاقتلوه قال أبو داود وكذا حديث سهيل عن أبي صالح عن
أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إن شربوا الرابعة فاقتلوهم
وكذا حديث ابن أبي نعم عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم
وكذا حديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم والشريد
عن النبي صلى الله عليه وسلم وفي حديث الجدلي عن معاوية أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال فإن عاد في الثالثة أو الرابعة فاقتلوه
”Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.
Umar ibnul
Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr,
ini lahir dari musyawarah para sahabat, diantara sahabat yang berbicara pada
waktu itu adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang
paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar
akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama,
yang kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya
Khalid dan Abu Ubaidah.[9]
Imam Nawawi
berkata: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”.
Jika empat
hal ini tidak ditemukan ketika terdapat suatu hadis yang kontradiksi maka
menurut al Hazimi hal yang dilakukan adalah mentarjih hadis tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu nasikh dan mansukh hadits ialah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bermakna
kontradiktif antara satu hadits dengan hadits lainnya yang diantaranya terdapat
distance yang cukup lebar dan tak bisa disatukan/dikompromikan secara hukum,
sehingga harus ada yang dihapuskan, karenanya hadits yang turun lebih dahulu disebut mansukh karena ia dihapuskan dengan
hadits yang turun terakhir dan disebut nasikh.
Ilmu
ini (Nasikh mansukh) mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses
penetapan syari’, karena ianya merupakan bahagian dari kesempurnaan ijtihad.
Karena pentingnya ilmu ini, maka para sahabat, tabi’in dan generasi seterusnya
cukup menaruh perhatian yang tinggi terhadapnya. Kajian terhadapnya seakan tak
pernah lapuk dimakan zaman, dan terus relevan untuk dipelajari dari masa
kemasa.
Nasikh
dan mansukh dalam hadits memiliki beberapa syarat : pertama, adanya Mansukh (yang diahapus), kedua, adanya Mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus), ketiga, adanya Nasikh (yang berhak
menghapus), keempat, adanya Mansukh
‘anhu (arah hukum yang dihapuskan).
Nasikh
dan mansukh hadits ini dapat diketahui melalui beberapa hal : Pertama ; lafaz
langsung dari Nabi, kedua; lafaz dan penjelasan dari sahabat, ketiga; fakta dan
data sejarah kedua hadits, dan keempat; jumhur ulama.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahab Khala’, Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung, Gema Risalah Pres, 1996.
Al-Ja’barî, Rusûkh al-Ahbar Fi Mansukh
al-Akhbar, Beirut: Maktabah al-Jîl al-Jadîd,1988.
Fatchur Rahman,
“Ikhtisar Mustalahul Hadits”, Bandung,
Al-Ma’arif, 1970.
Ibnu hajar Al-asqolani, Bulughul Maram, Gita Media Press,
Surabaya, 2006.
Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1990.
Nasrun Harun, “Ushul Fiqh I”, Ciputat, Logos, 1996.
T.M Hasbi Ash
Shiddieqy, Pokok-pokok ilmu dirayah
hadits - jilid II, Jakarta, Bulan Bintang, 1981.
Goresan anak desa, “Hadits Nasikh wa Mansukh”, dalam Website: http://jun-aidiii.blogspot.com/2012/03/hadits-nasikh-wa-mansukh.html,
25 Maret 2012.
[6] T.M
Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok ilmu
dirayah hadits - jilid II, Jakarta, Bulan Bintang, 1981, hlm. 286-287.
[7] Goresan
anak desa, “Hadits Nasikh wa Mansukh”,
dalam Website: http://jun-aidiii.blogspot.com/2012/03/hadits-nasikh-wa-mansukh.html, 25 Maret 2012.
[8] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar