Sabtu, 21 Desember 2013

PERAN HARUN NASUTION DALAM PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM DI INDONESIA

PENDAHULUAN 
Pembaharuan pendidikan merupakan suatu usaha multidimensional yang kompleks, dan tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan, terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru dan selalu berorientasi pada perubahan masyarakat.[1] Upaya pembaharuan pendidikan merupakan jalan panjang yang tak berujung. Sebab, pendidikan merupakan hal asasi dan penting bagi manusia terutama untuk memetakan masa depannya, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri akan senantiasa dihadapkan kepada berbagai tantangan kehidupan. Dengan demikian, selama manusia hidup dan berhadapan dengan berbagai tantangan kehidupan, maka selama itu pula pendidikan perlu untuk terus mengalami pembaharuan. Hal serupa tentunya juga berlaku bagi pendidikan Islam, terlebih karena pendidikan Islam menitik beratkan internalisasi nilai iman, islam, dan ihsan dalam pribadi manusia (muslim) yang berpengetahuan.
Berangkat dari uraian singkat di atas, maka upaya pembaharuan pendidikan Islam merupakan suatu hal yang penting. Dalam konteks Indonesia, Harun Nasution merupakan nama yang cukup relevan untuk dikaitkan dengan tema yang kita bicarakan ini. Harun Nasution dinilai telah berhasil mengorganisir satu potensi besar yang menjadi faktor penentu perubahan studi Islam. Gerakan itu dimulai dari ruang kelas yang terbatas, kemudian berkembang menjadi gerakan yang cukup dahsyat. Debat-debat kecil di ruang kelas kemudian menjadi benih pendirian lembaga kajian Islam tingkat tinggi, yakni Program Pascasarjana IAIN di Indonesia. Ketika proyeksi rintisan terlembaga, maka gerakan ini menjadi semakin efektif dan sistematis. Atas dasar itu, Harun sangat tepat disebut sebagai perancang, pemikir perubahan, dan pembaharu dalam tradisi akademik di lingkungan perguruan tinggi Islam Indonesia.[2] Tulisan ini akan berbicara tentang pembaharuan pendidikan Islam Harun Nasution. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menyingkap pembaharuan pendidikan Islam yang pernah dilakukan oleh putra bangsa, untuk kemudian memberikan wawasan dan perspektif baru bagi kita dalam memetakan dan menentukan pembaharuan berikutnya yang relevan dengan konteks kehidupan hari ini.
 PEMBAHASAN
 I.              Biografi Singkat Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa, 23 September 1919[3] di Pematang Siantar, Sumatera Utara dari hasil pernikahan antara Abdul Jabbar Ahmad dengan seorang putri dari Mandailing bernama Maimunah. Pria batak ini merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga terhormat dan mampu[4] serta memiliki tradisi keagamaan yang kuat.[5]
Perjalanan intelektual Harun dimulai secara formal ketika ia memasuki sekolah Belanda Hollandsch Inlandche School (HIS) pada saat berumur tujuh tahun. Setelah tamat dari HIS pada tahun 1934, ia kemudian masuk sekolah agama beraliran modern, yaitu MIK (Modern Islamietische Kweekschool) di Bukit Tinggi. Selanjutnya, pada tahun 1938 berbekal ijazah kelas III MIK tersebut Harun Nasution berangkat/tiba di Mesir. Di tempat ini ia memilih Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin. Namun belum sempat menamatkan pendidikannya pada universitas ini, ia kemudian pindah ke Universitas Amerika di Kairo hingga akhirnya dapat memperoleh gelar BA di bidang Social Studies. Pada tahun 1952, berkat kecemerlangan otaknya ia mendapat tawaran beasiswa untuk belajar di McGill University Kanada. Tawaran itu diterima Harun Nasution dengan senang hati. Setelah kuliah dua tahun, Harun Nasution kemudian memperoleh gelar MA dengan tesis (The Islamic State In Indonesia: The Rise of The Ideologi The Movement For Its Creation and The Theory of The Masyumi), McGill.[6]
Setelah memperoleh gelar MA, Harun Nasution melanjutkan kuliah di tempat yang sama selama dua setengah tahun untuk memperoleh gelar Ph.D. Akhirnya pada tahun 1968 ia berhasil menyelesaikan kuliah di bidang ilmu kalam (Islamic Studies) dengan menulis disertasi berjudul: The Place of Reason In Abduh's Theology, Its Impact On This Theological System and Views.
Sesaat setelah gelar doktor bidang ilmu kalam diraihnya maka di saat itu pula ia “dipinang” untuk bekerja di IAIN dan UI Jakarta. Kedua tawaran tersebut dijawab oleh pria kelahiran Pematang Siantar ini dengan syarat disediakan tempat tinggal. Atas persyaratan yang diajukannya tersebut, ternyata hanya IAIN yang menyanggupinya. Dari sinilah kemudian episode manisnya membangun tradisi keilmuan Islam (khususnya di IAIN) dimulai.[7]
Buah manis dari pengembaraan intelektual yang dilakukan oleh Harun Nasution selain di bumi-kannya di IAIN Syarif Hidayatullah, juga di muat dalam karya tulis/buku. Buku-bukunya sebagai buku teks yang menjelaskan pengetahuan yang sudah baku dalam pemikiran Islam, tampil dengan cara beda di lingkungan umat Islam di Indonesia. Pemikirannya tidak jarang dianggap mengada-ada. bahkan ada tendensi untuk menghancurkan Islam itu sendiri. Disinilah letak kekuatan tulisan Harun Nasution dibanding dengan tulisan yang lain. Berdasarkan karya Harun Nasution yang telah diterbitkannya, terfokus pada tiga bidang kajian, yaitu Teologi Islam, Pemikiran Islam dan Filsafat Islam. Beberapa karyanya dibidang teologi Islam di antaranya:
1.    Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah, diterbitkan oleh UI Press pada tahun 1987. Buku ini merupakan pokok bahasan disertasi Harun Nasution di Universitas McGill Montreal Kanada. Membahas tentang filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi Wahyu. Paham kebebasan manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan dan konsep Iman. Kesimpulan dalam buku ini adalah pembahasan teologi Muhammad Abduh yang menjadi dasar di bidang pembaharuan.
2.    Akal dan Wahyu dalam Islam, diterbitkan oleh UI Press pada tahun 1982, kemudian mengalami cetak ulang pada tahun 1986. Buku ini menjelaskan tentang pengertian akal dan wahyu dalam Islam, kedudukan akal dalam al- Qur'an dan al-Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam serta peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam.
3.    Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, diterbitkan oleh UI Press dan telah mengalami cetak ulang. Terbit pertama pada tahun 1972 dan terbit kelima pada tahun 1986. Buku ini disusun dalam dua bagian. Bagian pertama, membahas tentang aliran-aliran dan golongan-golongan teologi, baik yang masih ada maupun yang pernah ada dalam Islam.
Adapun buku karya Harun Nasution di bidang pemikiran Islam antar lain:
1.    Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid, 1, dan Il. Buku ini terbitkan pertama kali oleh Ul Press pada tahun 1974 dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang. Cetak ulang keenam pada tahun 1986.
2.    Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang ditulis Harun Nasution mulai tahun 1970-1994 makalah-makalah tersebut dikumpulkan dan diedit oleh Saiful Muzani. Dalam buku ini menurut Harun Nasution menjelaskan bahwa pemikiran rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
3.    Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan: buku ini diterbitkan oleh Bulan Bintang pada tahun 1996. Buku ini adalah materi mata kuliah Aliran-Aliran Modern dalam Islam, membahas tentang pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam Islam yang timbul pada zaman modern dalam sejarah Islam. pembaharuan di dunia Islam dititik beratkan kepada tiga Negara Islam, yaitu Mesir, Turki dan India/Pakistan.
Karya-karya Harun Nasution di bidang Filsafat Islam antara lain:
1.    Filsafat dan Mistisisme dalam Islam diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1973 dan telah mengalami cetak ulang lebih dari tujuh kali. Semula buku ini berasal dari kumpulan ceramah yang disampaikan dalam diskusi tentang agama Islam di kampus IKIP Jakarta, serta kumpulan bahan kuliah yang diberikan Harun Nasution pada mahasiswa IAIN Jakarta dan Universitas- Universitas Jakarta mulai tahun 1970.
2.    Filsafat Agama, diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1973 dan telah mengalam cetak ulang lebih dari 8 kali. Buku ini berisi kumpulan-kumpulan bahan kuliah yang diberikan di IAIN Jakarta dan ceramah-ceramah yang disampaikan pada kelompok-kelompok diskusi agama Islam di komplek IKIP Jakarta.
Harun Nasution sebagai founder pembaharu kajian keislaman di Indonesia, melalui buku Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Sangat bersemangat menampilkan sosok Islam yang komprehensif utuh dan menyeluruh. Kelengkapan ajarannya adalah karena memuat semua aspek kehidupan. Ia juga mendorong menguasai sains dan tidak takut pada filsafat. Harun Nasution merupakan sumber inspirasi dan semangat bagi perkembangan kajian Islam di Indonesia. Ia adalah tokoh yang menghabiskan segenap umurnya untuk peningkatan kualitas lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Atas dasar ini, sangat beralasan dan sejalan apa yang diusulkan Menteri Pendidikan Nasional, A. Malik Fajar, agar Harun Nasution diusulkan menjadi tokoh pendidikan di bidang Islamic Studies. Pria batak yang kerap menyuarakan Islam rasional ini sangat layak mendapatkan itu, karena karya dan hasil kerjanya sangat nyata, yaitu semacam tradisi intelektual di mana orang berani berdebat secara terbuka, berani mempertanyakan suatu yang sementara ini dianggap mapan.
 II.           Arus Utama Pemikiran Harun Nasution
Sebelum mengupas gagasan dan ide Harun Nasution dalam upayanya mengembangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis menilai perlu untuk melirik sejenak arus utama dari pemikiran-pemikiran Harun Nasution.  Berangkat dari berbagai karya tulisnya, dapat dilihat bahwa tema besar yang menjadi fokus kajian Harun Nasution adalah "Pembaharuan Umat Islam", dengan Filsafat Islam sebagai basisnya.
Seperti para pembaharu pada umumnya, Harun Nasution merasa gelisah dan galau menyaksikan kondisi umat Islam di sekelilingnya, di mana kondisi tersebut adalah kondisi yang menampakkan kemunduran dari kondisi awal umat Islam, terutama di bidang pengembangan intelektual.[8] Kegelisahan/kegalauan inilah yang oleh Harun harus segera dijawab dengan upaya pembaharuan.
Pembaharuan menurut Harun sama maknanya dengan modernisasi, yaitu fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh pengembangan ilmu pengetahuan modem.[9] Pembaharuan dalam Islam menurutnya mempunyai tujuan yang sama. Akan tetapi ia mengingatkan bahwa dalam Islam ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak, yang tidak dapat dirubah, dan ada ajaran-ajaran yang bersifat tidak mutlak, yang dapat dirubah. Pembaharuan dapat dilakukan pada wilayah penafsiran atau interpretasi dalam aspek-aspek teologi, hukum, politik dan seterusnya, dan mengenai lembaga-lembaga.[10]
Harun mengatakan bahwa Islam yang dianut dan diamalkan umat Islam saat ini bukan lagi Islam yang sebenarnya. Ke dalam Is­lam telah masuk ajaran dan praktek yang berasal dari luar. Lebih jauh lagi, -menurut Harun- telah banyak masuk ke dalam Islam berbagai praktek yang tidak menguntungkan, dimana hal tersebut terutama dimulai sejak abad pertengahan Islam.[11] Selain itu, menurut Harun, umat Islam mengalami kemunduran dalam pengembangan intelektual, karena di kalangan umat Islam sendiri telah terjadi kelesuan berfikir, di mana hal tersebut diindikasikan dengan adanya pendapat di kalangan umat Islam bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Implikasi negatif dari hal tersebut adalah munculnya sikap taklid kepada pen­dapat lama, sehingga umat Islam menjadi statis. Kondisi tersebut menyebabkan setiap perubahan yang secara alamiah dibawa oleh zaman selalu ditentang secara apriori oleh umat Is­lam.
Hal lain menurut Harun yang turut memberi andil dalam mendukung kemunduran umat Islam adalah ajaran “zuhud” (yang difahami sebagai pilihan untuk rela meninggalkan kehidupan duniawi karena mementingkan kehidupan rohani) yang dibawa tarekat sufi. Ajaran tersebut menurut Harun, pa­da gilirannya mengalihkan perhatian umat Islam dari hidup duniawi yang sekarang ke kehidupan di alam ghaib nanti, yang pada giliranya mengantarkan umat Islam kepada pemahaman bahwa ajaran mengenai ibadahlah yang dipentingkan, sementara ajaran-ajaran Islam me­ngenai hidup kemasyarakatan kurang mendapat perhatian.
Akumulasi dari berbagai hal yang telah disebutkan di atas, mengantarkan umat Islam hari ini pada posisi belakang dari barisan peradaban. Dengan kata lain, hal tersebut menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam hari ini. Karenanya perlu ada upaya pembaharuan. Harun Nasution menjelaskan bahwa langkah-langkah pembaharuan yang harus ditempuh oleh umat Islam adalah kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenamya, yaitu ajaran-ajaran yang diamalkan oleh umat Islam zaman klasik. Taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus ditinggalkan, dengan kata lain pintu ijtihad harus dibuka. Yang dipegang menjadi pedoman untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam bukan lagi buku-buku karangan ulama terdahulu, akan tetapi hanya Al-Qur'an serta Hadits. Ajaran-ajaran dasar yang tersebut di dalam keduanya disesuaikan dengan perincian dan cara pelaksanaannya de­ngan perkembangan zaman. Selain itu, dinamika di kalangan umat Islam harus dihidupkan kembali dengan menjauhkan tawakal dan faham Jabariah. Umat Islam harus dibawa kembali ke teologi faham dinamika dan kepercayaan ke­pada akal dalam batas-batas yang ditentukan wahyu. Sebab, dalam Islam akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan peranan yang sangat penting. oleh sebab itu, umat Islam harus dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha. Paham yang mengapresiasi kekuatan dan peranan akal manusia terdapat dalam teologi Islam rasional,[12] yang dianut umat (terutama filosof dan ilmuawan Islam) pada zaman klasik. Teologi seperti inilah yang kemudian mengantarkan Islam pada peradaban yang tinggi di masa itu. Dalam kerangka seperti inilah, Harun Nasution mengembangkan tradisi studi-studi Islam, khususnya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang lebih menekankan nilai-nilai akademis dan pendekatan rasional.
 III.        Peran Harun Nasution Dalam Pengembangan IAIN Syahid, Jakarta
Berbicara tentang peran Harun Nasution dalam pengembangan IAIN Syahid, Jakarta, tentunya tak tak bisa lepas dari pengaruh jabatan structural yang di embannya di tempat tersebut. Mengawali karir sebagai dosen di tempat ini pada tahun 1969 sesaat setelah ia menyelesaikan program doktornya, tiga tahun kemudian (1971) Harun Nasution sudah menjadi Pembantu Rektor I mendampingi Prof. Toha Yahya yang menjabat sebagai Rektor. Dua tahun berikutnya (4 Juni 1973), atas keluasan ilmu dan integritas pribadinya, Harun Nasution kemudian diangkat oleh Mentri Agama yang saat itu dijabat oleh Mukti Ali sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah menggantikan Prof. Yahya yang jatuh sakit dan lumpuh.
A.      Perubahan Kurikulum
Sesaat setelah dilantik menjadi rektor, Harun Nasution merumuskan empat langkah kebijaksanaan. Langkah tersebut; 1) mendasarkan tujuan dan fungsi IAIN Jakarta atas dasar kebutuhan masyarakat pada umumnya, dan DKI pada khususnya, 2) mengutamakan kualitas dari pada kuantitas, 3) peningkatan mutu ilmiah, dan 4) penyederhanaan dan penyempurnaan organisasi.[13]
Dari empat langkah yang telah dirumuskannya tersebut, kemudian dijabarkan menjadi program operasional, seperti membenahi kurikulum.  Menurutnya, kurikulum adalah sederetan rencana mata kuliah dan pengaturannya yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar.[14] Sementara proses belajar itu seyogyanya harus mampu mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik. Ia menjelaskan bahwa kurikulum IAIN selama ini tidak mencerminkan pengembangan pemikiran mahasiswa,[15] hal ini disebabkan karena tidak ada mata kuliah yang dapat mendorong ke arah tersebut. Oleh sebab itu, ia kemudian mengusulkan agar mata kuliah pengantar ilmu agama, seperti filsafat, tasawuf, teologi dan sebagainya perlu untuk dimasukkan.
Sebagai lembaga pengkajian Islam paling advance dan merupakan agen bagi perubahan masyarakat Islam, maka masyarakat/umat mempunyai harapan yang sangat besar terhadap pemikiran Islam di IAIN. Untuk memenuhi harapan dan kebutuhan umat Islam tersebut, maka kurikulum pendidikan tinggi Islam harus dapat membawa pengertian Islam secara luas. Islam bukan sekedar hukum fiqh, tetapi Islam mengandung beberapa aspek.[16] Dijelaskan bahwa aspek-aspek terpenting dalam Islam setidaknya meliputi aspek akidah, aspek pemikiran dibidang ibadah, aspek tasawuf, dan aspek filsafat.
Berdasarkan deskripsi tersebut, ia menjelaskan bahwa tujuan kurikulum pendidikan Islam adalah memperkenalkan Islam pada umatnya secara utuh dengan metode pikiran rasional ilmiah dan filosofis, sehingga terwujud sarjana muslim atau ulama yang menguasai ilmu agama dan ilmu umum, berbudi pekerti luhur dan menjadi pemimpin-pemimpin umat sesuai dengan harapan umat Islam. Bagi Harun, IAIN harus mengarahkan segenap kemampuannya untuk bisa menghasilkan lulusan yang mempunyai ciri-ciri ulama Islam zaman klasik (khususnya ulama abad kedelapan sampai kesebelas masehi). Ciri tersebut antara lain adalah; bersikap rasional, berpandangan luas, berbudi luhur, pengetahuannya tidak hanya terbatas pada ilmu agama, tetapi juga mencakup pengetahuan umum, serta dapat berdiri sendiri dan menjaga independensinya dari pengaruh politik.
Selanjutnya Harun Nasution menilai sistem pembidangan ilmu dalam kurikulum pendidikain tinggi Islam, khususnya IAIN masih memakai spesialisasi ilmu agama Islam tradisional seperti sistem kurikulum yang berlaku di al-Azhar. Kurikulum ini tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia menegaskan bahwa dalam ilmu Agama Islam terdapat aspek perkembangan atau pembaharuan. Dengan kata lain, ilmu agama Islam bukanlah ilmu yang statis, tetapi mengalami perkembangan bahkan pembaharuan dalam banyak aspek, yang sangat menuntut adanya pembaharuan pemahaman dan pemikiran dalam Islam. Oleh sebab itu Harun Nasution kemudian menggagas pembidangan ilmu pengetahuan Islam kedalam beberapa kelompok. Gagasan pembidangan ilmu yang dilakukannya tersebut kemudian dilegitimasi Oleh Departemen Agama (setelah melalui pembahasan antara Depag dan telah mendapat pengakuan dari LIPI), dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No 110 Tahun 1982 tentang Pembidangan Ilmu Agama Islam. Selengkapnya pembidangan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:[17]
No
Bidang Ilmu
Disiplin Ilmu
1
Qur’an dan Hadits
Ulumul Qur’an
Ulumul Hadits
2
Pemikiran Dalam Islam
Ilmu Kalam
Falsafah
Tasawuf
Ilmu Falak
3
Fiqh (Hukum Islam)
Fiqh (Hukum) Islam
Ushul Fiqh
Pranata Sosial
Ilmu Falak
4
Sejarah dan Peradaban Islam
Sejarah Islam
Peradaban Islam
5
Bahasa
Bahasa Arab
Sastra Arab
6
Tarbiyyah al Islamiyah (Pendidikan Islam)
Pendidikan dan Pengajaran Islam
Ilmu Nafsil Islamy
7
Dakwah Islamiyah
Dakwah
Perbandingan Agama
8
Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam
Hukum
Politik
Sosial
Ekonomi

Kemudian Harun menjelaskan bahwa pembidangan ilmu sebagaimana di atas, selanjutnya dapat diasuh dan dikelola dalam fakultas-fakultas sebagai berikut:
Ø  Fakultas Ushuluddin : Bidang sumber dan pemikiran
Ø  Fakultas Syari’ah      : Bidang fiqh dengan berbagai cabangnya
Ø  Fakultas Adab           : Bidang Sejarah dan Peradaban Islam, serta bidang bahasa/sastra Islam dengan berbagai cabangnya
Ø  Fakultas Tarbiyah     : Bidang pendidikan Islam dengan berbagai cabangnya, dan
Ø  Fakultas Dakwah      : Bidang dakwah dengan berbagai cabangnya
Setelah menjelaskan tentang pembidangan ilmu dan fakultas yang mengelolanya, hal penting lainnya yang tak luput dari perhatian “pria berkumis” ini adalah dasar penyusunan kurikulum. Ia menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang berbudi luhur/bermoral dan beriman, maka penyusunan kurikulum/silabus perlu didasarkan pada dan atau mencakup hal-hal berikut:
Ø  Memperdalam rasa keagamaan dengan pendekatan spiritual dan intelektual.
Ø  Ibadah sebagai didikan mahasiswa untuk memperendah jiwa, disamping berpengetahuan tinggi, tidak merasa takabur, juga sadar bahwa di atasnya masih terdapat zat yang lebih mengetahui dan berkuasa dari manusia manapun.
Ø  Memperluas pengetahuan tentang agama Islam secara global, dalam aspek sejarah, kebudayaan, hukum, teologi, filsafat, mistik, dan lainnya.
Ø  Memperdalam rasa toleransi bermazhab dan toleransi beragama.
Ø  Memperdalam rasa dedikasi bermasyarakat.
Sedangkan terkait metode pendidikan, berangkat dari pengalamannya yang pernah menimba ilmu di Timur dan Barat, ia kemudian merumuskan metode pendidikan Islam secara umum yang meliputi; metode memberi contoh dan teladan, metode memberi nasehat kepada siswa atau mahasiswa, metode tuntutan dalam menyeleseikan soal moral atau spiritual (baik yang bersifat individual maupun yang kolektif), metode kerja sama dengan lingkungan rumah dan lingkungan pergaulan anak didik, metode kerja sama dengan pendidik pengetahuan umum lainnya serta metode tanya jawab dan diskusi dalam hal pendekatan intelektual tentang ajaran-ajaran Islam.[18]
B.       Pengembangan Program Pascasarjana
Usaha-usaha pembenahan yang dilakukan oleh Harun Nasution terhadap IAIN Syahid tidak saja menyangkut/terbatas kepada mahasiswanya, tetapi juga menyentuh dosen-dosen yang ada dilingkungan IAIN tersebut. untuk meningkatkan kualitas dosen yang dipimpinnya, dibentuklah diskusi regular mingguan, dua mingguan, dan bulanan. Selanjutnya, dibentuk pula Forum pengkajian Islam (FPI) yang didalamnya berkumpul beberapa orang ahli dibidangnya baik dari IAIN Syahid maupun IAIN luar sebagai media untuk memecahkan masalah-masalah krusial. Merasa kurang dengan berbagai forum tatap muka langsung yang telah dibentuknya, ia kemudian merintis terbitnya majalah kampus sebagai upaya penyaluran gagasan, ide, dan pikiran dari para dosen dan mahasiswanya.
Masih dalam bingkai semangat dan keinginannya untuk meningkatkan kualitas IAIN, Harun kemudian menggagas berdirinya fakultas Pascasarjana IAIN (sekarang bernama Sekolah Pascasarjana). Program pascasarjana IAIN yang hendak digagas merupakan pendidikan tinggi agama tingkat lanjutan diatas program tingkat sarjana (S1) yang menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik. Gagasan ini lahir berdasarkan pertimbangan akan pentingnya lembaga yang menyelenggarakan pengkajian Islam secara komprehensif, mendalam dan rasional sehingga dapat melahirkan ulama yang mampu berijtihad untuk menjawab masalah-masalah yang timbul pada zamannya. Ide ini kemudian mendapat respon positif dari para pendiri dan civitas akademika IAIN Jakarta. Dukungan yang besar juga datang dari Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh Mukti Ali.[19] Dengan berbagai dukungan tersebut, akhirnya Ide dan pemikiran Harun Nasution tersebut terealisasi dengan didirikannya Program Pascasarjana IAIN Jakarta (1982). Program ini merupakan yang pertama dalam sejarah IAIN Indoneisa, yang kemudian menginspirasi berdirinya program pascasarjana lainnya di Indoneisa seperti; PPS IAIN Yogyakarta (1983), IAIN Banda Aceh (1989), IAIN Ujung Pandang (1990), dan pada tahun 1994 berdiri pula PPS IAIN Surabaya, Padang, dan Medan,[20] serta kemudian disusul oleh IAIN lainnya secara bertahap.
Program yang digagas Harun ini mempunyai tujuan umum untuk menghasilkan tenaga ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga penggerak pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di lingkungan IAIN. Sedangkan tujuan khususnya adalah: pertama, mengembangkan kemampuan dan keahlian peserta untuk menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkannya pada masyarakat, kedua, memiliki keterampilan dan keahlian dalam bidang-bidang ilmu agama Islam dan penelitian sesuai dengan bidang program yang bersangkutan. Ketiga, memiliki sikap ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli di bidang ilmu agama Islam yang bertanggung jawab.[21]
Dalam perkembangannya, pada awal didirikan Program Pascasarjana IAIN Jakarta diselenggarakan satu program studi tingkat Magister yaitu program studi “Pengkajian Islam” (Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies). Pada tahun 1996/1997 dibuka konsentrasi Syariah, dan pada tahun 1997/1998 dibuka empat konsentrasi lain, yaitu Pemikiran Islam, Tafsir dan Hadis, Sejarah dan Peradaban Islam, dan Islam dan Modernitas. Dan selanjutnya, pada tahun 1988/1999 dibuka tiga konsentrasi lagi, yaitu Pendidikan Islam, Bahasa dan Sastra Arab, dan Dakwah dan Komunikasi. Program Pasca tingkat Doktor dibuka pada tahun 1984 dengan program studi Pengkajian Islam. Mulai tahun akademik 1998/1999 dibuka konsentrasi Syari’ah dan pada tahun-tahun berikutnya dibuka pula konsentrasi Tafsir Hadis, Pemikiran Islam, dan sebagainya sebagai kelanjutan dari program studi yang dibuka pada tingkat Magister yang telah menghasilkan lulusannya.
Demikianlah, sejak berdirinya pada tahun 1982, Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dipimpin oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Ini berlangsung sampai wafatnya pada tahun 1998. Setelah masa kepemimpinannya, Direktur Program Pascasarjana dijabat oleh Prof. Dr. H. Said Agil Husin al Munawar, MA.
Dalam perjalanan panjang yang telah dilaluinya, sekolah pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah telah melahirkan ribuan dan ratusan Magister dan Doctor. Tercatat sampai dengan 15 Mei 2013, Sekolah Pascasarjana ini telah melahirkan 2023 orang magister dan 886 orang doctor. Jumlah tersebut telah ikut mewarnai perkembangan pendidikan Islam di berbagai daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut juga telah banyak yang ambil bagian dalam mengisi jabatan structural di kampus-kampus, setidaknya dapat disebutkan nama-nama dari mereka yang sedang dan telah menjadi rector, seperti Prof. Dr. H. Jamaluddin Darwis, MA (Alumni doctoral 2004), saat ini menjabat Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang. Prof. Dr. H. Aflatun Mukhtar, MA (1996), rector IAIN Raden Fatah Palembang. Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag, (2003) Rektor IAIN Sultan Amai, Gorontalo. Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH (1989), Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh (2001-2005). Prof. Dr. H. A Yakub Matondang, MA (1991), Rektor UMA, Medan, dan Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (1993), Rektor UNIVA, Medan. Masih banyak nama lainnya yang juga turut memberikan perannya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.[22]
Demikianlah, penyelenggaraan program pascasarjana IAIN Jakarta yang (setidaknya) secara kuantitatif dapat dikatakan berhasil, dan mewakili suatu bentuk kecenderungan baru kajian Islam melalui sebuah lembaga pendidikan formal, tidak hanya di lingkungan IAIN, tapi bahkan dalam skala nasional secara keseluruhan. Secara kualitatif, para lulusan program pascasarjana ini diharapkan mampu berfikir kritis, ilmiah, historis, dan rasional, sehingga dapat memainkan peran sebagai ”Pembaharu” baik dalam lapangan pemikiran Islam maupun pada tingkat pendidikan dan kelembagaan IAIN itu sendiri.
C.       Penggagas Transformasi IAIN ke UIN
Harun juga dikenal sebagai penggagas ide transformasi IAIN menjadi UIN yang kini sudah terwujud dan tengah berkembang menjadi salah satu universitas riset di dunia. Pada tahun 1973-1984, Harun membentuk sebuah tim dan mengirimkannya ke Timur Tengah dan Malaysia untuk melakukan studi komparatif mengenai format ideal sebuah universitas Islam. Tokoh yang ketika itu dikirim ke Timur Tengah adalah Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, dan Mastuhu. Sementara Zakiah Daradjat dikirim ke Malaysia. Alasan Harun Nasution ingin mengembangkan IAIN menjadi UIN dikemukakan dalam sebuah wawancara dengan Republika, pada Kamis, 28 Desember 1995. Saat itu ia sudah menjadi Direktur Program Pascasarjana. “Kita merasa yang diperlukan umat di zaman sekarang ini bukan hanya sarjana yang mengetahui ilmu agama saja, tapi juga ilmu umum. Harus diakui tidak banyak orang yang bisa menguasai keduanya secara mumpuni. Hanya orang-orang jenius saja yang bisa melakukannya,” katanya.
Berangkat dari kebutuhan itu, Harun berpendapat, IAIN perlu ditransformasikan menjadi universitas, sehingga dapat membuka jurusan-jurusan umum. Harapannya tentu saja mampu mencetak sarjana yang memiliki kompetensi agama namun tidak asing dengan pengetahuan umum. Hal itu bagi Harun bukan mustahil. Sejarah mencatat seorang Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina yang selain ahli filsafat, syariah, juga seorang dokter yang masyhur. “Kalau pada masa lampau mereka bisa menghasilkan tokoh seperti itu, kenapa kita tidak mampu menghasilkannya. Inilah dasar pendirian kita sehingga ada keinginan untuk mengubah IAIN menjadi UIN,” tegas Harun. Namun, gagasan itu kandas lantaran terkendala aturan dan SDM yang belum memadai. hingga ide tersebut akhirnya terealisasi pada 20 Mei 2002, periode kepemimpinan Rektor Prof Dr Azyumardi Azra (1998-2006), yang telah dibahas pada pertemuan sebelumnya.
 P E N U T U P
Berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat penulis katakan –dan tidak berlebihan untuk dikatakan- jika sosok Harun Nasution merupakan motor penggerak, jiwa, dan semangat bagi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau dengan keikhlasan hati dan semangat serta kemampuan yang dimiliki telah merintis dan mengantarkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai satu perguruan tinggi agama Islam negeri (PTAIN) di tanah air yang bertekad dan berhasrat untuk menjadi pusat studi pembaharuan pemikiran dalam Islam. Hal inilah yang kemudian menjadi identitas bagi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Satu catatan penting menurut penulis yang patut kita jadikan pelajaran adalah bahwa selain karena kemampuan dan upaya maksimal yang dilakukan Harun Nasution, factor yang tak kalah penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ialah komunikasi dan hubungan harmonis yang dijalin Harun Nasution dengan pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Agama (saat itu Mukti Ali dan Munawir Sadjali). Factor ini cukup penting sebab segala ide dan gagasan Harun tersebut kemudian bisa mendapat legitimasi hukum dari pemerintah yang dengan demikian gagasan tersebut tidak saja menginjakkan kakinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tapi juga dalam sekup yang lebih luas (skala Nasional).

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim (ed), 2011, Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Nasution, Jakarta: Ciputat Press.
Aqib Suminto, 1989, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: LSAF.
Azyumardi Azra, 1999, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Ciputat: Logos.
Harun Nasution,  1975, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang.
Harun Nasution, 1995, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan.
Jusuf Amir Faisal, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani.

website:




[1] Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 65.
[2] Said Aqil al Munawwar, Membangun Tradisi Kajian Islam: Mengikuti Jejak Harun Nasution. dalam Abdul Halim (ed) Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2001), 35.
[3] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 5.
[4] Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 5.
[5] Ayahnya merupakan seorang kepala agama sekaligus hakim dan imam masjid kabiupaten Simalungun, sedangkan ibuya merupakan anak dari seorang ulama dan pernah tinggal di Makkah saat masih remaja.
[6] HM Rasjidi. Antara Saya Dan Harun Nasution, dalam Aqib Suminto. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, hlm. 264.
[7] Pemaparan lebih lanjut tentang episode dimaksud akan dibahas pada sub-bab berikutnya.
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 93.
[9] Ibid, hal. 94.
[10] Harun Nasution, Pembaharuan……op cit, hal. 207.
[11] Ibid.
[12] Harun Nasution, Islam Rasional, cet. Ke V, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 322.
[13] Ahmad Sazdali, Harun Nasution dan PerkembanganSyarif Hidayatullah Jakrata, dalam Aqib Suminto. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, hlm. 274.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Pada masa ini sistem pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan di IAIN dititik beratkan pada hafalan. Hal ini tentunya menutup akses untuk berdialog dan mematikan sikap kritis mahasiswa.
[16] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Pres,1985), hlm. 71.
[17] Modul Pembidangan dan Karakteristik Ajaran Islam, Dikjend Pendidikan Islam. Lihat dalam website: http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI2.pdf, diakses tanggal 29 Oktober 2013. Lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional…, hlm. 351-352.
[18] Ibid, hlm. 388-389.
[19] Sejarah Singkat Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lihat dalam website; http://graduate.uinjkt.ac.id/index.php/en/profil/sejarah-singkat, diakses pada tanggal 29 Oktober 2013.
[20] Lihat dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, (Ciputat: Logos, 1999), hlm. 175.
[21] Ibid., hlm, 176.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi