PENDAHULUAN
Pembaharuan
pendidikan merupakan suatu usaha multidimensional yang kompleks, dan tidak
hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan,
terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem
pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru dan selalu
berorientasi pada perubahan masyarakat.[1]
Upaya pembaharuan pendidikan merupakan jalan panjang yang tak berujung. Sebab,
pendidikan merupakan hal asasi dan penting bagi manusia terutama untuk
memetakan masa depannya, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri akan
senantiasa dihadapkan kepada berbagai tantangan kehidupan. Dengan demikian,
selama manusia hidup dan berhadapan dengan berbagai tantangan kehidupan, maka
selama itu pula pendidikan perlu untuk terus mengalami pembaharuan. Hal serupa
tentunya juga berlaku bagi pendidikan Islam, terlebih karena pendidikan Islam
menitik beratkan internalisasi nilai iman, islam, dan ihsan dalam pribadi
manusia (muslim) yang berpengetahuan.
Berangkat
dari uraian singkat di atas, maka upaya pembaharuan pendidikan Islam merupakan
suatu hal yang penting. Dalam konteks Indonesia, Harun Nasution merupakan nama
yang cukup relevan untuk dikaitkan dengan tema yang kita bicarakan ini. Harun
Nasution dinilai telah berhasil mengorganisir satu potensi besar yang menjadi
faktor penentu perubahan studi Islam. Gerakan itu dimulai dari ruang kelas yang
terbatas, kemudian berkembang menjadi gerakan yang cukup dahsyat. Debat-debat
kecil di ruang kelas kemudian menjadi benih pendirian lembaga kajian Islam
tingkat tinggi, yakni Program Pascasarjana IAIN di Indonesia. Ketika proyeksi
rintisan terlembaga, maka gerakan ini menjadi semakin efektif dan sistematis.
Atas dasar itu, Harun sangat tepat disebut sebagai perancang, pemikir
perubahan, dan pembaharu dalam tradisi akademik di lingkungan perguruan tinggi
Islam Indonesia.[2]
Tulisan ini akan berbicara tentang pembaharuan pendidikan Islam Harun Nasution.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menyingkap pembaharuan pendidikan Islam yang
pernah dilakukan oleh putra bangsa, untuk kemudian memberikan wawasan dan
perspektif baru bagi kita dalam memetakan dan menentukan pembaharuan berikutnya
yang relevan dengan konteks kehidupan hari ini.
PEMBAHASAN
I.
Biografi
Singkat Harun Nasution
Harun Nasution
lahir pada hari Selasa, 23 September 1919[3] di
Pematang Siantar, Sumatera Utara dari hasil pernikahan antara Abdul Jabbar
Ahmad dengan seorang putri dari Mandailing bernama Maimunah. Pria batak ini
merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Ia lahir dan dibesarkan dalam
keluarga terhormat dan mampu[4]
serta memiliki tradisi keagamaan yang kuat.[5]
Perjalanan
intelektual Harun dimulai secara formal ketika ia memasuki sekolah Belanda Hollandsch Inlandche School (HIS) pada
saat berumur tujuh tahun. Setelah tamat dari HIS pada tahun 1934, ia kemudian
masuk sekolah agama beraliran modern, yaitu MIK (Modern Islamietische Kweekschool) di Bukit Tinggi. Selanjutnya,
pada tahun 1938 berbekal ijazah kelas III MIK tersebut Harun Nasution berangkat/tiba
di Mesir. Di tempat ini ia memilih Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin.
Namun belum sempat menamatkan pendidikannya pada universitas ini, ia kemudian
pindah ke Universitas Amerika di Kairo hingga akhirnya dapat memperoleh gelar
BA di bidang Social Studies. Pada tahun 1952, berkat kecemerlangan otaknya ia
mendapat tawaran beasiswa untuk belajar di McGill
University Kanada. Tawaran itu diterima Harun Nasution dengan senang hati.
Setelah kuliah dua tahun, Harun Nasution kemudian memperoleh gelar MA dengan
tesis (The Islamic State In Indonesia:
The Rise of The Ideologi The Movement For Its Creation and The Theory of The
Masyumi), McGill.[6]
Setelah
memperoleh gelar MA, Harun Nasution melanjutkan kuliah di tempat yang sama
selama dua setengah tahun untuk memperoleh gelar Ph.D. Akhirnya pada tahun 1968
ia berhasil menyelesaikan kuliah di bidang ilmu kalam (Islamic Studies) dengan menulis disertasi berjudul: The Place of Reason In Abduh's Theology, Its
Impact On This Theological System and Views.
Sesaat setelah
gelar doktor bidang ilmu kalam diraihnya maka di saat itu pula ia “dipinang”
untuk bekerja di IAIN dan UI Jakarta. Kedua tawaran tersebut dijawab oleh pria
kelahiran Pematang Siantar ini dengan syarat disediakan tempat tinggal. Atas
persyaratan yang diajukannya tersebut, ternyata hanya IAIN yang menyanggupinya.
Dari sinilah kemudian episode manisnya membangun tradisi keilmuan Islam
(khususnya di IAIN) dimulai.[7]
Buah manis dari
pengembaraan intelektual yang dilakukan oleh Harun Nasution selain di bumi-kannya
di IAIN Syarif Hidayatullah, juga di muat dalam karya tulis/buku. Buku-bukunya
sebagai buku teks yang menjelaskan pengetahuan yang sudah baku dalam pemikiran
Islam, tampil dengan cara beda di lingkungan umat Islam di Indonesia.
Pemikirannya tidak jarang dianggap mengada-ada. bahkan ada tendensi untuk
menghancurkan Islam itu sendiri. Disinilah letak kekuatan tulisan Harun
Nasution dibanding dengan tulisan yang lain. Berdasarkan karya Harun Nasution
yang telah diterbitkannya, terfokus pada tiga bidang kajian, yaitu Teologi Islam,
Pemikiran Islam dan Filsafat Islam. Beberapa karyanya dibidang teologi Islam di
antaranya:
1.
Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu'tazilah, diterbitkan oleh UI Press pada tahun 1987. Buku ini merupakan pokok
bahasan disertasi Harun Nasution di Universitas McGill Montreal Kanada.
Membahas tentang filsafat wujud, kekuatan akal, fungsi Wahyu. Paham kebebasan
manusia dan fatalisme, sifat-sifat Tuhan, perbuatan Tuhan dan konsep Iman.
Kesimpulan dalam buku ini adalah pembahasan teologi Muhammad Abduh yang menjadi
dasar di bidang pembaharuan.
2.
Akal dan Wahyu dalam Islam, diterbitkan
oleh UI Press pada tahun 1982, kemudian mengalami cetak ulang pada tahun 1986.
Buku ini menjelaskan tentang pengertian akal dan wahyu dalam Islam, kedudukan
akal dalam al- Qur'an dan al-Hadits, perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam
serta peranan akal dalam pemikiran keagamaan Islam.
3.
Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, diterbitkan oleh UI Press dan telah mengalami cetak
ulang. Terbit pertama pada tahun 1972 dan terbit kelima pada tahun 1986. Buku
ini disusun dalam dua bagian. Bagian pertama, membahas tentang aliran-aliran
dan golongan-golongan teologi, baik yang masih ada maupun yang pernah ada dalam
Islam.
Adapun buku
karya Harun Nasution di bidang pemikiran Islam antar lain:
1.
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
jilid, 1, dan Il. Buku ini terbitkan pertama kali oleh Ul Press pada tahun 1974
dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang. Cetak ulang keenam pada tahun
1986.
2.
Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran
Harun Nasution. Buku ini merupakan kumpulan makalah yang ditulis Harun Nasution
mulai tahun 1970-1994 makalah-makalah tersebut dikumpulkan dan diedit oleh
Saiful Muzani. Dalam buku ini menurut Harun Nasution menjelaskan bahwa pemikiran
rasional dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
3.
Pembaharuan dalam Islam, Sejarah
Pemikiran dan Gerakan: buku ini diterbitkan oleh Bulan Bintang pada tahun 1996.
Buku ini adalah materi mata kuliah Aliran-Aliran Modern dalam Islam, membahas
tentang pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam Islam yang timbul pada zaman
modern dalam sejarah Islam. pembaharuan di dunia Islam dititik beratkan kepada
tiga Negara Islam, yaitu Mesir, Turki dan India/Pakistan.
Karya-karya
Harun Nasution di bidang Filsafat Islam antara lain:
1.
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam
diterbitkan oleh Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1973 dan telah mengalami
cetak ulang lebih dari tujuh kali. Semula buku ini berasal dari kumpulan
ceramah yang disampaikan dalam diskusi tentang agama Islam di kampus IKIP
Jakarta, serta kumpulan bahan kuliah yang diberikan Harun Nasution pada
mahasiswa IAIN Jakarta dan Universitas- Universitas Jakarta mulai tahun 1970.
2.
Filsafat Agama, diterbitkan oleh Bulan
Bintang Jakarta pada tahun 1973 dan telah mengalam cetak ulang lebih dari 8
kali. Buku ini berisi kumpulan-kumpulan bahan kuliah yang diberikan di IAIN
Jakarta dan ceramah-ceramah yang disampaikan pada kelompok-kelompok diskusi
agama Islam di komplek IKIP Jakarta.
Harun Nasution
sebagai founder pembaharu kajian keislaman di Indonesia, melalui buku Islam
ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Sangat bersemangat menampilkan sosok Islam
yang komprehensif utuh dan menyeluruh. Kelengkapan ajarannya adalah karena
memuat semua aspek kehidupan. Ia juga mendorong menguasai sains dan tidak takut
pada filsafat. Harun Nasution merupakan sumber inspirasi dan semangat bagi
perkembangan kajian Islam di Indonesia. Ia adalah tokoh yang menghabiskan segenap
umurnya untuk peningkatan kualitas lembaga pendidikan tinggi Islam di
Indonesia. Atas dasar ini, sangat beralasan dan sejalan apa yang diusulkan
Menteri Pendidikan Nasional, A. Malik Fajar, agar Harun Nasution diusulkan
menjadi tokoh pendidikan di bidang Islamic Studies. Pria batak yang kerap
menyuarakan Islam rasional ini sangat layak mendapatkan itu, karena karya dan
hasil kerjanya sangat nyata, yaitu semacam tradisi intelektual di mana orang
berani berdebat secara terbuka, berani mempertanyakan suatu yang sementara ini
dianggap mapan.
II.
Arus
Utama Pemikiran Harun Nasution
Sebelum
mengupas gagasan dan ide Harun Nasution dalam upayanya mengembangkan IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis menilai perlu untuk melirik sejenak arus
utama dari pemikiran-pemikiran Harun Nasution.
Berangkat dari berbagai karya tulisnya, dapat dilihat bahwa tema besar
yang menjadi fokus kajian Harun Nasution adalah "Pembaharuan Umat
Islam", dengan Filsafat Islam sebagai basisnya.
Seperti
para pembaharu pada umumnya, Harun Nasution merasa gelisah dan galau
menyaksikan kondisi umat Islam di sekelilingnya, di mana kondisi tersebut
adalah kondisi yang menampakkan kemunduran dari kondisi awal umat Islam,
terutama di bidang pengembangan intelektual.[8]
Kegelisahan/kegalauan inilah yang oleh Harun harus segera dijawab dengan upaya
pembaharuan.
Pembaharuan
menurut Harun sama maknanya dengan modernisasi, yaitu fikiran, aliran, gerakan
dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama
dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan
keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh pengembangan ilmu pengetahuan modem.[9]
Pembaharuan dalam Islam menurutnya mempunyai tujuan yang sama. Akan tetapi ia
mengingatkan bahwa dalam Islam ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak, yang
tidak dapat dirubah, dan ada ajaran-ajaran yang bersifat tidak mutlak, yang
dapat dirubah. Pembaharuan dapat dilakukan pada wilayah penafsiran atau
interpretasi dalam aspek-aspek teologi, hukum, politik dan seterusnya, dan
mengenai lembaga-lembaga.[10]
Harun
mengatakan bahwa Islam yang dianut dan diamalkan umat Islam saat ini bukan lagi
Islam yang sebenarnya. Ke dalam Islam telah masuk ajaran dan praktek yang
berasal dari luar. Lebih jauh lagi, -menurut Harun- telah banyak masuk ke dalam
Islam berbagai praktek yang tidak menguntungkan, dimana hal tersebut terutama
dimulai sejak abad pertengahan Islam.[11]
Selain itu, menurut Harun, umat Islam mengalami kemunduran dalam
pengembangan intelektual, karena di kalangan umat Islam sendiri telah terjadi
kelesuan berfikir, di mana hal tersebut diindikasikan dengan adanya pendapat di
kalangan umat Islam bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Implikasi negatif dari
hal tersebut adalah munculnya sikap taklid kepada pendapat lama, sehingga umat
Islam menjadi statis. Kondisi tersebut menyebabkan setiap perubahan yang secara
alamiah dibawa oleh zaman selalu ditentang secara apriori oleh umat Islam.
Hal
lain menurut Harun yang turut memberi andil dalam mendukung kemunduran umat
Islam adalah ajaran “zuhud” (yang difahami sebagai pilihan untuk rela
meninggalkan kehidupan duniawi karena mementingkan kehidupan rohani) yang dibawa
tarekat sufi. Ajaran tersebut menurut Harun, pada gilirannya mengalihkan
perhatian umat Islam dari hidup duniawi yang sekarang ke kehidupan di alam
ghaib nanti, yang pada giliranya mengantarkan umat Islam kepada pemahaman bahwa
ajaran mengenai ibadahlah yang dipentingkan, sementara ajaran-ajaran Islam mengenai
hidup kemasyarakatan kurang mendapat perhatian.
Akumulasi
dari berbagai hal yang telah disebutkan di atas, mengantarkan umat Islam hari
ini pada posisi belakang dari barisan peradaban. Dengan kata lain, hal tersebut
menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam hari ini. Karenanya perlu ada
upaya pembaharuan. Harun Nasution menjelaskan bahwa langkah-langkah pembaharuan
yang harus ditempuh oleh umat Islam adalah kembali kepada ajaran-ajaran Islam
yang sebenamya, yaitu ajaran-ajaran yang diamalkan oleh umat Islam zaman
klasik. Taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus ditinggalkan,
dengan kata lain pintu ijtihad harus dibuka. Yang dipegang menjadi pedoman
untuk mengetahui ajaran-ajaran Islam bukan lagi buku-buku karangan ulama
terdahulu, akan tetapi hanya Al-Qur'an serta Hadits. Ajaran-ajaran dasar yang tersebut
di dalam keduanya disesuaikan dengan perincian dan cara pelaksanaannya dengan
perkembangan zaman. Selain itu, dinamika di kalangan umat Islam harus
dihidupkan kembali dengan menjauhkan tawakal dan faham Jabariah. Umat Islam
harus dibawa kembali ke teologi faham dinamika dan kepercayaan kepada akal
dalam batas-batas yang ditentukan wahyu. Sebab, dalam Islam akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dan peranan yang sangat penting. oleh sebab itu, umat
Islam harus dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha. Paham yang
mengapresiasi kekuatan dan peranan akal manusia terdapat dalam teologi Islam
rasional,[12]
yang dianut umat (terutama filosof dan ilmuawan Islam) pada zaman klasik.
Teologi seperti inilah yang kemudian mengantarkan Islam pada peradaban yang tinggi
di masa itu. Dalam kerangka seperti inilah, Harun Nasution mengembangkan
tradisi studi-studi Islam, khususnya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
lebih menekankan nilai-nilai akademis dan pendekatan rasional.
III.
Peran
Harun Nasution Dalam Pengembangan IAIN Syahid, Jakarta
Berbicara
tentang peran Harun Nasution dalam pengembangan IAIN Syahid, Jakarta, tentunya
tak tak bisa lepas dari pengaruh jabatan structural yang di embannya di tempat
tersebut. Mengawali karir sebagai dosen di tempat ini pada tahun 1969 sesaat
setelah ia menyelesaikan program doktornya, tiga tahun kemudian (1971) Harun
Nasution sudah menjadi Pembantu Rektor I mendampingi Prof. Toha Yahya yang
menjabat sebagai Rektor. Dua tahun berikutnya (4 Juni 1973), atas keluasan ilmu
dan integritas pribadinya, Harun Nasution kemudian diangkat oleh Mentri Agama
yang saat itu dijabat oleh Mukti Ali sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah
menggantikan Prof. Yahya yang jatuh sakit dan lumpuh.
A.
Perubahan
Kurikulum
Sesaat setelah dilantik menjadi rektor, Harun
Nasution merumuskan empat langkah kebijaksanaan. Langkah tersebut; 1)
mendasarkan tujuan dan fungsi IAIN Jakarta atas dasar kebutuhan masyarakat pada
umumnya, dan DKI pada khususnya, 2) mengutamakan kualitas dari pada kuantitas,
3) peningkatan mutu ilmiah, dan 4) penyederhanaan dan penyempurnaan organisasi.[13]
Dari empat langkah yang telah dirumuskannya
tersebut, kemudian dijabarkan menjadi program operasional, seperti membenahi
kurikulum. Menurutnya, kurikulum adalah
sederetan rencana mata kuliah dan pengaturannya yang dilaksanakan dalam proses
belajar mengajar.[14]
Sementara proses belajar itu seyogyanya harus mampu mengembangkan kemampuan
berfikir peserta didik. Ia menjelaskan bahwa kurikulum IAIN selama ini tidak
mencerminkan pengembangan pemikiran mahasiswa,[15] hal
ini disebabkan karena tidak ada mata kuliah yang dapat mendorong ke arah
tersebut. Oleh sebab itu, ia kemudian mengusulkan agar mata kuliah pengantar
ilmu agama, seperti filsafat, tasawuf, teologi dan sebagainya perlu untuk
dimasukkan.
Sebagai lembaga pengkajian Islam paling advance dan merupakan agen bagi
perubahan masyarakat Islam, maka masyarakat/umat mempunyai harapan yang sangat
besar terhadap pemikiran Islam di IAIN. Untuk memenuhi harapan dan kebutuhan
umat Islam tersebut, maka kurikulum pendidikan tinggi Islam harus dapat membawa
pengertian Islam secara luas. Islam bukan sekedar hukum fiqh, tetapi Islam mengandung beberapa aspek.[16]
Dijelaskan bahwa aspek-aspek terpenting dalam Islam setidaknya meliputi aspek
akidah, aspek pemikiran dibidang ibadah, aspek tasawuf, dan aspek filsafat.
Berdasarkan deskripsi tersebut, ia menjelaskan bahwa
tujuan kurikulum pendidikan Islam adalah memperkenalkan Islam pada umatnya
secara utuh dengan metode pikiran rasional
ilmiah dan filosofis, sehingga terwujud sarjana muslim atau ulama yang
menguasai ilmu agama dan ilmu umum, berbudi pekerti luhur dan menjadi
pemimpin-pemimpin umat sesuai dengan harapan umat Islam. Bagi Harun, IAIN harus
mengarahkan segenap kemampuannya untuk bisa menghasilkan lulusan yang mempunyai
ciri-ciri ulama Islam zaman klasik (khususnya ulama abad kedelapan sampai
kesebelas masehi). Ciri tersebut antara lain adalah; bersikap rasional,
berpandangan luas, berbudi luhur, pengetahuannya tidak hanya terbatas pada ilmu
agama, tetapi juga mencakup pengetahuan umum, serta dapat berdiri sendiri dan
menjaga independensinya dari pengaruh politik.
Selanjutnya Harun Nasution menilai sistem
pembidangan ilmu dalam kurikulum pendidikain tinggi Islam, khususnya IAIN masih
memakai spesialisasi ilmu agama Islam tradisional seperti sistem kurikulum yang
berlaku di al-Azhar. Kurikulum ini tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia
menegaskan bahwa dalam ilmu Agama Islam terdapat aspek perkembangan atau
pembaharuan. Dengan kata lain, ilmu agama Islam bukanlah ilmu yang statis,
tetapi mengalami perkembangan bahkan pembaharuan dalam banyak aspek, yang
sangat menuntut adanya pembaharuan pemahaman dan pemikiran dalam Islam. Oleh
sebab itu Harun Nasution kemudian menggagas pembidangan ilmu pengetahuan Islam
kedalam beberapa kelompok. Gagasan pembidangan ilmu yang dilakukannya tersebut
kemudian dilegitimasi Oleh Departemen Agama (setelah melalui pembahasan antara
Depag dan telah mendapat pengakuan dari LIPI), dengan mengeluarkan keputusan
Menteri Agama No 110 Tahun 1982 tentang Pembidangan Ilmu Agama Islam. Selengkapnya
pembidangan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:[17]
No
|
Bidang Ilmu
|
Disiplin Ilmu
|
1
|
Qur’an dan
Hadits
|
Ulumul Qur’an
Ulumul Hadits
|
2
|
Pemikiran Dalam Islam
|
Ilmu Kalam
Falsafah
Tasawuf
Ilmu Falak
|
3
|
Fiqh (Hukum
Islam)
|
Fiqh (Hukum) Islam
Ushul Fiqh
Pranata Sosial
Ilmu Falak
|
4
|
Sejarah dan Peradaban Islam
|
Sejarah Islam
Peradaban Islam
|
5
|
Bahasa
|
Bahasa Arab
Sastra Arab
|
6
|
Tarbiyyah al Islamiyah
(Pendidikan Islam)
|
Pendidikan dan Pengajaran Islam
Ilmu Nafsil Islamy
|
7
|
Dakwah
Islamiyah
|
Dakwah
Perbandingan Agama
|
8
|
Perkembangan Pemikiran Modern
di Dunia Islam
|
Hukum
Politik
Sosial
Ekonomi
|
Kemudian Harun menjelaskan bahwa pembidangan ilmu
sebagaimana di atas, selanjutnya dapat diasuh dan dikelola dalam
fakultas-fakultas sebagai berikut:
Ø Fakultas Ushuluddin : Bidang sumber dan pemikiran
Ø Fakultas Syari’ah : Bidang fiqh dengan berbagai cabangnya
Ø Fakultas Adab : Bidang Sejarah
dan Peradaban Islam, serta bidang bahasa/sastra Islam dengan berbagai cabangnya
Ø Fakultas Tarbiyah : Bidang pendidikan Islam dengan berbagai
cabangnya, dan
Ø Fakultas Dakwah : Bidang dakwah dengan berbagai cabangnya
Setelah menjelaskan tentang pembidangan ilmu dan fakultas
yang mengelolanya, hal penting lainnya yang tak luput dari perhatian “pria berkumis” ini adalah dasar
penyusunan kurikulum. Ia menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan
yang mampu menghasilkan manusia yang berbudi luhur/bermoral dan beriman, maka
penyusunan kurikulum/silabus perlu didasarkan pada dan atau mencakup hal-hal
berikut:
Ø Memperdalam
rasa keagamaan dengan pendekatan spiritual dan intelektual.
Ø Ibadah
sebagai didikan mahasiswa untuk memperendah jiwa, disamping berpengetahuan
tinggi, tidak merasa takabur, juga sadar bahwa di atasnya masih terdapat zat
yang lebih mengetahui dan berkuasa dari manusia manapun.
Ø Memperluas
pengetahuan tentang agama Islam secara global, dalam aspek sejarah, kebudayaan,
hukum, teologi, filsafat, mistik, dan lainnya.
Ø Memperdalam
rasa toleransi bermazhab dan toleransi beragama.
Ø Memperdalam
rasa dedikasi bermasyarakat.
Sedangkan terkait metode pendidikan, berangkat dari
pengalamannya yang pernah menimba ilmu di Timur dan Barat, ia kemudian
merumuskan metode pendidikan Islam secara umum yang meliputi; metode memberi
contoh dan teladan, metode memberi nasehat kepada siswa atau mahasiswa, metode
tuntutan dalam menyeleseikan soal moral atau spiritual (baik yang bersifat
individual maupun yang kolektif), metode kerja sama dengan lingkungan rumah dan
lingkungan pergaulan anak didik, metode kerja sama dengan pendidik pengetahuan
umum lainnya serta metode tanya jawab dan diskusi dalam hal pendekatan
intelektual tentang ajaran-ajaran Islam.[18]
B.
Pengembangan
Program Pascasarjana
Usaha-usaha pembenahan yang dilakukan oleh Harun
Nasution terhadap IAIN Syahid tidak saja menyangkut/terbatas kepada
mahasiswanya, tetapi juga menyentuh dosen-dosen yang ada dilingkungan IAIN
tersebut. untuk meningkatkan kualitas dosen yang dipimpinnya, dibentuklah
diskusi regular mingguan, dua mingguan, dan bulanan. Selanjutnya, dibentuk pula
Forum pengkajian Islam (FPI) yang didalamnya berkumpul beberapa orang ahli
dibidangnya baik dari IAIN Syahid maupun IAIN luar sebagai media untuk
memecahkan masalah-masalah krusial. Merasa kurang dengan berbagai forum tatap
muka langsung yang telah dibentuknya, ia kemudian merintis terbitnya majalah
kampus sebagai upaya penyaluran gagasan, ide, dan pikiran dari para dosen dan
mahasiswanya.
Masih dalam bingkai semangat dan keinginannya untuk
meningkatkan kualitas IAIN, Harun kemudian menggagas berdirinya fakultas
Pascasarjana IAIN (sekarang bernama Sekolah Pascasarjana). Program pascasarjana
IAIN yang hendak digagas merupakan pendidikan tinggi agama tingkat lanjutan
diatas program tingkat sarjana (S1) yang menyiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik. Gagasan ini lahir
berdasarkan pertimbangan akan pentingnya lembaga yang menyelenggarakan
pengkajian Islam secara komprehensif, mendalam dan rasional sehingga dapat
melahirkan ulama yang mampu berijtihad untuk menjawab masalah-masalah yang
timbul pada zamannya. Ide ini kemudian mendapat respon positif dari para
pendiri dan civitas akademika IAIN Jakarta. Dukungan yang besar juga datang
dari Menteri Agama yang pada saat itu dijabat oleh Mukti Ali.[19]
Dengan berbagai dukungan tersebut, akhirnya Ide dan pemikiran Harun Nasution
tersebut terealisasi dengan didirikannya Program Pascasarjana IAIN Jakarta
(1982). Program ini merupakan yang pertama dalam sejarah IAIN Indoneisa, yang
kemudian menginspirasi berdirinya program pascasarjana lainnya di Indoneisa
seperti; PPS IAIN Yogyakarta (1983), IAIN Banda Aceh (1989), IAIN Ujung Pandang
(1990), dan pada tahun 1994 berdiri pula PPS IAIN Surabaya, Padang, dan Medan,[20]
serta kemudian disusul oleh IAIN lainnya secara bertahap.
Program yang digagas Harun ini mempunyai tujuan umum
untuk menghasilkan tenaga ilmu agama Islam yang merupakan inti dari tenaga
penggerak pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan di
lingkungan IAIN. Sedangkan tujuan khususnya adalah: pertama, mengembangkan kemampuan dan keahlian peserta untuk
menguasai bidang ilmu agama Islam termasuk ilmu bantu yang diperlukan dalam
rangka pengembangan ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkannya pada
masyarakat, kedua, memiliki keterampilan
dan keahlian dalam bidang-bidang ilmu agama Islam dan penelitian sesuai dengan
bidang program yang bersangkutan. Ketiga,
memiliki sikap ilmiah dan amal ilmiah sebagai tenaga ahli di bidang ilmu agama
Islam yang bertanggung jawab.[21]
Dalam perkembangannya, pada awal didirikan Program
Pascasarjana IAIN Jakarta diselenggarakan satu program studi tingkat Magister
yaitu program studi “Pengkajian Islam” (Dirasat
Islamiyyah atau Islamic Studies).
Pada tahun 1996/1997 dibuka konsentrasi Syariah, dan pada tahun 1997/1998
dibuka empat konsentrasi lain, yaitu Pemikiran Islam, Tafsir dan Hadis, Sejarah
dan Peradaban Islam, dan Islam dan Modernitas. Dan selanjutnya, pada tahun
1988/1999 dibuka tiga konsentrasi lagi, yaitu Pendidikan Islam, Bahasa dan Sastra
Arab, dan Dakwah dan Komunikasi. Program Pasca tingkat Doktor dibuka pada tahun
1984 dengan program studi Pengkajian Islam. Mulai tahun akademik 1998/1999
dibuka konsentrasi Syari’ah dan pada tahun-tahun berikutnya dibuka pula
konsentrasi Tafsir Hadis, Pemikiran Islam, dan sebagainya sebagai kelanjutan
dari program studi yang dibuka pada tingkat Magister yang telah menghasilkan
lulusannya.
Demikianlah, sejak berdirinya pada tahun 1982,
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dipimpin oleh Prof. Dr.
Harun Nasution. Ini berlangsung sampai wafatnya pada tahun 1998. Setelah masa
kepemimpinannya, Direktur Program Pascasarjana dijabat oleh Prof. Dr. H. Said
Agil Husin al Munawar, MA.
Dalam perjalanan panjang yang telah dilaluinya,
sekolah pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah telah melahirkan ribuan dan
ratusan Magister dan Doctor. Tercatat sampai dengan 15 Mei 2013, Sekolah
Pascasarjana ini telah melahirkan 2023 orang magister dan 886 orang doctor.
Jumlah tersebut telah ikut mewarnai perkembangan pendidikan Islam di berbagai
daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut juga telah banyak yang ambil bagian
dalam mengisi jabatan structural di kampus-kampus, setidaknya dapat disebutkan
nama-nama dari mereka yang sedang dan telah menjadi rector, seperti Prof. Dr.
H. Jamaluddin Darwis, MA (Alumni doctoral 2004), saat ini menjabat Rektor
Universitas Muhammadiyah Semarang. Prof. Dr. H. Aflatun Mukhtar, MA (1996),
rector IAIN Raden Fatah Palembang. Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, M.Ag, (2003)
Rektor IAIN Sultan Amai, Gorontalo. Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH (1989),
Rektor IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh (2001-2005). Prof. Dr. H. A Yakub Matondang,
MA (1991), Rektor UMA, Medan, dan Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (1993), Rektor
UNIVA, Medan. Masih banyak nama lainnya yang juga turut memberikan perannya
dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.[22]
Demikianlah, penyelenggaraan program pascasarjana
IAIN Jakarta yang (setidaknya) secara kuantitatif dapat dikatakan berhasil, dan
mewakili suatu bentuk kecenderungan baru kajian Islam melalui sebuah lembaga
pendidikan formal, tidak hanya di lingkungan IAIN, tapi bahkan dalam skala
nasional secara keseluruhan. Secara kualitatif, para lulusan program
pascasarjana ini diharapkan mampu berfikir kritis, ilmiah, historis, dan
rasional, sehingga dapat memainkan peran sebagai ”Pembaharu” baik dalam
lapangan pemikiran Islam maupun pada tingkat pendidikan dan kelembagaan IAIN
itu sendiri.
C.
Penggagas
Transformasi IAIN ke UIN
Harun juga dikenal sebagai penggagas ide
transformasi IAIN menjadi UIN yang kini sudah terwujud dan tengah berkembang
menjadi salah satu universitas riset di dunia. Pada tahun 1973-1984, Harun membentuk
sebuah tim dan mengirimkannya ke Timur Tengah dan Malaysia untuk melakukan
studi komparatif mengenai format ideal sebuah universitas Islam. Tokoh yang
ketika itu dikirim ke Timur Tengah adalah Komaruddin Hidayat, Atho Mudzhar, dan
Mastuhu. Sementara Zakiah Daradjat dikirim ke Malaysia. Alasan Harun Nasution
ingin mengembangkan IAIN menjadi UIN dikemukakan dalam sebuah wawancara dengan
Republika, pada Kamis, 28 Desember 1995. Saat itu ia sudah menjadi Direktur
Program Pascasarjana. “Kita merasa yang diperlukan umat di zaman sekarang ini
bukan hanya sarjana yang mengetahui ilmu agama saja, tapi juga ilmu umum. Harus
diakui tidak banyak orang yang bisa menguasai keduanya secara mumpuni. Hanya
orang-orang jenius saja yang bisa melakukannya,” katanya.
Berangkat dari kebutuhan itu, Harun berpendapat,
IAIN perlu ditransformasikan menjadi universitas, sehingga dapat membuka
jurusan-jurusan umum. Harapannya tentu saja mampu mencetak sarjana yang
memiliki kompetensi agama namun tidak asing dengan pengetahuan umum. Hal itu
bagi Harun bukan mustahil.
Sejarah mencatat seorang Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina yang selain ahli filsafat,
syariah, juga seorang dokter yang masyhur. “Kalau pada masa lampau mereka bisa
menghasilkan tokoh seperti itu, kenapa kita tidak mampu menghasilkannya. Inilah
dasar pendirian kita sehingga ada keinginan untuk mengubah IAIN menjadi UIN,”
tegas Harun. Namun, gagasan itu kandas lantaran terkendala aturan dan SDM yang
belum memadai. hingga ide tersebut akhirnya terealisasi pada 20 Mei 2002,
periode kepemimpinan Rektor Prof Dr Azyumardi Azra (1998-2006), yang telah
dibahas pada pertemuan sebelumnya.
P
E N U T U P
Berangkat
dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat penulis katakan –dan
tidak berlebihan untuk dikatakan- jika sosok Harun Nasution merupakan motor
penggerak, jiwa, dan semangat bagi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Beliau
dengan keikhlasan hati dan semangat serta kemampuan yang dimiliki telah
merintis dan mengantarkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai satu
perguruan tinggi agama Islam negeri (PTAIN) di tanah air yang bertekad dan
berhasrat untuk menjadi pusat studi pembaharuan pemikiran dalam Islam. Hal
inilah yang kemudian menjadi identitas bagi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Satu
catatan penting menurut penulis yang patut kita jadikan pelajaran adalah bahwa
selain karena kemampuan dan upaya maksimal yang dilakukan Harun Nasution,
factor yang tak kalah penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta ialah komunikasi dan hubungan harmonis yang dijalin
Harun Nasution dengan pemerintah yang dalam hal ini Kementrian Agama (saat itu
Mukti Ali dan Munawir Sadjali). Factor ini cukup penting sebab segala ide dan
gagasan Harun tersebut kemudian bisa mendapat legitimasi hukum dari pemerintah
yang dengan demikian gagasan tersebut tidak saja menginjakkan kakinya di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tapi juga dalam sekup yang lebih luas (skala
Nasional).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Halim (ed), 2011, Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap
Wacana dan Praksis Nasution, Jakarta: Ciputat Press.
Aqib Suminto, 1989, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70
Tahun Harun Nasution, Jakarta: LSAF.
Azyumardi Azra,
1999, Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milinium Baru, Ciputat: Logos.
Harun
Nasution, 1975, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: Bulan Bintang.
Harun Nasution,
1995, Islam Rasional, Gagasan dan
Pemikiran, Bandung: Mizan.
Jusuf Amir
Faisal, 1995, Reorientasi Pendidikan
Islam, Jakarta: Gema Insani.
website:
[1] Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 1995), hlm. 65.
[2] Said Aqil al
Munawwar, Membangun Tradisi Kajian Islam:
Mengikuti Jejak Harun Nasution. dalam Abdul Halim (ed) Teologi Islam Rasional, Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Nasution
(Jakarta: Ciputat Press, 2001), 35.
[3] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995),
hlm. 5.
[4] Aqib Suminto, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70
Tahun Harun Nasution, (Jakarta: LSAF, 1989), hlm. 5.
[5] Ayahnya merupakan seorang kepala
agama sekaligus hakim dan imam masjid kabiupaten Simalungun, sedangkan ibuya
merupakan anak dari seorang ulama dan pernah tinggal di Makkah saat masih
remaja.
[6] HM Rasjidi. Antara Saya Dan Harun Nasution, dalam
Aqib Suminto. Refleksi Pembaharuan
Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution, hlm. 264.
[7] Pemaparan lebih lanjut tentang
episode dimaksud akan dibahas pada sub-bab berikutnya.
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 93.
[9] Ibid, hal. 94.
[10] Harun Nasution, Pembaharuan……op
cit, hal. 207.
[11] Ibid.
[12] Harun Nasution, Islam Rasional, cet. Ke V, (Bandung:
Mizan, 1998), hlm. 322.
[13] Ahmad Sazdali, Harun Nasution dan PerkembanganSyarif
Hidayatullah Jakrata, dalam Aqib Suminto. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 tahun Harun Nasution,
hlm. 274.
[14] Ibid., hlm. 41.
[15] Pada masa ini sistem pendidikan
dan pengajaran yang dilaksanakan di IAIN dititik beratkan pada hafalan. Hal ini
tentunya menutup akses untuk berdialog dan mematikan sikap kritis mahasiswa.
[16] Harun Nasution,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
(Jakarta: UI Pres,1985), hlm. 71.
[17] Modul Pembidangan dan
Karakteristik Ajaran Islam,
Dikjend Pendidikan Islam. Lihat dalam website: http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MSI2.pdf, diakses tanggal 29 Oktober
2013. Lihat juga Harun Nasution, Islam
Rasional…, hlm. 351-352.
[18] Ibid, hlm. 388-389.
[19] Sejarah Singkat
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Lihat dalam website; http://graduate.uinjkt.ac.id/index.php/en/profil/sejarah-singkat, diakses pada
tanggal 29 Oktober 2013.
[20] Lihat dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milinium Baru, (Ciputat: Logos, 1999), hlm. 175.
[21] Ibid., hlm, 176.
[22] Lengkapnya lihat dalam website; http://graduate.uinjkt.ac.id/index.php/en/template-features-2/kabaralumni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar