Ledakan Aksi Masyarakat dari berbagai Aliansi tengah ramai terjadi dinegeri
ini pasca kerusuhan Bima pada 24 Desember yang lalu. Mahasiswa, Pekerja sampai omak-omak pun ikut turun kejalan
menyuarakan penegakan hukum terhadap polisi yag bertindak Brutal di Bima NTB. Sikap
peduli yang ditunjukkan penduduk bangsa ini patut kita banggakan, tak peduli
siapa mereka yag jadi korban namun atas asas kebangsaan dan kemanusiaan mereka
rela ikut merayap dijalanan sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinannya.
Sebelum mengulas lebih jauh, baiknya
kita lihat kembali bagaimana kronologis Bima
Berdarah tersebut. Baca Kronologisnya di http://moechrizal.blogspot.com/2011/12/kronologi-tragedi-bima-berdarah.html.
Berdasarkan kronologis tersebut, tragedy
yang menyebabkan jatuhnya korban tewas dan luka ini, tentunya banyak Pihak yang
harus bertanggung jawab. Bahwa polisi yang paling bertanggung jawab merupakan
keharusan atas tindakan penembakan yang dilakukannya, namun bukan berarti kita
menutup mata atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak lainnya. Dalam kasus
ini pemerintah dalam hal ini bupati juga merupakan actor yang berdosa akibat
kebisuannya yang tidak bisa menjelaskan dan merasionalkan kebijakannya terkait
izin pertambangan tersebut kepada masyarakat sehingga memicu aksi masyarakat
yang berujung bentrok. Masyarakat yang banyak menjadi korban juga bukanlah malaikat
yang suci dari dosa, karenanya kita juga tidak boleh menutup mata atas
kesalahan yang dilakukannya. Setidaknya masyarakat dalam hal ini telah mencoba
mengganggu kelancaran dermaga sebagai fasilitas umum, masyarakat juga telah
menghacurkan beberapa kantor pemerintahan. Apapun alasannya tetap saja hal ini
melanggar hukum Negara dan harus dicari siapa dalangnya.
Kembali ke sikap kepolisian, dari kronologis yang telah
diuraikan jelas bahwa sikap polisi yang menembaki warga peserta aksi secara
membabi buta merupakan suatu kesalahan Fatal. Jika Kapolri melalui kadiv
Humasnya mengatakan hal tersebut sudah sesuai prosedur, namun sangat
disayangkan pernyataan tersebut belum di ikuti dengan fakta dan data yang
otentik bahwa prosedur membenarkan aksi penembakan untuk membubarkan kerumunan
masa, bahkan UU RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (baca di http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU%20KEPOLISIAN.pdf)
juga tidak membenarkan hal tersebut. Apa yang dilakukan polisi tersebut
telah menyalahi undag-undang yang berlaku, setidaknya dalam hal ini polisi
telah melanggar undang-undang no 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan
Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia (baca di http://www.kontras.org/data/Perkap%20No%208%20tahun%202009.pdf
).
Kendati
demikian, mengharapkan polisi dihukum atas kesalahannya tidaklah semudah
bersiul dipagi hari, butuh perjuangan panjang untuk melakukannya, apalagi
kesalahan yang dilakukan merupakan bahagian dari pelanggaran HAM. Catatan sejarah
tentang pelanggaran HAM berat yang belum selesai hingga saat ini cukup banyak
dan tak terhitung. Mulai dari Kasus Timor timur, Tanjung Periuk, Semanggi I dan
II, kasus wasior dan wamena, Peristiwa Mei 1998 dan kasus penghilangan paksa
para aktivis HAM serta banyak kasus lainnya yang belum juga ada penyelesaian.
Dengan demikian
apakah kasus Bima, NTB ini hanya akan menambah daftar panjang pelanggaran HAM
yang belum terselesaikan ?
Karenanya, perlu
strategi pergerakan yang cukup matang untuknya. Nyanyian para Aktivis dijalan
raya tidak cukup efektif jika tanpa strategi lainnya. Namun dari pada hanya
terduduk diam dan menunggu keajaiban hukum, setidaknya aksi dijalanan lebih
berarti kendati belum cukup maksimal. Sebelum strategi penegakkan HAM ini
dijelaskan, saya sempat berpikir bahwa kasus-kasus seperti ini setidaknya
memberikan hikmah tersendiri bagi keberadaan HAM di Indonesia. HAM sejak
kelahirannya di Gelanggang Nusantara hingga saat ini masih saja banyak
ditentang keberadaannya oleh berbagai pihak mengatasnamakan agama dengan
berbagai alasan, namun ketika terjadi kasus pelanggaran seperti ini, semuanya
serentak menyuarakan telah terjadi Pelanggaran HAM, mereka yang semula
menentang seolah lupa dan tertidur atas apa yang telah ditentangnya. Negeri yang aneh…….
Kembali ke
strategi yang ditawarkan, dalam beberapa pengalaman tentang pengungkapan
pelenggaran HAM yang belum juga menemukan titik terang, ada beberapa hal
penting yang harus dilakukan dalam upaya pengungkapan dan penegakkan kasus HAM
tersebut :
Ø Menemukan Penyebab Utama dibalik
Pelanggaran.
Proses pengungkapan kebenaran selama ini hanya
difokuskan pada satu tindak kejahatan saja, sehingga hanya fakta-fakta yang
langsung berhubungan dengan tindak pidana tersebut saja yang dianggap relevan,
akibatnya banyak proses investigasi yang gagal mengungkap pola yang lebih luas
dari kekerasan dan dampak komulatif yang dilakukan aparat Negara.
Ø Membangun kerjasama dengan berbagai
sector keamanan
Pengalaman sering mendapati bahwa instansi keamanan
seperti Kepolisian hingga Lembaga resmi seperti Komnas HAM sangat sulit diajak
bekerja sama. Akibatnya tim penyelidik sering frustasi dalam melakukan
penyelidiakannya yang berhubungan dengan saksi, tersangka maupun barang bukti. Karenanya
kerja sama dari sector tersebut harus bisa dibagun guna mempermudah kinerja tim
penyelidikan.
Ø Independensi Komposisi Tim Pencari
Fakta
Tim yang dibentuk melalui keutusan Presiden dengan
persetujuan DPR ini sering kali kehilangan independensinya akibat keterlibatan
oknum kepolisian dan kejagung. Karenanya, untuk pengungkapan danpenegakkan HAM
yang efektif, independensi Tim ini harus benar benar dijaga.
Ø Menjamin keselamtan para saksi
Berkaca dari pengalaman tahun 1965-1966 dimana lebih
dari satu juta orang dibantai dan ratusan ribu ditahan secara illegal namun
tidak bisa diungkap karena minimnya saksi akibat dari ketakutan untuk menjadi
saksi karena alasan keselamatan. Karenannya untuk mengungkap dan mengakkan
kasus ini, saksi merupakan kebutuhan primer, dan menjamin keselamatan saksi
harus bisa diprioritaskan.
Ø Memaksimalkan partisipasi public dan
keterlibatan korban
Public
dalam hal ini masyarakat luas, beserta korban harus bisa dimaksimalkan
partisipasinya. Dari pengalaman sejarah, banyak korban yang ingin berpartisipasi
dalam pengungkapan dan penegakkan HAM namun tidak bisa difasilitasi dengan
baik. Hal ini bisa dilihat dari kasus timor leste, korban yag menjadi saksi
tidak bisa menjelaskan kesaksiannya didepan sidang karena persidangan tidak
memfasilitasi penerjemah bahasa yang saat itu korban tidak mampu berbahasa Indonesia,
selain itu korban juga mendapat intimidasi dari pihak militer sehingga ia
tertekan. Hal seperti ini merupakan contoh bahwa korban sering tidak bisa
maksimal dalam berpartisipasi terhadap penegakkan pelanggaran HAM.
Dengan penyikapan
yang bijak dalam upaya pengungkapan dan penegakan kasus pelanggaran HAM ini,
semoga saja kasus Bima bisa segera naik ke Pengadilan HAM. Sehingga para Hakim
HAM bisa benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya, bukan hanya sebatas
Formalitas belaka. Sebab seperti yang kita tahu bahwa hampir semua pengadilan
HAM di Indonesia mengalami hidup segan
mati tak mau, sebagai contoh kecil pengadilan HAM medan sejak berdirinya
hingga saat ini belum pernah menyidangkan 1 kasuspun tentang pelanggaran HAM. Apakah
di Medan atau Sumatera ini tidak pernah terjadi Pelanggaran HAM ?
Billahi Fisabili Haq,
Fastabiqul Chairot
Wassalamu’alaikum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar