Selasa, 27 Desember 2011

Tragedi Bima dan Penanganan Kasus HAM di Indonesia

Ledakan Aksi Masyarakat dari berbagai Aliansi tengah ramai terjadi dinegeri ini pasca kerusuhan Bima pada 24 Desember yang lalu. Mahasiswa, Pekerja sampai omak-omak pun ikut turun kejalan menyuarakan penegakan hukum terhadap polisi yag bertindak Brutal di Bima NTB. Sikap peduli yang ditunjukkan penduduk bangsa ini patut kita banggakan, tak peduli siapa mereka yag jadi korban namun atas asas kebangsaan dan kemanusiaan mereka rela ikut merayap dijalanan sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinannya.
Sebelum mengulas lebih jauh, baiknya kita lihat kembali bagaimana kronologis Bima Berdarah tersebut. Baca Kronologisnya di http://moechrizal.blogspot.com/2011/12/kronologi-tragedi-bima-berdarah.html.
Berdasarkan kronologis tersebut, tragedy yang menyebabkan jatuhnya korban tewas dan luka ini, tentunya banyak Pihak yang harus bertanggung jawab. Bahwa polisi yang paling bertanggung jawab merupakan keharusan atas tindakan penembakan yang dilakukannya, namun bukan berarti kita menutup mata atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak lainnya. Dalam kasus ini pemerintah dalam hal ini bupati juga merupakan actor yang berdosa akibat kebisuannya yang tidak bisa menjelaskan dan merasionalkan kebijakannya terkait izin pertambangan tersebut kepada masyarakat sehingga memicu aksi masyarakat yang berujung bentrok. Masyarakat yang banyak menjadi korban juga bukanlah malaikat yang suci dari dosa, karenanya kita juga tidak boleh menutup mata atas kesalahan yang dilakukannya. Setidaknya masyarakat dalam hal ini telah mencoba mengganggu kelancaran dermaga sebagai fasilitas umum, masyarakat juga telah menghacurkan beberapa kantor pemerintahan. Apapun alasannya tetap saja hal ini melanggar hukum Negara dan harus dicari siapa dalangnya.
Kembali ke sikap kepolisian, dari kronologis yang telah diuraikan jelas bahwa sikap polisi yang menembaki warga peserta aksi secara membabi buta merupakan suatu kesalahan Fatal. Jika Kapolri melalui kadiv Humasnya mengatakan hal tersebut sudah sesuai prosedur, namun sangat disayangkan pernyataan tersebut belum di ikuti dengan fakta dan data yang otentik bahwa prosedur membenarkan aksi penembakan untuk membubarkan kerumunan masa, bahkan UU RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (baca di http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU%20KEPOLISIAN.pdf)  juga tidak membenarkan hal tersebut. Apa yang dilakukan polisi tersebut telah menyalahi undag-undang yang berlaku, setidaknya dalam hal ini polisi telah melanggar undang-undang no 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (baca di http://www.kontras.org/data/Perkap%20No%208%20tahun%202009.pdf ).
Kendati demikian, mengharapkan polisi dihukum atas kesalahannya tidaklah semudah bersiul dipagi hari, butuh perjuangan panjang untuk melakukannya, apalagi kesalahan yang dilakukan merupakan bahagian dari pelanggaran HAM. Catatan sejarah tentang pelanggaran HAM berat yang belum selesai hingga saat ini cukup banyak dan tak terhitung. Mulai dari Kasus Timor timur, Tanjung Periuk, Semanggi I dan II, kasus wasior dan wamena, Peristiwa Mei 1998 dan kasus penghilangan paksa para aktivis HAM serta banyak kasus lainnya yang belum juga ada penyelesaian.
Dengan demikian apakah kasus Bima, NTB ini hanya akan menambah daftar panjang pelanggaran HAM yang belum terselesaikan ?
Karenanya, perlu strategi pergerakan yang cukup matang untuknya. Nyanyian para Aktivis dijalan raya tidak cukup efektif jika tanpa strategi lainnya. Namun dari pada hanya terduduk diam dan menunggu keajaiban hukum, setidaknya aksi dijalanan lebih berarti kendati belum cukup maksimal. Sebelum strategi penegakkan HAM ini dijelaskan, saya sempat berpikir bahwa kasus-kasus seperti ini setidaknya memberikan hikmah tersendiri bagi keberadaan HAM di Indonesia. HAM sejak kelahirannya di Gelanggang Nusantara hingga saat ini masih saja banyak ditentang keberadaannya oleh berbagai pihak mengatasnamakan agama dengan berbagai alasan, namun ketika terjadi kasus pelanggaran seperti ini, semuanya serentak menyuarakan telah terjadi Pelanggaran HAM, mereka yang semula menentang seolah lupa dan tertidur atas apa yang telah ditentangnya. Negeri yang aneh…….
Kembali ke strategi yang ditawarkan, dalam beberapa pengalaman tentang pengungkapan pelenggaran HAM yang belum juga menemukan titik terang, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan dalam upaya pengungkapan dan penegakkan kasus HAM tersebut :
Ø  Menemukan Penyebab Utama dibalik Pelanggaran.
Proses pengungkapan kebenaran selama ini hanya difokuskan pada satu tindak kejahatan saja, sehingga hanya fakta-fakta yang langsung berhubungan dengan tindak pidana tersebut saja yang dianggap relevan, akibatnya banyak proses investigasi yang gagal mengungkap pola yang lebih luas dari kekerasan dan dampak komulatif yang dilakukan aparat Negara.

Ø  Membangun kerjasama dengan berbagai sector keamanan
Pengalaman sering mendapati bahwa instansi keamanan seperti Kepolisian hingga Lembaga resmi seperti Komnas HAM sangat sulit diajak bekerja sama. Akibatnya tim penyelidik sering frustasi dalam melakukan penyelidiakannya yang berhubungan dengan saksi, tersangka maupun barang bukti. Karenanya kerja sama dari sector tersebut harus bisa dibagun guna mempermudah kinerja tim penyelidikan.

Ø  Independensi Komposisi Tim Pencari Fakta
Tim yang dibentuk melalui keutusan Presiden dengan persetujuan DPR ini sering kali kehilangan independensinya akibat keterlibatan oknum kepolisian dan kejagung. Karenanya, untuk pengungkapan danpenegakkan HAM yang efektif, independensi Tim ini harus benar benar dijaga.

Ø  Menjamin keselamtan para saksi
Berkaca dari pengalaman tahun 1965-1966 dimana lebih dari satu juta orang dibantai dan ratusan ribu ditahan secara illegal namun tidak bisa diungkap karena minimnya saksi akibat dari ketakutan untuk menjadi saksi karena alasan keselamatan. Karenannya untuk mengungkap dan mengakkan kasus ini, saksi merupakan kebutuhan primer, dan menjamin keselamatan saksi harus bisa diprioritaskan.

Ø  Memaksimalkan partisipasi public dan keterlibatan korban
Public dalam hal ini masyarakat luas, beserta korban harus bisa dimaksimalkan partisipasinya. Dari pengalaman sejarah, banyak korban yang ingin berpartisipasi dalam pengungkapan dan penegakkan HAM namun tidak bisa difasilitasi dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari kasus timor leste, korban yag menjadi saksi tidak bisa menjelaskan kesaksiannya didepan sidang karena persidangan tidak memfasilitasi penerjemah bahasa yang saat itu korban tidak mampu berbahasa Indonesia, selain itu korban juga mendapat intimidasi dari pihak militer sehingga ia tertekan. Hal seperti ini merupakan contoh bahwa korban sering tidak bisa maksimal dalam berpartisipasi terhadap penegakkan pelanggaran HAM.
Dengan penyikapan yang bijak dalam upaya pengungkapan dan penegakan kasus pelanggaran HAM ini, semoga saja kasus Bima bisa segera naik ke Pengadilan HAM. Sehingga para Hakim HAM bisa benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya, bukan hanya sebatas Formalitas belaka. Sebab seperti yang kita tahu bahwa hampir semua pengadilan HAM di Indonesia mengalami hidup segan mati tak mau, sebagai contoh kecil pengadilan HAM medan sejak berdirinya hingga saat ini belum pernah menyidangkan 1 kasuspun tentang pelanggaran HAM. Apakah di Medan atau Sumatera ini tidak pernah terjadi Pelanggaran HAM ?
Billahi Fisabili Haq, Fastabiqul Chairot
Wassalamu’alaikum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi