Sabtu, 21 Januari 2012

WAJIB BERJILBAB : SEBUAH DOKTRIN YANG SALAH BAGI MUSLIMAH INDONESIA


Sepintas lalu mungkin orang akan beranggapan bahwa tulisan ini sesat, tapi bagi saya ini adalah sebuah fakta dari realitas  muslimah di Indonesia yang memang harus diluruskan jika masih bisa, atau mungkin dibuang jika memang sudah bengkok stadium 10.

Ok, let’s go….
Sudah bukan berita baru jika dikatakan bahwa Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pemeluk islam terbesar sejagat raya. Namun sungguh disayangkan karena kebesaran tersebut hanya dari sudut kuantitas, sedangkan dari sudut kualitas muslim Indonesia masih jauh panggang dari api.  Karenanya tidak heran jika dimana-mana banyak terlihat  pemeluk islam justru menginjak-injak ajaran islam itu sendiri dalam aktifitas kehidupannya sehari. Kenyataan ini sungguh merupakan sebuah cambukan yang amat pedih.
Kuantitas yang tuna kualitas ini tentu saja menjadi beban bagi islam itu sendiri sebagai agama yang ingin membangun peradaban asri dengan kualitas tinggi dimuka bumi ini[1]. Jika ditanya penyebabnya, maka jawaban utama dan pertamanya ialah dikarenakan kedunguan umat islam itu sendiri dalam membaca dan memahami pesan langit (ajaran islam).
Dalam kaitan ini saya hanya akan menyoroti satu dari sekian banyak kasus kedunguan kita dalam memahani agama ini, yaitu mengenai Jilbab bagi muslimah di Indonesia. Melihat dari realitas, fenomena serta fakta dari muslimah dalam konteks Indonesia, maka saya berani katakan bahwa DOKTRIN WAJIB BERJILBAB dalam konteks Muslimah di Indonesia adalah sebuah DOKTRIN YANG SALAH. Sesatkah pernyataan saya ???. nanti dulu, pastinya saya punya alasan sendiri dalam hal ini.
Sesaat sebelum saya menuliskan tulisan ini saya telah menanyai secara lisan 10 orang wanita serta 12 orang lainnya via sms terkait jilbab. Dari pertanyaan yang sama “menurutmu jilbab itu apa sih ?” saya dapatkan jawaban yang hampir mirip satu sama lain dan senada dengan arti jilbab dalam Kamus saku bahasa ilmiah popular yang mengatakan bahwa jilbab adalah kerudung yang menutup kepala sampai ke dada.
Dari jawaban-jawaban tersebut serta dari pengertian jilbab yang dituliskan dalam kamus diatas, maka saya menyimpulkan bahwa dalam perspektif muslimah di Indonesia Jilbab hanyalah sebatas kain/kerudung yang digunakan untuk menutup kepala sampai ke dada. Dengan demikian, maka tidaklah salah tampilan-tampilan yang selama ini sering kita saksikan dan perhatikan dari cara muslimah dalam konteks Indonesia terkait pemakaian jilbabnya, sebagai contoh dari fenomena tersebut bisa kita lihat dari gambar dibawah ini :




Dalam konteks Indonesia mungkin berjilbab seperti ini sudah benar dan sudah bisa dinilai sebagai muslimah karena sudah sesuai dengan standart jilbab yang mereka artikan sebagai penutup kepala sampai ke dada. Namun bagaimanakah hal ini jika dipandang dengan kacamata islam, apakah hal ini sudah benar dan mencerminkan kemuslimahan ?. untuk menjawabnya, maka kita lihat dahulu apa kata islam tentang jilbab.

Dalam dictum kalamullah terdapat beberapa ayat yang menegaskan dan menjelaskan masalah jilbab ini, diantaranya :
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  
59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
 Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa’), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami’a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.
Walhasil, jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) diulurkan sampai bawah. Sedangkan kerudung sendiri disebutkan dalam QS An-nur ayat 31.
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ (
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya,.
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala hingga ke dada (maa yughaththa bihi ar-ra`su)[1].
Kesimpulannya, jilbab bukanlah kerudung, melainkan baju jubah bagi perempuan yang wajib dipakai dalam kehidupan publik.
Gambar dibawah ini sebagi contoh Perbedaan Jilbab dan Kerudung :

                                                         

(Gambar 01 : Jilbab)                                                          (Gambar 02 : Kerudung)
Dari gambar diatas jelas sekali terlihat perbedaan keduanya bahwa jilbab bukalah sebatas kerudung yang hanya menutupi kepala sampai kedada, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) diulurkan sampai bawah. Pengertian jilbab seperti ini dengan contoh gambar diatas bahkan bagi sebahagian ulama seperti Taqiyuddin An-Nabhani merupakan suatu yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Bagi mereka baju potongan yang tidak sampai kebawah tidak sesuai dengan perintah Allah “mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh”.
Terlepas dari pendapat mereka tersebut yang mematok model jilbab seperti gamis/juba yang bersambung dari atas sampai kebawah (seperti Gambar 01). Saya lebih cendrung memandang subtansi ayat ini bahwa jilbab adalah kain longgar yang menutupi tubuh dari atas sampai kebawah. Sedangkan mengenai model bisa terus direlevansikan terhadap perkembangan zaman dengan catatan tidak lari dari jalur dan subtansi yang dikehendaki pesan langit tersebut. Dan satu hal penting lainnya yang tidak boleh di lupakan adalah kata Longgar dari pengertian jilbab tersebut, karena kendati menutup aurat namun ketika ia dibungkus padat bak lepat/lemet, maka cara ini juga tetap salah dan belum memenuhi standart berjilbab yang islami.
Sebagai contoh misalnya lihat gambar ini :



                                                                   

(Gambar 03 : Benar)                                                      (Gambar 05-06 : Salah)

Dari Gambar diatas, maka yang sesuai dengan subtansi QS Al-ahzab 59 dan tetap relevan dan modis dengan zaman adalah gambar 03, sedangkan gambar 04 dan 05 benar telah menutup aurat yang dimaksud, namun ketatnya pakaian mereka tidak sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Qs Al-ahzab 59 tersebut yang mengatakan “Longgar”.
Penggunaan jilbab yang sesuai dengan tuntunan dan tuntutab dalam kehidupan umum akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Dengan tubuh yang tertutup jilbab, kehadiran wanita jelas tidak akan membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sebab, naluri seksual tidak akan muncul dan menuntut pemenuhan jika tidak ada stimulus yang merangsangnya. Dengan demikian, kewajiban berjilbab telah menutup salah satu celah yang dapat mengantarkan manusia terjerumus ke dalam perzinaan; sebuah perbuatan menjijikkan yang amat dilarang oleh Islam.
Fakta menunjukkan, di negara-negara Barat yang kehidupannya dipenuhi dengan pornografi dan pornoaksi, angka perzinaan dan pemerkosaannya amat mengerikan. Di AS pada tahun 1995, misalnya, angka statistik nasional menunjukkan, 1,3 perempuan diperkosa setiap menitnya. Berarti, setiap jamnya 78 wanita diperkosa, atau 1.872 setiap harinya, atau 683.280 setiap tahunnya!24 Realitas ini makin membuktikan kebenaran ayat ini: Dzâlika adnâ an yu'rafna falâ yu'dzayn (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu).
Bagi wanita, jilbab juga dapat mengangkatnya pada derajat kemuliaan. Dengan aurat yang tertutup rapat, penilaian terhadapnya lebih terfokus pada kepribadiannya, kecerdasannya, dan profesionalismenya serta ketakwaannya. Ini berbeda jika wanita tampil 'terbuka' dan sensual. Penilaian terhadapnya lebih tertuju pada fisiknya. Penampilan seperti itu juga hanya akan menjadikan wanita dipandang sebagai onggokan daging yang memenuhi hawa nafsu saja.
Walhasil, penutup ayat 59 al-ahzab ini harus menjadi catatan amat penting dalam menyikapi kewajiban jilbab. Wa kânaLlâh Ghafûra Rahîma (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Ini memberikan isyarat, kewajiban berjilbab tersebut merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya. Jika Allah saja sayang terhadap wanita dengan menyuruhnya menutup aurat, maka bodohlah orang yang dengan sengaja dan bangga membukanya.
Dengan sedikit uraian mengenai jilbab dari kacamata islam, maka jelaslah bahwa jilbab beserta doktrin kewajibannya dalam konteks Indonesia adalah SALAH. Maka solusi atas kesalahan tersebut ada dua :

Ø Memberikan pemahaman ulang tentang makna dan hakikat jilbab yang sebenarnya, sehingga tidak lagi dipahami sebatas penutup kepala hingga dada. Atau,

Ø Mengganti doktrin dari wajib berjilbab menjadi wajib menutup Aurat. Dengan ketentuan juga mengajarkan bagaimana menutup aurat yang benar dengan tidak sebatas membungkusnya saja seperti lemet / lepat.

Semoga bermanfaat bagi kita semua, dan semoga dapat membuka mata kita khususnya Muslimah tentang Makna jilbab sebenarnya. Selanjutnya untuk sedikit Muhasabah bagi kita khususnya muslimah silahkan Lihat video ini :
http://www.facebook.com/photo.php?v=200327506661270&set=t.100000074158098&type=3

Billahi fii sabilil haq, fastabiqul khairot
Wassalamu’alaikum
Medan, 21 Januari 2012
Mukhrizal Arif


Kamis, 12 Januari 2012

PESAN QS Al-‘alaq ayat 1 - 5


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,  2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.  3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,   4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.  5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ayat ini secara tekstual mungkin sudah sangat fenomenal di telinga kita. Dengan status sebagai wahyu pertama ayat ini kemudian banyak diajarkan dan terus diulang dalam setiap pembelajaran pendidikan agama islam dalam tiap tingkatannya. Namun ketika ayat ini bisa kita pahami lebih mendalam, maka kita akan dapati didalamnya sebuah strategi Allah yang diberikan kepada Muhammad melalui Jibril untuk melakukan revolusi disemenanjung arab.
Kita tarik sejenak kebelakang, Seperti yang banyak tertulis dalam catatan sejarah dari berbagai sejarawan bahwa jarak antara akhir kenabian Isa AS dengan awal kenabian Muhammad SAW yang hampir terbentang selama 5 sampai 6 abad membuat kondisi masyarakat arab khususnya makkah saat itu sangat jauh dari nilai-nilai budi pekerti cerminan dari apa yang diajarkan oleh agama. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat kesenjangan sosio-ekonomi yang parah yang melilit mayoritas penduduk makkah yang miskin. Monopoli pihak Qurays atas politik dan ekonomi yang ditopang dengan budaya syirik menjadi penyebab utama dari segala bentuk eksploitasi atas sector masyarakat yang lemah.
Kondisi masyarakat arab inilah yang kemudian membuat Muhammad sering merasa galau menyaksikannya. Kegalauan ini kemudian ia teruskan dengan sering melakukan kontemplasi/tahannus di sebuah goa diatas bukit di pinggir kota makkah yang disebut Goa Hiro. Dalam masa kontemplasinya inilah tepatnya Pada malam 17 Ramadhan, bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 Massehi, di Gua Hira,  kemudian jibril datang menyampaikan wahyu Allah sebagaimana tertulis diatas (QS Al-alaq 1-5).
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Sepintas lalu ayat ini tidak menjawab langsung tentang kondisi masyarakat arab yang di galau kan Muhammad, tapi jika di pahami dengan benar makna dari ayat tersebut terdapat pesan yang bukan hanya mampu menyelamatkan kondisi masyarakat arab saat itu tetapi juga tetap relevan dalam memperbaiki kondisi masyarakat dari masa kemasa.
Ayat tersebut setidaknya memiliki empat pesan penting kepada Muhammad dalam upaya perbaikan kendisi masyarakat yang sudah tak menentu, empat pesan tersebut :
1.      Prinsip pembebasan manusia dari buta baca dan tulis[1].
Sebagai seorang pilihan Allah tentunya Muhammad memiliki kecerdasan yang Luar biasa, baik cerdas otak maupun rohani. Kecerdasan inilah yang membuat-Nya (Muhammad) paham betul apa makna interpretasi dari ayat tersebut bagi gerakan pembaharuan sosial yang akan Ia lancarkan. Prinsip pertama tentang pembebasan manusia dari buta baca dan tulis dimaksudkan adalah mencerdaskan kehidupan manusia. Karna, sebesar apapun upaya yang akan dilakukan Muhammad kala itu namun jika masyarakat tidak cerdas maka hal itu tidak akan berarti apa-apa. Sehebat dan sebagus apapun retorika, mimic dan argumen yang digunakan dalam menyampaikan pesan ketuhanan, namun jika disampaikan dihadapan manusia dungu, maka tetap saja hasilnya tak ubah seperti melirik didalam gelap, semuanya akan sia-sia.
Namun, ketika manusia itu cerdas maka dengan sedikit sentuhan ia nya akan tersadar tentang realita yang ada disekitar. Inilah yang kemudian diharapkan Nabi, jika masyarakat saat itu cerdas maka mereka akan mampu membaca realitas politik eksploitatif elite Qurays dan kemudian tersadar untuk ikut merubuhkannya disuatu waktu.
Pesan ini masih cukup relevan dari masa kemasa bahkan hingga mentari tak bersinar lagi.
Dewasa ini dunia dengan segala permasalahannya tidak akan mungkin bisa dipecahkan jika bukan bagi mereka yang bebas dari kebutaan intelektual, namun intelektual tetap saja tidak cukup untuk menyelesaikannya jika tanpa di ikuti dengan kecerdasan (cerdas otak dan rohani). Sebab jika intelektual berjalan melenggang tanpa kecerdasan rohani justru dapat memicu permasalahan baru yang ditengah medan masalah yang terbentang luas. Jika ilmuan tersebut cerdas mereka bisa menyadari akan fungsi keilmuannya dan memanfaatkannya untuk memapah zaman dan tampuk kepemimpinan kearah yang lebih baik.
2.      Doktrin tentang kedudukan tuhan sebagai maha pencipta.
Dalam hal ini ayat tersebut menekankan tentang Tauhid bahwa Allah adalah Maha Pencipta.  Tidak ada sesuatu apapun di alam ini yang sejatinya luput dari buah karya Allah. Karenanya tidaklah ada alasan untuk untuk menyembah sesembahan yang lain termasuk pada masa itu (sebelum kenabian) berhala yang di sembah sebagai tuhan. Dengan menyadari akan kemaha penciptaan-Nya maka adalah sebuah keharusan untuk tunduk dan patuh terhadap perintahnya.
Dalam konteks hari ini, berhala hadir dalam bentuk kekuasaan, tekhnoogi dan lain sebagainya. Maka doktrin serupa tetap harus di implementasi dan aplikasikan bahwa semuanya itu merupakan berkat dari penciptaan Allah, maka keharusan pula untuk tunduk terhadap penciptanya (Allah).
Namun kendati dituntut dan dituntun untuk tunduk dan menghambakan diri kepada-Nya, Allah sendiri justru melalui Ayat-ayat yang turun kemudian tidaklah memaksakan hamba-Nya tersebut. Ia memberikan kebebasan untuk memilih ta’at atau tidak, namun pilihan itu disuatu hari akan ada pertanggung jawabannya.
3.      Pemberitahuan tentang asal usul manusia dari segumpal darah.
Penegasan tentang asal usul dari segumpal darah ini dimaksud untuk menggiring bola kehidupan menuju kearah sebuah masyarakat yang egalitarian. Monopoli yang dilakukan oleh Qurays dalam berbagai hal kala itu (masa pra kenabian) seakan dicambuk oleh kehadiran ayat ini. Bahwa manusia semuanya memiliki asal usul yang sama, maka tidaklah ada kelebihan suatu suku kelompok atau golongan atas yang lainnya. Dengan demikian kelas-kelas sosial yang dibangun berdasarkan mitos sejarah harus dihapuskan. Tidak ada alasan apapun yang membuat seseorang berbeda di mata Allah kecuali ketaqwaannya “inna akramakum ‘inda-Allahi atqookum”.
Dibawah payung Indonesia prinsip egalitarian ini seakan sedang tidur atau bahkan sudah mati sama sekali. Dalam berbagai hal masih banyak ditampilkan fenomena bahwa adanya sekelompok orang yang memiliki kelebihan, keunggulan dan keutamaan dari yang lain baik karena garis keturunan, kekayaan, kekuasaan maupun dalam hal lainnya. Dalam kasus ini yang paling mencolok adalah masalah penegakan hukum dan keadilan. Dengan asal usul yang sama harusnya angin keadilan juga berhembus kepada semuanya, namun realitanya pengadilan yang cukup banyak di Indonesia ini belum mampu memberikan keadilann khususnya kepada rakyat kecil, hal ini persis seperti kutipan yang disampaikan bung kardi dalam Jakarta Lawyers club TV One 10 januari 2012 bahwa “hukum seperti sarang laba-laba, jika benda kecil jatuh diatasnya maka ia akan tinggal, namun jika benda itu besar maka ia akan lolos dan merusak sarang itu”. Jika memang hukum dinegeri ini sudah sedemikian rupa kondisinya sungguh ini merupakan hal yang memalu dan memilukan.
Karenanya, bangsa ini perlu orang cerdas yang bertauhid dan menyadari prinsip egalitarian untuk bisa menyelamatkan Indonesia dari kelumpuhan hukum ini
4.      Penegasan tentang fungsi tuhan sebagai maha pengajar
Pada ayat ke 4 (الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ) kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat 5  (عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ), dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut karen apada ayat 4 telah diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat di atas dapat berarti “Dia (Allah) mengajarkan denga pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya.” Sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena ungkapan ‘telah diketahui sebelumnya” adalah khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan[2]).
Pada awal surah ini (al alaq : 1) Allah telah memperkenalkan diri sebagai yang maha kuasa, maha mengetahui dan maha pemurah. Pengteahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan karan (kemurahan)-Nya tidak terbatas, sehingga dia kuasa dan berkenaan untuk mengajarkan manusia dengan atau tanpa pena  الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Wayu-wahyu ilahi yang diterima oleh manusia-manusia agung yang siap dan suci jwanya adalah tingkat tertinggi dari bentuk pengajarann-Nya tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Nabi Muhammad SAW. Dijanjikan oleh Allah SWT dalam wahyu yang pertama untuk termasuk dalam kelompok tersebut.
Karenanya apapun cara dan usaha manusia dalam keilmuannya tidaklah ada alasan baginya untuk sombong atas ilmu tersebut, karena sejatinya Allahlah sang Maha pengajar.
Medan, 12 januari 2012
Mukhrizal Arif


[1] Ahmad Syafii Ma’arif, Al-Qur’an dan Realitas Umat
              [2]) Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an, Vol 15, 402

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi