PENDAHULUAN
Islam
yang dibawa diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW mempunyai peran strategis
untuk menaburkan rahmat di seluruh alam ini (Q.S. al-Anbiya’/21:107). Peran
strategis Islam itu dibarengi dengan titah-Nya kepada kelompok orang beriman
untuk menjadi pihak yang memimpin dan memakmurkan dunia (Q.S. al-Baqarah/2:30)
sekaligus sebagai umat terbaik (Q.S. Ali Imran/3: 110). Umat terbaik saja tidak
cukup untuk membuat Islam berperan sentral dalam kehidupan dunia ini, maka
Allah juga memerintahkan kepada umat terbaik itu untuk senantiasa berjuang
tiada henti menancapkan pilar-pilar kebenaran Islam yang berlaku universal
(Q.S. al-Baqarah/2: 218; Ali Imran/3:142; al-Maidah/5:35; al-Anfal/8: 72;
at-Taubah/9: 41, 86; al-Hajj/22: 78).
Akan
tetapi, jika dilihat dari perspektif historis umat Islam, sungguh sangat
memprihatinkan. Jumlah pemeluk yang cukup besar, tidak dibarengai dengan peran
yang signifikan dalam menentukan arah peradaban dunia. Bandingkan dengan jumlah
Yahudi yang konon hanya sekitar 50 juta-an di seluruh muka bumi ini, tetapi
kemajuan ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan tidak ada bandingannya dengan
negeri Muslim di manapun.
Kemunduran drastis yang telah menimpa kaum
Muslimin dewasa ini sebagaimana dikemukakan para cendikiawan Muslim tidak
diragukan lagi bersumber dari kegagalan mereka dalam memahami dan menerapkan
metode intelektual1 yang dikehendaki Islam
Tulisan ini sekadar sebagai
pengantar diskusi tentang “Reborn The
Moslem Scholars
To Answer challenges On The Contemporary World”
BAB II
PEMBAHASAN
Reborn The Moslem Scholars
To Answer challenges On The Contemporary World
I.
Tantangan islam pada dunia kontemporer
Sebagai sebuah agama mayoritas penduduk seluruh
dunia harusnya islam bisa menjadi sebuah agama yang menjadi garda terdepan
sebagai panutan dalam menjalani hidup dan kehidupan. Namun berbeda dengan
kenyataannya islam saat ini hampir seperti yang dikatakan nabi “laksana buih di
tepi pantai”. Tentu nya hal tersebut tidak terjadi begitu saja, pastinya ada
masalah dan tantangan yang tengah dihadapi islam pada dunia kontemporer saat
ini yang menanti para cendikiawan muslim untuk segera menyelesaikannya. Anjar Nugroho, S.Ag.,
M.S.I menjelaskan bahwa diantara tantangan islam saat ini ialah :
A.
Neo-Imperialisme
Pada era 1950-an, bangsa Muslim di muka bumi telah
mengakhiri penjajahan (imperialisme) fisik dari bangsa Barat. Pertanyaan yang
diajukan oleh Guru Besar Cairo University, Prof. Hasan Hanafi, dalam kitabnya Muqaddimah
fi al-‘Ilmi al-Istighrab, cukup membuat umat Islam terhenyak: “Mengapa
gerakan pembebasan tanah air berhasil melepaskan diri dari penjajahan militer
tetapi gagal mempertahankan kemerdekaaan ekonomi, politik, kebudayaan dan
peradaban?”.
Inilah penjajahan di alam modern yang dialami oleh bangsa
Muslim pasca penajahan fisik yang di kenal dengan neo-imperaialisme. Penjajahan
model ini jauh lebih dahsyat dampak negatifnya bagi bangsa-bangsa Muslim
ketimbang penjajahan pada era kolonialisme fisik abad 18-19 M. Kedaulatan
ekonomi dan politik menjadi ketergantungan ekonomi dan politik terhadap Barat
yang berbasis pada kapitalisme dan liberalisme. Tidak hanya itu, dampak lebih
luas dari neo-imperalisme adalah terkikisnya nilai-nilai luhur kebudayaan
lokal, identitas bangsa yang semuanya berbasis ajaran agama. Dengan kata lain,
ajaran Islam dalam kehidupan Muslim telah digeser oleh nilai-nilai universal
Barat semisal demokrasi, Hak Asasi Manusia, liberalisasi, civil sosiety dan
sebagainya.
Neo-Imperialisme mengusung agenda yang sebagian
besar umat Islam menerimanya secara wajar, tanpa sedikitpun mencurigai bahwa di
dalamnya tersimpan agenda dan ideologi tersembunyi yang akan membunuh ideologi
Islam. Agenda noe-imperialisme itu antara lain adalah kapitalisasi, liberalisasi,
dan globalisasi
B.
Clash of Civilization (Benturan Peradaban)
Tokoh
yang pertama mencetuskan teori clash of civilization adalah Samuel P.
Huntington. Dalam tulisan kontroversialnya The Clash of Civilization
yang dimuat jurnal Foreign Affair (Summer, 1993), guru besar studi-studi
strategis pada Harvard University AS itu memprediksikan makin parahnya
ketegangan antara peradaban Barat dan peradaban Islam
Clash of civilization adalah tindak lanjut Perang
Salib yang terjadi di abad 11-12 M. Barat (terutama AS) memposisikan Islam
sebagai musuh utama yang harus dilumpuhkan dengan berbagai cara. Kepentingan
global Barat dalam Clash of civilization sesungguhnya adalah dominasi
ekonomi dan politik atas seluruh negara non-Barat. Untuk melancarkan
kepentinganya itu, Barat memakai banyak cara, dari yang paling halus sampai
yang paling berdarah-darah. Cara halus Barat mengukuhkan hegemoninya
diantaranya melalui rezim pengetahuan. Rezim pengetahuan yang diciptakan Barat
tidak memberi ruang yang bebas kepada pengetahuan lain untuk berkembang.
Generasi terdidik di negara berkembang diarahkan sedemikian rupa menjadi agen
dan penjaga sistem pengetahuan Barat. Dan bukan hanya cara berfikir saja yang
diarahkan, tetapi gaya hidupnya pun dikendalikan.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas
ketika kaum terdidik di negara berkembang dengan setia dan tidak sadar
menyebarkan dan membela nilai-nilai dan institusi Barat seperti demokrasi, civil
society, hak asasi manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai
nilai-nilai universal yang merupakan produk peradaban terbaik yang harus
diikuti.
- Isu Terorisme
Aktualiasi paling kontemporer dari clash
of civilization adalah isu terorisme yang sedang gencar-gencarnya
dipropagandakan Barat untuk menyudutkan dan mendiskreditkan Islam. Dipicu oleh
serangan 11 September atas World Trade Cantre (WTC), AS dan sekutunya seakan
mempunyai mandat penuh untuk menyerang kelompok-kelompok Islam yang dinilai
radikal dengan dalih memberantas terorisme. Agresi AS di Afganistan dan Irak
adalah bagian dari perang melawan terorisme yang dilakukan AS dan Barat.
Perang melawan terorisme hanyalah sekadar
dalih dari ambisi AS dan Barat untuk menguasai negara-negara Muslim yang selama
ini potensial untuk melakukan perlawanan terhadap Barat. Dan yang lebih menyedihkan,
agenda perang melawan terorisme itu diterima oleh mayoritas negara-negara
Muslim sebagai agenda bersama. Bahkan pemerintah RI langsung meresponnya dengan
mengeluarkan UU anti-terorisme yang menimbulkan kontroversi itu serta
tidakan-tindakan lain yang menyudutkan umat Islam seperti rencana membuat sidik
jari santri dan lain-lain.
Dampak isu terorisme yang dialami oleh
umat Islam yang tinggal di Barat sungguh besar. Gerakan mereka selalu dicurigai
dan yang lebih menyakitkan adalah stigma sebagai kelompok teroris yang
berpengaruh terhadap relasi sosial mereka.
II.
Solusi Menjawab Tantangan Islam Pada Dunia Kontemporer
Setelah melihat banyaknya masalah dan tantangan
islam sekarang ini tentunya islam menunggu pergerakan para cendikiawan muslim
untuk menyelesaikan masalah dan tantangan tersebut. Dengan demikian maka saat
ini islam memerlukan cendikiawan muslim yang dapat memberikan solusi dan
menyelamatkan islam.
Untuk melahirkan cendikiawan muslim yang mampu
menjawab tantangan dunia kontemporer tidaklah semuda membalikkan telapak tangan
atau hanya tinggal Copy paste dari
cendikiawan muslim masa lalu, tapi perlu proses.secara garis besar proses untuk mewujudkannya
ialah melalui proses pendidikan.
penyelenggaran pendidikan Islam sekarang ini
mengalami proses dikotomi yaitu menerapkan metode dan muatan pendidikan barat
dengan menambah beberapa mata pelajaran agama Islam dengan metode dan muatan
Islami yang berasal dari zaman klasik yang belum dimodernisasi secara mendasar.
Penyelenggaran pendidikan Islam belum mengacu dan mengantisipasi zaman yang
sedang berubah, tetapi hanya menjaga dan melestarikan segala warisan yang
bersifat klasik.
Ahmad Syafii Maarif (1997:3) menyatakan bahwa
salah satu penyebab tersungkurnya dunia Islam adalah karena pendidikan yang diselenggarakan
tidak lagi mengacu kepada Al
Qur’an dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan
bergulir.
Untuk itu perlua adanya sistem pendidikan yang
baik dan benar yang bisa menghasilkan insan yang berkualitas. Kita banyak
melihat perubahan system pendidikan dari masa ke masa
1. Sistem Pendidikan Tradisional
2. Sistem Pendidikan Sekuler
3. Sistem Pendidikan gabungan (Sekuler dan Tradisional)
Untuk mencapai hasil yang maximal ketiga sistem
ini masih sangat jauh dari cukup, sehingga diperlukanlah System Pendidikan Islamisasi Pengetahuan.
Sistem ini merupakan Rumusan
terkini yang dikemukakan para cendikiawan Muslim dalam pengembangan dan
penyempurnaan sistem pendidikan kaum Muslimin adalah apa yang diistilahkan
mereka sebagai Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge). Istilah ini
muncul dan menjadi populer setelah Ismail R. Faruqi membacakan makalahnya yang
terkenal : Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan pada
seminar internasional Islamisasi pengetahuan yang pertama di Islamabad Pakistan
pada tahun 1982 yang dihadiri oleh para cendikiawan Muslim terkemuka dari
seluruh dunia. Makalah yang disampaikan Faruqi adalah hasil penelitian
bersamanya dengan tokoh-tokoh cendikiawan Muslim seperti AbdulHamid AbuSulayman
(tokoh Assocation of Muslim Social Sciencists, AMSS di Amerika). Seminar ini
bertujuan mencari rumusan-rumusan baru hubungan Islam dengan pengetahuan
modern. Menyempurnakan pembaha-ruan-pembaharuan metode intelektual kaum
Muslimin yang telah diserukan terdahulu oleh tokoh-tokoh pelopor pembaharuan
seperti Syeikh Muhammad Abduh. Seminar ini berhasil merumuskan kerangka dasar
pemikiran sebagai referensi dalam mengislamisasikan pengetahuan modern.
Hamid Hasan
Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf menawarkan tiga rekonstruksi dalam upaya
Islamisasi pendidikan. Pertama, rekonstruksi tentang konsep ilmu. Yaitu
menawarkan memasukkan ilmu-ilmu naqliyyah, seperti al-Qur’an, Hadits,
Fiqh, Tauhid, dan Metafisika sebagai mata kuliah dasar umum elektif bagi
mahasiswa, melandasi disiplin ilmunya masing-masing yang aqliyyah sifatnya.
Kedua, rekonstruksi kelembagaan, yaitu : menjadikan lembaga
pengembangan studi ilmu-ilmu naqliyyah sebagai bagian dari
universitas. Ketiga, rekonstruksi atau lebih tepatnya
pengembangkan kepribadian individual, mulai dari dosennya sampai ke alumninya.
Menurut Noeng Muhajir, rekonstruksi pertama banyak tergantung kepada pemegang
otoritas akademik perguruan tinggi yang bersangkutan. Rekonstruksi kedua lebih
banyak tergantung kepada pemegang otoritas kelembagaan perguruan tinggi yang
bersangkutan. Rekonstruksi ketiga memerlukan evolusi panjang bertahun-tahun,
yang peningkatan kualitasnya merupakan pangaruh timbal balik dengan
keberhasilan rekonstruksi kedua dan pertama
Jadi, pada pokoknya
seluruh masalah “modernisasi” pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk
produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha
intelektual bersama-sama dengan keterkaitan yang serius kepada Islam.
Modernisasi pendidikan Islam bukan pada perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik
pengajaran seperti buku-buku, tetapi upaya modernisasi lebih pada membangun
intelektualisme Islam. Untuk itu, perumusan pendidikan Islam haruslah
didasarkan pada metode penafsiran yang benar terhadap al-Qur’an, karena
al-Qur’an harus ditempatkan sebagai titik intelektualisme Islam. Pemahan yang
benar dan mendalam terhadap al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk dan
inspirasi bagi generasi muda Islam. Kemudian kurikulum yang tawarkan adalah
kurikulum terbuka bagi kajian-kajian filsafat dan sain-sain sosial. Rahman
menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analitis dalam melahirkan
gagasan-gagasan yang bebas, kretaif beradasarkan al-Qur’an.
Terakhir setelah membicarakan
tentang melahirkan cendikiawan muslim yang mampu menjawab tantangan dunia
kontemporer, maka penulis menambahkan Solusi yang harus dilakukan umat muslim agar
dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif.
Pertama, perlu ada pengkaderan yang
serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi.
Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan
diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang
paling mutakhir.
Kedua, setiap organisasi Islam yang
berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun laboratorium dakwah. Dari
hasil “Labda” ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil dilapangan, agar
jelas apa yang akan dilakukan.
Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi
terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal,
bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), biliqtishadiyah (ekonomi),
dan sebagainya. Yang jelas, actions,speak louder than word.
Keempat, media massa cetak dan terutama
media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat
menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara
Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari
pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi
peningkatan dakwah Islam di tanah air.
Kelima, merebut remaja Indonesia adalah
tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset
yang tak ternilai. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang
terjadi akibat „invasi‟ nilai-nilai non islami ke
dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja
kita memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hamidiyyah) dalam era
globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah kita akan
tetap ceria.
Billahi
fi sabilhaq.
Wassalamu’alaikum.
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka online.com, metode dakwah pdf.
Anjar Nugroho, S.Ag.,
M.S.I, makalah tantangan umat islam
kontemporer 2006
Blogger.com, membangun
kembali paradigma pendidikan islam.
Semarang,
2006
Al-Qur’an dan Terjemahannya,Lembaga Percetakan Raja Fahd, tt .
Syahrul Efendi D, syahrul.ed@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar