Jumat, 09 Maret 2012

URGENSI IMPLEMENTASI PLURALISME AGAMA DALAM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF AHMAD SYAFII MA’ARIF


A.    Hakikat Pendidikan Islam
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa dalam upaya mewujudkan islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka kita dituntut dan dituntun untuk bisa cerdas dalam beragama. Keharusan cerdas dalam beragama ini membuat peran pendidikan islam menjadi sangat urgen. Sebab bagaimana seseorang bisa menjelma menjadi cerdas jika ia masih jauh dari apa yang disebut pendidikan.
Akan tetapi ketika kita berbicara mengenai pendidikan khususnya pendidikan islam dalam konteks keindonesiaan, maka akan kita dapati sebuah fakta yang sangat memilukan sekaligus memalukan. Bagaimana tidak, sebuah bangsa besar yang dihuni oleh mayoritas muslim dalam realita masih saja berada dalam buritan khususnya disektor pendidikan. Konsep Undang-undang dasar Negara kita tentang mencerdaskan kehidupan bangsa seakan tak lebih dari bualan kosong diwarung kopi. Ini tidak lain karena belum adanya strategi yang pas mantap dalam upaya membangun kualitas pendidikan dibangsa yang sudah berumur lebih dari setengah abad ini, atau mungkin penduduk bangsa ini belum mengerti benar akan hakikat dari pendidikan khususnya pendidikan Islam.
Dalam laporan UNDP ( United Nations Development Programme ) tahun 2004, HDI ( Human Development Index ) Indonesia kini berada diperingkat 111 dari 175 Negara[1]. Ini tentunya merupakan sebuah cambukan yang teramat pedih bagi bangsa besar yang dihuni mayoritas muslim yang agamanya mengajarkan akan pentingnya pendidikan.
Karenanya, kita perlu pahami kembali apa hakikat dari pendidikan islam sebenarnya, kemudian mengevaluasi sudah sejauh mana pendidikan Islam tersebut selama ini dapat memberikan bekas bagi peserta didiknya dalam menghadapi tantangan zaman dari masa kemasa. Dengan demikian kita bisa tahu apakah kita perlu melakukan reaktualisasi dan reposisi pendidikan Islam dan kemudian menggagas strategi yang dianggap pas, mantap dan efektif dalam internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam bagi peserta didiknya dalam menghadapi tantangan zaman.
Telah cukup banyak definisi yang dikemukan para pakar pendidikan islam mengenai hakikat dari pendidikan islam tersebut, diantaranya Hasil Seminar Pendidikan Islam Se Indonesia 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor menjelaskan hakikat Pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim[2]. Prof. Dr. Muhaimin, MA menjelaskan bahwa hakikat pendidikan Islam merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejewantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam[3].
Dari dua penjelasan tentang hakikat pendidikan diatas, kita dapat melihat bahwa muara akhir dari pendidikan islam adalah membentuk kepribadian muslim dengan mengejawantahkan nilai-nilai ajaran islam dalam kehidupan. Berbeda dengan dua definisi ini yang lebih cendrung memasung pengertian hakikat pendidikan Islam sebagai bimbingan atau pendidikan, buya Ma’arif lebih luas mengartikan Hakekat pendidikan Islam adalah segala upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi anak didik untuk diarahkan kepada cita-cita universal Islam tentang manusia berupa terciptanya pribadi Muslim yang cerdas secara intelektual, anggun secara moral, dan trampil dalam amal bagi kepentingan sesama[4].
Dalam artian ini, buya Ma’arif menjelaskan bahwa pendidikan islam dapat dilakukan dengan segala macam bentuk upaya dan usaha yang tidak hanya terpasung dalam arti bimbingan. Upaya dan usaha tersebut kemudian untuk menggali potensi anak didik yang diarahkan kepada cita-cita universal Islam tentang manusia. Cita-cita tersebut sebagimana disebutkan terdahulu adalah menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam. Untuk itu maka pendidikan harus mampu menciptakan pribadi muslim yang cerdas secara intelekual,, anggun secara moral dan trampil dalam amal bagi kemanusiaan.
Seseorang yang berkepribadian muslim pastilah menjadikan islam sebagai acuannya berpribadi. Dengan Islam sebagai acuan kepribadian, yang tentunya diadopsi dari kecerdasan memahami agama maka seorang muslim dengan sendirinya akan terlahir sebagai dermawan rahmat yang senantiasa memberikan rahmatnya kepada siapa dan apa saja dijagat raya ini. Pada kondisi seperti ini, maka islam tidak lagi akan dipandang sebagai mesin penghancur peradaban karena seringnya berbuat kekerasan atas nama agama, akan tetapi islam akan menjelma laksana oksigen yang selalu dibutuhkan oleh siapapun dimanapun dan kapanpun dimuka bumi ini. Tentunya kita sangat berharap agar peradaban yang akan datang tidak berubah menjadi kebiadaban yang liar dan brutal. Untuk itu maka pendidikan islam haruslah bisa menjadi solusi dalam mengantisipasi kebiadaban peradaban dimasa mendatang serta memberikan tawaran alternative yang baik bagi corak dan warna yang akan dikuaskan dimasa mendatang. Karena pentingnya peran pendidikan Islam tersebut, maka ia juga harus memiliki acuan dan pijakan yang jelas. Sehingga pendidikan islam tidak seperti layangan putus yang tak tahu kemana arah angin akan membawanya. Pendidikan islam yang hendak kita kembangkan haruslah kita bangun diatas sebuah paradigma yang kokoh secara spiritual, unggul secara intelektual dan anggun secara moral dengan Al-Qur’an sebagai pijakan utama dan pertamanya[5].

B.     Upaya Penanaman Pluralisme Agama dalam Pendidikan Islam
Pluralisme agama dinegeri ini merupakan realitas empiric yang tidak bisa dipungkiri dan dibantahkan. Membantahnya sama saja dengan membantah semboyan bhineka tunggal ika yang selama ini kita sepakati sebagai semboyan dari bangsa kita. Pluralisme agama menurut buya Ma’arif merupakan sebuah tolak ukur bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dengan demikian kita tidak akan bisa sampai pada titik kemajuan, jika prinsip pluralisme belum melekat dalam mindset kita sebagai penduduk disebuah bangsa dengan corak dan warna yang beragam.
Pluralisme bukanlah barang baru dalam bingkai keindonesiaan, jauh sebelum negara ini dibentuk, pluralisme telah tumbuh dan berkembang sebagai buah dari masyarakat yang beragam. Dengan menyadari kenyataan inilah kemudian para founding fathers menetapkan negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler. Pilihannya berada tepat diantara keduanya. Pilihan untuk menjadi negara non-agama waktu itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai keberbagaian dan menjunjung tinggi perbedaan itu. Sedangkan pilihan untuk tidak menjadi negara sekuler, jelas membuktikan bahwa negeri ini rakyatnya bisa dibilang religious society, masyarakat yang ber-Tuhan, bukan anti Tuhan.
Seiring berjalannya waktu, kecermatan dan kecerdasan founding fathers yang telah merumuskan dengan apik apa yang menjadi kebutuhan bersama seperti itu mulai habis dan terkikis. Perputaran waktu dengan segala efek zaman yang dilaluinya telah menjadikan agama sebagai ideologi massa, bukan sebagai agen transformasi masyarakat. Dengan situasi seperti itu, agama yang diharapkan memiliki peran strategis dalam merespons masalah-masalah sosial-kemanusiaan yang terjadi di masyarakat akhirnya mandul.
Kondisi seperti ini tentunya tak lepas dari tanggungnya pendidikan, karena Pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu dan masyarakat, merupakan salah satu media yang sangat efektif untuk mewujudkan masyarakat yang dinamis di tengah pluralitas agama. Sebaliknya ketika pendidikan salah dalam melangkah maka agama justru bisa berubah menjadi bom yang siap memporakporandakan kehidupan. Melalui pendidikan, manusia diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubungannya dengan sesama, alam, dan Tuhannya. Sehingga idealnya, pendidikan agama (Islam) yang berlangsung selama ini, seharusnya dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap terjadinya pertikaian, perselisihan, pembunuhan, dan lainnya, yang antara lain berakar dari persoalan agama.
Namun demikian, kenyataan yang muncul selama ini menunjukkan bahwa benih-benih konflik, bahkan konflik yang muncul apabila ditelusuri lebih lanjut cenderung disebabkan karena persoalan agama dan menjadikan agama sebagai alat yang ampuh untuk menyulut kerusuhan. Hal ini satu sisi merupakan indikasi “belum berhasilnya” Pendidikan Agama Islam (PAI) terutama di sekolah dalam menanamkan nilai-nilai agama sebagai rahmatan lil’alamin pada anak didik, yang salah satunya disebabkan operasionalisasi dari pendidikan yang hanya cenderung mengarah pada bagaimana menanamkan doktrin-doktrin agama dengan hanya menggunakan pendekatan teologis-normatif .
Memahami agama dengan hanya menggunakan pendekatan ini akan melahirkan sikap keberagamaan yang eksklusif, truth claim, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang dapat membentuk pengkotak-kotakkan umat, tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya “kepedulian sosial”.[6] Sehingga yang sering ditonjolkan hanya perbedaannya, walaupun pada dasarnya masing-masing agama mempunyai perbedaan, karakter, dan ciri khas yang berbeda-beda. Sebaliknya nilai toleransi, kebersamaan, tenggang rasa, selama ini kurang ditonjolkan. Perbedaan yang ada dari keragaman agama harus bisa kita lukiskan dengan baik dalam bingkai keindonesiaan sehingga bisa menghasilkan sebuah lukisan yang indah. Tentunya dengan formula “bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan”.[7]
Ketika pendidikan agama Islam masih diajarkan dengan semangat ekslusivisme dan truth claim yang cenderung intoleran, jangan banyak berharap pendidikan agama Islam dapat turut meredam gejolak sosial yang sedang melanda bangsa ini. Dari sudut sosiologis, truth claim sudah banyak melahirkan berbagai konflik sosial-politik yang membawa perang antaragama yang sampai saat ini masih menjadi problem dan kenyataan yang tidak bisa dihindari.[8] Padahal semua agama berasal dari Tuhan, dan umat manusia yang plural itu juga merupakan umat manusia yang satu karena berasal dari sejarah dan keturunan yang sama, yaitu Adam dan Hawa.[9]
Menurut buya Ma’arif, Indonesia harus mampu dan bisa menghargai pluraslisme sebagai sebuah fakta keras dalam struktur kebangsaan Indonesia yang masih dalam proses menjadi sebuah bangsa. Oleh sebab itu lanjutnya (buya Ma’arif), arah pendidikan Islam harus mengacu kepada pilar-pilar kebangsaan yang beragam itu. Sebagai penganut mayoritas umat Islam punya tanggungjawab yang besar dan strategis dalam menjaga keragaman itu, demi persatuan bangsa yang dinamis.[10]
Namun, kenyataan sebagai umat mayoritas yang memiliki tanggung jawab besar dalam membangun bangsa tersebut bukan berarti meniadakan tanggung jawab umat lainnya, tentunya siapapun yang mengaku putra bangsa tanpa memandang ras, warna kulit maupun agama memiliki tanggung jawab dalam menjaga keutuhan bangsa ini, bahkan atheis sekalipun. Tapi sebagai kaum mayoritas, islam tentunya mendapatkan porsi yang lebih dalam memikul tanggung jawab tersebut. Sebab, jika Indonesia gagal sebagai sebuah bangsa sama saja artinya bahwa islam yang dianut lebih dari 90 % pendudukunya telah gagal memberikan solusi yang baik dalam kehidupan berbangsa.
Akan tetapi, kenyataan bahwa islam merupakan agama terbesar di bangsa ini secara kuantitatif tidak lantas mengahalalkan umat islam untuk memonopoli kebenaran, dan peranan dalam membangun bangsa ini. Umat lain (nonmuslim) bahkan atheis juga harus diberikan kesempatan dan peranan dalam memberikan kontribusinya dalam membangun bangsa ini. Karenanya konsep pluralisme dalam membangun bangsa Indonesia akan sangat dibutuhkan, atau bahkan menjadi sebuah keharusan dan kewajiban. Bagaimana mungkin kita bisa berbicara membangun sebuah Indonesia jika dalam kehidupan yang majemuk kita belum bisa untuk duduk saling berdampingan antara satu dan lainnya.
Pengembangan pendidikan Islam haruslah mampu menciptakan ukhuwah islamiyah dalam arti yang luas, yang tidak hanya bersaudara sesama muslim tapi juga bersaudara kepada manusia seluruhnya tanpa memandang perbedaan sebagai penghambat persaudaraan tersebut. Islam mengajarkan agar semua agama harus tetap dilindungi, dan para pemeluknya harus diberi kebebasan untuk melaksanakan agamanya.[11]
Karenanya, peranan lembaga-lembaga pendidikan (Islam) sangat penting dalam upaya internalisasi nilai-nilai keragaman tersebut. Ini pekerjaan yang tidak mudah, tetapi harus diupayakan terus menerus, jika keutuhan bangsa ini memang ingin kita jaga dan pelihara. Oleh sebab itu pola-pikir (mindset) harus diubah agar konsep pluralisme diterima sebagai sebuah kenyataan dalam kita berbangsa dan bernegara. Sifat egoistik  agama, suku, tradisi, dan latar belakang sejarah harus ditundukkan kepada kepentingan keutuhan bangsa dan negara.[12]
Untuk mewujudkan pengembangan pendidikan agama semacam itu, maka seseorang perlu memperkuat pengetahuan dan wawasan keislamannya, antara lain dengan jalan melihat islam sebaga doktrin dan sekaligus peradaban.[13] Keduanya bisa dibedakan, tapi tidak dipisahkan karena keduanya berasal dari sumber yang sama. Islam sebagai doktrin dan peradaban dalam istilah yurisprudensi islam biasa dibedakan antara masalah ibadah dan mua’amalah.[14]
Untuk itu, peranan dan kualitas guru akan sangat menentukan kemana pendidikan akan diarahkan. Seluruh pusat dan jenjang pendidikan islam menurut buya Ma’arif harus diarahkan kepada  pembentukan pribadi ulu al-albab, ulu al-nuha, dan ulu al-absar disamping sosok ummat al-‘amal.[15] Dalam hal ini, maka gurulah yang menjadi remote control dalam mengarahkan pusat dan jenjang pendidikan kearah yang telah dijelaskan buya Ma’arif tersebut. Dengan diarahkannya pendidikan kepada ulu al-albab, ulu al-nuha, dan ulu al-absar serta ummat al-‘amal yang berarti punya pikiran, pengertian, kecerdasan, punya visi, penglihatan dan persepsi yang tajam, maka peserta didik yang telah sampai kepada titik itu diharapkan bisa menjadi seorang yang memiliki toleransi yang tinggi dan mengedepankan otak ketimbang otot dalam menyikapi perbedaan khususnya agama. Dengan penglihatannya yang tajam serta kecerdasannya memahami agama maka peserta didik akan bisa melihat bagaimana pentingnya nilai kemanusiaan, sehingga tidak ada alasan untuk menghancurkannya apalagi dengan topeng agama. Karena sejatinya agama manapun (khususnya Islam) cukup memandang mulia nilai kemanusiaan.
Karena perannya sebagai remote control dalam mengarahkan pendidikan kepada peserta didiknya, maka dalam hal internalisasi nilai pluralisme seorang guru khususnya guru pendidikan agama Islam harus bisa paham dengan benar dan baik apa yang semestinya ia lakukan. Oleh karena itu, ada beberapa alternatif model pembelajaran (pendidikan agama Islam) yang mestinya dilakukan oleh para guru mata pelajaran agama Islam sekarang ini supaya bisa menghasilkan out-put pendidikan yang inklusif, berwawasan pluralis, dan apresiatif terhadap perbedaan.
Pertama : membentuk pola pikir siswa secara terbuka untuk bersedia memeberikan kesempatan kepada orang lain untuk meyakini kebenaran agama yang mereka anut, diluar keyakinannya. Oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pesan-pesan Islam secara ideologis, doktrinal yang akan mengedepankan truth claim dalam beragama. Kita harus menyampaikan pula kepada peserta didik bahwa di luar paham kita ada paham lain yang tidak mustahil mengandung kebenaran dan diyakini oleh pengikutnya. Dengan demikian, diharapkan siswa akan lebih mudah bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, yang berbeda agama, ras, dan etnis.
Kedua, membentuk pola pikir siswa untuk bisa menghargai perbedaan secara tulus, komunikatif, inklusif, dan tidak saling curiga, di samping meningkatkan iman dan taqwa. Oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pemahaman Islam yang hanya bertumpu pada tekstual normatif. Sudah saatnya siswa harus mengkaji model-model pemahaman Islam, dan mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan nyata agar dapat menghasilkan cara pandang yang utuh dan apresiatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman yang pluralistik dan komprehensif, yakni dengan pendekatan filosofis dan historis.[16]
Ketiga, para pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan harus secara jujur, transparan serta membuang subjektifisme sejarah dan kepentingan pribadi. Sehingga materi pendidikan Islam bisa dipahami oleh peserta didik dalam kehidupan praksis. Pendidik jangan memosisikan diri sebagai “agen/penyalur” madzhab tertentu dengan menyalahkan madzhab yang lain. Dalam hal ini, sangat diperlukan tenaga pendidik yang mampu menerjemahkan pesan-pesan universal keagamaan dengan baik, dan harus mampu menegakkan demokrasi yang mengakomodasi perbedaan.
Keempat, para pendidik haruslah memahami bahwa pendidikan bukanlah sekedar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan suatu proses pembentukan karakter. Dalam hal ini ada tiga mis pendidikan yaitu Transfer of knowledge (Pewarisan Pengetahuan), Transfer of culture (Pewarisan Budaya) dan Transfer of value (pewarisan nilai).[17] Dengan demikian, dalam pendidikan Islam, kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor harus benar-benar menyatu dan terwujud dalam kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik jangan hanya diindoktrinasi tentang kesalehan vertikal/ individual, tetapi juga kesalehan sosial.
Kelima, para pendidik perlu membiasakan anak-anak mengalami pertukaran budaya (cross cultural exchange) dengan sesama peserta didik. Pengalaman ini akan dapat membantu mereka untuk memahami orang lain dalam sebuah perbedaan. Dengan demikian, persatuan dan kesatuan pada akhirnya akan menjadi keinginan yang kuat di kalangan mereka. Kedamaian yang senatiasa kita nanti-nantikan akan menjadi kenyataan sesuai dengan peran agama yang membawa pesan perdamaian bagi umat manusia.
Dengan beberapa point diatas penulis berharap dengan keyakinan bahwa pendidikan (Islam) akan mampu membawa angin segar dalam peradan yang lebih baik serta mampu menampilkan wajah islam  yang inklusif, pluralis, dan apresiatif terhadap perbedaan.


C.    Peran Pemimpin Agama Bagi Terciptanya Kesadaran Pluralisme Agama
Pluralisme agama yang merupakan tolak ukur atas kemajuan suatu bangsa harus bisa benar-benar dijaga dan disadari urgensitasnya bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Ini pekerjaan yang tidak mudah, tetapi harus diupayakan terus menerus, jika keutuhan bangsa ini memang ingin kita jaga dan pelihara. Oleh sebab itu pola-pikir (mindset) harus diubah agar konsep pluralisme diterima sebagai sebuah kenyataan dalam kita berbangsa dan bernegara. Sifat egoistik  agama, suku, tradisi, dan latar belakang sejarah harus ditundukkan kepada kepentingan keutuhan bangsa dan negara.[18]
Karenanya, disamping peran pendidikan (Islam), pemimpin agama juga mempunyai peranan yang tak kalah penting dalam hal mengembangkan sayap dan sikap pluralisme dalam kehidupan majemuk demi keutuhan bangsa ini. Islam dengan segala macam ekspresi yang dimilikinya dalam konteks keindonesiaan memiliki potensi besar untuk bisa dengan mudah mengembangkan budaya dan sikap pluralisme. Kuncinya pemimpin-pemimpin dari segala macam ekspresi Islam tersebut mampu dan bisa menggiring umatnya menuju islam yang rahmatan lil’alamin.
Dalam konteks keindonesian ini kita bisa lihat contoh besar dari ekspresi keislaman tersebut seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Keduanya sudah cukup besar dan mumpuni dalam mengurusi umat (Islam) di Indonesia. Ketika keduanya bisa menggiring umatnya kearah islam yang inklusif sehingga prinsip pluralisme tidak akan dijadikan masalah, maka islam Indonesia dalam waktu dekat akan bisa benar-benar berfungsi sebagai rahmat bagi alam khususnya bagi Indonesia. Namun dalam realita harapan tersebut masih jauh panggang dari pada api. Jangankan lintas agama, masih dalam agama yang samapun perbedaan masih saja dianggap masalah. Kita bisa lihat bagaimana jalannya sidang itsbat penetapan idulfitri pada 29 agustus 2011 yang lalu. Dalam sidang tersebut Muhammadiyah yang menyatakan diri untuk pamit lebaran lebih awal justru banyak mendapat kecaman dari kalangan lain. Hal ini membuktikan jika masih banyak umat islam yang tidak siap untuk berbeda dan menghargai perbedaan.
Karenanya, penulis memandang ada beberapa hal yang perlu diperankan para pemimpin agama dalam hal ini Islam untuk menginternalisasikan nilai pluralisme dalam konteks kehidupan majemuk di Indonesia ini.
Pertama, Membuka Dialog Lintas Agama.
Dalam kenyataan hidup berbangsa di negeri ini sudah cukup banyak masalah yang membelenggu penduduknya. Mulai dari masalah ekonomi, sosial, dan politik. Semuanya hampir amburadul dan tak beraturan. Melihat fenomena ini maka bisa ditanyakan dimana fungsi agama bagi bangsa dengan masyarakat beragama?.   
Karenanya, untuk menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang cukup menjadi masalah bagi bangsa ini maka perlulah dilakukan dialog lintas agama untuk mencari solusi demi kebaikan kolektif warga indonesia. Sebuah agama apabila dipahami dengan benar dan cerdas, pasti akan mendororng pemeluknya untuk mengembangkan budaya dialogis, bukan budaya saling mengunci pintu.[19]
Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan kompleks.
Demi mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut, maka pemahaman terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama, tetapi harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama orang lain merupakan prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena tanpa ini dialog mustahil dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama dipergunakan untuk memperlancar dialog ini dan dialog antar agama sendiri merupakan media untuk memahami agama lain secara benar dan komprehensif. Dialog antarumat beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama serta akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan kolektif dalam kehidupan berbangsa dengan corak dan warna yang beraneka ragam ini.
Kedua, Reorientasi Misi Da’wah
Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja.[20] menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat). Posisi mayoritas yang tuna kualitas akan menjadi beban islam sebagai agama yang ingin membangun peradaban asri yang berkualitas tinggi dimuka bumi.[21]
Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan bahwa ketegangan agama yang terjadi selama ini adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris) adalah orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan provokatif.
Dakwah dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar harus tetap dilangsungkan dalam kehidupan ini sampai akhirnya kata hidup tidak lagi ada. Sebab, agama sebagai kebutuhan perenial akan bisa terus hidup dan berkembang jika dakwah terus dilakukan. Namun proses dakwah itu sendiri tidak boleh menggeser apalagi mengubur substansi ajaran islam yang hadir sebagi rahmat bagi semesta raya ini. Karenanya menurut buya ma’arif subtansi doktrin yang berasal dari wahyu dengan sendirinya bersifat immutable (tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas), sedangkan metode dan strategi pelaksanaannya adalah wilayah ijtihad yang mutable (lapuk karena hujan dan lekang karena panas).[22]
Dengan demikian maka strategi dan pelaksanaan dakwah bukanlah sesuatu yang baku, namun ia bisa saja berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Karenanya, dalam menyikapi kehidupan didunia yang pluraslis inipun seorang muballigh/atau pemimpin agama harus bisa mengkontekstualisasikan dakwah dengan kondisi zaman sekarang ini.
Dakwah sebagai keharusan dan kebutuhan bagi agama harus bisa mengarahkan umatnya kepada sikap yang toleran, lapang dada dan siap berbeda, karena memang dunia hari ini dipenuhi dengan aneka ragam corak dan warna yang semuanya itu harus tetap bisa merasakan rahmat dari kehadiran islam.
Dengan kedua hal tersebut diatas (dialog lintas agama dan interpretasi misi dakwah) maka, penulis berharap dan yakin bahwa secara perlahan umat islam akan bergeser kearah islam yang lebih inklusif, toleran dan siap untuk berbeda. Ketika hal ini bisa dan telah terwujud maka umat islam yang merupakan 90% dari total penduduk Indonesia akan mampu mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang utuh dan maju ditengah kemajemukan didalamnya.


[1] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam dalam Bingkai.., h. 214.
[2] Hj. Nur Uhbiyati, 2000, Ilmu Pendidikan Islam, (Pustaka Setia,  Jakarta), h. 9.
[3] Prof.Dr. Muhaimin, MA, 2009, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta, Grafindo, h. 14.
[4] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[5] Ahmad Syafii Ma’arif, 2000, Masa Depan Bangsa Dalam Taruhan, Yogyakarta, Pustaka SM, h. 78.
[6] Dr. H. Abuddin Nata, MA, 2000, Metodologi Studi Islam, Jakarta, Grafindo, h. 34.
[7] Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dalam Bingkai, Log.cit.
[8] Budhy Munawar Rachman, 1995, Agama Masa Depan Prespektif Perenial (Jakarta: Paramidana ), hal. xxv.
[9] Musa Asy’ari, “Piagam Jakarta, Dekonstruksi kebudayaan dan Pendidikan Agama”, dalam Kompas, 22 April 2002, hal. 32
[10] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[11] Abdullah, Muhammad. Amin, 2005, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, Jakarta, PSAP, h. 57.
[12] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[13] Nurchalis majdid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta, Paramida, h.
[14] Prof.Dr. Muhaimin, MA, 2009, op. cit, h 319.
[15] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam Bingkai…, h. 229.
[16] Komaruddin Hidayat, 2004, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta, Teraju, h. 34.
[17] Buchari Alma, ed., 2009, Moral dan Kognisi Islam, Bandung, Alfabeta, h. 2.
[18] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[19] Ahmad Syafii Ma’arif, 2004, Mencari Autentisitas.., h, 31.
[20] Andito (ed.), 1998, Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah), h. 79.
[21] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam Bingkai.., h. 213
[22] Ahmad Syafii Ma’arif, 2004, Mencari Autentisitas.., h, 58.

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi