A. Hakikat Pendidikan Islam
Sebagaimana
telah dijelaskan terdahulu bahwa dalam upaya mewujudkan islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka kita dituntut
dan dituntun untuk bisa cerdas dalam beragama. Keharusan cerdas dalam beragama
ini membuat peran pendidikan islam menjadi sangat urgen. Sebab bagaimana
seseorang bisa menjelma menjadi cerdas jika ia masih jauh dari apa yang disebut
pendidikan.
Akan
tetapi ketika kita berbicara mengenai pendidikan khususnya pendidikan islam
dalam konteks keindonesiaan, maka akan kita dapati sebuah fakta yang sangat
memilukan sekaligus memalukan. Bagaimana tidak, sebuah bangsa besar yang dihuni
oleh mayoritas muslim dalam realita masih saja berada dalam buritan khususnya
disektor pendidikan. Konsep Undang-undang dasar Negara kita tentang
mencerdaskan kehidupan bangsa seakan tak lebih dari bualan kosong diwarung kopi. Ini tidak lain karena belum adanya
strategi yang pas mantap dalam upaya membangun kualitas pendidikan dibangsa
yang sudah berumur lebih dari setengah abad ini, atau mungkin penduduk bangsa
ini belum mengerti benar akan hakikat dari pendidikan khususnya pendidikan
Islam.
Dalam
laporan UNDP ( United Nations Development Programme ) tahun 2004, HDI ( Human
Development Index ) Indonesia kini berada diperingkat 111 dari 175 Negara[1].
Ini tentunya merupakan sebuah cambukan yang teramat pedih bagi bangsa besar
yang dihuni mayoritas muslim yang agamanya mengajarkan akan pentingnya
pendidikan.
Karenanya,
kita perlu pahami kembali apa hakikat dari pendidikan islam sebenarnya,
kemudian mengevaluasi sudah sejauh mana pendidikan Islam tersebut selama ini
dapat memberikan bekas bagi peserta didiknya dalam menghadapi tantangan zaman
dari masa kemasa. Dengan demikian kita bisa tahu apakah kita perlu melakukan
reaktualisasi dan reposisi pendidikan Islam dan kemudian menggagas strategi yang
dianggap pas, mantap dan efektif dalam internalisasi nilai-nilai pendidikan
Islam bagi peserta didiknya dalam menghadapi tantangan zaman.
Telah
cukup banyak definisi yang dikemukan para pakar pendidikan islam mengenai
hakikat dari pendidikan islam tersebut, diantaranya Hasil Seminar Pendidikan
Islam Se Indonesia 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor menjelaskan hakikat
Pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada
terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim[2].
Prof. Dr. Muhaimin, MA menjelaskan bahwa hakikat pendidikan Islam merupakan aktivitas
pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk
mengejewantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam[3].
Dari
dua penjelasan tentang hakikat pendidikan diatas, kita dapat melihat bahwa
muara akhir dari pendidikan islam adalah membentuk kepribadian muslim dengan
mengejawantahkan nilai-nilai ajaran islam dalam kehidupan. Berbeda dengan dua
definisi ini yang lebih cendrung memasung pengertian hakikat pendidikan Islam
sebagai bimbingan atau pendidikan, buya Ma’arif lebih luas mengartikan Hakekat pendidikan Islam adalah
segala upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi anak didik untuk
diarahkan kepada cita-cita universal Islam tentang manusia berupa terciptanya
pribadi Muslim yang cerdas secara intelektual, anggun secara moral, dan trampil
dalam amal bagi kepentingan sesama[4].
Dalam artian ini, buya Ma’arif
menjelaskan bahwa pendidikan islam dapat dilakukan dengan segala macam bentuk
upaya dan usaha yang tidak hanya terpasung dalam arti bimbingan. Upaya dan
usaha tersebut kemudian untuk menggali potensi anak didik yang diarahkan kepada
cita-cita universal Islam tentang manusia. Cita-cita tersebut sebagimana
disebutkan terdahulu adalah menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam. Untuk
itu maka pendidikan harus mampu menciptakan pribadi muslim yang cerdas secara
intelekual,, anggun secara moral dan trampil dalam amal bagi kemanusiaan.
Seseorang yang berkepribadian muslim
pastilah menjadikan islam sebagai acuannya berpribadi. Dengan Islam sebagai
acuan kepribadian, yang tentunya diadopsi dari kecerdasan memahami agama maka
seorang muslim dengan sendirinya akan terlahir sebagai dermawan rahmat yang senantiasa memberikan rahmatnya kepada siapa dan
apa saja dijagat raya ini. Pada kondisi seperti ini, maka islam tidak lagi akan
dipandang sebagai mesin penghancur peradaban karena seringnya berbuat kekerasan
atas nama agama, akan tetapi islam akan menjelma laksana oksigen yang selalu
dibutuhkan oleh siapapun dimanapun dan kapanpun dimuka bumi ini. Tentunya kita
sangat berharap agar peradaban yang akan datang tidak berubah menjadi
kebiadaban yang liar dan brutal. Untuk itu maka pendidikan islam haruslah bisa
menjadi solusi dalam mengantisipasi kebiadaban peradaban dimasa mendatang serta
memberikan tawaran alternative yang baik bagi corak dan warna yang akan
dikuaskan dimasa mendatang. Karena pentingnya peran pendidikan Islam tersebut,
maka ia juga harus memiliki acuan dan pijakan yang jelas. Sehingga pendidikan
islam tidak seperti layangan putus yang tak tahu kemana arah angin akan
membawanya. Pendidikan islam yang hendak kita kembangkan haruslah kita bangun
diatas sebuah paradigma yang kokoh secara spiritual, unggul secara intelektual
dan anggun secara moral dengan Al-Qur’an sebagai pijakan utama dan pertamanya[5].
B. Upaya Penanaman Pluralisme
Agama dalam Pendidikan Islam
Pluralisme agama dinegeri
ini merupakan realitas empiric yang tidak bisa dipungkiri dan dibantahkan.
Membantahnya sama saja dengan membantah semboyan bhineka tunggal ika yang selama ini kita sepakati sebagai semboyan
dari bangsa kita. Pluralisme agama menurut buya Ma’arif merupakan sebuah tolak
ukur bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dengan demikian kita tidak akan bisa
sampai pada titik kemajuan, jika prinsip pluralisme belum melekat dalam mindset
kita sebagai penduduk disebuah bangsa dengan corak dan warna yang beragam.
Pluralisme bukanlah barang
baru dalam bingkai keindonesiaan, jauh sebelum negara ini dibentuk, pluralisme
telah tumbuh dan berkembang sebagai buah dari masyarakat yang beragam. Dengan
menyadari kenyataan inilah kemudian para
founding fathers menetapkan negara ini bukan menjadi negara agama atau negara
sekuler. Pilihannya berada tepat diantara keduanya. Pilihan untuk menjadi negara
non-agama waktu itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini
untuk bersikap toleran, menghargai keberbagaian dan menjunjung tinggi perbedaan
itu. Sedangkan pilihan untuk tidak menjadi negara sekuler, jelas membuktikan
bahwa negeri ini rakyatnya bisa dibilang religious society, masyarakat yang
ber-Tuhan, bukan anti Tuhan.
Seiring
berjalannya waktu, kecermatan dan kecerdasan founding fathers yang telah
merumuskan dengan apik apa yang menjadi kebutuhan bersama seperti itu mulai
habis dan terkikis. Perputaran waktu dengan segala efek zaman yang dilaluinya
telah menjadikan agama sebagai ideologi massa, bukan sebagai agen transformasi
masyarakat. Dengan situasi seperti itu, agama yang diharapkan memiliki peran
strategis dalam merespons masalah-masalah sosial-kemanusiaan yang terjadi di
masyarakat akhirnya mandul.
Kondisi
seperti ini tentunya tak lepas dari tanggungnya pendidikan, karena Pendidikan
sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu dan masyarakat, merupakan
salah satu media yang sangat efektif untuk
mewujudkan masyarakat yang dinamis di tengah pluralitas agama. Sebaliknya
ketika pendidikan salah dalam melangkah maka agama justru bisa berubah menjadi
bom yang siap memporakporandakan kehidupan. Melalui pendidikan, manusia
diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubungannya dengan sesama, alam, dan
Tuhannya. Sehingga idealnya, pendidikan agama (Islam) yang berlangsung selama
ini, seharusnya dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap terjadinya
pertikaian, perselisihan, pembunuhan, dan lainnya, yang antara lain berakar
dari persoalan agama.
Namun
demikian, kenyataan yang muncul selama ini menunjukkan bahwa benih-benih
konflik, bahkan konflik yang muncul apabila ditelusuri lebih lanjut cenderung
disebabkan karena persoalan agama dan menjadikan agama sebagai alat yang ampuh
untuk menyulut kerusuhan. Hal ini satu sisi merupakan indikasi “belum
berhasilnya” Pendidikan Agama Islam (PAI) terutama di sekolah dalam menanamkan
nilai-nilai agama sebagai rahmatan lil’alamin pada anak didik, yang salah satunya disebabkan operasionalisasi dari
pendidikan yang hanya cenderung mengarah pada bagaimana menanamkan
doktrin-doktrin agama dengan hanya menggunakan pendekatan teologis-normatif .
Memahami
agama dengan hanya menggunakan pendekatan ini akan melahirkan sikap
keberagamaan yang eksklusif, truth claim, tidak ada dialog, parsial, saling
menyalahkan, saling mengkafirkan, yang dapat membentuk pengkotak-kotakkan umat,
tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya “kepedulian sosial”.[6] Sehingga yang sering ditonjolkan hanya perbedaannya,
walaupun pada dasarnya masing-masing agama mempunyai perbedaan, karakter, dan
ciri khas yang berbeda-beda. Sebaliknya nilai toleransi, kebersamaan, tenggang
rasa, selama ini kurang ditonjolkan. Perbedaan yang ada dari keragaman agama
harus bisa kita lukiskan dengan baik dalam bingkai keindonesiaan sehingga bisa
menghasilkan sebuah lukisan yang indah. Tentunya dengan formula “bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam
persaudaraan”.[7]
Ketika pendidikan agama
Islam masih diajarkan dengan semangat ekslusivisme
dan truth claim yang
cenderung intoleran, jangan banyak berharap pendidikan agama Islam dapat turut
meredam gejolak sosial yang sedang melanda bangsa ini. Dari sudut
sosiologis, truth claim sudah
banyak melahirkan berbagai konflik sosial-politik yang membawa perang antaragama
yang sampai saat ini masih menjadi problem dan kenyataan yang tidak bisa
dihindari.[8]
Padahal semua agama berasal dari Tuhan, dan umat manusia yang plural itu juga
merupakan umat manusia yang satu karena berasal dari sejarah dan keturunan yang
sama, yaitu Adam dan Hawa.[9]
Menurut buya Ma’arif, Indonesia harus mampu dan bisa
menghargai pluraslisme sebagai sebuah fakta keras dalam struktur kebangsaan
Indonesia yang masih dalam proses menjadi sebuah bangsa. Oleh sebab itu lanjutnya (buya
Ma’arif), arah pendidikan Islam harus mengacu kepada pilar-pilar kebangsaan
yang beragam itu. Sebagai penganut mayoritas umat Islam punya tanggungjawab
yang besar dan strategis dalam menjaga keragaman itu, demi persatuan bangsa
yang dinamis.[10]
Namun,
kenyataan sebagai
umat mayoritas yang memiliki tanggung jawab besar dalam membangun bangsa
tersebut bukan berarti meniadakan tanggung jawab umat lainnya, tentunya
siapapun yang mengaku putra bangsa tanpa memandang ras, warna kulit maupun
agama memiliki tanggung jawab dalam menjaga keutuhan bangsa ini, bahkan atheis
sekalipun. Tapi sebagai kaum mayoritas, islam tentunya mendapatkan porsi yang
lebih dalam memikul tanggung jawab tersebut. Sebab, jika Indonesia gagal
sebagai sebuah bangsa sama saja artinya bahwa islam yang dianut lebih dari 90 %
pendudukunya telah gagal memberikan solusi yang baik dalam kehidupan berbangsa.
Akan tetapi, kenyataan bahwa
islam merupakan agama terbesar di bangsa ini secara kuantitatif tidak lantas
mengahalalkan umat islam untuk memonopoli kebenaran, dan peranan dalam
membangun bangsa ini. Umat lain (nonmuslim) bahkan atheis juga harus diberikan
kesempatan dan peranan dalam memberikan kontribusinya dalam membangun bangsa
ini. Karenanya konsep pluralisme dalam membangun bangsa Indonesia akan sangat
dibutuhkan, atau bahkan menjadi sebuah keharusan dan kewajiban. Bagaimana
mungkin kita bisa berbicara membangun sebuah Indonesia jika dalam kehidupan
yang majemuk kita belum bisa untuk duduk saling berdampingan antara satu dan
lainnya.
Pengembangan pendidikan Islam
haruslah mampu menciptakan ukhuwah islamiyah dalam arti yang luas, yang tidak
hanya bersaudara sesama muslim tapi juga bersaudara kepada manusia seluruhnya
tanpa memandang perbedaan sebagai penghambat persaudaraan tersebut. Islam
mengajarkan agar semua agama harus tetap dilindungi, dan para pemeluknya harus
diberi kebebasan untuk melaksanakan agamanya.[11]
Karenanya, peranan
lembaga-lembaga pendidikan (Islam) sangat penting dalam upaya internalisasi
nilai-nilai keragaman tersebut. Ini pekerjaan yang tidak mudah, tetapi harus
diupayakan terus menerus, jika keutuhan bangsa ini memang ingin kita jaga dan
pelihara. Oleh sebab itu pola-pikir (mindset) harus diubah agar konsep
pluralisme diterima sebagai sebuah kenyataan dalam kita berbangsa dan
bernegara. Sifat egoistik agama, suku, tradisi, dan latar belakang
sejarah harus ditundukkan kepada kepentingan keutuhan bangsa dan negara.[12]
Untuk mewujudkan
pengembangan pendidikan agama semacam itu, maka seseorang perlu memperkuat
pengetahuan dan wawasan keislamannya, antara lain dengan jalan melihat islam
sebaga doktrin dan sekaligus peradaban.[13]
Keduanya bisa dibedakan, tapi tidak dipisahkan karena keduanya berasal dari
sumber yang sama. Islam sebagai doktrin dan peradaban dalam istilah
yurisprudensi islam biasa dibedakan antara masalah ibadah dan mua’amalah.[14]
Untuk itu, peranan dan
kualitas guru akan sangat menentukan kemana pendidikan akan diarahkan. Seluruh
pusat dan jenjang pendidikan islam menurut buya Ma’arif harus diarahkan
kepada pembentukan pribadi ulu al-albab, ulu al-nuha, dan ulu al-absar disamping sosok ummat al-‘amal.[15]
Dalam hal ini, maka gurulah yang menjadi remote
control dalam mengarahkan pusat dan jenjang pendidikan kearah yang telah
dijelaskan buya Ma’arif tersebut. Dengan diarahkannya pendidikan kepada ulu al-albab, ulu al-nuha, dan ulu al-absar serta ummat al-‘amal yang berarti punya pikiran, pengertian, kecerdasan,
punya visi, penglihatan dan persepsi yang tajam, maka peserta didik yang telah
sampai kepada titik itu diharapkan bisa menjadi seorang yang memiliki toleransi
yang tinggi dan mengedepankan otak ketimbang otot dalam menyikapi perbedaan
khususnya agama. Dengan penglihatannya yang tajam serta kecerdasannya memahami
agama maka peserta didik akan bisa melihat bagaimana pentingnya nilai kemanusiaan,
sehingga tidak ada alasan untuk menghancurkannya apalagi dengan topeng agama.
Karena sejatinya agama manapun (khususnya Islam) cukup memandang mulia nilai
kemanusiaan.
Karena perannya sebagai remote control dalam mengarahkan
pendidikan kepada peserta didiknya, maka dalam hal internalisasi nilai
pluralisme seorang guru khususnya guru pendidikan agama Islam harus bisa paham
dengan benar dan baik apa yang semestinya ia lakukan. Oleh karena itu, ada
beberapa alternatif model pembelajaran (pendidikan agama Islam) yang mestinya
dilakukan oleh para guru mata pelajaran agama Islam sekarang ini supaya bisa
menghasilkan out-put pendidikan yang inklusif, berwawasan pluralis, dan
apresiatif terhadap perbedaan.
Pertama : membentuk pola pikir siswa secara terbuka untuk bersedia
memeberikan kesempatan kepada orang lain untuk meyakini kebenaran agama yang
mereka anut, diluar keyakinannya. Oleh karena itu, kita harus menghindari
penyampaian pesan-pesan Islam secara ideologis, doktrinal yang akan
mengedepankan truth claim dalam beragama. Kita harus menyampaikan pula
kepada peserta didik bahwa di luar paham kita ada paham lain yang tidak
mustahil mengandung kebenaran dan diyakini oleh pengikutnya. Dengan demikian,
diharapkan siswa akan lebih mudah bergaul dan berinteraksi dengan orang lain,
yang berbeda agama, ras, dan etnis.
Kedua, membentuk pola pikir siswa untuk bisa menghargai perbedaan
secara tulus, komunikatif, inklusif, dan tidak saling curiga, di samping
meningkatkan iman dan taqwa. Oleh karena itu, kita harus menghindari
penyampaian pemahaman Islam yang hanya bertumpu pada tekstual normatif.
Sudah saatnya siswa harus mengkaji model-model pemahaman Islam, dan
mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan nyata agar dapat menghasilkan cara
pandang yang utuh dan apresiatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman yang
pluralistik dan komprehensif, yakni dengan pendekatan filosofis dan historis.[16]
Ketiga, para pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan harus
secara jujur, transparan serta membuang subjektifisme sejarah dan kepentingan
pribadi. Sehingga materi pendidikan Islam bisa dipahami oleh peserta didik
dalam kehidupan praksis. Pendidik jangan memosisikan diri sebagai
“agen/penyalur” madzhab tertentu dengan menyalahkan madzhab yang lain. Dalam
hal ini, sangat diperlukan tenaga pendidik yang mampu menerjemahkan pesan-pesan
universal keagamaan dengan baik, dan harus mampu menegakkan demokrasi yang
mengakomodasi perbedaan.
Keempat, para pendidik haruslah memahami
bahwa pendidikan bukanlah sekedar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan
dari guru kepada murid, melainkan suatu proses pembentukan karakter. Dalam hal
ini ada tiga mis pendidikan yaitu Transfer of knowledge (Pewarisan Pengetahuan),
Transfer of culture (Pewarisan Budaya) dan Transfer of value (pewarisan
nilai).[17] Dengan demikian, dalam
pendidikan Islam, kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor harus
benar-benar menyatu dan terwujud dalam kehidupan peserta didik. Oleh karena
itu, peserta didik jangan hanya diindoktrinasi tentang kesalehan vertikal/
individual, tetapi juga kesalehan sosial.
Kelima, para pendidik perlu membiasakan anak-anak mengalami
pertukaran budaya (cross cultural exchange) dengan sesama peserta didik.
Pengalaman ini akan dapat membantu mereka untuk memahami orang lain
dalam sebuah perbedaan. Dengan demikian, persatuan dan kesatuan pada
akhirnya akan menjadi keinginan yang kuat di kalangan mereka. Kedamaian yang
senatiasa kita nanti-nantikan akan menjadi kenyataan sesuai dengan peran
agama yang membawa pesan perdamaian bagi umat manusia.
Dengan beberapa point diatas
penulis berharap dengan keyakinan bahwa pendidikan (Islam) akan mampu membawa
angin segar dalam peradan yang lebih baik serta mampu menampilkan wajah
islam yang inklusif, pluralis, dan
apresiatif terhadap perbedaan.
C. Peran Pemimpin Agama Bagi
Terciptanya Kesadaran Pluralisme Agama
Pluralisme
agama yang merupakan tolak ukur atas kemajuan suatu bangsa harus bisa
benar-benar dijaga dan disadari urgensitasnya bagi seluruh masyarakat Indonesia
tanpa terkecuali. Ini
pekerjaan yang tidak mudah, tetapi harus diupayakan terus menerus, jika
keutuhan bangsa ini memang ingin kita jaga dan pelihara. Oleh sebab itu
pola-pikir (mindset) harus diubah agar konsep pluralisme diterima sebagai
sebuah kenyataan dalam kita berbangsa dan bernegara. Sifat egoistik
agama, suku, tradisi, dan latar belakang sejarah harus ditundukkan kepada
kepentingan keutuhan bangsa dan negara.[18]
Karenanya, disamping peran pendidikan
(Islam), pemimpin agama juga mempunyai peranan yang tak kalah penting dalam hal
mengembangkan sayap dan sikap pluralisme dalam kehidupan majemuk demi keutuhan
bangsa ini. Islam dengan segala macam ekspresi yang dimilikinya dalam konteks
keindonesiaan memiliki potensi besar untuk bisa dengan mudah mengembangkan
budaya dan sikap pluralisme. Kuncinya pemimpin-pemimpin dari segala macam
ekspresi Islam tersebut mampu dan bisa menggiring umatnya menuju islam yang
rahmatan lil’alamin.
Dalam konteks keindonesian ini kita
bisa lihat contoh besar dari ekspresi keislaman tersebut seperti Muhammadiyah
dan Nahdatul Ulama. Keduanya sudah cukup besar dan mumpuni dalam mengurusi umat
(Islam) di Indonesia. Ketika keduanya bisa menggiring umatnya kearah islam yang
inklusif sehingga prinsip pluralisme tidak akan dijadikan masalah, maka islam
Indonesia dalam waktu dekat akan bisa benar-benar berfungsi sebagai rahmat bagi
alam khususnya bagi Indonesia. Namun dalam realita harapan tersebut masih jauh
panggang dari pada api. Jangankan lintas agama, masih dalam agama yang samapun
perbedaan masih saja dianggap masalah. Kita bisa lihat bagaimana jalannya
sidang itsbat penetapan idulfitri pada 29 agustus 2011 yang lalu. Dalam sidang
tersebut Muhammadiyah yang menyatakan diri untuk pamit lebaran lebih awal
justru banyak mendapat kecaman dari kalangan lain. Hal ini membuktikan jika
masih banyak umat islam yang tidak siap untuk berbeda dan menghargai perbedaan.
Karenanya, penulis memandang ada
beberapa hal yang perlu diperankan para pemimpin agama dalam hal ini Islam
untuk menginternalisasikan nilai pluralisme dalam konteks kehidupan majemuk di
Indonesia ini.
Pertama,
Membuka Dialog Lintas Agama.
Dalam kenyataan hidup berbangsa di
negeri ini sudah cukup banyak masalah yang membelenggu penduduknya. Mulai dari
masalah ekonomi, sosial, dan politik. Semuanya hampir amburadul dan tak
beraturan. Melihat fenomena ini maka bisa ditanyakan dimana fungsi agama bagi bangsa dengan masyarakat beragama?.
Karenanya, untuk menjawab dan
menyelesaikan masalah-masalah yang cukup menjadi masalah bagi bangsa ini maka
perlulah dilakukan dialog lintas agama untuk mencari solusi demi kebaikan
kolektif warga indonesia. Sebuah agama apabila dipahami dengan benar dan
cerdas, pasti akan mendororng pemeluknya untuk mengembangkan budaya dialogis,
bukan budaya saling mengunci pintu.[19]
Dalam
melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan adanya sikap
saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain.
Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’)
antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang
unik dan kompleks.
Demi
mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut, maka pemahaman
terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama, tetapi
harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang
bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam kehidupan
sehari-hari.
Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama orang
lain merupakan prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena tanpa ini
dialog mustahil dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama dipergunakan
untuk memperlancar dialog ini dan dialog antar agama sendiri merupakan media
untuk memahami agama lain secara benar dan komprehensif. Dialog antarumat
beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat
dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama serta akan mampu menyelesaikan
berbagai persoalan kolektif dalam kehidupan berbangsa dengan corak dan warna
yang beraneka ragam ini.
Kedua,
Reorientasi Misi
Da’wah
Dalam
kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja.[20]
menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan
dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada
menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas
umat). Posisi mayoritas yang tuna kualitas akan menjadi beban islam sebagai
agama yang ingin membangun peradaban asri yang berkualitas tinggi dimuka bumi.[21]
Sejalan
dengan Tanja, Shahab menegaskan bahwa ketegangan agama yang terjadi selama ini
adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris) adalah
orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama
secara mendalam. Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan
provokatif.
Dakwah
dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar
harus tetap dilangsungkan dalam kehidupan ini sampai akhirnya kata hidup tidak
lagi ada. Sebab, agama sebagai kebutuhan perenial akan bisa terus hidup dan
berkembang jika dakwah terus dilakukan. Namun proses dakwah itu sendiri tidak
boleh menggeser apalagi mengubur substansi ajaran islam yang hadir sebagi
rahmat bagi semesta raya ini. Karenanya menurut buya ma’arif subtansi doktrin
yang berasal dari wahyu dengan sendirinya bersifat immutable (tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas),
sedangkan metode dan strategi pelaksanaannya adalah wilayah ijtihad yang mutable (lapuk karena hujan dan lekang
karena panas).[22]
Dengan
demikian maka strategi dan pelaksanaan dakwah bukanlah sesuatu yang baku, namun
ia bisa saja berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Karenanya,
dalam menyikapi kehidupan didunia yang pluraslis inipun seorang muballigh/atau
pemimpin agama harus bisa mengkontekstualisasikan dakwah dengan kondisi zaman
sekarang ini.
Dakwah
sebagai keharusan dan kebutuhan bagi agama harus bisa mengarahkan umatnya
kepada sikap yang toleran, lapang dada dan siap berbeda, karena memang dunia
hari ini dipenuhi dengan aneka ragam corak dan warna yang semuanya itu harus
tetap bisa merasakan rahmat dari kehadiran islam.
Dengan
kedua hal tersebut diatas (dialog lintas agama dan interpretasi misi dakwah)
maka, penulis berharap dan yakin bahwa secara perlahan umat islam akan bergeser
kearah islam yang lebih inklusif, toleran dan siap untuk berbeda. Ketika hal
ini bisa dan telah terwujud maka umat islam yang merupakan 90% dari total
penduduk Indonesia akan mampu mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang utuh dan
maju ditengah kemajemukan didalamnya.
[1] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam dalam Bingkai.., h. 214.
[2] Hj. Nur Uhbiyati, 2000, Ilmu
Pendidikan Islam, (Pustaka Setia,
Jakarta), h. 9.
[3] Prof.Dr. Muhaimin, MA, 2009, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta,
Grafindo, h. 14.
[4] Wawancara via E-Mail dengan
Ahmad Syafii Ma’arif.
[5] Ahmad Syafii Ma’arif, 2000, Masa Depan Bangsa Dalam Taruhan, Yogyakarta,
Pustaka SM, h. 78.
[6] Dr. H. Abuddin Nata, MA, 2000, Metodologi Studi Islam, Jakarta,
Grafindo, h. 34.
[7] Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dalam Bingkai, Log.cit.
[8] Budhy Munawar Rachman, 1995, Agama
Masa Depan Prespektif Perenial (Jakarta: Paramidana ), hal. xxv.
[9] Musa Asy’ari, “Piagam Jakarta,
Dekonstruksi kebudayaan dan Pendidikan Agama”, dalam Kompas, 22 April
2002, hal. 32
[10] Wawancara via E-Mail dengan
Ahmad Syafii Ma’arif.
[11] Abdullah, Muhammad. Amin, 2005, Pendidikan Agama Era Multikultural
Multireligius, Jakarta, PSAP, h. 57.
[12] Wawancara via E-Mail dengan
Ahmad Syafii Ma’arif.
[13] Nurchalis majdid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah
kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta,
Paramida, h.
[14] Prof.Dr. Muhaimin, MA, 2009, op.
cit, h 319.
[15] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam Bingkai…, h. 229.
[16] Komaruddin Hidayat, 2004, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta,
Teraju, h. 34.
[17] Buchari Alma, ed., 2009, Moral dan Kognisi Islam, Bandung,
Alfabeta, h. 2.
[18] Wawancara via E-Mail dengan
Ahmad Syafii Ma’arif.
[19] Ahmad Syafii Ma’arif, 2004, Mencari Autentisitas.., h, 31.
[20] Andito (ed.), 1998, Atas Nama
Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka
Hidayah), h. 79.
[21] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam Bingkai.., h. 213
[22] Ahmad Syafii Ma’arif, 2004, Mencari Autentisitas.., h, 58.