Kamis, 17 Januari 2013

KURIKUM PENDIDIKAN 2013; ANTARA BARU DAN BAU.


Dunia pendidikan kita seolah tak pernah usai dari beragam persoalan yang membelit. Belakangan panggung pendidikan kita diramaikan dengan kabar kurikulum baru 2013 yang katanya akan digulirkan pada pertengahan tahun ini. Uji public telah dilakukan bahkan telah selesai. Pro kontra terkait kurikulum ini terus bermunculan, Muhammad Nuh selaku Mentri yang bertanggung jawab belakangan seperti artis yang kerapkali muncul di media. Satu hal yang cukup menarik dari kebijakan kurikum baru ini ialah  bahwa dari berbagai sudut pandang ia bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standart Nasional Pendidikan.
Kurikulm baru 2013  di tingkat pusat tersebut yang nantinya akan menggunakan system tematik integrative cukup paradoks dengan UU No. 20 Tahun 2003, sedikitnya ada tiga pasal yang dilanggar oleh kurikulum baru tersebut yakni pasal 36, 37 dan 38. Sedangkan dalam PP No 19 tahun 2005, sedikitnya kurikulm baru tersebut melanggar Bab II, bagian ke dua. Dalam pasal 38 ayat (2) misalnya, disebutkan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah”. Hal ini tentunya sangat paradoks dengan kebijakan yang akan mensentralisasikan kurikulum dari pusat. Pertanyaannya, apakah mungkin kebijakan ini bisa bertetangan dengan UU?. Tentunya tidak, oleh karena itu harus lebih dahulu dilakukan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi, namun dengan rencana implementasi kurikulum baru yang katanya akan mulai bergulir pertengahan tahun ini, apakah mungkin melakukan judicial review dalam waktu yang cukup singkat?, tentunya ini sangat mustahil, mengingat draf rancangan kurikulum tersebutpun belum juga diajukan ke DPR. Perubahan kurikulum sesuai dengan perkembangan pengetahuan, ilmu, teknologi, sosial ekonomi dan kebutuhan masyarakat memang diperlukan. kurikulum 2013 mungkin dirasa lebih sederhana, khususnya bagi sekolah dasar. Namun agar tidak melanggar undang-undang maka revisi undang-undang harus disegerakan, jika tidak ingin kurikulum tersebut ber-“bau busuk”.
Selanjutnya, dalam pasal 36 ayat (1) UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Sedangkan menurut PP 19 Tahun 2005 pasal 73 disebutkan bahwa pengembangan Standar Nasional Pendidikan dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Permasalahannya kemudian ialah ternyata pengembangan kurikulm yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan ini, kurang –untuk mengatakan tidak- melibatkan BSNP. Hal ini ditunjukkan bahwa kajian pengembangan kurikulum 2013 dilakukan oleh tim baik yang langsung di bawah Wakil Presiden atau pun tim yang berada di bawah Mendikbud. Padahal jika memperhatikan elemen perubahan kurikulum 2013 pada standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, merupakan ranah BSNP untuk mengkaji dan mengembangkan. Salah satu fakta terdekat menunjukkan bahwa uji publik dilakukan melalui laman kemendikbud, tidak laman BSNP. Begitu pula uji publik oleh Kemendibud bukan BSNP. Pertanyaannya; Kemana BSNP?, apakah memang tidak ingin terlibat atau sengaja tidak dilibatkan?
Jika pemerintah tidak mengajukan revisi Undang-undang Sisdiknas yang baru, paling tidak pemerintah harus melakukan adendum pasal terkait pengembangan kurikulum. Selanjutnya pemerintah juga harus melakukan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Keempat elemen perubahan dimasukkan ke dalam peraturan pemerintah yang baru terkait dengan Standar Nasional Pendidikan. Sebab jika tidak dilakukan, bagaimana mungkin kurikulum baru 2013 yang katanya hendak mengedepankan pengembangan kejujuran, disiplin dan sikap keperwiraan lainnya bisa berhasil, sementara proses kebijakan itu sendiri penuh dengan pelanggaran dan ketidakjujuran. Jika demikian, tidak salah jika dikatakan kurikulum baru 2013 tak lebih dari “kurikulum bau” yang menebarkan aroma busuk Undang-undang yang mati tergilas.
Akhirnya menurut hemat penulis, Pemerintah harus mengkaji lebih cermat dan seksama kebijakan ini dengan menggunakan kacamata obyektif yang berorientasi pada perbaikan mutu pendidikan, sehingga lebih tepat guna dan sasaran tanpa harus menggilas aturan yang ada. Hal ini harus dilakukan  dengan melibatkan semua elemen yang terkait, serta dengan melepaskan selimut kepentingan individu atau golongan. Sebagai pertimbangan, tentunya nasib sekolah didaerah-daerah harus menjadi bahan kajian, sebab jangankan kurikulum 2013 nantinya, bahkan kurikulum tingkat satuan pendidikanpun masih banyak guru yang belum benar-benar paham. Dengan demikian, memantapkan pembumian KTSP hingga keakar rumpun, penulis nilai lebih bijak dari pada kebijakan kurikulum yang baru nantinya.

Yogyakarta; 14 Januari 2013
Mukhrizal Arif, S.Pd.I

Kamis, 03 Januari 2013

Relasi Kekuasaan dan Pendidikan (Telaah Buku H.A.R Tilaar; Kekuasaan dan Pendidikan)


PENDAHULUAN
            Berbicara tentang pendidikan tentunya tidak dapat diredusir hanya sebatas proses yang terjadi di dalam lembaga sekolah semata, tetapi dalam skala yang lebih luas sekolah sebagai lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses pemberdayaan. Dengan demikian, proses pendidikan hanya dapat diketahui apabila kita menempatkannya dalam lingkungan kebudayaan suatu masyarakat.
          Pendidikan dalam konteks di atas (kebudayaan) meliputi masalah-masalah yang pelik seperti konsep kekuasaan (power). Sebab, pada hakikatnya kebudayaan mengatur kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, yang berati hakikatnya juga mempertahankan kekuasaan tertentu.
          Dengan kondisi yang demikian, ketika pendidikan sudah menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan, maka tujuan dari pendidikanpun akan menjadi tidak jelas, kalau boleh dikatakan tak ubah seperti layangan putus, yang tidak tahu kemana arah angin akan membawanya, jangankan ingin memberi angin segar bagi keberlangsungan suatu bangsa yang carutmarut, pendidikan yang demikian justru hanya akan menjadi agen kepentingan elit politik, yang pada gilirannya tidak mustahil menjadi bom yang siap memporakporandakan bangsa ini.
          Oleh karenanya, pendidikan sebagai bentuk pelaksanaan konsep kekuasaan Negara perlu dirumuskan peranannya agar terdapat keseimbangan antara kebebasan individu serta keterikatan individu sebagai warga negara dalam wadah persatuan Indonesia.[1] Sebab, proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik kesadaran akan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.[2]

PEMBAHASAN

A.           Konsep-konsep Kekuasaan
          Masalah kekuasan merupakan fenomena yang sangat menarik khusunya bagi masyarakat modern. Selain hampir seluruh aspek kehidupan manusia diliputi oleh pengaruh kekuasaan, kekuasaan itu sendiri dalam arti ingin menguasai sesuatu merupakan sifat dasar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, kekuasaan mungkin hanya diidentikkan dengan kekuasaan politik, padahal itu hanya sebahagian dari apa yang disebut kekuasaan sosial (social Power). Seorang pakar sosiologi, Gianfranco Poggi membedakan kekuasaan sosial atas tiga jenis, yaitu: 1) kekuasaan politik; 2) kekuasaan ekonomi; dan 3) kekuasaan normatif atau ideologis.[3]
          Teori mengenai sifat kekuasaan biasanya digolongkan kedalam dua kategori besar, pertama organic. Dalam teori ini kekuasaan merupakan lembaga etis dengan tujuan moral. Teori organic beranggapan bahwa kesatuan politik  seperti Negara merupakan tuntutan dari dalam manusia untuk berasosiasi dengan orang lain. Sebagai makhluk rasional, manusia menyadari bahwa kekuasaanlah yang membuat hidup menjadi mungkin dan bermanfaat bagi mereka. Kedua mekanistik. Dalam pandanganya mekanistik cendrung mengabaikan sifat sosial manusia dan memandang kekuasaan sebagai suatu lembaga artificial yang didasarkan atas tuntutan-tuntutan individual. Teori ini beranggapan bahwa kekuasaan sebagai sarana atau mesin kesepakatan bersama antara individu untuk memuaskan kekinginan-keinginannya.
          Dari uraian diatas kita dapat melihat tentang arti kekuasaan bagi kelangsungan hidup manusia dalam kehidupan bersama. Selanjutnya, untuk memperjelas hakikat sebenarnya dari kekuasaan, berikut akan dituliskan beberapa pandangan mengenai hakikat kekuasaan tersebut. Menurut Rosinski, kekuasaan merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan esensi manusia, yaitu sebagai karakteristis yang khas dalam posisinya terhadap alam.[4] Dalam pengertian yang lain, kekuasaan merupakan kemampuan manusia untuk berbuat sesuatu yang lain dari yang lain. Disini dapat kita lihat bahwa kekuasaan merupakan suatu hal yang hakiki bagi manusia dalam arti menyimpan dan menggunakan energy yang ada dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang lain dari lainnya.
          Dalam pandangan lainnya, seperti Antonio Gramsci, seorang marxis dari Italia yang tidak sedikit menulis tentang kekuasaan. Menurut Gramsci, Hegemoni[5] adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu.[6] Keberhasilan hegemoni ditentukan oleh terciptanya kesepakatan, dan kesepakatan itu sendiri harus melalui proses belajar. Dengan demikian hegemoni adalah hubungan edukasional yag pada gilirannya akan membentuk civil society yang didalamnya terletak dasar dari kekuasaan.
          Selanjutnya, Arthur Schopenhauer menjelaskan tentang arti kekuasaan dari segi kemanusiaan, menurutnya sumber kekuasaan tidaklah datang dari kekuatan yang transenden, meliankan berada dalam diri manusia, yaitu kehendak (will). Tambahnya, hanya ada satu kebenaran yang pasti di balik kenyataan, yaitu berbagai pertarungan yang terus menerus, yang penuh gairah dari kehendak manusia, yang kehendak tersebut sangat sulit untuk dihindari. Falsafah Schopenhauer ini selanjutnya mempengaruhi Nietzsche, ia berpendapat bahwa dari berbagai macam kehendak yang paling menentukan adalah kehendak berkuasa (the will to power). Terakhir, penulis mengutip pandangan Michael Foucault. Ia mengatakan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki Negara, manusia yang otonom selalu memiliki sejarah sendiri seperti halnya keyakinan dan nilai-nilainya.
          Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat dipahami bahwa kekuasan merupakan karakter khas manusia untuk bisa berbuat sesuatu yang lain dari pada yang lain dalam proses interaksinya terhadap alam dan lingkungan sosial, yang pada gilirannya dapat menaikkan kelas manusia tersebut untuk bisa mendominasi.
B.      Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan.
          Ketika membicarakan hubungan kekuasaan dan pendidikan, maka asumsi yang banyak berkembang bahwa keduanya merupakan bahagian yang terpisah, dan tidak memiliki hubungan satu sama lainnya, padahal keduanya (kekuasaan dan pendidikan) merupakan dua elemen penting dalam system sosial politik disetiap Negara, baik Negara berkembang maupun Negara maju. Keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara, keduanya merupkan sumber transformasi sosial dalam masyarakat modern.
          Pengertian kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata memiliki konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan yang kita lihat sehari-hari. Jenis kekuasaan tersebut dapat kita bedakan menjadi kekuasaan yang transformative dan kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekusaan dalam pendidikan adalah yang bersifat transformative, yang dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformative bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi tersebut menimbulkan. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif.[7]
          Sedangkan proses kekuasaan sebagai transmitif, terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri. Orientasi kekuasaan disini bersifat legitimatif.[8] Perbedaan lainnya dari kedua orientasi tersebut (advokatif dan legitimatif) ialah dalam hal proses perubahan dari refleksi kepada aksi yang memakan waktu.
          Arti penting pendidikan bagi keberlangsungan hidup ternyata masih bayak mengalami masalah-masalah yang cukup pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan. Setidaknya ada empat masalah yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan; 1) Domestifikasi dan Stupidikasi, 2) Indoktrinasi, 3) Demokrasi dalam Pendidikan, dan 4) Integrasi Sosial.
1.       Proses Domestifikasi dan Stupidikasi
          Proses domestifikasi (penjinakan) dan stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta didik menjadi menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang dilakukan oleh para penguasa.
          Proses domestifikasi dalam pendidikan ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan ijazah). Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya. Dengan pemujaan tersebut, dampaknya sangat luas seperti bertaburannya para pemegang ijazah yang tidak berkualitas, namun tak jarang mendapatkan posisi penting dan strategis dalam sebuah instansi baik negeri maupun swasta. Contoh lain dari proses pembodohan dalam pendidikan dapat juga kita lihat dari evaluasi pendidikan yang masih menggunakan tes obyektif. Tes seperti ini sungguh tidak efektif bagi peserta didik, selain karena tidak mengembangkan kemampuan rasio manusia, tes ini bahkan melumpuhkan berpikir. Hasilnya peserta didik akan kehilangan kemampuan analisis serta enggan mencari alternative dalam hidup, dan hidup sendiri terkadang diartikan tak lebih dari teka-teki silang, yang masing-masing kotak telah memiliki jawaban yang pasti tanpa perlu dilakukan analisis untuk mencari jawaban/alternative lainnya.
2.       Indoktrinasi
          Sudah menjadi rahasia umum bahwa system pendidikan menjadi sasaran empuk bagi penguasa untuk bisa menancapkan kukunya dalam penentuan kurikulum. Kurikulum dari mulai taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi semuaya berada dalam genggaman pemerintah tanpa ada kebebasan dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk menyusun sendiri kurikulumnya. Melalui kurikulum inilah proses indoktrinasi yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan yang ada terjadi. Dengan kondisi yang demikian, maka apa yang terjadi dalam proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses mentransferkan ilmu pengetahuan secara paksa.
          Selanjutnya, apabila kurikulum berisi indoktrinasi maka cara penyampaian proses belajar mengajar tentunya juga mengikuti pola indoktrinasi. Pola pembelajaran yang demikian pada gilirannya akan menghantarkan kebudayaan bangsa menghadapi stagnasi, hal ini disebabkan karena matinya daya kreatifitas dari para anggota masyarakat sebagai buah dari proses pendidikan yang diwarnai dengan indoktrinasi.
3.       Demokrasi
Inti dari pendidikan demokrasi ialah manusia yang bebas, yaitu seseorang yang menghadapi masalah-masalah hidup yang penih problematic dengan alternative-alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk mencari solusi yang terbaik.[9] Dari sini jelas bahwa tuntutan dari demokratis yaitu adanya kemungkinan-kemungkinan yang terbuka yang dihadapkan kepada seseorang. Pendidikan demokratis bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi juga merupakan suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari berbagai jenis kungkungan.
          Berbeda dengan fakta dilapangan, system pendidikan demokratis tak lebih dari sekedar nama, tanpa menyuguhkan kesempatan-kesempatan bagi perkembangan kebebasan yang merupakan cirri demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari apa yang tengah digaungkan belakangan ini terkait wajib belajar, bahkan dikatakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi dari setiap insan, namun ternyata masih cukup bayak kalangan yang belum atau mungkin tidak bisa mengenyam pendidikan karena berbagai macam keterbatasan. Hal ini tentunya menjadi dosa besar demokrasi di bangsa ini.
          Tumbuhnya  demokrasi dalam proses pendidikan mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme. Multikulturalisme menghargai berbagai corak dan warna yang beragam dari bagsa plural seperti Indonesia. Dengan pendekatan ini diharapkan corak dan warna yang cukup beragam tersebut bisa tetap bersaudara dalam perbedaan sehingga terhindar dari benturan budaya yang merupakan tantangan tersenidir dalam proses demokrasi.
4.       Integrasi Sosial
          Integrasi sosial merupakan capital budaya yang sangat ampuh oleh suatu masyarakat dalam melanjutkan kehidupannya.[10] Masyarakat yang ketiadaan capital budaya akan sangat rentan kepada disintegrasi pada waktu mengalami krisis. Kita bisa lihat bagaimana Negara-negara di Asia tenggara ketika menghadapi krisis tahun 1997, akibat kurangnya capital budaya tidak kuat menahan krisis sehingga berakibat keterpurukan yang berlarut seperti di Indonesia. Pengalaman ini kiranya cukup mengajarkan betapa pentingnya kekuasaan yang berakar dari bawah (grass-root) atau yang berdasarkan kepada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Iniah yang disebut tribalisme positif, yang merupakan kekuatan yang mengikat dari suatu masyarakat.
          Integrasi sosial hanya dapat ditumbuhkan dari bawah, dari pendekatan multikulturalisme dalam pengembangan budaya dan pengembangan pendidikan.  Sumber kekuasaan bukan berasal dari atas tetapi yang tumbuh dari bawah/masyarakat adat. Kekuasaan yang datang dari atas hanya akan mematikan budaya dan menghasilkan budaya yang cendrung kepada uniformisme dan menghilangkan budaya local yang justru merupakan kekuatan dari kebudayaan itu sendiri.
          Dari penjelasan diatas tentang hubungan pendidikan dan kekuasaan termasuk masalah-masalah yang ada di dalamnya, maka dapat kita catat beberapa hal penting; pertama, proses pendidikan menghasilkan manusia yang bebas, yang mempunyai akal budi dalam mengambil keputusan menghadapi berbagai jenis dan kondisi serta keterikatan manusia dalam lingkungan kebudayaannya. Kedua, kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan yang terbatas  tetapi sekaligus pula bebas untuk dikembangkan oleh individu-individu dalam mengembangkan individunya sendiri melalui partisipasi antara sesamanya dalam lingkungan kebudayaan.
          Selanjutnya, pendidikan sering juga dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Di Negara–negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
          Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembanga–lembaga politik. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan.
          Kuatnya cengkraman kekuasaan yang ada dalam lingkungan pendidikan menyebabkan proses belajar berjalan dalam suasana tidak menentu, kalau boleh dikatakan tak ubah seperti layangan putus, yang tidak tahu kemana arah angin akan membawanya. Pendidik (guru) kehilangan kebebasannya dalam melakukan kreativitas pembelajaran. Sebab banyaknya aturan yang memasung ruang ekspresi belajar. Belajar mestinya sama alamiyahnya dengan bernafas. Pendidikan hendaknya tidak lagi dimaknai sebagai upaya sistematis untuk menyiapkan pelajar menghadapi masa depannya, tetapi sebagai kegiatan memfasilitasi para pelajar menggali potensi untuk merangkai masa depan. Sehingga pendidikan tidak boleh bertentangan dengan kehendak Tuhan yaitu bahwa anak didik adalah hasil Maha Karya-Nya harus dioptimalkan potensi positifnya. Seperti yang menjadi tujuan Pendidikan Nasional dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS yaitu "Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab"
          Indikasi pergeseran itu menjadi tampak jelas. Dimana posisi struktural dan fungsional dalam institusi pendidikan kita sudah menjadi ajang rebutan jabatan. Ketika jabatan itu berada di pundak maka yang sering terjadi adalah menjalankan fungsi dan wewenang sebagai sebuah kekuasaan. Kondisi ini tentunya akan menggeser tujuan pendidikan kita. Semisal Kepala Sekolah dapat saja diganti dalam hitungan bulan, Kepala Dinas dan pejabat struktural pendidikan dapat diganti oleh Kepala daerah tanpa mengetahui kompetensinya dalam pendidikan dan menguasai hakikat pendidikan. Yang bahaya adalah menilai kehendak diri dianggap sebagai sebuah tafsir atas peraturan-peraturan dan undang-undang dalam pendidikan. Atau melahirkan aturan-aturan baru yang membentur aturan diatasnya (pokok).
          Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan. 

C.      Peran Negara Dalam Pembangunan Pendidikan
          Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program–program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian  rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan control yang sangat ketat terhadap program–program pendidikan tersebut. Akan tetapi, campur tangan dari pemerintah tidak selamanya berdampak positif bagi penyelenggaraan pendidikan, kekuasaan pemerintah dalam manajemen pendidikan nasional harusnya tidak sampai melampaui batas yang dapat melanggar hak asasi manusia.
          Kekuasaan politik secara tidak langsung berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk “hidden curriculum”, yang tanpa disadari suatu sistem pendidikan telah menjalankan berbagai macam kepentingan para penguasa. Karenanya dalam reformasi pendidikan dewasa ini dikembangkan kesadaran masyarakat dan peserta didik terhadap adanya hidden curriculum dibalik kurikulum sistem pendidikan. Selanjutnya, terkait peran Negara terkahadap proses pendidikan secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan perspektif studi cultural.
1.             Perspektif Mikro
          Dalam perspektif mikro, yang dijadikan pusat perhatian ialah peserta didik dalam proses belajar mengajar. Peserta didik dalam proses belajar berkaitan dengan tujuan pendidikan, metodologi, dan evaluasi hasil belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut didukung oleh system internal, yaitu; 1) pembuat kebijakan, 2) manajemen dan 3) service. Selanjutnya, keseluruhan system tersebut didukung oleh system eksternal, yaitu; 1) buaya, 2) kekuatan politik dan 3) kondisi ekonomi.[11]
          Dalam pandangan mikro ini masing-masing komponen mempunyai permsalahannya sendiri dalam pengembangannya. Negera dapat berbuat sesuatu atau melakukan intervensi dalam perumusan tujuan, penentuan metodologi dan cara evaluasi pembelajaran. Keseluruhan upaya Negara tersebut tergantung kepada pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, system manajemen yang digunakan, serta service pendidikan yang diberikan  dengan bantuan Negara. Keseluruhannya juga tergantung kepada budaya masyarakat untuk menopang dan berkomitmen atas terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
2.       Perspektis Studi Kultural
          Dalam perspektif studi cultural, system pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari system budaya, sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhun.[12] Dalam hal ini, antara Negara dan pendidikan merupakan system yang terintegrasi dalam system kekuasaan. Peran Negara dalam perspektif ini dapat bersifat positif apabila lembaga-lembaga pendidikan juga mempunyai control terhadap pelaksanaan kekuasaan Negara.
          Lembaga pendidikan dalam perspektif ini bukanlah merupakan kepanjangan tangan dari kekuasaan Negara, melainkan sebagai partner dari Negara dalam melaksanakan kekuasaannya. Hal ini mempunyai implikasi yang sangat jauh dalam metodologi pendidikan, dalam manajemen dan service pendidikan terhadap rakyat banyak.
          Dengan melihat dua perspektif sebagaimana telah dijelaskan, maka dapat kita uraikan berbagai peranan Negara terkait pendidikan. Secara garis besar peranan tersebut adalah:
1.      Pemerataan pendidikan. Jika pada masa lalu pemerataan pendidikan berorientasi kepada target, maka hari ini dan masa depan haruslah diarahkan kepada kualitas. Masyarakat global hari ini menuntut pribadi yang berkualitas, bukan sekedar pemegang ijazah yang tak jarang atau mungkin banyak yang tuna kualitas.
2.      Kualitas. Jika pada masa lalu kualitas dicapai dengan evaluasi dan standarisasi semu melalui ujuan terpusat da kurikulum baku secara nasional, maka hari ini dan kedepan kualitas utama yang ingin dicapai ialah yang tertinggi sesuai kebutuhan dan kondisi daerah.
3.      Proses pendidikan. Pada masa lalu proses pendidikan tidaklah dipertimbangkan, karena yang penting ialah target kantitatif.
4.      Metodologi. Pada masa lalu metodologi adalah indiktrinasi sedangkan pada masa depan metodologi yang efektif adalah dialog.
5.      Manajemen. Pada masa lalu manajemen dipegang oleh Negara dengan birokrasinya yang memegang peranan sebtral, pada masa depan manajemen terpusat pada institusi sekolah.
6.      Pelaksanaan service pendidikan. Pada masa lalu Negara adalah pelaku utama. Pada masa depan pemerintah sebagai partner yang cukup memberikan arah.
7.      Perubahan sosial. Pada masa lalu terarah dan opresif. Pada masa depan demokrasi dan tumbuh pada grass-root.
8.      Perkembangan demokrasi. Pada masa lalu Negara menentukan bingkai dalam berdemokrasi dan terbatas pada prosedur. Pada masa depan Negara mengarahkan perubahan tingkah laku yang demokratis.
9.      Perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Pada masa lalu bukan merupakan  suatu bahan pertimbangan dalam penyususnan kurikulum. Pada masa depan dijadikan salah satu komponen pokok penyusunan kurikulum.
10.  Perkembangan nilai moral dan agama. Pada masa lalu ditentukan oleh Negara  dalam kurikulum yang terpusat. Pada masa depan berakar dari kebudayaan dan agama setempat.
11.  Nasionalisme. Pada masa lalu pemaksaan dari atas dan bersifat formalistic dan mengabaikan identitas daerah. Pada masa depan pendidikan multikulturalisme menjadi sangat relevan untuk dikembangkan.
12.  Pendanaan. Pada masa lalu seluruhnya ditaggung oleh Negara. Dana sebagai alat pelestarian kekuasaan pemerintah. Pada masa depan Negara menggunakan dana secara selektif sebagai sarana intervensi pemerataan pendidikan, kualitas.
13.  Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun. Pada masa lalu ditentukan secara terpusat oleh pemerintah pusat. Pada masa depan pelaksanaan wajib belajar sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah dan dapat dilaksanakan secara bertahap.
Demikianlah secara garis besar peranan Negara dalam pendidikan yang berubah fungsinya dari masa lalu, sekarang dan masa depan. Kemauan politik telah ada dengan amandemen UUD mengenai pendidikan. Dari segi teknis, diperlukan penelitian-penelitian akuntabilitas yang memadai sehingga dapat digunakan sebagai justifikasi pengalokasian dana nasional dan daerah maupun dana dari masyarakat. Dimasa lalu apropriasi dana kebanyakan didasarkan atas asumsi dan conjectures sehingga cendrung semata-mata kearah pencapaian target kuantitatif. Akuntabilitas anggaran Negara harus ditopang oleh riset yang terus menerus dan ekstensif.


KESIMPULAN

kekuasan merupakan karakter khas manusia untuk bisa berbuat sesuatu yang lain dari pada yang lain dalam proses interaksinya terhadap alam dan lingkungan sosial, yang pada gilirannya dapat menaikkan kelas manusia tersebut untuk bisa mendominasi
Kekusaan dalam pendidikan adalah yang bersifat transformative, yang dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformative bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi tersebut menimbulkan. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif.

pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan.
terkait peran Negara terkahadap proses pendidikan secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan perspektif studi cultural. Dalam perspektif mikro, yang dijadikan pusat perhatian ialah peserta didik dalam proses belajar mengajar. Dalam perspektif studi cultural, system pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari system budaya, sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhan. 


DAFTAR BACAAN
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang; Indonesia Tera, 2003).
httpditpolkom.bappenas.go.idbasedirArtikel046.%20Politik%20dan%20Pendidikan%20%285%20Juni%202009%29.pdf



[1] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang; Indonesia Tera, 2003), hlm. xxvi.
[2] Ibid, hlm. 87.
[3] Ibid, hlm. 72.
[4] Ibid, hlm. 74.
[5] Hegemoni menurut Benedetto Croce ialah sistem kekuasaan yang didasarkan pada consensus yang dilaksanakan oleh Negara.
[6] Tilaar, Kekuasaan, hlm. 77.
[7] Ibid, hlm. 88
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 94
[10] Ibid, hlm. 99
[11] Ibid, hlm. 152.
[12] Ibid, hlm. 153.

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi