Minggu, 18 Desember 2011

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JIWA BERAGAMA


Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek ronhaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah dan pengaktualisasiannya melalui peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminnallah maupun hablumminnannas. Keimanan kepada Allah dan aktualisasinya dalam ibadah merupakan hasil dari internalisasi, yaitu proses pengenalan, pemahaman, dan kesadaran pada diri seseorang terhadap nilai-nilai agama. Proses ini terbentuk dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor internal (fitrah, potensi beragama) dan eksternal (lingkungan).
A. Faktor Internal (Fitrah)
Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia memiliki fitrah (potensi ) beragama. Setiapa manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif (bersahaja) maupun yang modern; baik yang lahir di negara komunis maupun beragama; baik yang lahir dari orang tua yang shalih maupun yang jahat, sejak Nabi Adam sampai akhir zaman, menurut fitrahnya mempunyai potensi beragana, keimanan kepada Tuhan, atau percaya terhadap suatu dzat yang mempunyai kekuatan yang menguasai dirinya atau alam dimana dia hidup.
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama, sehingga fitrahnya itu berkembang secara benar sesuai dengan kehendak Allah Swt.
Keyakinan bahwa manusia memunyai fitrah beragama merujuk kepada firman Allah, sebagai berikut
    

172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Qs.Al- A’raaf:172)
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. Ar.Ruum:30)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Qs. Asy Syams:8-10)
Fujur dalam Qs. Asy-Syams diatas berarti hawa nafsu, sebagai disposisi (potensi) yang mendorong individu untuk melakukan suatu perbuatan (dalam rangka memperoleh kepuasan) dengan tidak memperhatikan nilai-nilai agama seperti tercermin dalam perbuatan zina, mencuri, berjudi, meminum minumam keras, dan mendzolimi orang lain. Sedangkan “taqwa” merupakan potensi yang mendorong individu untuk melakukan perbuatan yang baik(selaras dengan nilai-nilai agama),seperti teraktualisasikan dalam perbuatan:taat beribadah, menjalin persaudaraan, menolong orang lain, thalabul ilmi, dan sebagainya.
B. Faktor Eksternal (lingkungan)
Faktor fitrah beragama (taqwa) merupakan potensi yang mempunyai kecenderungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan terjadi manakala tidak ada factor luar (eksternal) yang memberikan pendidikan(bimbingan, pengajaran, dan latihan) yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Fator itu tiada lain adalah lingkungn dimana individu (anak) itu hidup, yaitu keluarga, sekolah(kelembagaan), dan masyarakat.
1. Lingkungan Keluarga.
Anak yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan yang bersifat bawaan . Disini terlihat adanya 2 aspek yang kontradiktif . Disatu pihak bayi atau anak yang baru lahir berada dalam kondisi tanpa daya, sedanngkan di pihak lain anak memiliki kemampuan untuk berkembang (eksploratif) . Tetapi, menurut Walter Houston Clark, perkembangan bayi atau anak tak mungkin dapat berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan. Seandainya bayi atau anak dalam pertumbuhan dan perkembangannya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, maka ia masih memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan (W.H.Clark, 1964:2). Pendapat ini menunjukan bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, anak akan kehilangan kemampuan untuk bberkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk bertumbuh dan berkembang serta potensi-potensi lainnya.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak/ibu ) adalah pendidik kodrati. Mereka mendidik bagi anak-anak mereka karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Allah SWT berupa naluri orang tua. Karena naluri inilah timbul rasa kasih sayang orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi, serta membimbing keturunan mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan . Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka tak heran jika Rosul SAW menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua sebagai mana disabdakan dalam hadist beliau “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Dan dalam Al-Qur’an Allah SWT menerangkan bahwa orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan agama keapada anak-anaknya dalam upaya menyelamatkan mereka dari siksa api neraka, sesuai dengan Qs. At Tahrim:6 “Hai orang-orang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Salah seorang psikolog bernama Hurlock berpendapat bahwa keluarga merupakan “Training Centre”bagi penanaman nilai-nilai, termasuk juga nilai-nilai agama. Pendapat ini menunjukkan bahwa kelurga mempunyai peran sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai (tata karma, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemapuan untuk mengamalkan atau menerapannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara personal maupun social kemasyarakatan.
Peranan keluarga ini terkait dengan upaya-upaya orang tua dalam menanaman nilai-nilai agama kepada anak, yang prosesnya berlangsung pada masa pra lahir (dalam kandungan) dan pasca lahir. Pentingnya penanaman nilai agama pada masa pra lahir, didasarkan kepada pengamtan ahli pskologi terhadap orang-orang yang mengalai gangguan jiwa. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa gangguan jiwa mereka dipengaruhi oleh keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa merekaberada dalam kandungan.
Upaya orang tua dalam pengembangan jiwa beragama anak pada masa kandungan dilakukan secara tidak langsung, karena kegiatannya bersifat pengembangan sikap, kebiasaan, dan perilaku-perilaku keagamaan pada diri orang tua itu sendiri.
Upaya-upaya yang seyogyanya dilakukan orang tua khususnya ibu pada masa anak dalam kandungan itu diantaranya sebagai berikut :
a. Membaca doa pada saat berhubungan seksual sebadan suami-isteri
b. Meningkatkan kualitas ibadah shalat wajib dan sunat.
c. Melaksanakan shalat sunnat tahajjud.
d. Mentadarrus Al-Qur’an sampai khatam dan empelajari tafsirnya.
e. Memperbanyak dzikir kepada Allah
f. Memanjatkan doa kepada allah yang terkait dengan permohonan untuk memperoleh keturunan yang shalih.
g. Memperbanyak shodaqoh kepada fakir miskin atau yatim piatu.
h. Menjauhkan diri dari makan atau minuman yang diharamkan Allah
i. Memelihara diri dari ucapan atau perbuatan yang diharamkan Allah.
Adapun upaya-upaya yang seyogyanya dilakukan orang tua setelah anak lahir diantaranya sebagai berikut :
a. Pada saat anak berusia 7 hari, lakukanlah aqiqah, sebagai sunnah Rosululloh SAW.
b. Orang tua hendaklah mendidika anak tentanng ajaran agama
c. Orang tua hendaknya memelihara hubungan yang harmonis antar anggoat keluarga.
d. Orang tua seyogyanya memiliki kepribadian yang baik dan berakhlakul karimah.
e. Orang tua hendaknya memperlakukan anak dengan cara yang baik.
f. Orang tua hendaknya tidak memperlakukan anak secara otoriter.
2. Lingkungan Sekolah (kelembagaan)
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yangmempunyai program sistemik dalam melaksakan bimbingan, pengajaran, dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), social, maupun moral spiritual.
Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh sangat besar terhadap kepribadian anak, karean sekolah merupakan substitusi dari keluarga, dan guru substitusi dari orang tua.
Sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para oran tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya, para oran tua yang sulit menendalikan tingkah laku anaknya akan memasukan anak- anak mereka ke sekolah agam dengan harapan secara kelembagaan skolah tersebut dapat memberikan pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan kepada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebaut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Mengenai peranan guru (pendidik) dalam pendidikan akhlak anak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakitnya dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitu juga kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah Bergama anak atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting . Peranan ini terkait dengan upaya mengembangkan pemahaman, pembiasaan, mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukm-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut :
a. Dalam mengajar, guru agama hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demonterasi, dan qishah. Sehingga anak tidak mersa jenuh ntuk mengikutinya..
b. Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku pada teks atau materi itu saja, tetapi materi itu sebaiknya dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari., atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat.
c. Guru agama hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdhoh) akan memberikan makan yang lebih tinggi di hadapan Allah SWT, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksukan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Guru agama hendaknya memiliki kepribadian yang mantap (akhlak mulia), seperti jujur, bertanggung jawab, komitmen terhadap tugas, disiplin dalam bekerja, kreatif, damn respek terhadap siswa.
e. Guru agama hendaknya menguasai bidang study yang diajarkannya secara memadai, minimal maetri-materi yang terkandung dalam kurikulum.
f. Guru agama hendaknya memahami ilu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikan, dan lain-lain.
g. Pimpinan sekolah, guru-guru, dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama.
h. Guru-guru yang mengjar bidang study umum hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.
i. Sekolah hendaknya menyediakan sarana ibadah (masjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.
j. Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin.
3. Lingkungan Masyarakat
Yang dimaksud lingkungan masyarakat ini adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak juga remaja.
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi social dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya, yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukkan kebobrokan moral, maka anak akan cenderung terpengaruh untuk berperilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terhadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orang tuanya.
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock mengemukakan bahwa “Standar atau aturan-aturan gang (kelompok berteman) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya.”Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, disini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung pada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur dan lain-lain yang berpengaruh positif terhadap perkembangan kejiwaaan beragama anak.
Di sinilah terjadi hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masayarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi peran masyarakat akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri.
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak atau remaja, maka ketiga lingkungan tersebut secara sinerji harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana lingkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengan berkembangnnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral(orang tua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi