Rabu, 14 Maret 2012

48 TAHUN IMM ; DIMANA, HENDAK KEMANA ?

Perputaran waktu dengan segala kondisi zaman yang dilaluinya telah menghantarkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) berada pada Usia ke-48 ( 14 Maret 1964 – 14 Maret 2012 ). Usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi besar dengan tujuan besar dalam mengimplementasikan tujuannya tersebut. Pengalaman yang dilalui dan didapat harusnya bisa dijadikan ibrah / pelajaran dalam menentukan langkah hari ini dan menggagas langkah kedepan guna menciptakan akademisi yang berakhlak mulia dalam mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya.
IMM hari ini memang sudah cukup besar secara kuantitas, siapapun yang mengaku aktivis tetunya tahu dan kenal IMM, jika tidak pastilah ke-aktivisannya diragukan. Namun, bagaimana jika ditanya tentang kualitasnya, apakah jumlah kader yang sudah lebih dari cukup tersebut sepadan dan sebanding dengan kualitas yang seharusnya. Sebab, kuantitas yang tuna kualitas justru akan menjadi bomerang bagi simerah ini.
Rentang panjang perjalanan IMM selama 48 tahun ini yang tak bisa lepas dari dinamika kehidupan bangsa dengan segala kekacauannya, telah menyeret IMM ketepi jurang yang curam. Usia matang (48 Tahun) beserta segala pengalamannya ternyata belum cukup berarti dalam menapaki jalannya hari ini serta mempersiapkan langkah kedepan. IMM ditengah kegalauan bangsa hari ini persis seperti layangan putus yang tak tahu sedang dimana dan kemana angin akan membawanya. Memang masih ada beberapa kader yang masih berpikir untuk terus berbuat baik dan memberikan yang terbaik bagi ikatan ini, tapi jumlahnya tidak sepadan dan justru tenggelam oleh mereka yang kontras dengannya.
IMM yang seharusnya bisa membantu bangsa ini bangkit dari kegalauannya justru tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dan ikut terseret arus dan efek globalisasi yang telah banyak merubah bangsa, baik perubahan fisik maupun psikhologis. Kenapa ini bisa terjadi?. There is something wrong…..
Apakah ikatan ini sudah tidak lagi memiliki pijakan yang kuat dalam melangkah, atau justru kader-kadernya lah yang tidak mampu melangkah ? ini perlu kita bicarakan jika Ikatan ini ingin diselamatkan, karena jika tidak, IMM akan terombang ambing dihempas ombak globalisasi dan secepat mungkin akan tersimpan di laci sejarah dalam memori kolektif para kadernya maupun aktivis muda secara keseluruhan. Ini ironis, Dan pastinya kita tidak ingin jika hal ini terjadi.
Dalam kaitan ini sebagai bahagaian dari keluarga besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, saya masih yakin jika ikatan ini masih memiliki pijakan yang jelas, hanya saja kita masih saja terbelenggu dengan berbagai macam alasan sehingga menyulitkan kita dalam melangkah dan mengimplementasikan pijakan tersebut. Oleh karena itu yang perlu di kerjakan oleh ikatan tercantumkan dalam bidang atau garapan ikatan yang tertuang dalam trilogi IMM kemahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakatan. Ini tidak mudah, tetapi jika berhasil dikerjakan dengan baik dan benar sesuai dengan kebutuhannya maka IMM akan mudah dalam mengayuh langkah.
Sifat dari trilogi tersebut merupakan kesatuan yang intergral dimana satu-sama lain tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan cerminan dari realitas pada diri ikatan, meliputi asaz, latar belakang, basic kader ikatan, basic keagamaan dan lahan garap untuk melakukan transformasi sosial baik dalam wilayah kemahasiswaan, keagamaan dan kemasyarakatan. Trilogi yang berada dalam diri ikatan merupakan sarana ataupun tempat dalam melakukan transformasi sosial yang dilakukan oleh IMM (Abdul Halim Sani ; penulis buku Gerakan Intlektual Profetik).
Ketiganya harus bisa dipahami dan dimengerti dengan benar oleh siapapun yang mengaku kader IMM, sebelum ia bergerak dalam melakukan transformasi sosial. Interpretasi dari ketiganya merupakan kompetensi yag memang harus dituntut bagi kader-kader IMM. Interpretasi dimaksud keagamaan menjadi Religiusitas, Kemahasiswaan menjadi Intelektualitas dan kemasyarakatan menjadi Humanitas/Liberatif.
Lebih luas dapat dijelaskan penafsiran dari ketiganya, Pertama : Keagamaan menjadi Religiusitas. Untuk ini maka sebagai kader ikatan selain merupakan bahagian dari umat islam maka kita dituntut dan dituntun untuk bisa memahami islam secara benar dan cerdas. Memahami islam secara cerdas menurut buya Ma’arif (Ahmad Syafii Ma’arif) ialah dengan sikap yang jujur, toleran, lapang dada dan lepas dari kepentingan dan subjektivisme. Dengan beragama secara cerdas ini maka seorang kader tidak akan sulit dalam menjelajahi kehidupan social, karena ia siap berbaur dengan segala macam golongan demi kebaikan diberbagai hal dan demi kepentingan bangsa ditengah kemajemukan.
Selanjutnya, dalam memperkaya khazanah keagamaan guna memudahkan langkah dalam upaya membumika islam diera global ini, Hasan Hanafi sebagaimana dikutip oleh Mas sani dalam bukunya GIP, menyarankan agar seorang kader bisa menguasai tiga tradisi dalam pengembangan keagamaan. Ketiga tradisi tersebut adalah tradisi klasik yang digunakan agama sebagai semangat pembebasan dan praksis sosial. kedua adalah tradisi sekarang yang dikenal dengan Oksidentalism. Tradisi sekarang ini menjadikan umat Islam melihat peradaban barat yang sudah sangat maju dan kita belajar pada mereka dan melengkapinya dan memiliki kedudukan yang sama antara barat dengan Islam sama-sama mengkaji pengetahuaan. Mengutip bahasanya Hasan Hanafi kesejajaran ego barat dengan Islam. Tradisi yang ketiga tradisi masa depan tradisi masa depan ini menjadikan Islam bersentuhan dengan tradisi sekarang dan meramalkan ataupun mimpi yang dibawa oleh Islam untuk merekontruksi peradaban. Menurut Hasan Hanafi dalam mencapai tradisi kedepan tersebut penggalian atau pemaknaan ajaran agama bercorak liberatif, emansipatoris, berpihak dan tidak bebas nilai.
Dengan pemahaman agama yang demikian, maka islam sebagai rahmat bagi alam akan segera terwujud, karena memang kehadiran islam sebagai rahmatan lil‘alamin ini tidak boleh terlupakan sekejap pun dalam memori kolektif umat islam, demikian ungkapan buya Ma’arif. Dengan pemahaman agama ini juga, maka kader ikatan akan terlihat memiliki cirri khas dalam memandang agama, yang tentunya masih berada dalam garis da koridor islam yang benar.
Kedua : Kemahasiswaan Menjadi Intelektualitas. Mahasiswa yang merupakan Agen of Change harus benar benar bisa dan siap dalam melahirkan sebuah perubahan, tentunya perubahan kearah yang positif. Sebab bagaimanapun bangsa ini kedepannya semua tergatung kepada generasi muda hari ini “syubbanul yaum, rijalu al ghada”. Oleh karenanya kader ikatan yang tumbuh dan berkembang dalam habitat mahasiswa harus bisa menggiring dunia ini (dunia Mahasiswa) kearah yang positif sebagi cerminan dari persiapan bangsa mendatatang.
Gerakan yang dilakukan oleh kader ikatan harus bisa menjadi contoh dan teladan bagi mahasiswa lainnya. Karenanya semboyan  beramal ilmiah dan berilmu amaliah menjadi sesuatu yang sangat penting dalam hal ini. Dengan menggiring mahasiwa kearah positif, maka sama dengan menyiapkan generasi muda yang berkualitas dan siap bertanggung jawab atas kemajuan bangsa dimasa mendatang. Sekalipun ini tidak mudah, namun harus tetap diusahakan dan terus dicari strategi dan metode efektifnya tanpa putus asa, karena memang dalam islam tidak ada tempat bagi sikap putus asa.
Mas Piet H Khaidir dalam bukunya mengatakan bahwa generasi muda hari ini bergerak dalam sudut ambiguitas, kerena pergerakannya hanya bertujuan untuk menciptakan sejarah agar ia dikenang dibelakang hari, tanpa mementingkan membangun peradaban yang cerah untuk masa depan (bangsa). Karenanya, kader ikatan dalam hal ini harus bisa berorientasi kepada hal itu (membangun peradaban cerah dimasa depan).
Ketiga : Kemasyarakatan menjadi Humanitas dan Liberatif. Humanisasi merupakan terjemahan yang kreatif dari amal ma’ruf  yang memiliki makna asal menganjurkan atau menegakkan kebaikan. Amar ma’ruf meliki tujuan untuk meningkatkan dimensi dan potensi positif manusia, yang membawa kembali pada petunjuk ilahi untuk mencapai keadaan fitrah. Liberasi merupakan terjemahan dari nahi munkar yang memiliki arti melarang atau mencegah segala tindakan kejahatan yang merusak. Liberasi memilki arti pembebasan terhadap yang termarjinalkan. (Abdul Halim Sani GIP)
Ditengah kegalauan bangsa yang kian hari semakin menggalaukan, maka kader ikatan harus bisa tampil memberi arti ditengah masyarakat luas. Kader ikatan dengan ke-religiusan dan ke-intelektualannya harus bisa memformulasikan sebuah formula guna membebaskan masyarakat dari system yang selama ini banyak merugikan dan menindas masyarakat. Namun pembebasan yang dilakukan juga harus di ikuti dengan memberikan arah bari yang lebih baik.
Dengan uraian dari interpretasi trilogy ikatan diatas, semoga kita kader ikatan bisa lebih cerah dalam memandang serta menyiapkan langkah untuk hari ini dan masa mendatang. Jika memang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang sama-sama kita banggakan ini benar berazaskan Islam, maka kita juga harus siap dan bersedia untuk menjadikan kehadiran Ikatan sebagai rahmat bagi alam khususnya Indonesia, sama seperti azasnya.
Akhirnya saya ucapkan selamat atas hari lahir Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ke-48. Semoga berkah rahmat Ilahi melimpahi perjuangan Kita. JAYALAH IMM JAYA. ABADI PERJUNGAN KITA.
Billahi fii sabililhaq, fastabiqul khairot.
Wassalamua’alaikum.
Ditulis di : Medan, 14 Maret 2012
Pukul : 15.45
MUKHRIZAL ARIF S.PdI

Jumat, 09 Maret 2012

URGENSI IMPLEMENTASI PLURALISME AGAMA DALAM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF AHMAD SYAFII MA’ARIF


A.    Hakikat Pendidikan Islam
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa dalam upaya mewujudkan islam yang rahmatan lil ‘alamin, maka kita dituntut dan dituntun untuk bisa cerdas dalam beragama. Keharusan cerdas dalam beragama ini membuat peran pendidikan islam menjadi sangat urgen. Sebab bagaimana seseorang bisa menjelma menjadi cerdas jika ia masih jauh dari apa yang disebut pendidikan.
Akan tetapi ketika kita berbicara mengenai pendidikan khususnya pendidikan islam dalam konteks keindonesiaan, maka akan kita dapati sebuah fakta yang sangat memilukan sekaligus memalukan. Bagaimana tidak, sebuah bangsa besar yang dihuni oleh mayoritas muslim dalam realita masih saja berada dalam buritan khususnya disektor pendidikan. Konsep Undang-undang dasar Negara kita tentang mencerdaskan kehidupan bangsa seakan tak lebih dari bualan kosong diwarung kopi. Ini tidak lain karena belum adanya strategi yang pas mantap dalam upaya membangun kualitas pendidikan dibangsa yang sudah berumur lebih dari setengah abad ini, atau mungkin penduduk bangsa ini belum mengerti benar akan hakikat dari pendidikan khususnya pendidikan Islam.
Dalam laporan UNDP ( United Nations Development Programme ) tahun 2004, HDI ( Human Development Index ) Indonesia kini berada diperingkat 111 dari 175 Negara[1]. Ini tentunya merupakan sebuah cambukan yang teramat pedih bagi bangsa besar yang dihuni mayoritas muslim yang agamanya mengajarkan akan pentingnya pendidikan.
Karenanya, kita perlu pahami kembali apa hakikat dari pendidikan islam sebenarnya, kemudian mengevaluasi sudah sejauh mana pendidikan Islam tersebut selama ini dapat memberikan bekas bagi peserta didiknya dalam menghadapi tantangan zaman dari masa kemasa. Dengan demikian kita bisa tahu apakah kita perlu melakukan reaktualisasi dan reposisi pendidikan Islam dan kemudian menggagas strategi yang dianggap pas, mantap dan efektif dalam internalisasi nilai-nilai pendidikan Islam bagi peserta didiknya dalam menghadapi tantangan zaman.
Telah cukup banyak definisi yang dikemukan para pakar pendidikan islam mengenai hakikat dari pendidikan islam tersebut, diantaranya Hasil Seminar Pendidikan Islam Se Indonesia 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor menjelaskan hakikat Pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim[2]. Prof. Dr. Muhaimin, MA menjelaskan bahwa hakikat pendidikan Islam merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejewantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam[3].
Dari dua penjelasan tentang hakikat pendidikan diatas, kita dapat melihat bahwa muara akhir dari pendidikan islam adalah membentuk kepribadian muslim dengan mengejawantahkan nilai-nilai ajaran islam dalam kehidupan. Berbeda dengan dua definisi ini yang lebih cendrung memasung pengertian hakikat pendidikan Islam sebagai bimbingan atau pendidikan, buya Ma’arif lebih luas mengartikan Hakekat pendidikan Islam adalah segala upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi anak didik untuk diarahkan kepada cita-cita universal Islam tentang manusia berupa terciptanya pribadi Muslim yang cerdas secara intelektual, anggun secara moral, dan trampil dalam amal bagi kepentingan sesama[4].
Dalam artian ini, buya Ma’arif menjelaskan bahwa pendidikan islam dapat dilakukan dengan segala macam bentuk upaya dan usaha yang tidak hanya terpasung dalam arti bimbingan. Upaya dan usaha tersebut kemudian untuk menggali potensi anak didik yang diarahkan kepada cita-cita universal Islam tentang manusia. Cita-cita tersebut sebagimana disebutkan terdahulu adalah menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam. Untuk itu maka pendidikan harus mampu menciptakan pribadi muslim yang cerdas secara intelekual,, anggun secara moral dan trampil dalam amal bagi kemanusiaan.
Seseorang yang berkepribadian muslim pastilah menjadikan islam sebagai acuannya berpribadi. Dengan Islam sebagai acuan kepribadian, yang tentunya diadopsi dari kecerdasan memahami agama maka seorang muslim dengan sendirinya akan terlahir sebagai dermawan rahmat yang senantiasa memberikan rahmatnya kepada siapa dan apa saja dijagat raya ini. Pada kondisi seperti ini, maka islam tidak lagi akan dipandang sebagai mesin penghancur peradaban karena seringnya berbuat kekerasan atas nama agama, akan tetapi islam akan menjelma laksana oksigen yang selalu dibutuhkan oleh siapapun dimanapun dan kapanpun dimuka bumi ini. Tentunya kita sangat berharap agar peradaban yang akan datang tidak berubah menjadi kebiadaban yang liar dan brutal. Untuk itu maka pendidikan islam haruslah bisa menjadi solusi dalam mengantisipasi kebiadaban peradaban dimasa mendatang serta memberikan tawaran alternative yang baik bagi corak dan warna yang akan dikuaskan dimasa mendatang. Karena pentingnya peran pendidikan Islam tersebut, maka ia juga harus memiliki acuan dan pijakan yang jelas. Sehingga pendidikan islam tidak seperti layangan putus yang tak tahu kemana arah angin akan membawanya. Pendidikan islam yang hendak kita kembangkan haruslah kita bangun diatas sebuah paradigma yang kokoh secara spiritual, unggul secara intelektual dan anggun secara moral dengan Al-Qur’an sebagai pijakan utama dan pertamanya[5].

B.     Upaya Penanaman Pluralisme Agama dalam Pendidikan Islam
Pluralisme agama dinegeri ini merupakan realitas empiric yang tidak bisa dipungkiri dan dibantahkan. Membantahnya sama saja dengan membantah semboyan bhineka tunggal ika yang selama ini kita sepakati sebagai semboyan dari bangsa kita. Pluralisme agama menurut buya Ma’arif merupakan sebuah tolak ukur bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dengan demikian kita tidak akan bisa sampai pada titik kemajuan, jika prinsip pluralisme belum melekat dalam mindset kita sebagai penduduk disebuah bangsa dengan corak dan warna yang beragam.
Pluralisme bukanlah barang baru dalam bingkai keindonesiaan, jauh sebelum negara ini dibentuk, pluralisme telah tumbuh dan berkembang sebagai buah dari masyarakat yang beragam. Dengan menyadari kenyataan inilah kemudian para founding fathers menetapkan negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler. Pilihannya berada tepat diantara keduanya. Pilihan untuk menjadi negara non-agama waktu itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap toleran, menghargai keberbagaian dan menjunjung tinggi perbedaan itu. Sedangkan pilihan untuk tidak menjadi negara sekuler, jelas membuktikan bahwa negeri ini rakyatnya bisa dibilang religious society, masyarakat yang ber-Tuhan, bukan anti Tuhan.
Seiring berjalannya waktu, kecermatan dan kecerdasan founding fathers yang telah merumuskan dengan apik apa yang menjadi kebutuhan bersama seperti itu mulai habis dan terkikis. Perputaran waktu dengan segala efek zaman yang dilaluinya telah menjadikan agama sebagai ideologi massa, bukan sebagai agen transformasi masyarakat. Dengan situasi seperti itu, agama yang diharapkan memiliki peran strategis dalam merespons masalah-masalah sosial-kemanusiaan yang terjadi di masyarakat akhirnya mandul.
Kondisi seperti ini tentunya tak lepas dari tanggungnya pendidikan, karena Pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu dan masyarakat, merupakan salah satu media yang sangat efektif untuk mewujudkan masyarakat yang dinamis di tengah pluralitas agama. Sebaliknya ketika pendidikan salah dalam melangkah maka agama justru bisa berubah menjadi bom yang siap memporakporandakan kehidupan. Melalui pendidikan, manusia diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubungannya dengan sesama, alam, dan Tuhannya. Sehingga idealnya, pendidikan agama (Islam) yang berlangsung selama ini, seharusnya dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap terjadinya pertikaian, perselisihan, pembunuhan, dan lainnya, yang antara lain berakar dari persoalan agama.
Namun demikian, kenyataan yang muncul selama ini menunjukkan bahwa benih-benih konflik, bahkan konflik yang muncul apabila ditelusuri lebih lanjut cenderung disebabkan karena persoalan agama dan menjadikan agama sebagai alat yang ampuh untuk menyulut kerusuhan. Hal ini satu sisi merupakan indikasi “belum berhasilnya” Pendidikan Agama Islam (PAI) terutama di sekolah dalam menanamkan nilai-nilai agama sebagai rahmatan lil’alamin pada anak didik, yang salah satunya disebabkan operasionalisasi dari pendidikan yang hanya cenderung mengarah pada bagaimana menanamkan doktrin-doktrin agama dengan hanya menggunakan pendekatan teologis-normatif .
Memahami agama dengan hanya menggunakan pendekatan ini akan melahirkan sikap keberagamaan yang eksklusif, truth claim, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang dapat membentuk pengkotak-kotakkan umat, tidak ada kerjasama dan tidak terlihat adanya “kepedulian sosial”.[6] Sehingga yang sering ditonjolkan hanya perbedaannya, walaupun pada dasarnya masing-masing agama mempunyai perbedaan, karakter, dan ciri khas yang berbeda-beda. Sebaliknya nilai toleransi, kebersamaan, tenggang rasa, selama ini kurang ditonjolkan. Perbedaan yang ada dari keragaman agama harus bisa kita lukiskan dengan baik dalam bingkai keindonesiaan sehingga bisa menghasilkan sebuah lukisan yang indah. Tentunya dengan formula “bersaudara dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan”.[7]
Ketika pendidikan agama Islam masih diajarkan dengan semangat ekslusivisme dan truth claim yang cenderung intoleran, jangan banyak berharap pendidikan agama Islam dapat turut meredam gejolak sosial yang sedang melanda bangsa ini. Dari sudut sosiologis, truth claim sudah banyak melahirkan berbagai konflik sosial-politik yang membawa perang antaragama yang sampai saat ini masih menjadi problem dan kenyataan yang tidak bisa dihindari.[8] Padahal semua agama berasal dari Tuhan, dan umat manusia yang plural itu juga merupakan umat manusia yang satu karena berasal dari sejarah dan keturunan yang sama, yaitu Adam dan Hawa.[9]
Menurut buya Ma’arif, Indonesia harus mampu dan bisa menghargai pluraslisme sebagai sebuah fakta keras dalam struktur kebangsaan Indonesia yang masih dalam proses menjadi sebuah bangsa. Oleh sebab itu lanjutnya (buya Ma’arif), arah pendidikan Islam harus mengacu kepada pilar-pilar kebangsaan yang beragam itu. Sebagai penganut mayoritas umat Islam punya tanggungjawab yang besar dan strategis dalam menjaga keragaman itu, demi persatuan bangsa yang dinamis.[10]
Namun, kenyataan sebagai umat mayoritas yang memiliki tanggung jawab besar dalam membangun bangsa tersebut bukan berarti meniadakan tanggung jawab umat lainnya, tentunya siapapun yang mengaku putra bangsa tanpa memandang ras, warna kulit maupun agama memiliki tanggung jawab dalam menjaga keutuhan bangsa ini, bahkan atheis sekalipun. Tapi sebagai kaum mayoritas, islam tentunya mendapatkan porsi yang lebih dalam memikul tanggung jawab tersebut. Sebab, jika Indonesia gagal sebagai sebuah bangsa sama saja artinya bahwa islam yang dianut lebih dari 90 % pendudukunya telah gagal memberikan solusi yang baik dalam kehidupan berbangsa.
Akan tetapi, kenyataan bahwa islam merupakan agama terbesar di bangsa ini secara kuantitatif tidak lantas mengahalalkan umat islam untuk memonopoli kebenaran, dan peranan dalam membangun bangsa ini. Umat lain (nonmuslim) bahkan atheis juga harus diberikan kesempatan dan peranan dalam memberikan kontribusinya dalam membangun bangsa ini. Karenanya konsep pluralisme dalam membangun bangsa Indonesia akan sangat dibutuhkan, atau bahkan menjadi sebuah keharusan dan kewajiban. Bagaimana mungkin kita bisa berbicara membangun sebuah Indonesia jika dalam kehidupan yang majemuk kita belum bisa untuk duduk saling berdampingan antara satu dan lainnya.
Pengembangan pendidikan Islam haruslah mampu menciptakan ukhuwah islamiyah dalam arti yang luas, yang tidak hanya bersaudara sesama muslim tapi juga bersaudara kepada manusia seluruhnya tanpa memandang perbedaan sebagai penghambat persaudaraan tersebut. Islam mengajarkan agar semua agama harus tetap dilindungi, dan para pemeluknya harus diberi kebebasan untuk melaksanakan agamanya.[11]
Karenanya, peranan lembaga-lembaga pendidikan (Islam) sangat penting dalam upaya internalisasi nilai-nilai keragaman tersebut. Ini pekerjaan yang tidak mudah, tetapi harus diupayakan terus menerus, jika keutuhan bangsa ini memang ingin kita jaga dan pelihara. Oleh sebab itu pola-pikir (mindset) harus diubah agar konsep pluralisme diterima sebagai sebuah kenyataan dalam kita berbangsa dan bernegara. Sifat egoistik  agama, suku, tradisi, dan latar belakang sejarah harus ditundukkan kepada kepentingan keutuhan bangsa dan negara.[12]
Untuk mewujudkan pengembangan pendidikan agama semacam itu, maka seseorang perlu memperkuat pengetahuan dan wawasan keislamannya, antara lain dengan jalan melihat islam sebaga doktrin dan sekaligus peradaban.[13] Keduanya bisa dibedakan, tapi tidak dipisahkan karena keduanya berasal dari sumber yang sama. Islam sebagai doktrin dan peradaban dalam istilah yurisprudensi islam biasa dibedakan antara masalah ibadah dan mua’amalah.[14]
Untuk itu, peranan dan kualitas guru akan sangat menentukan kemana pendidikan akan diarahkan. Seluruh pusat dan jenjang pendidikan islam menurut buya Ma’arif harus diarahkan kepada  pembentukan pribadi ulu al-albab, ulu al-nuha, dan ulu al-absar disamping sosok ummat al-‘amal.[15] Dalam hal ini, maka gurulah yang menjadi remote control dalam mengarahkan pusat dan jenjang pendidikan kearah yang telah dijelaskan buya Ma’arif tersebut. Dengan diarahkannya pendidikan kepada ulu al-albab, ulu al-nuha, dan ulu al-absar serta ummat al-‘amal yang berarti punya pikiran, pengertian, kecerdasan, punya visi, penglihatan dan persepsi yang tajam, maka peserta didik yang telah sampai kepada titik itu diharapkan bisa menjadi seorang yang memiliki toleransi yang tinggi dan mengedepankan otak ketimbang otot dalam menyikapi perbedaan khususnya agama. Dengan penglihatannya yang tajam serta kecerdasannya memahami agama maka peserta didik akan bisa melihat bagaimana pentingnya nilai kemanusiaan, sehingga tidak ada alasan untuk menghancurkannya apalagi dengan topeng agama. Karena sejatinya agama manapun (khususnya Islam) cukup memandang mulia nilai kemanusiaan.
Karena perannya sebagai remote control dalam mengarahkan pendidikan kepada peserta didiknya, maka dalam hal internalisasi nilai pluralisme seorang guru khususnya guru pendidikan agama Islam harus bisa paham dengan benar dan baik apa yang semestinya ia lakukan. Oleh karena itu, ada beberapa alternatif model pembelajaran (pendidikan agama Islam) yang mestinya dilakukan oleh para guru mata pelajaran agama Islam sekarang ini supaya bisa menghasilkan out-put pendidikan yang inklusif, berwawasan pluralis, dan apresiatif terhadap perbedaan.
Pertama : membentuk pola pikir siswa secara terbuka untuk bersedia memeberikan kesempatan kepada orang lain untuk meyakini kebenaran agama yang mereka anut, diluar keyakinannya. Oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pesan-pesan Islam secara ideologis, doktrinal yang akan mengedepankan truth claim dalam beragama. Kita harus menyampaikan pula kepada peserta didik bahwa di luar paham kita ada paham lain yang tidak mustahil mengandung kebenaran dan diyakini oleh pengikutnya. Dengan demikian, diharapkan siswa akan lebih mudah bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, yang berbeda agama, ras, dan etnis.
Kedua, membentuk pola pikir siswa untuk bisa menghargai perbedaan secara tulus, komunikatif, inklusif, dan tidak saling curiga, di samping meningkatkan iman dan taqwa. Oleh karena itu, kita harus menghindari penyampaian pemahaman Islam yang hanya bertumpu pada tekstual normatif. Sudah saatnya siswa harus mengkaji model-model pemahaman Islam, dan mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan nyata agar dapat menghasilkan cara pandang yang utuh dan apresiatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman yang pluralistik dan komprehensif, yakni dengan pendekatan filosofis dan historis.[16]
Ketiga, para pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan harus secara jujur, transparan serta membuang subjektifisme sejarah dan kepentingan pribadi. Sehingga materi pendidikan Islam bisa dipahami oleh peserta didik dalam kehidupan praksis. Pendidik jangan memosisikan diri sebagai “agen/penyalur” madzhab tertentu dengan menyalahkan madzhab yang lain. Dalam hal ini, sangat diperlukan tenaga pendidik yang mampu menerjemahkan pesan-pesan universal keagamaan dengan baik, dan harus mampu menegakkan demokrasi yang mengakomodasi perbedaan.
Keempat, para pendidik haruslah memahami bahwa pendidikan bukanlah sekedar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan suatu proses pembentukan karakter. Dalam hal ini ada tiga mis pendidikan yaitu Transfer of knowledge (Pewarisan Pengetahuan), Transfer of culture (Pewarisan Budaya) dan Transfer of value (pewarisan nilai).[17] Dengan demikian, dalam pendidikan Islam, kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor harus benar-benar menyatu dan terwujud dalam kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik jangan hanya diindoktrinasi tentang kesalehan vertikal/ individual, tetapi juga kesalehan sosial.
Kelima, para pendidik perlu membiasakan anak-anak mengalami pertukaran budaya (cross cultural exchange) dengan sesama peserta didik. Pengalaman ini akan dapat membantu mereka untuk memahami orang lain dalam sebuah perbedaan. Dengan demikian, persatuan dan kesatuan pada akhirnya akan menjadi keinginan yang kuat di kalangan mereka. Kedamaian yang senatiasa kita nanti-nantikan akan menjadi kenyataan sesuai dengan peran agama yang membawa pesan perdamaian bagi umat manusia.
Dengan beberapa point diatas penulis berharap dengan keyakinan bahwa pendidikan (Islam) akan mampu membawa angin segar dalam peradan yang lebih baik serta mampu menampilkan wajah islam  yang inklusif, pluralis, dan apresiatif terhadap perbedaan.


C.    Peran Pemimpin Agama Bagi Terciptanya Kesadaran Pluralisme Agama
Pluralisme agama yang merupakan tolak ukur atas kemajuan suatu bangsa harus bisa benar-benar dijaga dan disadari urgensitasnya bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Ini pekerjaan yang tidak mudah, tetapi harus diupayakan terus menerus, jika keutuhan bangsa ini memang ingin kita jaga dan pelihara. Oleh sebab itu pola-pikir (mindset) harus diubah agar konsep pluralisme diterima sebagai sebuah kenyataan dalam kita berbangsa dan bernegara. Sifat egoistik  agama, suku, tradisi, dan latar belakang sejarah harus ditundukkan kepada kepentingan keutuhan bangsa dan negara.[18]
Karenanya, disamping peran pendidikan (Islam), pemimpin agama juga mempunyai peranan yang tak kalah penting dalam hal mengembangkan sayap dan sikap pluralisme dalam kehidupan majemuk demi keutuhan bangsa ini. Islam dengan segala macam ekspresi yang dimilikinya dalam konteks keindonesiaan memiliki potensi besar untuk bisa dengan mudah mengembangkan budaya dan sikap pluralisme. Kuncinya pemimpin-pemimpin dari segala macam ekspresi Islam tersebut mampu dan bisa menggiring umatnya menuju islam yang rahmatan lil’alamin.
Dalam konteks keindonesian ini kita bisa lihat contoh besar dari ekspresi keislaman tersebut seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Keduanya sudah cukup besar dan mumpuni dalam mengurusi umat (Islam) di Indonesia. Ketika keduanya bisa menggiring umatnya kearah islam yang inklusif sehingga prinsip pluralisme tidak akan dijadikan masalah, maka islam Indonesia dalam waktu dekat akan bisa benar-benar berfungsi sebagai rahmat bagi alam khususnya bagi Indonesia. Namun dalam realita harapan tersebut masih jauh panggang dari pada api. Jangankan lintas agama, masih dalam agama yang samapun perbedaan masih saja dianggap masalah. Kita bisa lihat bagaimana jalannya sidang itsbat penetapan idulfitri pada 29 agustus 2011 yang lalu. Dalam sidang tersebut Muhammadiyah yang menyatakan diri untuk pamit lebaran lebih awal justru banyak mendapat kecaman dari kalangan lain. Hal ini membuktikan jika masih banyak umat islam yang tidak siap untuk berbeda dan menghargai perbedaan.
Karenanya, penulis memandang ada beberapa hal yang perlu diperankan para pemimpin agama dalam hal ini Islam untuk menginternalisasikan nilai pluralisme dalam konteks kehidupan majemuk di Indonesia ini.
Pertama, Membuka Dialog Lintas Agama.
Dalam kenyataan hidup berbangsa di negeri ini sudah cukup banyak masalah yang membelenggu penduduknya. Mulai dari masalah ekonomi, sosial, dan politik. Semuanya hampir amburadul dan tak beraturan. Melihat fenomena ini maka bisa ditanyakan dimana fungsi agama bagi bangsa dengan masyarakat beragama?.   
Karenanya, untuk menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang cukup menjadi masalah bagi bangsa ini maka perlulah dilakukan dialog lintas agama untuk mencari solusi demi kebaikan kolektif warga indonesia. Sebuah agama apabila dipahami dengan benar dan cerdas, pasti akan mendororng pemeluknya untuk mengembangkan budaya dialogis, bukan budaya saling mengunci pintu.[19]
Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antara berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan kompleks.
Demi mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut, maka pemahaman terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama, tetapi harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama orang lain merupakan prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena tanpa ini dialog mustahil dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama dipergunakan untuk memperlancar dialog ini dan dialog antar agama sendiri merupakan media untuk memahami agama lain secara benar dan komprehensif. Dialog antarumat beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman dan pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama serta akan mampu menyelesaikan berbagai persoalan kolektif dalam kehidupan berbangsa dengan corak dan warna yang beraneka ragam ini.
Kedua, Reorientasi Misi Da’wah
Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja.[20] menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat). Posisi mayoritas yang tuna kualitas akan menjadi beban islam sebagai agama yang ingin membangun peradaban asri yang berkualitas tinggi dimuka bumi.[21]
Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan bahwa ketegangan agama yang terjadi selama ini adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris) adalah orang-orang yang cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan provokatif.
Dakwah dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar harus tetap dilangsungkan dalam kehidupan ini sampai akhirnya kata hidup tidak lagi ada. Sebab, agama sebagai kebutuhan perenial akan bisa terus hidup dan berkembang jika dakwah terus dilakukan. Namun proses dakwah itu sendiri tidak boleh menggeser apalagi mengubur substansi ajaran islam yang hadir sebagi rahmat bagi semesta raya ini. Karenanya menurut buya ma’arif subtansi doktrin yang berasal dari wahyu dengan sendirinya bersifat immutable (tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas), sedangkan metode dan strategi pelaksanaannya adalah wilayah ijtihad yang mutable (lapuk karena hujan dan lekang karena panas).[22]
Dengan demikian maka strategi dan pelaksanaan dakwah bukanlah sesuatu yang baku, namun ia bisa saja berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman. Karenanya, dalam menyikapi kehidupan didunia yang pluraslis inipun seorang muballigh/atau pemimpin agama harus bisa mengkontekstualisasikan dakwah dengan kondisi zaman sekarang ini.
Dakwah sebagai keharusan dan kebutuhan bagi agama harus bisa mengarahkan umatnya kepada sikap yang toleran, lapang dada dan siap berbeda, karena memang dunia hari ini dipenuhi dengan aneka ragam corak dan warna yang semuanya itu harus tetap bisa merasakan rahmat dari kehadiran islam.
Dengan kedua hal tersebut diatas (dialog lintas agama dan interpretasi misi dakwah) maka, penulis berharap dan yakin bahwa secara perlahan umat islam akan bergeser kearah islam yang lebih inklusif, toleran dan siap untuk berbeda. Ketika hal ini bisa dan telah terwujud maka umat islam yang merupakan 90% dari total penduduk Indonesia akan mampu mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang utuh dan maju ditengah kemajemukan didalamnya.


[1] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam dalam Bingkai.., h. 214.
[2] Hj. Nur Uhbiyati, 2000, Ilmu Pendidikan Islam, (Pustaka Setia,  Jakarta), h. 9.
[3] Prof.Dr. Muhaimin, MA, 2009, Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jakarta, Grafindo, h. 14.
[4] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[5] Ahmad Syafii Ma’arif, 2000, Masa Depan Bangsa Dalam Taruhan, Yogyakarta, Pustaka SM, h. 78.
[6] Dr. H. Abuddin Nata, MA, 2000, Metodologi Studi Islam, Jakarta, Grafindo, h. 34.
[7] Ahmad Syafii Ma’arif, Islam dalam Bingkai, Log.cit.
[8] Budhy Munawar Rachman, 1995, Agama Masa Depan Prespektif Perenial (Jakarta: Paramidana ), hal. xxv.
[9] Musa Asy’ari, “Piagam Jakarta, Dekonstruksi kebudayaan dan Pendidikan Agama”, dalam Kompas, 22 April 2002, hal. 32
[10] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[11] Abdullah, Muhammad. Amin, 2005, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, Jakarta, PSAP, h. 57.
[12] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[13] Nurchalis majdid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta, Paramida, h.
[14] Prof.Dr. Muhaimin, MA, 2009, op. cit, h 319.
[15] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam Bingkai…, h. 229.
[16] Komaruddin Hidayat, 2004, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta, Teraju, h. 34.
[17] Buchari Alma, ed., 2009, Moral dan Kognisi Islam, Bandung, Alfabeta, h. 2.
[18] Wawancara via E-Mail dengan Ahmad Syafii Ma’arif.
[19] Ahmad Syafii Ma’arif, 2004, Mencari Autentisitas.., h, 31.
[20] Andito (ed.), 1998, Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah), h. 79.
[21] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam Bingkai.., h. 213
[22] Ahmad Syafii Ma’arif, 2004, Mencari Autentisitas.., h, 58.

Selasa, 06 Maret 2012

PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF AHMAD SYAFI’I MA’ARIF


 A. Pandangan Ahmad Syafii Ma’arif terhadap Pluralisme agama
Pluralisme agama sebagai bentuk kemajemukan/keragaman dalam beragama merupakan sebuah realita yang harus diterima. Seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.
Dalam kaiatan ini, buya ma’arif telah berbicara cukup banyak dan jelas. Pluralisme dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya tidak bisa dilepaskan dengan prisip kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi, kendati dimata Al-qur’an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri[1].
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kebebasan ini, buya ma’arif mengutip penjelasan dari Machasin, dimana Machasin memberikan penjelesan yang proporsional terkait kebebasan tersebut, menurutnya (Machasin) :
Kebebasan itu bukan tak terbatas sama sekali. Manusia hanya bebas melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariah, yakni yang didalamnya ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Tidak semua aspek dalam kehidupannya dapat dikuasainya. Oleh karena itu, ia pun bertanggung jawab dalam hal-hal yang benar-benar ia tidak terpaksa dalam melakukan atau tidak melakukannya[2].
Dari penjelasan Machasin diatas jelas bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih melakukan atau tidak melakuakan, termasuk dalam memilih agama untuk ia yakini kebenarannya, namun setiap pilihan tersebut akan di pertanggung jawabkan disaatnya kelak. Bukankah doktrin tauhid sendiri yang menjadi inti system keimanan Islam mengajarkan bahwa kebebasan itu tidak boleh dipasung dengan dalih apa pun, dimana pun dan oleh siapa pun[3].
Selanjutnya buya Ma’arif berprinsip bahwa pluralisme harus terus dijaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme menunjukkan kemajuan suatu bangsa. Ia memastikan negara atau masyarakat tanpa pluralisme akan menghasilkan kondisi yang berantakan. Baginya, setiap insan yang ingin melintasi abad harus berpikir cerdas.
Dengan berpikir cerdaslah maka pesan dari agama-agama bagi penganutnya bisa tetap direlevansikan dari zaman kezaman. jika tidak demikian maka agama selamanya hanya akan terbelenggu oleh teks pesannya tersebut tanpa bisa direlevansikan dengan konteks zaman yang melaju begitu cepat sehingga pada akhirnya agama akan jadi sebuah sejarah karena dianggap sebagai penghambat lajunya peradaban.
Buya Maarif memandang bahwa Islam adalah agama yang perannya harus dirasakan oleh semua orang, rahmatan li al ‘âlamîn[4]. karenanya islam harus mampu menaburkan kerahmatannya bagi segenap alam (maa siwa Allah : apa-apa yang selain Allah)  terkhusus bagi manusia sebagai makhluq yang mengelola bumi ini. Hal ini berarti bahwa Islam harus melahirkan kedamaian tidak hanya untuk umat Islam tapi juga non Muslim bahkan Atheis sekalipun.
Dictum rahmat bagi alam semesta tidak boleh hilang sekejap pun dari memori kolektif umat Islam, betapa pun hebatnya hempasan sejarah yang memukul tubuh dan jiwa kita sebagai manusia beriman[5].
Dengan demikian maka tidaklah ada alasan dan tempat dalam islam bagi orang-orang yang ingin berbuat peyoratif dan diskriminatif kepada penganut agama lain. Sebab selain bertentangan dengan sifat dasar islam, hal ini juga turut menciderai cita-cita damai yang selalu dipromosikannya. Buya Maarif menegaskan bahwa setiap orang, apapun agamanya, harus  diperlakukan secara layak dan dihargai sebagai manusia[6].
Kendati demikian, apa yang dipaparkan buya tentang bagaimana penghargaan islam terhadap kemanusiaan ini tidaklah bisa berjalan dengan mudah dalam implementasinya di kehidupan majemuk khususnya dalam konteks ke Indonesiaan. Prinsip Pluralisme masih saja banyak dianggap sebagai momok yang menakutkan dikalangan umat islam itu sendiri, dan tak jarang pula mereka yag mendukungnya dituding sesat dan kafir. Tapi hal seperti ini tidaklah dijadikan buya sebagai penghambat dirinya untuk terus mengkampanyekan prinsip pluralisme sebagai buah dari kerinduannya terhadap Islam Indonesia yang progresif dan mampu menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dari pemahan buya Ma’arif terhadap ayat Al-qur’an, tidak ada dalil yang kuat untuk memaksa seseorang agar beragama. Bahkan sebaliknya Al-qur’an justru sangat Toleran sebagaimana tercantum dalam QS Al-baqaroh : 256 :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Diawal ayat jelas dikatakan la ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Seorang mufassir A.Hassan menjelaskan inti dari kandungan ayat ini. Pertama, tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang buat masuk satu agama, kedua, tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang dalam urusan iman[7].
Dengan demikian, maka setiap bentuk paksaan agar seseorang itu masuk ke satu agama atau beriman sama dengan melawan Al-qur’an atau merasa lebih pintar dari Allah. Bukankah sikap seperti ini merupakan sebuah kesombongan, dan bukankah sombong itu merupakan Pakaian Allah ?.
Lanjutan ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya kebenaran itu telah nyata atau gambling dari kesesatan. Dengan demikian jika masih saja ada sebahagian orang yang memilih jalan kesesatan, apakah harus dibinasakan ?. dalam kaitan ini buya Ma’arif mengatakan bahwa ini semua menjadi bahagian dari urusan Allah, hukum dunia tidak berhak mengadilinya. Orang-orang yang memilih jalan sesat ini dalam konteks duniawi tidak boleh dikucilkan apalagi dibinasakan, dengan catatan mereka mau menjaga pilar-pilar keharmonisan dalam kehidupan bersama.
Ayat diatas dengan penjelasannya sudah cukup menunjukkan bahwa islam yang merupakan rahmat bagi alam sangat toleran terhadap perbedaan khususnya iman. Karena iman sendiri sejatinya adalah merupakan hidayah dan izin dari Allah. Hal ini ditegaskan dalam QS Yunus : 100 :
$tBur šc%x. C§øÿuZÏ9 br& šÆÏB÷sè? žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$#
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah.
Dengan demikian sekalipun kita sebagai seorang muslim merindukan dan menginginkan agar semua penduduk bumi ini bisa menjadi muslim, namun ketika Allah tidak mengizinkannya maka rindu dan keinginan itu tidak akan menjadi kenyataan. Bukankah Abu Thalib yang merupakan paman kandung dari Rasulullah Muhammad SAW hingga akhir hayatnya belum jua sempat mengucapkan syahadah ?. hal ini sebagai contoh nyata bahwa iman jika tidak seizin Allah maka ia tidak akan bisa dipaksakan kepada seseorang sekalipun orang tersebut merupakan keluarga sendiri.
Karenanya kita perlu membuka mata selebar mungkin ditengah kehidupan yang plural ini agar Islam benar-benar bisa berfungsi sebagai rahmat bukan laknat bagi mereka diluar Islam. Agama khususnya islam tidak boleh dijadikan sebagai sumber masalah, namun sebaliknya agama islam ini harus bisa memberikan solusi atas masalah-masalah sosial yang muncul ditengah kehidupan yang pluralis ini. Perbedaan yang ada khususnya agama harus bisa disikapi dengan lapang dada.
Dengan sikap lapang dada ini berarti sikap pluralisme menjadi penting dalam hal kesediaan kita mengakui hak orang lain untuk berpendirian bahwa agama yang dipeluknya adalah yang paling benar, sekalipun kita juga perlu untuk tidak menyetujuinya.[8] Ungkapan paling benar disini harus dikembalikan kepada kepercayaan pemeluknya masing-masing dengan tidak mengikutinya dengan klaim bahwa agama lain adalah sesat sekalipun ini harus tetap kita akui. Karena sikap seperti ini dapat menjadi bumereng yang akan menghancurkan kedamaian dan kerukunan umat lintas agama.
Disinilah sebahagian orang gagal memahami prinsip pluralisme. Apakah mereka tidak tahu atau tidak mau tahu, sehingga beranggapan bahwa pluralisme berarti membenarkan semua agama. Padahal tidak demikian, kita hanya dituntut memberikan kesempatan bagi umat agama lain untuk mengakui kebenaran agamanya. Karenanya buya ma’arif dalam berbagai kesempatan dan tulisan sering mengatakan jika kita harus bisa cerdas dalam memahami agama ini, dalam artian beragama yang cerdas harus dengan sikap yang jujur, tulus dan lapang dada.
Dengan sikap cerdas dalam beragama maka pluralisme tidak akan menjadi masalah yang perlu dipermasalahkan. Akan tetapi, bagi mereka yang pendek akal, kenyataan historis pluralisme agama dan budaya dipandang sebagai ancaman bagi eksistensinya.[9]
Kendati demikian, buya ma’arif dengan cukup berlapang dada dan toleran terhadap perbedaan yang ada khususnya terkait paham pluralisme tersebut, baginya, perbedaan paham tentang agama tampaknya tidak akan pernah selesai didunia ini sampai kiamat.[10] Karenya ia menyerahkannya kepada Allah sebagai hakim tertinggi atas perbedaan tersebut, hal ini didasari dari firman Allah “ila allahi marji’ukum jami’an, fayunabbiukum bima kuntum fihi takhtalifun” (kepada Allah tempat kamu semua kembali, maka dia akan kabarkan kepadamu semua tentang apa yang kamu perselisihkan (mengenai agma).
Dengan demikian, maka tidaklah ada otoritas kita untuk mengklaim bahwa kita yg terbaik dan yang lain sesat karena ini merupakan wilayah Allah yang tidak perlu kita campuri. Kita hanya dituntut dan dituntun untuk terus berlomba dalam kebajikan. Untuk selanjutnya maka sikap lapang dada, terbuka dan toleransi akan sangat diperlukan, karena tanpa ini kita akan sangat sulit bahkan tidak mungkin bisa menumbuhkembangkan budaya kemajemukan agama/pluralism. untuk menggapai harapan mulia itu buya Ma’arif menyarankan suasana bernegara yang pluralistik, toleran, moderat dan demokratis yang dibangun diatas landasan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. golongan mayoritas dan minoritas harus mendapatkan tempat secara proporsional dalam kegiatan bangsa. Sebaliknya, sikap tertutup, intoleran, penuh rasa curiga, hanya akan membuahkan satu hal, yaitu; kegagalan.
Akhirnya, cerdas dalam menyikapi perbedaan khususnya perbedaan agama adalah keharusan jika mimpi akan Islam yang Rahmatan lil’alamin serta indonesia yang damai ingin diwujudkan. ketika hal ini bisa kita aplikasikan dalam kehidupan nyata ditengah realita yang ada maka sebuah peradaban baru yang penuh dengan nuansa kedamaian akan segera terlahir. untuk itu buya Ma’arif memberikan sebuah formula yang cukup bijak dan jitu dalam menyikapi segala bentuk perbedaan khususnya perbedaan agama yaitu “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan[11]”.

B. Sikap Ahmad Syafii Ma’arif terhadap Pluralisme Agama
Dari uraian tentang pandangan buya Ma’arif terkait pluralisme sebagaimana diatas dapat kita simpulkan bahwa buya sangat menginginkan dan merindukan agar umat islam bisa sadar akan posisi islam yang hadir sebagai rahmat bagi jagat raya ini. Namun bagi buya semua keinginan dan kerinduan tersebut tidak akan berarti apa-apa jika hanya sebatas pemikiran tanpa sikap dan tindakan untuk mewujudkannya. Karenanya buya ma’arif dengan dan dalam berbagai kesempatan cukup keras meyuarakan umat islam untuk menerima konsep pluralisme dalam konteks kehidupan majemuk saat ini.
Teriakannya terkait dukungan terhadap pluralisme senantiasa hadir dalam forum-forum intelektual diberbagai daerah yang sengaja mengundangnya sebagai pembicara, bahkan hal ini tidak hanya dalam skala nasonal, sampai kedunia international pun ia sering menereiakkan agar umat islam bisa dengan bijak dan cerdas dalam memahami agama sehingga pluralime pada akhirnya bukanlah suatu masalah. Selain teriakannya dalam forum intelektual di berbagai daerah dan negeri, upaya membumikan nilai pluralisme juga sering menghiasi tulisan-tulisannya baik di media-media masa, maupun diberbagai buku yang telah ia tulis.
Dalam sebuah acara peluncuran buku ‘Muhammadiyah Gerakan Pembaruan’ di Gedung Joeang, Jumat (23/4/2010), buya Ma’arif mengatakan “pluralisme kenapa diharamkan itu kan tak lain dari tidak mengakui kemajemukan. Nanti katanya akan pindah agama, itu paham siapa? Cerdas dikitlah…”[12]. Begitu ungkapannya pada kesempatan terseebut,  Dengan demikian, apabila agama dipahami secara benar dan cerdas, pasti mendorong pemeluknya untuk mengembangkan budaya dialogis, bukan budaya saling mengunci pintu.[13]
Dalam pembelaannya terhadap pluralisme, buya berharap agar Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) mau meninjau ulang faktanya terkait pengharaman pluralisme agama. Dia mengatakan, saat ini banyak pemuka agama Islam yang berpandangan miring terhadap konsep pluralisme. “Pluralisme adalah kemajemukan, intelektualisme sama dengan pluralisme,”. Pandangan miring para ulama tersebut, ujarnya, terlihat dalam penyikapan terhadap gerakan pluralisme di Indonesia. “Banyak ulama yang tidak paham (pluralisme), tapi langsung menghukum,”[14]
Dengan segala kerendahan hati dan santunnya buya tidak menyalahkan MUI, tapi ia menyarankan agar MUI mau meninjau ulang fatwanya terkait pengharaman pluralisme tersebut. Setelah ditinjau ia katakan boleh jadi MUI semakin menguatkan pengharamannya atau justru mencabut fatwanya tersebut. Apapun itu yang penting keputusan tersebut didasari dari sumber yang kuat dan jiwa beragama yang sehat dan cerdas.
Selanjutnya untuk memuluskan langkahnya dalam menularkan virus-virus jiwa beragama yang sehat termasuk dalam hal memandang pluralisme, maka buya syafii menggagas berdirinya Ma’arif Institute (2002). sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang bertujuan untuk menampung pemikiran-pemikirannya terutama dalam mengembangkan sikap saling pengertian dan kerjasama umat beragama. Ma’arif institute didirikan dengan visi menjadi lembaga pembaruan pemikiran dan advokasi untuk mewujudkan praksisme Islam sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan menjadi fondasi keindonesiaan sesuai cita-cita sosial dan intelektualisme buya Syafi’i[15].
Lembaga ini mengusung dua misi besar ; pertama, Mengembangkan pembaharuan Islam dan menjembatani dialog serta kerja sama antar-agama, antar-budaya, dan antar-peradaban dalam rangka mewujudkan keadaban, perdamaian, saling pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. Dan kedua, Memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat dan memperluas partisipasi civil society melalui advokasi kebijakan publik. Visi dan dua misi tersebut dilandaskan pada kepada empat nilai dasar yakni Egaliter,  Non-diskriminasi, Toleran dan Inklusif.
Demikian besar dan tingginya perhatian serta peranan buya Ma’arif dalam membangun dan mengembangkan sikap islam yang lapang dada, toleran dan terbuka. Dengan demikian pluralism tidak akan dipandang sebagi sebuah masalah yang perlu dipermasalahkan, serta dengan demikian jua kehadiran islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia bisa menjadi rahmat bagi semua bukan malah sebaliknya menjadi hantu yang menakutkan.


C. Konsep Jihad dan Relevansinya dalam Pluralisme agama
Kata jihad memanglah bukan sebuah kata yang asing ditelinga setiap orang baik muslim maupun kalangan nonmuslim. Bahkan bagi sebahagian muslim kata jihad bukan sekedar kata-kata biasa dengan nilai ibadah biasa, melainkan jihad dijadikan sebagai cita-cita tertinggi mereka dalam hidup dan kehidupannya. Sikap  seperti ini memang tidak salah, namun juga belum tentu benar. Sebelum seseorang berbicara tentang jihad dan kemudian menjadikannya sebagai cita-cita tertinggi dalam kehidupan, ia harus paham betul jihad seperti apa dan bagaimana yang harus ia lakukan. Karena jihad sebagai aktivitas yang bernilai ibadah tentunya harus menghasilkan maslahah bagi siapapun, bukan justru sebaliknya, jihad malah dipandang sebahagian orang sebagai hantu yang menghantui ketentraman dan kedamaian. Jika seperti ini tentunya ada sesuatu yang salah dengan paradigma kita memandang jihat tersebut dan ini harus segera diluruskan secepat mungkin.
Dalam literature barat umumnya, kata jihad diterjemahkan dengan Holy War (perang suci), padahal perang hanyalah salah satu bentuk dari arti jihad tersebut. Dalam Al-qur’an kata jihad dengan segala derivasinya terdapat sebanyak 41 kali, baik dalam surah-surah yang diturunkan di Makkah (makkiyah), maupun surah-surah yang diturunkan di Madinah (madaniyah). Akar kata jihad adalah د 0   ج menjadi جهد (keletihan, kegentingan, ketegangan kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras dan yang mirip dengan itu).[16]
Dengan artian jihad sebagaimana diatas dapat diketahui bahwasanya jihad memilik pengertian yang cukup luas yang lebih dari sekedar perang. Namun seiring bergulirnya waktu makna jihad dibonsai sehingga ia hanya dipahami sebatas perang dan memerangi atas nama agama. Pengertia seperti inilah yang kemudian memicu opini kolektif dikalangan masyarakat kebanyakan bahwa jihad adalah hantu yang menakutkan karena hanya akan berujung dengan pertumpahan darah.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an mengandung begitu banyak ayat-ayat yang menganjurkan perang dan bersikap bermusuhan dengan kaum ataupun golongan lain. Misalnya, ayat 120 yang terdapat dalam surah al-Baqarah:
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ  
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
Kemudian ayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin seharusnya memerangi orang-orang yang tidak beriman dan ahli kitab:
(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöquø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur Ÿwur šcqãYƒÏtƒ tûïÏŠ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷Éfø9$# `tã 7tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ  
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
Ayat jihad dalam artian perang (qital) melawan musuh sebagai salah satu maknanya seperti diatas baru turun pada tahun kedua hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang konkret dalam perang badar (624 M) yang terkenal itu. Disinilah kemudian jihad dan qital menjadi sinonim.[17]
Ayat-ayat inilah disamping QS Al-isra’ “Asyiddaa ‘ala al-kuffaar” yang kemudian dikantongi oleh sebahagian kita (muslim) untuk melegitimasi perbuatannya merusak peradaban manusia dimuka bumi ini khususnya terhadap mereka yang berlainan aqidah. Mereka seakan buta terhadap ayat lain terkait jihad dalam konteks yang lebih luas, seperti jihad sebagai ujian dan cobaan dari Allah (QS Ali Imran 142), jihad dalam arti "kemampuan"  yang  menuntut  sang mujahid mengeluarkan   segala  daya  dan  kemampuannya  demi mencapai tujuan (QS Attaubah 79).
Karenanya buya Ma’arif sering mengajak kita untuk bisa belajar bersikap jujur dalam memahami Al-qur’an, buang jauh-jauh subjektivisme dan kepentingan Pribadi.[18] Dengan demikian, maka ketika kita ingin berbicara tentag jihad, maka kita harus mengutip semua dalil tentangnya baru kemudian menyimpulkan pengertiannya. Bukan sebaliknya malah memilah milih mana ayat dan dalil jihad yang sesuai denga keinginan hati dan kemudian mengubur ayat dan dalil yang tidak dikehendaki.
Pakar  Al-Quran Ar-Raghib Al-Isfahani, dalam kamus A1-Qurannya Mu'jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran, menegaskan bahwa  jihad  dan mujahadah  adalah  mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Musuh disini bukanlah semata mereka yang nonmuslim melainkan musuh yang lebih penting yaitu musuh yang dapat menjerumuskan manusia kepada kejahatan (syaithon dan hawa nafsu). dalam sebuah hadits Nabi bersabda :
رجعنا من الجهاد الاصغر الى الجهاد الاكبر الجهاد الاكبر هو الجهاد النفس
Artinya            : “Ketika telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar (jihad el-akbar) yaitu jihad melawan hawa nafsu”. (Al-Hadits)
Dalam hadits iini dijelaskan bahwa perang melawan hawa nafsu merupakan bahagian dari jihad besar. Ketika umat islam telah berhasil menundukkan nafsunya dibawah payung syariat, maka penulis yakin keebiadaban peradaban akan berangsur hilang. Karena sejatinya segala macam bentuk kerusakan dan kekacauan yang ada didunia ini berawal dari hawa nafsu yang bebas dan terkadang diberi sedikit gincu agama. Sehingga luapan nafsu tersebut tak jarang dianggap oleh kalangan awam sebagai sesuatu yang bersifat syari’ haya karena ia telah berhasil diberi gincu syariah yang sebenarnya palsu.
Karenanya, defenisis syariah dan ruang lingkup yang hendak ditegakkan itupun, semuanya masih memerlukan diskusi panjang yang tak akan berujung. Dengan demikian, untuk menegakkan syariat islam yang sejatinya hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin, diperlukan semangat dan penelaahan ijtihad, tidak cukup hanya denga semangat jihad.
Prof. DR. Hamka Haq menegaskan bahwa semagat jihad (militansi) tanpa diformulasikan dalam proses ijtihad sangatlah berbahaya. Sebab, tanpa semangat ijtihad (penelaahan), dikhawatirkan semangat jihad kaum militan akan menjadi kontra produktif dan bertentangan dengan syariah yang rahmah dan ramah. Akibatnya jihad akan berubah menjadi tindakan anarkis yang mengerikan. Roh syariat Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin akan terabaikan.[19]
Karenanya, dalam konteks kehidupan majemuk ini, maka jihad harus bisa tetap dikontekstualisasikan dan harus direlevansikan dengan tidak mengubur hidup-hidup subtansi syariat yang hadir sebagai rahmat bagi alam. Artinya, dalam kehidupan kini, maka bersikap plurasisme sssdengan tujuan bersama membangun bangsa penulis anggap sebagai bahagian dari jihad.


[1] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam BingkaiKe Indonesiaan dan KeManusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, h. 165.
[2] Ibid, h. 166.
[3] Ibid, h. 164.
[4] Ibid, h. 199.
[5] Prof. DR. Hamka Haq, MA. 2009,  Islam Rahmat Untuk Bangsa, RMBOOKS, Jakarta, h. viii.
[6] Ahmad Syafii Ma’arif, 2006, Tuhan Menyapa Kita, Grafindo, Jakarta, h.74.
[7] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam dalam Bingkai.., h. 167.
[8] Ibid, h.29.
[9] Ahmad Syafii Ma’arif, 2014, Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan, PSAP, Jakarta, h. 11.
[10] Op. cit, 2009, Islam dalam Bingkai, h. 29.
[11] Ibid, h. 279.
[13]  Ahmad Syafii Ma’arif, 2014, Mencari Autentisitas, h. 30.
[15] Sumber : http://muhammadqorib.blogspot.com/ dalam “Islam dan Kemajemukan Agama (Kajian Atas Pemikiran Amad Syafii Ma’arif)”
[16] Ahmad Syafii Ma’arif, op.cit, h. 87.
[17] Ahmad Syafii Ma’arif, Loc. Cit.
[18] Ahmad Syafii Ma’arif, 2010, Al-qur’an dan Realitas Sosial, Jakarta, Republika, h. 3.
[19] Prof. DR. Hamka Haq, MA. 2009,  Op. cit, h. 35.

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi