Kamis, 15 Desember 2011

AKTUALISASI FITRAH BERAGAMA MASA REMAJA DAN DEWASA



A.    Aktualisasi Nilai / Fitrah Beragama Pada Masa Remaja
Fitrah beragama (taqwa) merupakan potensi yang mempunyai kecendrungan untuk berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan manakal tidak ada faktor luar (ekternal) yang memberikan pendidikan yang memungkinkan fitrah itu berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor ekternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
1.      Pengetian Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere ( kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitiif memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode- periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi.
Istilah adolesecence, seprti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang sangat luas, mencakup kematangan mental, emosional, social dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piag (121) dengan mengatakan “ secara psikologis masa remaja ialah usia dimana  individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak,,, interasi dalam masyarakat ( dewasa ) banyak mempunyai aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber . Termasuk perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini adalah memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan social dengan orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.[1]
Menurut hukum di Amerika Serikat, individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai delapan belas tahun, bukan dua puluh tahun seperti sebelumnya. Perpanjangan masa remaja, setelah individu matang secara seksual dan sebelum diberi hak dan tanggung jawab dewasa mengakibatkan kesenjangan antara apa yang secara popular dianggap budaya remaja dan budaya deawasa. Budaya kaum muda menekankan kesegaran dan kelengahan terhadap tanggung jawab. Budaya ini memiliki hierarki sosialnya sendiri, keyakinannya sendiri, gaya penampilannya sendiri, nilai–nilai serta norma –norma sendiri. [2]
2.      Tahun Tahun Masa Remaja
Lazimnya masa remaja dimulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Namun penelitian tentang perubahan perilaku, sikap dan nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada awal pada masa remaja dari pada tahap akhir pada masa remaja, tetapi juga menunjukkan bahwa perilaku, sikap dan nilai pada awal masa remaja berbeda dengan masa akhir remaja . dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja.
Garis pemisah antara awal masa remaja dengan akhir masa remaja terletak di sekitar usia tujuh belas tahun, usia mana saat rata- rata setiap memasuki sekolah menengah tingkat atas ketika remaja duduk di kelas akhir, biasanya orang tua menganggapnya hampir dewasa dan berada di ambang pembatasan untuk memasuki dunia kerja tertentu. Rata –rata laki – laki lebih lambat matang daripada snsk perempuan maka laki –laki mengalami periode awal remaja yang lebih singkat, meskipun pada usia delapan belas tahun ia sudah dianggap dewasa seprti halnya anak perempuan. Akibatnya sering kali anak laki- laki tampak kurang matang untuk usianya dibandingkan dengan perempuan.  Awal masa remaja berlangsung kira- kira dari tiga belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan  belas tahun yaitu usia matang secara hokum. Dengan demikian masa remaja merupakan periode yang sangat singkat.

3.       Minat Beragama Pada Masa Remaja
Bertentangan dengan pandangan popular, remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan membahas masalah agama, mengikuti pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi serta mengikuti  upacara agama.
Banyak anak mulai meragukan konsep dan keyakinan akan religiusnya pada masa anak –anak oleh karkena itu peride remaja disebut sebagai periode keraguan religious.[3] Namun Wagner berpendapat bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai “ Keraguan beragama” kenyataannya merupakan Tanya jawab religious (170) : “banyak  remaja menyelidiki agama sebagai sesuatu sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingi mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerima secara begitu saja. Mereka meragukan agam bukan karena ingin menjadi egoistic a tau atheis, melainkan karena mereka menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandii dan menentukan keputusan mereka sendiri.”
Di lain pihak, remaja sekarang ini lebih sedikit mengunjungi rumah ibadah, mengikuti pengajian- pengajian yang mengkaji tentang agama sibandingkan remaja pada masa sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa banyak remaja yang kurang memahami pentingnya nilai – nilai religious pada kehidupannya. Banyak kita lihat di tempat –tempat ibadah hanya orang tua saja yang terlihat, namun jarang kita lihat anak muda yang mengisi mesjid. Hal ini banyak factor yang mempengaruhinya, ada pun factor yang mempengaruhinya adalah :
a.      Factor keluarga
Sering terjadi konflik antara orang tua dengan remaja. Namun, walaupun terjdi konflik tetapi dalm hal – hal yang bersifat “kultur remaja” mereka tetap meminta nasehat kepada orang tua. Tetapi walau demikian memang benar bahwa konflik keluarga dalm bentuk mengomel, percekcokan dan pertengkaran lebih sering terjadi pada masa remaja dibandingkan usia remaja akhir. Pubertas tampaknya memiliki peran sentral dalam memulai konflik ini. Jika maturitas fisik muncul dini, demikian pula percekcokan dan pertengkaran; jika timbul lambat maka periode ketengan meninggi ini dapat diperlambat ( Steimberg, 1978 ).[4] Remaja dari kedua jenis ini banyak mengalami konflik dengan ibunya dari pada ayah, mungkin karena ibu lebih terlibat dalam mengatur detail kehidupan keluarga sehari – hari (Smetana 1988 ).[5] Pada umumnya, konflik biasanya melibatkan aspek yang umum dari kehidupan keluarga, misalnya pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, kamar yang berantakan, music yang hingar binger, penampilan pribadi dan jam malam. (Masalah yang lebih potensial meledak ialah masalah seks,  cenderung tidak didiskusikan). Masalah tersebut adalah bidang yang remaja paling yakin harus berada di bawah pertimbangan pribadi mereka sendiri. Orang tua memandang masalah yang sama dalam dalam pengertian konvensional atau pragmatic, artinya menurut kebiasaan social atau yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga secara efisien (Smetana 1988). Orang tua sering kali berada di persimpangan antara keharusan mempertahankan system keluarga dan membiarkan ank mereka meningktakan haknya atas perilakunya sendiri.
Sebagian orang tua dan remaja belajar bernegoisasi bentuk sling ketergantungan (interdependence) baru yang menjamin remaja mendapatkan lebih banyak otonomi, peran yang lebih setingkat dalam keputusan keluarga dan lebih bertanggung jawab. Jika seorang remaja gagal bernegoisasi dalam hubunganyya dengan orang tua dalam masa remaja awal, maka konflik dapat berkembang menjadi kesulitan berat pada masa remaja akhir (Petersen 1988b).
b.       Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional), sosial, maupun moral-spiritual. Menurut Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari orangtua. Mengenai peranan guru dalam pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan merusak akhlak muridnya.
Dalam akitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama. Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut:
  1. Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode)  yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.
  2. Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).
  3. Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
  5. Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.
  6. Guru hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama.
  7. Pimpinan sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian muslim/muslimat (menutup aurat).
  8. Guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.
  9. Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.
  10. Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin (Yusuf, 2002:49-51).
c.       Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat yang dimaksud adalah interaksi sosial dan sosiokulktural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama anak (terutama remaja). Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang; demikian pula halnya degan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik dan tingkah laku yang dikatakan salah atau tidak baik (Singgih, 2008:61)[6] Dalam masyarakat, anak atau remaja melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan kebobrokan moral, maka anak cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti temannya tersebut. Al ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orangtuanya (Yusuf, 2002:53) Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock (1956:436) mengemukakan, bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para anggotanya”. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, di sini dapat dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang:
a) Taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan, saling menolong, dan bersikap jujur, dan
b) Menghindari sikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan, saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi, dsb) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras). Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau berpengaruh negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai oleh karakteristik berikut:
  1. Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama).
  2. Warga masyarakat (baik yang memegag kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak (Yusuf, 2002:53).[7]
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia anak (remaja), maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengn berkembangnya komitmen yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orangtua, pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.  
 
B.     Aktualisasi Nilai Pada Masa Dewasa
Pengertiian Masa Dewasa
            Istilah adult berasal dari kata kerja latin sama seperti adolescence – adolescere yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan”. Akan tetapi kata adult berasal dari bentuk lampau partisipel dari kata adultus yang berarti “ telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna “ atau “ telah menjadi dewasa”. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu yang telah menyelesikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.
1.      Masa Dewasa Dini
Masa dewasa dini dimulai pada umur 18 – 40 tahun, saat perubahan – perubahan fisik, dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Cic – Ciri Masa Dewasa Dini
·         Masa dewasa dini sebagai masa pengaturan
·         Masa usia dini merupakan masa reproduktif
·         Masa dewasa dini sebagai masa bermasalah
·         Masa dewasa dini Sebagai masa ketegangan emosional
·         Masa dewasa dini sebagai masa keterasingan sosial
·         Masa dewasa dini sebagai masa komitmen
·         Masa dewasa dini sebagai masa perubahan nilai
·         Masa dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru
·         Masa dewasa dini sebagai masa kreatif
·         Masa dewasa dini sebagai masa ketergantungan[8]
Sesudah orang menjadi dewasa ia telah dapat mengatasi keragu-raguan di bidang agamanya yang mengganggunya pada ia waktu masih remaja. Setelah menjadi dewasa biasanya sudah mempunyai suatu pandangan hidup yang di dasarkan pada agama yang memberi kepuasan baginya, atau dapat tejadi bahwa orang meninggalkan agama yang dianut keluarga karena agama tidak memberikan kepuasan baginya. Bagaimanapun juga orang dewasa muda tampaknya kurang memperhatikan masalah agama dibandingkan dengan sewaktu mereka masih muda dulu. Itulah sebabnya mengapa Paocock menamakan periode usia dua puluhan ini sebagai “periode kehidupanyang paling tidak religius”. Sikap kurang meminati agama ini tampak pada jarangnya ia pergi ke Mesjid atau sikap acuh terhadapa ibadah.
Setelah seseorang sudah berkeluarga umumnya ia kembali pada agama, atau setidak – tidaknya  ia tampak menaruh cukup perhatian. Orang tua dengan anak – anak  kecil, sering merasa bahwa mengajarkan dasar- dasar  agama yang dianut kepada anak – anak merupakan tanggungjawab moral sebagai orangtua, dan kewajiban untuk memberi teladan kepada anak- anaknya. Oleh sebab itu orang berupaya membiasakan diri lagi untuk beribadah serta melaksanakan praktek agama  sebagaimana dulu dilaksanakan di rumah orangtua, meskipun ada modifikasi di sana – siini agar sesuai dengan pola hidup kemajuan zaman sekarang.

2.      Masa Dewasa  Madya
Masa dewasa madya dimulai pada umur 40 – 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan psikolog yang sangat jelas nampak pada setiap orang.
Ciri – ciri masa dewasa madya :
·         Usia madya merupakan periode yang sangat ditakuti
·         Usia madya merupakan masa transisi
·         Usia madya merupakan masa stres
·         Usia madya merupakan usia yang berbahaya
·         Usia madya merupakan masa berprestasi
·         Usia madya merupakan “usia canggung”
·         Usia madya merupakan masa evaluasi
·         Usia madya merupakan masa sepi
·         Usia madya merupakan masa jenuh
Banyak orang yang berusia madya baik pria maupun wanita tertarik pada mesjid  dan kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan daripada yang pernah mereka kerjakan pada waktu masih muda. Walaupun keinginannya ini mungkin bukan karena alasan keagamaan. Contohnya banyak orang usia madya terutama wanita yang karena banyak mempunyai waktu luang menganggap bahwa kegiatan keagamaan atau sosiala dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya.  Keinginan untuk lebih terlibat dengan kegiatan keagamaan akan semakin besar setelah seseorang mengalami kehilangan anggota keluarga atau teman dekatnya.
Banyak juga wanita dan pria usia madya menemukan agama sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan  yang lebih besar daripada yang pernah diperoleh dulu sewaktu usianya lebih muda. Secara keseluruhan, orang yang berusia madya kekhawatirannya berkurang karena agamanya, kepercayannya kurang dogmatis, kurang yakin kalau dikatakan bahwa hanya satu agama yang benar di dunia ini dan mempunyai pandangan yang skeptis tentang setan, neraka dan keajaiban daripada kepercayaan yagn dimiliki anak muda yang masih di perguruan tinggi. Hidup mereka tidak diganggu oleh hal – hal yang berbau keagamaan, dan mempunyai toleransi agama yang lebih baik daripada anak muda.[9]

3.      Masa Dewasa  Lanjut
Masa dewasa lanjut (senescence) dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian. Pada masa ini baik kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern  serta upaya dalam hal berpakaian dan dandanan memungkinkan pria atau wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan sama seperti mereka masih lebih muda.[10]
            Pada masa dewasa lanjut, terdapat kepercayaan populer dalam masyarakat yang mengatakan bahwa orang tertarik pada kegiatan keagamaan pada saat kehidupan hampir selesai, akan tetapi bukti – bukti yang menunjang kepercayaan yang sperti ini sangat sedikit. Sementara orang berusia lanjut menjadi lebih terarik pada kegiatan keagamaan karean hari kematiannya semakin dekat, atau karena mereka sangat tidak mampu tetapi pada umumnya mereka tidak harus tertarik pada kegiatan keagamaan karena pertimbangan kegiatan tersebut dapat menciptakan minat baru atau dapat merupakan titik perhatian baru.
            Suatu analisis dari studi penelitian yang berhubungan dengan sikap terhadap kegiatan keagamaan dan agama pada usia tua membuktikan bahwa ada fakta tentang meningkatnya minat terhadap agama sejalan dengan bertambahnya usia dan ada pula fakta lain yang menunjukkan menurunnya minat terhadap agama pada usia ini. Dalam hal melibatkan diri atau menjauhi bidang keagamaan, pada umunya  orang meneruskan agama dan kebiasaan yang dilakukan pada awal kehidupannya seperti yang diungkapkan oleh Covalt “ Sikap sebagian besar orang berusia lanjut terhadap agama mungkin lebih sering dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan atau apa yang telah diterima pada saat mencapai kematangan intelektualnya. Pola upacara keagamaan dan kehadiran di rumah ibadah mempunyai banyak persamaan atau telah dimodifikasi oleh lingkungan, yaitu modifikasi yang masuk akal bagi setiap individu”.[11]



[1] B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[2] B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[3] B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[4] L  Atkinson. Rita, Edisi kesebelas jilid satu. Pengantar Psikologi, Batam Center : Interaksara.
[5]  Ibid
[6] Singgih Gunarsa. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

[7]  Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi Belajar Agama. Bandung: Maestro.
[8]  B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[9]   B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi Perkembangan , Jakarta : Erlangga.    
[10]  B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi Perkembangan , Jakarta : Erlangga.

[11]  B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi Perkembangan , Jakarta : Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi