A.
Aktualisasi
Nilai / Fitrah Beragama Pada Masa Remaja
Fitrah
beragama (taqwa) merupakan potensi yang mempunyai kecendrungan untuk
berkembang. Namun, perkembangan itu tidak akan manakal tidak ada faktor luar
(ekternal) yang memberikan pendidikan yang memungkinkan fitrah itu berkembang
dengan sebaik-baiknya. Faktor ekternal itu tiada lain adalah lingkungan dimana
individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
1.
Pengetian
Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa Latin adolescere ( kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Bangsa primitiif memandang masa
puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode- periode lain dalam rentang
kehidupan, anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan
reproduksi.
Istilah adolesecence, seprti yang
dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang sangat luas, mencakup kematangan
mental, emosional, social dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piag (121)
dengan mengatakan “ secara psikologis masa remaja ialah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat
dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang
lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam
masalah hak,,, interasi dalam masyarakat ( dewasa ) banyak mempunyai aspek
afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber . Termasuk perubahan
intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir
remaja ini adalah memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan
social dengan orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum
dari periode perkembangan ini.[1]
Menurut hukum di Amerika Serikat,
individu dianggap telah dewasa apabila telah mencapai delapan belas tahun,
bukan dua puluh tahun seperti sebelumnya. Perpanjangan masa remaja, setelah
individu matang secara seksual dan sebelum diberi hak dan tanggung jawab dewasa
mengakibatkan kesenjangan antara apa yang secara popular dianggap budaya remaja
dan budaya deawasa. Budaya kaum muda menekankan kesegaran dan kelengahan
terhadap tanggung jawab. Budaya ini memiliki hierarki sosialnya sendiri,
keyakinannya sendiri, gaya penampilannya sendiri, nilai–nilai serta norma
–norma sendiri. [2]
2.
Tahun
Tahun Masa Remaja
Lazimnya masa remaja dimulai pada saat
anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang
secara hukum. Namun penelitian tentang perubahan perilaku, sikap dan nilai
sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi
lebih cepat pada awal pada masa remaja dari pada tahap akhir pada masa remaja,
tetapi juga menunjukkan bahwa perilaku, sikap dan nilai pada awal masa remaja
berbeda dengan masa akhir remaja . dengan demikian secara umum masa remaja
dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja.
Garis pemisah antara awal masa remaja
dengan akhir masa remaja terletak di sekitar usia tujuh belas tahun, usia mana
saat rata- rata setiap memasuki sekolah menengah tingkat atas ketika remaja
duduk di kelas akhir, biasanya orang tua menganggapnya hampir dewasa dan berada
di ambang pembatasan untuk memasuki dunia kerja tertentu. Rata –rata laki –
laki lebih lambat matang daripada snsk perempuan maka laki –laki mengalami periode
awal remaja yang lebih singkat, meskipun pada usia delapan belas tahun ia sudah
dianggap dewasa seprti halnya anak perempuan. Akibatnya sering kali anak laki-
laki tampak kurang matang untuk usianya dibandingkan dengan perempuan. Awal masa remaja berlangsung kira- kira dari
tiga belas tahun sampai enam belas atau tujuh belas tahun dan akhir masa remaja
bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai delapan belas tahun yaitu usia matang secara hokum.
Dengan demikian masa remaja merupakan periode yang sangat singkat.
3.
Minat Beragama Pada Masa Remaja
Bertentangan dengan pandangan popular,
remaja masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan
penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan membahas
masalah agama, mengikuti pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi serta
mengikuti upacara agama.
Banyak anak mulai meragukan konsep dan
keyakinan akan religiusnya pada masa anak –anak oleh karkena itu peride remaja
disebut sebagai periode keraguan religious.[3]
Namun Wagner berpendapat bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai “ Keraguan
beragama” kenyataannya merupakan Tanya jawab religious (170) : “banyak remaja menyelidiki agama sebagai sesuatu
sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingi mempelajari
agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerima secara begitu
saja. Mereka meragukan agam bukan karena ingin menjadi egoistic a tau atheis,
melainkan karena mereka menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna
berdasarkan keinginan mereka untuk mandii dan menentukan keputusan mereka
sendiri.”
Di lain pihak, remaja sekarang ini lebih
sedikit mengunjungi rumah ibadah, mengikuti pengajian- pengajian yang mengkaji
tentang agama sibandingkan remaja pada masa sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa
banyak remaja yang kurang memahami pentingnya nilai – nilai religious pada
kehidupannya. Banyak kita
lihat di tempat –tempat ibadah hanya orang tua saja yang terlihat, namun jarang
kita lihat anak muda yang mengisi mesjid. Hal ini banyak factor yang
mempengaruhinya, ada pun factor yang mempengaruhinya adalah :
a.
Factor
keluarga
Sering terjadi konflik antara orang tua
dengan remaja. Namun, walaupun terjdi konflik tetapi dalm hal – hal yang
bersifat “kultur remaja” mereka tetap meminta nasehat kepada orang tua. Tetapi
walau demikian memang benar bahwa konflik keluarga dalm bentuk mengomel,
percekcokan dan pertengkaran lebih sering terjadi pada masa remaja dibandingkan
usia remaja akhir. Pubertas tampaknya memiliki peran sentral dalam memulai
konflik ini. Jika maturitas fisik muncul dini, demikian pula percekcokan dan
pertengkaran; jika timbul lambat maka periode ketengan meninggi ini dapat
diperlambat ( Steimberg, 1978 ).[4]
Remaja dari kedua jenis ini banyak mengalami konflik dengan ibunya dari pada
ayah, mungkin karena ibu lebih terlibat dalam mengatur detail kehidupan
keluarga sehari – hari (Smetana 1988 ).[5]
Pada umumnya, konflik biasanya melibatkan aspek yang umum dari kehidupan
keluarga, misalnya pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, kamar yang berantakan,
music yang hingar binger, penampilan pribadi dan jam malam. (Masalah yang lebih
potensial meledak ialah masalah seks, cenderung
tidak didiskusikan). Masalah tersebut adalah bidang yang remaja paling yakin
harus berada di bawah pertimbangan pribadi mereka sendiri. Orang tua memandang
masalah yang sama dalam dalam pengertian konvensional atau pragmatic, artinya
menurut kebiasaan social atau yang diperlukan untuk kelangsungan keluarga
secara efisien (Smetana 1988). Orang tua sering kali berada di persimpangan
antara keharusan mempertahankan system keluarga dan membiarkan ank mereka
meningktakan haknya atas perilakunya sendiri.
Sebagian orang tua dan remaja belajar
bernegoisasi bentuk sling ketergantungan (interdependence)
baru yang menjamin remaja mendapatkan lebih banyak otonomi, peran yang lebih
setingkat dalam keputusan keluarga dan lebih bertanggung jawab. Jika seorang
remaja gagal bernegoisasi dalam hubunganyya dengan orang tua dalam masa remaja
awal, maka konflik dapat berkembang menjadi kesulitan berat pada masa remaja
akhir (Petersen 1988b).
b.
Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai
program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan
kepada anak (siswa) agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya secara
optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis (intelektual dan emosional),
sosial, maupun moral-spiritual. Menurut
Hurlock (1959) sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kepribadian
anak, karena sekolah merupakan substansi dari keluarga dan guru substitusi dari
orangtua. Mengenai peranan guru dalam
pendidikan akhlak, Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa penyembuhan badan
memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam
penyakit dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan
jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru (pendidik) yang tahu tentang tabiat
dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya. Kebodohan
dokter akan merusak kesehatan orang sakit. Begitupun kebodohan guru akan
merusak akhlak muridnya.
Dalam akitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama
anak, atau siswa, sekolah mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan ini
terkait mengembangkan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang
mulia, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama.
Upaya-upaya itu adalah sebagai berikut:
- Dalam mengajar, guru hendaknya menggunakan pendekatan (metode) yang bervariasi (seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, dan berkisah), sehingga anak tidak merasa jenuh mengikutinya.
- Dalam menjelaskan materi pelajaran, guru agama hendaknya tidak terpaku kepada teks atau materi itu saja (bersifat tekstual), tetapi materi itu sebaiknya peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (kontekstual).
- Guru hendaknya memberikan penjelasan kepada siswa, bahwa semua ibadah ritual (mahdloh) akan memberikan makna yang lebih tinggi di hadapan Allah, apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ibadah tersebut direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari.
- Guru hendaknya memiliki kepribadian yang baik (akhlak mulia).
- Guru hendaknya menguasai bidang studi yang diajarkannya secara memadai, minimal materi-materi yang terkandung dalam kurikulum.
- Guru hendaknya memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau yang menunjang kemampuannya dalam mengelola proses belajar mengajar, seperti psikologi pendidikan, bimbingan konseling, metodologi pengajaran, administrasi pendidikanm teknik evaluasi, dan psikologi belajar agama.
- Pimpinan sekolah, guru-guru dan pihak sekolah lainnya hendaknya memberikan contoh, tauladan yang baik dalam mengamalkan ajaran agama, seperti dalam melaksanakan ibadah shalat, menjalin tali persaudaraan, memelihara kebersihan, mengucapkan dan menjawab salam, semangat dalam menuntut ilmu, dan berpakaian muslim/muslimat (menutup aurat).
- Guru-guru yang mengajar bukan pendidikan agama hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai agama ke dalam materi-materi pelajaran yang diajarkannya.
- Sekolah hendaknya menyediakan saran ibadah (mesjid) yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.
- Sekolah hendaknya menyelenggarakan kegiatan ektrakulikuler kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara rutin (Yusuf, 2002:49-51).
c.
Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat yang dimaksud adalah interaksi sosial dan
sosiokulktural yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah beragama
anak (terutama remaja). Perkembangan
moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa
masyarakat (lingkungan), kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang;
demikian pula halnya degan aspek moral pada anak. Anak belajar dan diajar oleh
lingkungannnya mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku yang baik dan tingkah
laku yang dikatakan salah atau tidak baik (Singgih, 2008:61)[6] Dalam masyarakat, anak atau remaja
melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau
anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku
yang sesuai dengan nilai-nilai agama (berakhlak mulia), maka anak cenderung
berakhlak mulia. Namun
apabila sebaliknya yaitu perilaku teman sepergaulannya itu menunjukan
kebobrokan moral, maka anak cenderung akan terpegaruh untuk berprilaku seperti
temannya tersebut. Al ini terjadi, apabila anak kurang mendapat bimbingan agama
dari orangtuanya (Yusuf, 2002:53) Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman sebaya, Hurlock
(1956:436) mengemukakan, bahwa “Standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok
bermain) memberikan pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para
anggotanya”. Corak perilaku anak atau remaja merupakan cermin dari perilaku
warga masyarakat (orang dewasa) pada umumnya. Oleh karena itu, di sini dapat
dikatakan bahwa kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat bergantung
kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu
sendiri.
Kualitas pribadi, perilaku, atau akhlak orang dewasa yang
kondusif (menunjang) bagi perkembangan kesadaran beragama anak adalah mereka yang:
a)
Taat melaksanakan ajaran agama, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan,
saling menolong, dan bersikap jujur, dan
b)
Menghindari sikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti sikap permusuhan,
saling mencurigai, sikap munafik, mengambil hak orang lain (mencuri, korupsi,
dsb) dan perilaku maksiat lainnya (berzina, berjudi dan minuman keras).
Sedangkan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tidak kondusif, atau
berpengaruh negatif terhadap perkembangan akhlak atau kesadaran beragama akan ditandai
oleh karakteristik berikut:
- Gaya hidup warga masyarakat (orang dewasa) yang materialistis dan hedonisme, yaitu yang mendewakan materi dan hidupnya sangat berorientasi untuk meraih kenikmatan (walaupun dengan cara yang melanggar aturan agama).
- Warga masyarakat (baik yang memegag kekuasaan maupun warga biasa) bersikap melecehkan norma agama, atau bersikap acuh tak acuh dan bahkan mensponsori kemaksiatan, seperti: perjudian, prostitusi, minuman keras, dan penayangan acara-acara televisi yang merusak aqidah dan akhlak (Yusuf, 2002:53).[7]
Dalam upaya mengembangkan jiwa beragama atau akhlak mulia
anak (remaja), maka ketiga lingkungan tersebut secara sinergi harus
bekerjasama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana ligkungan yang
kondusif. Iklim yang kondusif tersebut ditandai dengn berkembangnya komitmen
yang kuat dari masing-masing individu yang mempunyai kewajiban moral (orangtua,
pihak sekolah, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat) untuk mengamalkan
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
B. Aktualisasi
Nilai Pada Masa Dewasa
Pengertiian
Masa Dewasa
Istilah adult berasal dari kata kerja latin sama seperti adolescence
– adolescere yang berarti “tumbuh menjadi kedewasaan”. Akan tetapi kata adult berasal dari bentuk lampau
partisipel dari kata adultus yang
berarti “ telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna “ atau “ telah
menjadi dewasa”. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu yang telah menyelesikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan masyarakat bersama dengan orang
dewasa lainnya.
1. Masa
Dewasa Dini
Masa dewasa dini
dimulai pada umur 18 – 40 tahun, saat perubahan – perubahan fisik, dan
psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Cic – Ciri Masa Dewasa Dini
·
Masa
dewasa dini sebagai masa pengaturan
·
Masa
usia dini merupakan masa reproduktif
·
Masa
dewasa dini sebagai masa bermasalah
·
Masa
dewasa dini Sebagai masa ketegangan emosional
·
Masa
dewasa dini sebagai masa keterasingan sosial
·
Masa
dewasa dini sebagai masa komitmen
·
Masa
dewasa dini sebagai masa perubahan nilai
·
Masa
dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru
·
Masa
dewasa dini sebagai masa kreatif
·
Masa
dewasa dini sebagai masa ketergantungan[8]
Sesudah orang menjadi dewasa ia telah dapat mengatasi
keragu-raguan di bidang agamanya yang mengganggunya pada ia waktu masih remaja.
Setelah menjadi dewasa biasanya sudah mempunyai suatu pandangan hidup yang di
dasarkan pada agama yang memberi kepuasan baginya, atau dapat tejadi bahwa
orang meninggalkan agama yang dianut keluarga karena agama tidak memberikan
kepuasan baginya. Bagaimanapun juga orang dewasa muda tampaknya kurang
memperhatikan masalah agama dibandingkan dengan sewaktu mereka masih muda dulu.
Itulah sebabnya mengapa Paocock menamakan periode usia dua puluhan ini sebagai
“periode kehidupanyang paling tidak religius”. Sikap kurang meminati agama ini
tampak pada jarangnya ia pergi ke Mesjid atau sikap acuh terhadapa ibadah.
Setelah seseorang sudah berkeluarga umumnya ia kembali
pada agama, atau setidak – tidaknya ia
tampak menaruh cukup perhatian. Orang tua dengan anak – anak kecil, sering merasa bahwa mengajarkan dasar-
dasar agama yang dianut kepada anak –
anak merupakan tanggungjawab moral sebagai orangtua, dan kewajiban untuk
memberi teladan kepada anak- anaknya. Oleh sebab itu orang berupaya membiasakan
diri lagi untuk beribadah serta melaksanakan praktek agama sebagaimana dulu dilaksanakan di rumah
orangtua, meskipun ada modifikasi di sana – siini agar sesuai dengan pola hidup
kemajuan zaman sekarang.
2. Masa
Dewasa Madya
Masa dewasa madya dimulai pada umur 40 – 60 tahun, yakni
saat menurunnya kemampuan fisik dan psikolog yang sangat jelas nampak pada
setiap orang.
Ciri – ciri masa dewasa madya :
·
Usia
madya merupakan periode yang sangat ditakuti
·
Usia
madya merupakan masa transisi
·
Usia
madya merupakan masa stres
·
Usia
madya merupakan usia yang berbahaya
·
Usia
madya merupakan masa berprestasi
·
Usia
madya merupakan “usia canggung”
·
Usia
madya merupakan masa evaluasi
·
Usia
madya merupakan masa sepi
·
Usia
madya merupakan masa jenuh
Banyak orang yang berusia madya baik pria maupun wanita
tertarik pada mesjid dan kegiatan yang
berhubungan dengan keagamaan daripada yang pernah mereka kerjakan pada waktu
masih muda. Walaupun keinginannya ini mungkin bukan karena alasan keagamaan.
Contohnya banyak orang usia madya terutama wanita yang karena banyak mempunyai
waktu luang menganggap bahwa kegiatan keagamaan atau sosiala dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhannya. Keinginan
untuk lebih terlibat dengan kegiatan keagamaan akan semakin besar setelah
seseorang mengalami kehilangan anggota keluarga atau teman dekatnya.
Banyak juga wanita dan pria usia madya menemukan agama
sebagai sumber kesenangan dan kebahagiaan
yang lebih besar daripada yang pernah diperoleh dulu sewaktu usianya
lebih muda. Secara keseluruhan, orang yang berusia madya kekhawatirannya
berkurang karena agamanya, kepercayannya kurang dogmatis, kurang yakin kalau
dikatakan bahwa hanya satu agama yang benar di dunia ini dan mempunyai
pandangan yang skeptis tentang setan, neraka dan keajaiban daripada kepercayaan
yagn dimiliki anak muda yang masih di perguruan tinggi. Hidup mereka tidak
diganggu oleh hal – hal yang berbau keagamaan, dan mempunyai toleransi agama
yang lebih baik daripada anak muda.[9]
3. Masa
Dewasa Lanjut
Masa dewasa lanjut (senescence)
dimulai pada umur 60 tahun sampai kematian. Pada masa ini baik kemampuan fisik
maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern serta upaya dalam hal berpakaian dan dandanan
memungkinkan pria atau wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan sama
seperti mereka masih lebih muda.[10]
Pada masa dewasa lanjut, terdapat
kepercayaan populer dalam masyarakat yang mengatakan bahwa orang tertarik pada
kegiatan keagamaan pada saat kehidupan hampir selesai, akan tetapi bukti –
bukti yang menunjang kepercayaan yang sperti ini sangat sedikit. Sementara
orang berusia lanjut menjadi lebih terarik pada kegiatan keagamaan karean hari
kematiannya semakin dekat, atau karena mereka sangat tidak mampu tetapi pada
umumnya mereka tidak harus tertarik pada kegiatan keagamaan karena pertimbangan
kegiatan tersebut dapat menciptakan minat baru atau dapat merupakan titik
perhatian baru.
Suatu analisis dari studi penelitian
yang berhubungan dengan sikap terhadap kegiatan keagamaan dan agama pada usia
tua membuktikan bahwa ada fakta tentang meningkatnya minat terhadap agama
sejalan dengan bertambahnya usia dan ada pula fakta lain yang menunjukkan
menurunnya minat terhadap agama pada usia ini. Dalam hal melibatkan diri atau
menjauhi bidang keagamaan, pada umunya
orang meneruskan agama dan kebiasaan yang dilakukan pada awal
kehidupannya seperti yang diungkapkan oleh Covalt “ Sikap sebagian besar orang berusia lanjut terhadap agama mungkin lebih
sering dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan atau apa yang telah diterima pada saat mencapai
kematangan intelektualnya. Pola upacara keagamaan dan kehadiran di rumah ibadah
mempunyai banyak persamaan atau telah dimodifikasi oleh lingkungan, yaitu
modifikasi yang masuk akal bagi setiap individu”.[11]
[1]
B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi
Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[2]
B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi
Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[3]
B. Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi
Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[4]
L Atkinson. Rita, Edisi kesebelas jilid
satu. Pengantar Psikologi, Batam
Center : Interaksara.
[5] Ibid
[6] Singgih
Gunarsa. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta:
Gunung Mulia
[7]
Syamsu Yusuf. (2002). Psikologi Belajar Agama. Bandung:
Maestro.
[8] B.
Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi
Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[10]
B.
Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi
Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
[11]
B.
Hurlock Elizabeth, 1965. Psikologi
Perkembangan , Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar