Kamis, 12 Januari 2012

PESAN QS Al-‘alaq ayat 1 - 5


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ * الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,  2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.  3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,   4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.  5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Ayat ini secara tekstual mungkin sudah sangat fenomenal di telinga kita. Dengan status sebagai wahyu pertama ayat ini kemudian banyak diajarkan dan terus diulang dalam setiap pembelajaran pendidikan agama islam dalam tiap tingkatannya. Namun ketika ayat ini bisa kita pahami lebih mendalam, maka kita akan dapati didalamnya sebuah strategi Allah yang diberikan kepada Muhammad melalui Jibril untuk melakukan revolusi disemenanjung arab.
Kita tarik sejenak kebelakang, Seperti yang banyak tertulis dalam catatan sejarah dari berbagai sejarawan bahwa jarak antara akhir kenabian Isa AS dengan awal kenabian Muhammad SAW yang hampir terbentang selama 5 sampai 6 abad membuat kondisi masyarakat arab khususnya makkah saat itu sangat jauh dari nilai-nilai budi pekerti cerminan dari apa yang diajarkan oleh agama. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat kesenjangan sosio-ekonomi yang parah yang melilit mayoritas penduduk makkah yang miskin. Monopoli pihak Qurays atas politik dan ekonomi yang ditopang dengan budaya syirik menjadi penyebab utama dari segala bentuk eksploitasi atas sector masyarakat yang lemah.
Kondisi masyarakat arab inilah yang kemudian membuat Muhammad sering merasa galau menyaksikannya. Kegalauan ini kemudian ia teruskan dengan sering melakukan kontemplasi/tahannus di sebuah goa diatas bukit di pinggir kota makkah yang disebut Goa Hiro. Dalam masa kontemplasinya inilah tepatnya Pada malam 17 Ramadhan, bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 Massehi, di Gua Hira,  kemudian jibril datang menyampaikan wahyu Allah sebagaimana tertulis diatas (QS Al-alaq 1-5).
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Sepintas lalu ayat ini tidak menjawab langsung tentang kondisi masyarakat arab yang di galau kan Muhammad, tapi jika di pahami dengan benar makna dari ayat tersebut terdapat pesan yang bukan hanya mampu menyelamatkan kondisi masyarakat arab saat itu tetapi juga tetap relevan dalam memperbaiki kondisi masyarakat dari masa kemasa.
Ayat tersebut setidaknya memiliki empat pesan penting kepada Muhammad dalam upaya perbaikan kendisi masyarakat yang sudah tak menentu, empat pesan tersebut :
1.      Prinsip pembebasan manusia dari buta baca dan tulis[1].
Sebagai seorang pilihan Allah tentunya Muhammad memiliki kecerdasan yang Luar biasa, baik cerdas otak maupun rohani. Kecerdasan inilah yang membuat-Nya (Muhammad) paham betul apa makna interpretasi dari ayat tersebut bagi gerakan pembaharuan sosial yang akan Ia lancarkan. Prinsip pertama tentang pembebasan manusia dari buta baca dan tulis dimaksudkan adalah mencerdaskan kehidupan manusia. Karna, sebesar apapun upaya yang akan dilakukan Muhammad kala itu namun jika masyarakat tidak cerdas maka hal itu tidak akan berarti apa-apa. Sehebat dan sebagus apapun retorika, mimic dan argumen yang digunakan dalam menyampaikan pesan ketuhanan, namun jika disampaikan dihadapan manusia dungu, maka tetap saja hasilnya tak ubah seperti melirik didalam gelap, semuanya akan sia-sia.
Namun, ketika manusia itu cerdas maka dengan sedikit sentuhan ia nya akan tersadar tentang realita yang ada disekitar. Inilah yang kemudian diharapkan Nabi, jika masyarakat saat itu cerdas maka mereka akan mampu membaca realitas politik eksploitatif elite Qurays dan kemudian tersadar untuk ikut merubuhkannya disuatu waktu.
Pesan ini masih cukup relevan dari masa kemasa bahkan hingga mentari tak bersinar lagi.
Dewasa ini dunia dengan segala permasalahannya tidak akan mungkin bisa dipecahkan jika bukan bagi mereka yang bebas dari kebutaan intelektual, namun intelektual tetap saja tidak cukup untuk menyelesaikannya jika tanpa di ikuti dengan kecerdasan (cerdas otak dan rohani). Sebab jika intelektual berjalan melenggang tanpa kecerdasan rohani justru dapat memicu permasalahan baru yang ditengah medan masalah yang terbentang luas. Jika ilmuan tersebut cerdas mereka bisa menyadari akan fungsi keilmuannya dan memanfaatkannya untuk memapah zaman dan tampuk kepemimpinan kearah yang lebih baik.
2.      Doktrin tentang kedudukan tuhan sebagai maha pencipta.
Dalam hal ini ayat tersebut menekankan tentang Tauhid bahwa Allah adalah Maha Pencipta.  Tidak ada sesuatu apapun di alam ini yang sejatinya luput dari buah karya Allah. Karenanya tidaklah ada alasan untuk untuk menyembah sesembahan yang lain termasuk pada masa itu (sebelum kenabian) berhala yang di sembah sebagai tuhan. Dengan menyadari akan kemaha penciptaan-Nya maka adalah sebuah keharusan untuk tunduk dan patuh terhadap perintahnya.
Dalam konteks hari ini, berhala hadir dalam bentuk kekuasaan, tekhnoogi dan lain sebagainya. Maka doktrin serupa tetap harus di implementasi dan aplikasikan bahwa semuanya itu merupakan berkat dari penciptaan Allah, maka keharusan pula untuk tunduk terhadap penciptanya (Allah).
Namun kendati dituntut dan dituntun untuk tunduk dan menghambakan diri kepada-Nya, Allah sendiri justru melalui Ayat-ayat yang turun kemudian tidaklah memaksakan hamba-Nya tersebut. Ia memberikan kebebasan untuk memilih ta’at atau tidak, namun pilihan itu disuatu hari akan ada pertanggung jawabannya.
3.      Pemberitahuan tentang asal usul manusia dari segumpal darah.
Penegasan tentang asal usul dari segumpal darah ini dimaksud untuk menggiring bola kehidupan menuju kearah sebuah masyarakat yang egalitarian. Monopoli yang dilakukan oleh Qurays dalam berbagai hal kala itu (masa pra kenabian) seakan dicambuk oleh kehadiran ayat ini. Bahwa manusia semuanya memiliki asal usul yang sama, maka tidaklah ada kelebihan suatu suku kelompok atau golongan atas yang lainnya. Dengan demikian kelas-kelas sosial yang dibangun berdasarkan mitos sejarah harus dihapuskan. Tidak ada alasan apapun yang membuat seseorang berbeda di mata Allah kecuali ketaqwaannya “inna akramakum ‘inda-Allahi atqookum”.
Dibawah payung Indonesia prinsip egalitarian ini seakan sedang tidur atau bahkan sudah mati sama sekali. Dalam berbagai hal masih banyak ditampilkan fenomena bahwa adanya sekelompok orang yang memiliki kelebihan, keunggulan dan keutamaan dari yang lain baik karena garis keturunan, kekayaan, kekuasaan maupun dalam hal lainnya. Dalam kasus ini yang paling mencolok adalah masalah penegakan hukum dan keadilan. Dengan asal usul yang sama harusnya angin keadilan juga berhembus kepada semuanya, namun realitanya pengadilan yang cukup banyak di Indonesia ini belum mampu memberikan keadilann khususnya kepada rakyat kecil, hal ini persis seperti kutipan yang disampaikan bung kardi dalam Jakarta Lawyers club TV One 10 januari 2012 bahwa “hukum seperti sarang laba-laba, jika benda kecil jatuh diatasnya maka ia akan tinggal, namun jika benda itu besar maka ia akan lolos dan merusak sarang itu”. Jika memang hukum dinegeri ini sudah sedemikian rupa kondisinya sungguh ini merupakan hal yang memalu dan memilukan.
Karenanya, bangsa ini perlu orang cerdas yang bertauhid dan menyadari prinsip egalitarian untuk bisa menyelamatkan Indonesia dari kelumpuhan hukum ini
4.      Penegasan tentang fungsi tuhan sebagai maha pengajar
Pada ayat ke 4 (الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ) kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat 5  (عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ), dan pada ayat 5 kalimat tanpa pena tidak disebut karen apada ayat 4 telah diisyaratkan makna itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat di atas dapat berarti “Dia (Allah) mengajarkan denga pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui manusia sebelumnya.” Sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena ungkapan ‘telah diketahui sebelumnya” adalah khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan[2]).
Pada awal surah ini (al alaq : 1) Allah telah memperkenalkan diri sebagai yang maha kuasa, maha mengetahui dan maha pemurah. Pengteahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan karan (kemurahan)-Nya tidak terbatas, sehingga dia kuasa dan berkenaan untuk mengajarkan manusia dengan atau tanpa pena  الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Wayu-wahyu ilahi yang diterima oleh manusia-manusia agung yang siap dan suci jwanya adalah tingkat tertinggi dari bentuk pengajarann-Nya tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Nabi Muhammad SAW. Dijanjikan oleh Allah SWT dalam wahyu yang pertama untuk termasuk dalam kelompok tersebut.
Karenanya apapun cara dan usaha manusia dalam keilmuannya tidaklah ada alasan baginya untuk sombong atas ilmu tersebut, karena sejatinya Allahlah sang Maha pengajar.
Medan, 12 januari 2012
Mukhrizal Arif


[1] Ahmad Syafii Ma’arif, Al-Qur’an dan Realitas Umat
              [2]) Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an, Vol 15, 402

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi