اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ *
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
1. bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam. 5. Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.
Ayat ini secara
tekstual mungkin sudah sangat fenomenal di telinga kita. Dengan status sebagai
wahyu pertama ayat ini kemudian banyak diajarkan dan terus diulang dalam setiap
pembelajaran pendidikan agama islam dalam tiap tingkatannya. Namun ketika ayat
ini bisa kita pahami lebih mendalam, maka kita akan dapati didalamnya sebuah
strategi Allah yang diberikan kepada Muhammad melalui Jibril untuk melakukan
revolusi disemenanjung arab.
Kita tarik sejenak
kebelakang, Seperti yang banyak tertulis dalam catatan sejarah dari berbagai
sejarawan bahwa jarak antara akhir kenabian Isa AS dengan awal kenabian
Muhammad SAW yang hampir terbentang selama 5 sampai 6 abad membuat kondisi masyarakat
arab khususnya makkah saat itu sangat jauh dari nilai-nilai budi pekerti
cerminan dari apa yang diajarkan oleh agama. Dalam kehidupan bermasyarakat
terdapat kesenjangan sosio-ekonomi yang parah yang melilit mayoritas penduduk
makkah yang miskin. Monopoli pihak Qurays atas politik dan ekonomi yang
ditopang dengan budaya syirik menjadi penyebab utama dari segala bentuk eksploitasi
atas sector masyarakat yang lemah.
Kondisi masyarakat arab
inilah yang kemudian membuat Muhammad sering merasa galau menyaksikannya. Kegalauan ini kemudian ia teruskan dengan sering
melakukan kontemplasi/tahannus di sebuah goa diatas bukit di pinggir kota
makkah yang disebut Goa Hiro. Dalam masa kontemplasinya inilah tepatnya Pada
malam 17 Ramadhan, bertepatan dengan 6 Agustus tahun 610 Massehi, di Gua Hira, kemudian jibril datang menyampaikan wahyu
Allah sebagaimana tertulis diatas (QS Al-alaq 1-5).
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”
Sepintas lalu ayat ini
tidak menjawab langsung tentang kondisi masyarakat arab yang di galau kan Muhammad, tapi jika di pahami
dengan benar makna dari ayat tersebut terdapat pesan yang bukan hanya mampu
menyelamatkan kondisi masyarakat arab saat itu tetapi juga tetap relevan dalam
memperbaiki kondisi masyarakat dari masa kemasa.
Ayat tersebut
setidaknya memiliki empat pesan penting kepada Muhammad dalam upaya perbaikan
kendisi masyarakat yang sudah tak menentu, empat pesan tersebut :
1.
Prinsip
pembebasan manusia dari buta baca dan tulis[1].
Sebagai
seorang pilihan Allah tentunya Muhammad memiliki kecerdasan yang Luar biasa,
baik cerdas otak maupun rohani. Kecerdasan inilah yang membuat-Nya (Muhammad)
paham betul apa makna interpretasi dari ayat tersebut bagi gerakan pembaharuan
sosial yang akan Ia lancarkan. Prinsip pertama tentang pembebasan manusia dari
buta baca dan tulis dimaksudkan adalah mencerdaskan kehidupan manusia. Karna,
sebesar apapun upaya yang akan dilakukan Muhammad kala itu namun jika
masyarakat tidak cerdas maka hal itu tidak akan berarti apa-apa. Sehebat dan
sebagus apapun retorika, mimic dan argumen yang digunakan dalam menyampaikan
pesan ketuhanan, namun jika disampaikan dihadapan manusia dungu, maka tetap saja hasilnya tak ubah seperti melirik didalam
gelap, semuanya akan sia-sia.
Namun,
ketika manusia itu cerdas maka dengan sedikit sentuhan ia nya akan tersadar
tentang realita yang ada disekitar. Inilah yang kemudian diharapkan Nabi, jika
masyarakat saat itu cerdas maka mereka akan mampu membaca realitas politik
eksploitatif elite Qurays dan kemudian tersadar untuk ikut merubuhkannya
disuatu waktu.
Pesan
ini masih cukup relevan dari masa kemasa bahkan hingga mentari tak bersinar
lagi.
Dewasa
ini dunia dengan segala permasalahannya tidak akan mungkin bisa dipecahkan jika
bukan bagi mereka yang bebas dari kebutaan intelektual, namun intelektual tetap
saja tidak cukup untuk menyelesaikannya jika tanpa di ikuti dengan kecerdasan
(cerdas otak dan rohani). Sebab jika intelektual berjalan melenggang tanpa
kecerdasan rohani justru dapat memicu permasalahan baru yang ditengah medan
masalah yang terbentang luas. Jika ilmuan tersebut cerdas mereka bisa menyadari
akan fungsi keilmuannya dan memanfaatkannya untuk memapah zaman dan tampuk
kepemimpinan kearah yang lebih baik.
2.
Doktrin
tentang kedudukan tuhan sebagai maha pencipta.
Dalam
hal ini ayat tersebut menekankan tentang Tauhid bahwa Allah adalah Maha
Pencipta. Tidak ada sesuatu apapun di
alam ini yang sejatinya luput dari buah karya Allah. Karenanya tidaklah ada
alasan untuk untuk menyembah sesembahan yang lain termasuk pada masa itu
(sebelum kenabian) berhala yang di sembah sebagai tuhan. Dengan menyadari akan
kemaha penciptaan-Nya maka adalah sebuah keharusan untuk tunduk dan patuh
terhadap perintahnya.
Dalam
konteks hari ini, berhala hadir dalam bentuk kekuasaan, tekhnoogi dan lain
sebagainya. Maka doktrin serupa tetap harus di implementasi dan aplikasikan
bahwa semuanya itu merupakan berkat dari penciptaan Allah, maka keharusan pula
untuk tunduk terhadap penciptanya (Allah).
Namun
kendati dituntut dan dituntun untuk tunduk dan menghambakan diri kepada-Nya, Allah
sendiri justru melalui Ayat-ayat yang turun kemudian tidaklah memaksakan
hamba-Nya tersebut. Ia memberikan kebebasan untuk memilih ta’at atau tidak,
namun pilihan itu disuatu hari akan ada pertanggung jawabannya.
3.
Pemberitahuan
tentang asal usul manusia dari segumpal darah.
Penegasan
tentang asal usul dari segumpal darah ini dimaksud untuk menggiring bola
kehidupan menuju kearah sebuah masyarakat yang egalitarian. Monopoli yang
dilakukan oleh Qurays dalam berbagai hal kala itu (masa pra kenabian) seakan
dicambuk oleh kehadiran ayat ini. Bahwa manusia semuanya memiliki asal usul
yang sama, maka tidaklah ada kelebihan suatu suku kelompok atau golongan atas
yang lainnya. Dengan demikian kelas-kelas sosial yang dibangun berdasarkan
mitos sejarah harus dihapuskan. Tidak ada alasan apapun yang membuat seseorang
berbeda di mata Allah kecuali ketaqwaannya “inna
akramakum ‘inda-Allahi atqookum”.
Dibawah
payung Indonesia prinsip egalitarian ini seakan sedang tidur atau bahkan sudah
mati sama sekali. Dalam berbagai hal masih banyak ditampilkan fenomena bahwa
adanya sekelompok orang yang memiliki kelebihan, keunggulan dan keutamaan dari
yang lain baik karena garis keturunan, kekayaan, kekuasaan maupun dalam hal
lainnya. Dalam kasus ini yang paling mencolok
adalah masalah penegakan hukum dan keadilan. Dengan asal usul yang sama
harusnya angin keadilan juga berhembus kepada semuanya, namun realitanya pengadilan
yang cukup banyak di Indonesia ini belum mampu memberikan keadilann khususnya
kepada rakyat kecil, hal ini persis seperti kutipan yang disampaikan bung kardi
dalam Jakarta Lawyers club TV One 10 januari 2012 bahwa “hukum seperti sarang laba-laba, jika benda kecil jatuh diatasnya maka
ia akan tinggal, namun jika benda itu besar maka ia akan lolos dan merusak
sarang itu”. Jika memang hukum dinegeri ini sudah sedemikian rupa
kondisinya sungguh ini merupakan hal yang memalu dan memilukan.
Karenanya,
bangsa ini perlu orang cerdas yang bertauhid dan menyadari prinsip egalitarian
untuk bisa menyelamatkan Indonesia dari kelumpuhan hukum ini
4.
Penegasan
tentang fungsi tuhan sebagai maha pengajar
Pada ayat ke 4 (الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ)
kata manusia tidak disebut karena telah disebut pada ayat 5 (عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ), dan pada ayat
5 kalimat tanpa pena tidak disebut karen apada ayat 4 telah diisyaratkan makna
itu dengan disebutnya pena. Dengan demikian kedua ayat di atas dapat berarti
“Dia (Allah) mengajarkan denga pena (tulisan) (hal-hal yang telah diketahui
manusia sebelumnya.” Sedang kalimat “tanpa pena” ditambahkan karena ungkapan
‘telah diketahui sebelumnya” adalah khazanah pengetahuan dalam bentuk tulisan[2]).
Pada
awal surah ini (al alaq : 1) Allah telah memperkenalkan diri sebagai yang maha
kuasa, maha mengetahui dan maha pemurah. Pengteahuan-Nya meliputi segala
sesuatu. Sedangkan karan (kemurahan)-Nya tidak terbatas, sehingga dia kuasa dan
berkenaan untuk mengajarkan manusia dengan atau tanpa pena الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
Wayu-wahyu
ilahi yang diterima oleh manusia-manusia agung yang siap dan suci jwanya adalah
tingkat tertinggi dari bentuk pengajarann-Nya tanpa alat dan tanpa usaha
manusia. Nabi Muhammad SAW. Dijanjikan oleh Allah SWT dalam wahyu yang pertama
untuk termasuk dalam kelompok tersebut.
Karenanya
apapun cara dan usaha manusia dalam keilmuannya tidaklah ada alasan baginya
untuk sombong atas ilmu tersebut, karena sejatinya Allahlah sang Maha pengajar.
Medan, 12 januari 2012
Mukhrizal Arif
[1]
Ahmad Syafii Ma’arif, Al-Qur’an dan
Realitas Umat
[2])
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan dan Kesan Keserasian Al-Qur’an, Vol 15,
402