PENDAHULUAN
Hakekat pendidikan Islam adalah segala
upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi anak didik untuk diarahkan
kepada cita-cita universal Islam tentang manusia berupa terciptanya pribadi
muslim yang cerdas secara intelektual, anggun secara moral, dan terampil dalam
amal bagi kepentingan sesama.[1]
Pengertian tersebuat sudah cukup menunjukkan arti penting pendidikan bagi
kehidupan manusia, sebab dengannya, lalu lintas kehidupan yang cukup padat akan
tertata dengan rapi. Dengan peran pentingnya dalam kehidupan manusia,
keberadaan pendidikan dapat dipastikan telah mengalir bersama perjalanan
panjang manusia itu sendiri sejak pertama kali keberadaannya.
Oleh
sebab itu, menilik jauh ke belakang guna melihat konsep-kensep pendidikan yang
pernah berlangsung atau digagas oleh para tokoh pendidikan serta menemukan
relevansinya terhadap zaman yang terus bekembang merupakan suatu keniscayaan untuk
tetap memaksimalkan peran dan fungsi pendidikan dalam kehidupan.
Dengan mempelajari kehidupan masa lalu umat Islam, akan
membantu untuk memahami sebab-sebab kemajuan dan kemunduran pendidikan Islam.
Pemahaman tersebut dapat dijadikan pijakan dalam
mengembangkan /
memperbaiki
kesalahan-kesalahan pada masa lalu. Oleh karena itu, untuk mencapai kemajuan
pendidikan Islam sekarang, dan memecahkan persoalan-persoalan pendidiksn Islam
harus mendalami historical Islam, khususnya menyangkut dengan dunia
pendidikan Islam.
Diantara
gagasan dan konsep para tokoh-tokoh pendidikan (Islam) di masa lalu, Ibn
Khaldun merupakan salah satu dintaranya. Ia tidak sedikit berbicara tentang
pendidikan di samping pembicaraannya mengenai sejarah, politik dan lain
sebagainya. Gagasan dan teori-teori yang pernah dikemukakannya (terutama dalam
kitab muqaddimah) laksana mata air
zamzam yang tak pernah kering untuk diminum. Sampai akhir tahun 1970-an telah
tercatat 854 buku, artikel, review, disertasi dan bentuk publikasi ilmiah lainnya
yang ditulis oleh para sarjana (Barat dan Timur) tentang Ibn Khaldun dan
pemikirannya terutama yang tertuang dalam kitab al-Muqaddimah, sebuah karya klasik yang dinilai memuat dimensi
modern dalam ilmu-ilmu sosial.[2]
Beranjak
dari uraian diatas, tulisan ini mencoba memaparkan pemikiran Ibnu Khaldun
tentang pendidikan serta relevansinya terhadap pendidikan saat ini.
PEMBAHASA
A.
Riwayat
Singkat Ibn Khaldun
Wali
ad-Din Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili,
disingkat Ibn Khaldun. lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M dan wafat di
Kairo pada 17 Maret 1406.[3]
Ibn Khaldun adalah keturunan
keluarga yang terkenal dan berpengaruh serta terpelajar yang hidup pada masa
penakhlukkan Andalusia. Dia dibesarkan dalam pangkuan ayahnya yang sekaligus
merupakan guru pertamanya.[4]
Bersama ayahnya ia di ajari membaca al-Qur’an dan menghafalnya serta
mempelajari berbagai macam qira’at dan penafsirannya, sekaligus belajar hadits
dan fiqih. Selain dari ayahnya, ia juga diajari tata bahasa dan retorika oleh
ulama terkenal di Tunisia.[5]
Lebih lanjut, berikut ini dituliskan guru-guru yang sempat dihampiri oleh Ibn
Khaldun untuk belajar, yaitu: Bidang
bahasa adalah Abu Abdillah Muhammad Ibnu Al-‘Arabi al-Hasyayiri, Abu al-‘Abbas
Ahmad ibn al-Qassar, Abu ‘Abdillah Ibn Bahar. Bidang keilmuan hadits, Syamsuddin Abu
‘Abdillah al-Wadiyasi. Bidang
fiqh, ia belajar pada sejumlah guru, di antaranya Abu ‘Abdillah mUhammad
al-Jiyani dan Abu Qahiri. Selain ilmu-ilmu keislaman, Ibn Khaldun juga belajar
ilmu-ilmu rasional (filosofis), yaitu teologi, logika, ilmu alam, matematika
dan astronomi, kepada Abu’Abdillah Muhammad ibn Al-Abili.
Dalam
masa mudanya yang belum genap 20 tahun, Ibn Khaldun telah terlibat dalam
berbagai intrik politik. Libido politiknya yang cukup tinggi membuatnya sangat
menikmati dunia politik yang keras dan penuh intrik tersebut. Dalam dunianya
ini, Ibnu Khaldun tercatat sebagai pengkhianat karena seringnya ia berganti
tuan demi sebuah jabatan. Hal ini terus berlangsung hingga akhirnya ia sampai
pada titik jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan panggung politik tersebut
dan mengukuhkan diri bersama keluarga di Qal’at ibn Salamah.
Dalam
masa kontemplasi di Qal’at ibn Salamah inilah kemudian ia menyelesaikan sebuah
karya menumentalnya (al- Muqaddimah), yang hingga hari ini masih menjadi
santapan intelektual bagi para sarjana diberbagai penjuru dunia.
Setelah
empat tahun tinggal di Qal’at Ibn Salamah, perjalan hidup nya di lanjutkan di
Mesir. Di tempat tinggal barunya ini ia disibukkan dengan berbagai kegiatan
seperti guru, qadi, diplomat dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebagai seorang
guru, ia cukup dikagumi karena kemampuan mengajarnya yang membuat semua orang
terpukau. Sedangkan sebagai qadi dari mazhab maliki, ia menunaikan tugasnya
dengan seadil-adilnya.[6]
Selanjutnya,
tidak banyak catatan menarik dari kehidupannya di Mesir kecuali dua hal,
pertama, karirnya sebagai qadi yang bongkar pasang karena sebanyak enam kali.
Dan berikutnya, adalah pertemuannya dengan Timurlane, seorang penakluk dari
Mongol (1401), dimana ia sempat tinggal selama 35 hari dalam tenda Timur. Lima tahun
pasca pertemuan tersebut, tepatnya 17 Maret 1406 Ibnu Khaldun wafat dalam
jabatannya sebagai qadi mazhab Maliki yang ke-enam kalinya.
B.
Pemikiran
Pendidikan Ibn Khaldun
Seperti
telah disebutkan bahwa dalam perjalanan hidupnya Ibn Khaldun banyak bergelut
dengan masalah politik. Namun demikian, etos keilmuan yang dimilikinya cukup
tinggi, sehingga aktivitas politik yang digelutinya tersebut bertolak pada
ijtihad murni untuk menjadi politisi yang tercerahkan dan alim, di mana setiap
agenda politiknya berlandaskan keilmuan dan logika. Kecerdasan, pengalaman dan
keilmuanya yang tak diragukan membuatnya begitu cermat dan kritis terhadap
fenomena tatanan sosial dan dan ekonomi (masyarakat manusia). Hal ini pada
gilirannya berpengaruh pada intuisi intlektualnya dalam meneropong sejarah dan
dinamika perkembangannya.
Sebagai seorang pemikir muslim, Ibn
Khaldun merupakan produk sejarah yang tak ternilai harganya. Pemikirannya tidak dapat
dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah letak alasan Iqbal
mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan
manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhaminya dari al-Quran sebagai sumber utama dan pertama dari
ajaran Islam. Ungkapan ini
dituliskan Ibn Khaldun secara eksplisit dalam al-Muqaddimah nya , bahwa;
dasar dari semua ilmu adalah materi sah dari al-Qur’an dan Sunnah.[7]
Merujuk kepada kitab al-Muqaddimah, maka
akan didapati corak dari pemikiran Ibn Khaldun bahwa dalam setiap
analisisnya yang tajam dan rasional, ia senantiasa mengkonsultasikan antara fakta empiric dan rasional dengan
wahyu. Wahyu tidaklah dia letakan
sebagai premis minor dalam tata fikir yang dikembangkannya, tetapi sebagai premis
mayor yang menjadi referensi setiap pemecahan masalah.[8]
a. Konsep Ilmu
Dalam kaitannya dengan ilmu, pendidikan atau pengajaran, Ibn Khaldun mengawali konsepnya dengan
menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya termasuk jenis binatang yang memiliki
kemampuan mengindra (idrak). Adapun
yang membedakannya ialah manusia memiliki kemampuan lain selain idrak, yaitu kemampuan berfikir.
Aktivitas berfikir ini adalah proses kejiwaan di balik pencerapan indrawi dan
proses “mondar-mandir” kognitif, mengabstraksi dan mensistemasi cerapan indrawi
tersebut. dengan kata lain, idrak berarti
kesadaran subjek terhadap sesuatu di luar dirinya, sedangkan al-fikr berarti sarana subjek (manusia)
mengabstraksikan cerapan-cerapan indrawi untuk konseptualisasi dan
sistemasinya.
Menjelaskan
lebih lanjut tentang al-fikr
tersebut, ibn Khaldun menjelaskan tiga tingkatan berjenjang yang distingtif
dari fungsi kompleks al-fikr, yaitu,
pertama, al-‘aql al-tamyiz (akal
pemilah), akal ini merupakan tingkatan terbawah karena kemampuannya hanya
sebatas mengetahui hal-hal luar yang bersifat empiris indrawi. Kedua, al-aql al-tajribi (akal eksperimental)
yaitu tingkatan berfikir yang menghasilkan gagasan pemikiran cemerlang dan
moralitas etik bagi tata pergaulan bersama. Ketiga, al-aql al-nadhari (akal kritis), yaitu proses berfikir yang
membuahkan keilmuan atau asumsi kuat akan hal meta empiris yang merupakan
kompleksitas dari berbagai tashawwur dan tashdiq hingga membangun disiplin
keilmuan tertentu.
Berdasarkan
perjenjangan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa menurut ibn Khaldun fungsi
tertinggi dari akal adalah konseptualisasi realitas secara objektif, detail dan
mendalam dengan rangkaian kausalitas di dalamnya, yang pada gilirannya akal
dapat mencapai perkembangan sempurna dan tercerahkan.
Kembali
pada kemampuan berfikir sebagai kelebihan manusia atas hewan sebagaimana telah
disnggung, menurut ibn Khaldun kemampuan tersebut baru merupakan potensi, dan
akan menjadi aktual setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan yang
dimulai dari kemampuannya membedakan (tamyiz).[9]
Dengan kata lain, sebelum manusia memiliki kemampua tamyiz, dia sama sekalai
tidak memiliki pengetahuan, dan dianggap sebagian dari binatang.
Setelah masa itu, pencapaian yang didapat oleh
manusia adalah akibat dari persepsi sensual dan kemampuan fikirnya. Pikiran dan
pandangan manusia tersebut kemudian akan dicurahkan untuk mencari hakikat
kebenaran. Selain itu, manusia juga akan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang
dialaminya yang bermanfaat bagi essensi dan eksistensinya. Akhirnya, upaya mencari pengetahuan tentang hakikat
sesuatu menjadi suatu kebiasan dalam dirinya. Kebiasaan tersebut oleh
Ibn Khaldun disebut dengan Malakah.
Ilmu
pengetahuan timbul melalui malakah karena dengannya manusia mampu
mengenali gejala dan hakikat segala sesuatu. Setelah itu, jiwa manusia
akan tertarik untuk mendalami ilmu tersebut sehingga ia membutuhkan orang lain
untuk melepaskan dahaga keingintahuannya (dari sinilah timbul pengajaran). Dengan
demikian, ia kemudian menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan pengajaran (ta’lim) merupakan hal yang alami di tengah
umat manusia.[10]
Perbendaharaan
ilmu manusia menurut Ibn Khaldun adalah jiwa manusia itu sendiri. Di dalamnya
Allah menciptakan persepsi yang bermanfaat baginya untuk berpikir dan
memperoleh pengetahuan ilmiah. Manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan
melalui naluri yang ditanamkan Allah dalam akal, apabila tujuan esensial mereka
dalam penyelidikannya itu adalah mencari
kebenaran serta menggantungkan diri pada rahmat Allah.
Ibn
Khaldun memandang kebenaran yang hakiki bersumber dari Allah SWT. Kebenaran
bukan hanya ada di dalam realita, melainkan ada kebenaran hakiki (haq-al
yakin) yang datang dari Ilahi.
Meskipun demikian, pengetahuan yang mungkin didapat manusia dari
penyelidikannya hanya sebatas ‘ain al-yaqin atau lebih tinggi lagi yang
dapat dicapai manusia adalah ilm al-yaqin meskipun mereka berusaha
semaksimal mungkin untuk mencapai yang haq al-yakin.
b. Tujuan Pendidikan
Pendidikan menurut
Ibn Khaldun, merupakan sebuah proses transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari
pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban
masyarakat. Dalam kaitannya tentang tujuan pendidikan, meski tidak disebut
secara eksplisit (dalam muqaddimah),
namun dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
Ø Pendidikan
sebagai usaha transformatif potensialitas (attaqah al-quswa) manusia
yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan perkembangannya.
Ø Pendidikan
sebagai bagian integral dari peradaban (al-umran) karena peradaban
sendiri adalah isi pendidikan.
Ø Pendidikan
sebagai sarana bagi manusia mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang telah
disyariatkan atasnya dan menggapai ma’rifat dengan menjalankan praktek-praktek
ibadah.[11]
Dengan demikian dapat disimpulkan tujuan pendidikan
baginya ialah peningkatan kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi
kemasyarakatan manusia dalam kehidupannya, serta peningkatan segi kerohanian
manusia.
Sedangkan Omar Muhammad al-Toumy
al-Syaibany[12],
setelah melakukan analisa terhadap kitab al-Muqaddimah,
ia mengemukakan dan menjelaskan bahwa setidaknya menurut ibn Khaldun ada enam
tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, yaitu:
1. Menyiapkan
seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama
menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi, sebab dengan jalan ini potensi iman
diperkuat.
2. Menyiapkan
seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan
Muhammad AR, bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah
menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur
dan akhlak mulia.
3. Menyiapkan
seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4. Menyiapkan
seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ia menegaskan tentang pentingnya
pekerjaan sepanjang umur manusia. Sedangkan pengajaran atau pendidikan
menurutnya termasuk di antara keterampilan-keterampilan itu.
5. Menyiapkan
seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang
berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6. Menyiapkan
seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina
dan lain-lain.
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan
keahlian.[13]
Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan
ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh
rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan
adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia
memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan
individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan
sistem sosial.
Dengan
demikian maka dapatlah kita ketahui bahwa ibn Khaldun menganut prinsip
keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus
ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan
yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri
khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan
pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi.
c. Kurikulum
dan Materi
Berbeda dengan pengertian kurikulum modern yang telah mencakup konsep lebih
luas dan setidaknya terdiri dari tiga point penting, yaitu; mencakup kurikulum
yang memuat isi dan materi pelajaran, kurikulum sebagai rencana pembelajaran
dan kurikulum sebagai pengalaman belajar.[14] Pengertian
kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih cukup sempit, yaitu terbatas pada
maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam
bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional
yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Pengertian
yang sempit terhadap kurikulum pada zaman itu tidak saja berlaku pada dunia
Islam, bahkan juga di sebahagian negeri-negeri Timur, negeri-negeri Afrika yang
bukan Islam, bahkan negeri-negeri Barat.[15]
Kembali
kepada ibn Khaldun, dalam pembahasannya mengenai kurikulum ibn
Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya,
yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian
Barat dan Timur. Dari hasil analisis komparasinya, disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada peserta
didik setidaknya meliputi tiga hal, yaitu: pertama,
kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan
syair). Kedua, kurikulum sekunder
yaitu matakuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika,
metafisika, dan matematika). Ketiga,
kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan
sebagainya).
Adapun
pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi merupakan salah satu
komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini ibn Khaldun
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yaitu:[16]
I. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini merupakan ilmu pengetahuan
alami bagi manusia melalui bimbingan pikirannya. Ibn Khaldun berpendapat
manusia memiliki persepsi-persepsi yang akan membimbingnya kepada objek-objek
dengan problema, argumen dan metode pengajaran.
Ilmu aqli di bagi menjadi empat kelompok, yaitu :
Ø
Ilmu
Logika
Ø
Ilmu
Fisika
Ø
Ilmu
Metafisika
Ø
Ilmu
Matematika
II. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu
naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini
peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama,
karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil
dari al-Qur’an dan Hadits.
Ibn
Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi
peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu :
Ø Al-Quran dan Hadits
Ø Ulum al-Quran
Ø Ulum Hadits
Ø Ushul Fiqh
Ø Fiqh
Ø Ilm al-Kalam
Ø Ilm al-Tasawuf
Ø Ilm al-Ta’bir Ru’ya
Menurutnya, Al-quran adalah ilmu yang pertama kali
harus diajarkan kepada anak. Al-Quran mengajarkan kepada anak tentang syariat
Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap
umat Islam. Ilmu-ilmu naqli hanya ditujukan untuk dipelajari pemeluk Islam.
Walaupun dalam setiap agama sebelumnya ilmu-ilmu tersebut telah ada, akan
tetapi berbeda dengan yang tedapat dalam Islam. Dalam Islam, eksistensi ilmu
berfungsi menasakhkan ilmu-ilmu dari setiap agama yang lalu dan mengembangkan
kebudayaan manusia secara dinamis.[17]
Dengan pembatasan ibn Khaldun terhadap ilmu-ilmu naqliyyah hanya pada umat Islam, baik
dalam teori maupun prakek, tampak bahwa ia meletakkan eksplorasi intelektual
akal pikir dalam ruang lingkup keilmuan ini di antara dua pembatas, yaitu:
pertama, larangan mengkaji kitab-kitab suci selain al-Qur’an. Kedua, penyerahan
(percaya) sepenuhnya terhadap generasi terdahulu (salaf) berkenaan dengan buah pemikiran mereka dalam lingkup kajian
keilmuan naqliyyah tersebut. Atau dengan kata lain, ibn Khaldun
telah menutup pintu ijtihad dalam
setiap hal yang terkait dengan keilmuan naqliyyah.[18]
Selanjutnya Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan
kepentingannya menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan
berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu
adalah:
Ø
Ilmu
agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
Ø
Ilmu
‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
Ø
Ilmu
alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu
bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
Ø
Ilmu
alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
d. Metode
Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode
pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada kitab al-Muqaddimahnya. Ia menjelaskan bahwa didalam memberikan pengetahuan
kepada anak didik, seoarang pendidik hendaknya: Pertama: Memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan
menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik. Kedua: Setelah pendidik memberikan
problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi, baru pendidik membahasnya
secara lebih detail dan terperinci. Ketiga:
Pada langkah ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara
lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapun
sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.
Secara eksplisit (dalam muqaddimah) Ibn Khaldun juga menyebutkan metode diskusi sebagai
sebuah metode yang unggul, sebab dengan metode ini anak didik telah terlibat
dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, di samping
mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain
metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Dengan berdiskusi
menurutnya kreativitas pikir anak akan lebih hidup, anak juga dapat memecahkan
masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi
anak akan benar-benar mengerti dan paham
terhadap apa yang dipelajarinya. Metode ini menurutnya merupakan cara yang
mampu menjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian.[19]
e.
Prinsip-Prinsip Dalam Proses Belajar
Mengajar
Ibn
Khaldun telah meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai suatu
hal yang sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa.
Prinsip-prinsip tersebut secara garis besar meliputi beberapa hal sebagai
berikut:
Pertama, pentahapan
dan pengulangan. Mengajar anak-anak / remaja hendaknya didasarkan atas
prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat
total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak
dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang di
ajarkan, lalu guru mendekatkan ilmu itu kepada pikirannya dengan penjelasan dan
uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya anak-anak tersebut
serta kesiapan kemampuan menerima apa yang di ajarkan. Kemudian guru mengulangi
lagi ilmu yang di ajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannya sampai
pada taraf yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas, setelah itu
beralih dari uraian yang global kepada uraian yang hingga tercapai tujuan
akhirnya yang terakhir, kemudian diulangi sekali lagi pelajaran tersebut,
sehingga tidak adalagi terdapat kesulitan murid/anak untuk memahaminya dan tak
ada lagi bagian-bagian yang di ingatkan.[20]
Kedua, tidak
membebani pikiran siswa. Dalam masalah ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa
pemikiran manusia tumbuh dan berkembang secara berproses (bertahap). Hal ini akan mempengarui pengetahuan dan
pengalaman yang diperolehnya. Ini semua akan kembali pada bagaimana dan sejauh
mana perkembangan dan kesuksesan tersebut berkembang secara positif dan
negatif. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya selalu mempersiapkan cara yang
akan dipergunakan dan dikembangkan dalam proses memberikan pemahaman dan
penerimaan ilmu secara bertahap. Terutama ketika ia berusaha memberikan materi
baru atau pengetahuan baru, yang tentunya akan memberikan beban tambahan dalam
proses penerimaan pengetahuan dan materi lainnya.[21]
Ketiga, tidak
pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa memahaminya secara
utuh.[22]
Dalam hal ini, Ibn Khaldun mengaskan bahwa dalam proses belajar mengajar
seorang siswa merupakan objek, seorang guru tidak dianjurkan berpindah pada
materi yang baru sebelum ia yakin bahwa siswanya telah paham terhadap materi
pelajaran yang lalu. Hal tersebut ditandai dengan bertambahnya tingkat
kemampuan yang dimiliki seorang siswa dan daya kesiapan yang dimilikinya.
Keempat, lupa
merupakan hal biasa dalam belajar. Solusinya adalah dengan sering mengulang dan
mempelajarinya kembali. Ibn Khaldun dengan prinsip belajar mengajarnya,
menghendaki agar seorang guru juga memperhatikan terhadap proses pendidikan
potensi yang dimiliki seorang siswa. Pendidikan terhadap potensi pada individu
menuntut agar siswa tersebut memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Hal tersebut tentu membutuhkan proses waktu. Sementara, waktu
juga berperan secara negatif terhadap memori seseorang. Namun ,hal negatif
tersebut dapat diselesaikan dengan senantiasa mengulang kembali tanpa adanya
pemisahan tepat dan memutuskannya.[23] Pengulangan
secara bertingkat ini, menurut pendapat Ibn Khaldun sangat besar manfaatnya
dalam upaya menjelaskan dan memantapkan untuk memahami ilmu. Tujuan mempelajari
ilmu tersebut adalah kemahiran anak dalam mengamalkannya, serta mengambil
manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Alasan mengulang-ulang sampai beberapa
kali (tiga kali) adalah karena kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan atau
seni berlangsung secara bertahap.
Kelima, tidak
bertindak keras terhadap siswa. Menurut Ibn Khaldun, tindakan keras atau kasar
terhadap siswa dapat menyebabkan munculnya sikap rendah diri, dan mendorong
seseorang memiliki perilaku dan kebiasaan buruk. Menurutnya siapapun yang
mendidik dengan proses kekerasan dan pemaksaan yang di tunjukannya akan
mengakibatkan seseorang mempunyai sifat dusta dan buruk, sehingga membuat
seseorang memiliki ruang gerak yang sempit.[24]
f.
Pendidik
Tentang
pendidik/guru dalam pandangan ibn Khaldun, setidaknya dapat dikemukakan
beberapa sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik untuk mendukung
profesionalismenya yakni[25]:
Pertama, pendidik
hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman
yang merusak fisik dan psikis peserta didik. Sebab, pendidik yang dalam
proses pembelajaran teramat keras dan galak terhadap anak didiknya,
maka sikap keras dan galak tadi membekas dalam diri anak didik,
sehingga ia terlatih hidup dalam kepura-puraan, kepalsuan dan ketidak wajaran,
dannyalinya pun menjadi kecil. Keadaan ini terus berlanjut hingga
membentuk kebiasaan dan akhlak anak didik. Maka nilai kemanusiaannya mengikis dan
rasa egonya sirna. Bahkan lebih jauh, jiwa anak didik yang bersangkutan menjadi
malas untuk berkembang ke arah kebaikan, melainkan justru turun
ke titik nol.[26]
Kedua,
pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswatuhasanah (teladan) bagi
peserta didik.
Ketiga,
pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan
pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
Keempat,
pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta
didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan
jiwanya,serta kesiapan untuk menerima pelajaran.
g. Peserta didik
Sedangkan
konsepnya mengenai peserta didik, dapat dijelaskan bahwa peserta didik
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta
didik membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah
yang lebih baik dengan potensi dan fitrah yang telah ada
C.
Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibn Khaldun
Gagasan-gagasan yang telah dilontarkan
ibn Khaldun (dalam hal ini tentang pendidikan), sejatinya merupakan gagasan
brilian yang tidak saja berbicara prihal masanya, namun mampu mengarungi waktu
untuk terus berada dalam ruang sejarah. Kendati demikian sebagai produk
pemikiran yang lahir dari rahim sejarah, gagasan tersebut tentu tak dapat lepas
dari kritik di tiap waktu yang dilaluinya. Dalam kaitan ini, berdasarkan kajian
penulis maka ada beberapa hal yang penulis anggap perlu dikritiksi dari
pemikiran ibn Khaldun tersebut, yaitu:
1.
Tentang pembatasan ibn Khaldun terhadap ilmu naqliyyah, yaitu: pertama, larangan mengkaji kitab-kitab suci selain
al-Qur’an. Kedua, penyerahan (percaya) sepenuhnya terhadap generasi terdahulu (salaf) berkenaan dengan buah pemikiran
mereka dalam lingkup kajian keilmuan naqliyyah
tersebut.[27]
Tentang yang
pertama, kendati al-Qur’an merupakan suara langit terakhir yang dibawa Rasul,
namun tidak berarti kajian terhadap kitab sebelumya menjadi dilarang (haram).
Sebab, dalam beberapa hal, sejarah misalnya, al-Qur’an hanya mengemukakan hal
pokok dari peristiwa sejarah yang di sebutkannya. Sedangkan secara lebih rinci
diceritakan dalam kitab lain (injil, misalnya). Tentang pembatasan yang kedua,
ibn Khaldun secara “gegabah” telah menutup pintu ijtihad dalam setiap hal yang terkait dengan keilmuan naqliyyah. Padahal bukankah ilmu
tersebut akan terus berkembang seiring zaman yang melaju? Oleh sebab itu, tidak
relevan kiranya jika pengkajian terhadap ilmu naqliyyah tersebut hanya dibatasi kepada ulama terdahulu (salaf).
2. Terkait
prinsip dalam belajar mengajar, ia menjelaskan bahwa pendidik atau guru
hendaknya tidak berpindah dari satu materi ke materi lain sebelum murid
benar-benar paham. Untuk itu ia menekankan pengulangan sampai materi
benar-benar dipahami oleh murid.[28]
Ketika dibenturkan dalam konteks hari ini, tentu prinsip tersebut tidak lagi
relevan. Sebab, pada kondisi sekarang ini pengulangan yang terlalau lama pada
satu tema tertentu dapat memakan waktu sehingga mengakibatkan materi lainnya
akan berceceran. Guru seyogyanya tidak lagi dituntut sebagaimana prinsip
tersebut, malainkan bagaimana murid termotivasi untuk mengakses sendiri
berbagai sumber yang terkait dengan materi yang dibahas untuk kemudian mendiskusikannya
kepada guru. Dengan demikian, pembelajaran tidak lagi berjalan searah.
3. Pendapat
lain yang dikemukakan ibn Khaldun ialah tidak memperbolehkan memberi selang
waktu ketika pelajaran sedang diajarkan, hal ini menurutnya dapat mengakibatkan
pelajaran terpisah-pisah sehingga pelajar cepat lupa.
Hal
ini tentu tidak relevan, sebab menurut para ahli pendidikan modern, memberikan tenggang waktu untuk istirahat
dalam pemberian pelajaran sangat diperlukan, terutama di antara dua mata
pelajaran yang berbeda. Hal ini dapat menghilangkan rasa kejenuhan serta dapat
memantapkan mata pelajaran yang baru diberikan ke dalam jiwa siswa.
KESIMPULAN
Dari apa yang telah diuraikan di atas
tentang pemikiran pendidikan Ibn Khaldun, maka dapat disimpulkan bahwa Ibn
Khaldun merupakan seorang pemikir pendidikan yang cukup cemerlang, dimana dalam
pemikiran-pemikirannya baik dalam bidang pendidikan maupun lainnya ia selalu
mendasarkannya kepada fakta empirik dan kemudian mengkonsultasikannya kepada
al-Qur’an dan Sunnah yang dijelaskannya merupakan dasar dari ilmu pengetahuan.
dengan kecemerlangan pikirannya ia berhasil mendudukan secara proporsional
ilmu-ilmu naqliyyah dengan aqliah.
Berangkat
dari apa yang penulis pahami terhadap pemikirannya tentang pendidikan,
(khususnya yang tertuang dalam kitab muqaddimah),
maka secara umum dapat dikatakan bahwa selain apa yang telah penulis kritisi
dalam tulisan ini, maka konsep dan gagasan pendidikan Ibn Khaldun masih cukup
relevan dengan pendidikan hari ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jumbulati, Ali, 2002, Perbandingan Pendidikan Islam (Dirasatun
Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyyah), Jakarta: PT Rineka Cipta.
al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, Penrj: Hasan Langgulung.
Enan,
Muhammad Abdullah, 2003, Biografi Ibnu
Khaldun, Jakarta; Mizan.
Khaldun,
Ibn, 2011, Muqaddimah, Jakarta:
Pustaka Firdaus, cet-10, penj: Ahmadie Thoha.
Kurniawan,
Syamsul, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ma’arif,
Ahmad Syafii, 1996, Ibnu Khaldun Dalam
Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta; Gema Insani Press.
Ridha, Muhammad
Jawwad, 2002, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Walidin, Warul, 2003, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan
Modern, Aceh : yayasan Nadia.
Yamin,
Moh, 2010, Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan, Yogyalarta: Divapress, Cet ke-2.
[1]
Ahmad Syafii Ma’arif. Lihat dalam; http://moechrizal.blogspot.com/2011/12/wawancara-dengan-prof-dr-ahmad-syafii.html
[3] Ibid, hlm. 11.
[4] Tentang Muhammad (ayah Ibn
Khaldun), ia berbeda dengan ayah dan saudara-saudaranya yang aktif bergelut di dunia politik. Ia
lebih senang belajar terutama menekuni fiqih, filologi dan puisi.
[5] Muhammad Abdullah Enan, Biografi Ibnu Khaldun, (Jakarta; Mizan,
2003), hlm. 21.
[6] Ma’arif, Ibnu Khaldun, hlm. 17.
[7] Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet-10, 2011), penj: Ahmadie Thoha, hlm. 544.
[8] Warul
Walidin, Konstelasi
Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan Modern, (Aceh :
yayasan Nadia, 2003), hlm. 66
[9] Khaldun, Muqaddimah, hlm, 532.
[10] Ibid, hlm. 534.
[11] Walidin, Konstelasi, hlm. 105-107
[12] Lihat: Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidika Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), Penrj: Hasan Langgulung, hlm. 398-474.
[13] Pandangan tentang hal inilah
yang oleh banyak kalangan dijadikan alasan mengkategorikan ibn Khaldun kepada
seorang yang Pragmatis, sebab pendidikan menurutnya bukan untuk ilmu sendiri,
malainkan juga untuk keahlian yang diperlukan manusia dalam kehidupannya.
[14] Dr. Oemar Hamalik, dikutip
dalam; Moh. Yamin, Manajemen Mutu
Kurikulum Pendidikan, (Yogyalarta: Divapress, 2010, Cet ke-2), hlm, 35.
[15] Al-Toumy, Falsafah, hlm. 479.
[16] Khaldun, Muqaddimah, hlm, 543-544.
[17] Ibid, hlm, 545.
[18] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 189.
[19] Ibid, hlm, 537.
[20] Al-Jumbulati,
Ali Penerjemah Arifin, Perbandingan
Pendidikan Islam (Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyyah),
(Jakarta: PT Rineka Cipta 2002), hlm. 199-200.
[21] Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011),hlm. 106
[22] Jumbulati, Perbandingan.., hlm. 205-206
[23] Samsul, Jejak.., hlm, 111.
[24] Ibid, hlm 112.
[25] Ibid, 107-108.
[26] Ridha, Tiga Aliran.., hlm. 195.
[27] Lihat halaman 11 dari makalah
ini.
[28] Lihat prinsip belajar mengajar,
pada halaman 13-14 dalam makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar