Sabtu, 21 Desember 2013

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBN KHALDUN

PENDAHULUAN
           Hakekat pendidikan Islam adalah segala upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi anak didik untuk diarahkan kepada cita-cita universal Islam tentang manusia berupa terciptanya pribadi muslim yang cerdas secara intelektual, anggun secara moral, dan terampil dalam amal bagi kepentingan sesama.[1] Pengertian tersebuat sudah cukup menunjukkan arti penting pendidikan bagi kehidupan manusia, sebab dengannya, lalu lintas kehidupan yang cukup padat akan tertata dengan rapi. Dengan peran pentingnya dalam kehidupan manusia, keberadaan pendidikan dapat dipastikan telah mengalir bersama perjalanan panjang manusia itu sendiri sejak pertama kali keberadaannya.
          Oleh sebab itu, menilik jauh ke belakang guna melihat konsep-kensep pendidikan yang pernah berlangsung atau digagas oleh para tokoh pendidikan serta menemukan relevansinya terhadap zaman yang terus bekembang merupakan suatu keniscayaan untuk tetap memaksimalkan peran dan fungsi pendidikan dalam kehidupan.
          Dengan mempelajari kehidupan masa lalu umat Islam, akan membantu untuk memahami sebab-sebab kemajuan dan kemunduran pendidikan Islam. Pemahaman tersebut dapat dijadikan pijakan dalam mengembangkan / memperbaiki kesalahan-kesalahan pada masa lalu. Oleh karena itu, untuk mencapai kemajuan pendidikan Islam sekarang, dan memecahkan persoalan-persoalan pendidiksn Islam harus mendalami historical Islam, khususnya menyangkut dengan dunia pendidikan Islam.
          Diantara gagasan dan konsep para tokoh-tokoh pendidikan (Islam) di masa lalu, Ibn Khaldun merupakan salah satu dintaranya. Ia tidak sedikit berbicara tentang pendidikan di samping pembicaraannya mengenai sejarah, politik dan lain sebagainya. Gagasan dan teori-teori yang pernah dikemukakannya (terutama dalam kitab muqaddimah) laksana mata air zamzam yang tak pernah kering untuk diminum. Sampai akhir tahun 1970-an telah tercatat 854 buku, artikel, review, disertasi dan bentuk publikasi ilmiah lainnya yang ditulis oleh para sarjana (Barat dan Timur) tentang Ibn Khaldun dan pemikirannya terutama yang tertuang dalam kitab al-Muqaddimah, sebuah karya klasik yang dinilai memuat dimensi modern dalam ilmu-ilmu sosial.[2]
          Beranjak dari uraian diatas, tulisan ini mencoba memaparkan pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan serta relevansinya terhadap pendidikan saat ini.

 PEMBAHASA 
A.         Riwayat Singkat Ibn Khaldun
          Wali ad-Din Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun al-Hadrami al-Ishbili, disingkat Ibn Khaldun. lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 M dan wafat di Kairo pada 17 Maret 1406.[3]
            Ibn Khaldun adalah keturunan keluarga yang terkenal dan berpengaruh serta terpelajar yang hidup pada masa penakhlukkan Andalusia. Dia dibesarkan dalam pangkuan ayahnya yang sekaligus merupakan guru pertamanya.[4] Bersama ayahnya ia di ajari membaca al-Qur’an dan menghafalnya serta mempelajari berbagai macam qira’at dan penafsirannya, sekaligus belajar hadits dan fiqih. Selain dari ayahnya, ia juga diajari tata bahasa dan retorika oleh ulama terkenal di Tunisia.[5] Lebih lanjut, berikut ini dituliskan guru-guru yang sempat dihampiri oleh Ibn Khaldun untuk belajar, yaitu: Bidang bahasa adalah Abu Abdillah Muhammad Ibnu Al-‘Arabi al-Hasyayiri, Abu al-‘Abbas Ahmad ibn al-Qassar, Abu ‘Abdillah Ibn Bahar. Bidang keilmuan hadits, Syamsuddin Abu ‘Abdillah al-Wadiyasi. Bidang fiqh, ia belajar pada sejumlah guru, di antaranya Abu ‘Abdillah mUhammad al-Jiyani dan Abu Qahiri. Selain ilmu-ilmu keislaman, Ibn Khaldun juga belajar ilmu-ilmu rasional (filosofis), yaitu teologi, logika, ilmu alam, matematika dan astronomi, kepada Abu’Abdillah Muhammad ibn Al-Abili.
          Dalam masa mudanya yang belum genap 20 tahun, Ibn Khaldun telah terlibat dalam berbagai intrik politik. Libido politiknya yang cukup tinggi membuatnya sangat menikmati dunia politik yang keras dan penuh intrik tersebut. Dalam dunianya ini, Ibnu Khaldun tercatat sebagai pengkhianat karena seringnya ia berganti tuan demi sebuah jabatan. Hal ini terus berlangsung hingga akhirnya ia sampai pada titik jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan panggung politik tersebut dan mengukuhkan diri bersama keluarga di Qal’at ibn Salamah.
          Dalam masa kontemplasi di Qal’at ibn Salamah inilah kemudian ia menyelesaikan sebuah karya menumentalnya (al- Muqaddimah), yang hingga hari ini masih menjadi santapan intelektual bagi para sarjana diberbagai penjuru dunia.
          Setelah empat tahun tinggal di Qal’at Ibn Salamah, perjalan hidup nya di lanjutkan di Mesir. Di tempat tinggal barunya ini ia disibukkan dengan berbagai kegiatan seperti guru, qadi, diplomat dan kegiatan kenegaraan lainnya. Sebagai seorang guru, ia cukup dikagumi karena kemampuan mengajarnya yang membuat semua orang terpukau. Sedangkan sebagai qadi dari mazhab maliki, ia menunaikan tugasnya dengan seadil-adilnya.[6]
          Selanjutnya, tidak banyak catatan menarik dari kehidupannya di Mesir kecuali dua hal, pertama, karirnya sebagai qadi yang bongkar pasang karena sebanyak enam kali. Dan berikutnya, adalah pertemuannya dengan Timurlane, seorang penakluk dari Mongol (1401), dimana ia sempat tinggal selama 35 hari dalam tenda Timur. Lima tahun pasca pertemuan tersebut, tepatnya 17 Maret 1406 Ibnu Khaldun wafat dalam jabatannya sebagai qadi mazhab Maliki yang ke-enam kalinya.

B.            Pemikiran Pendidikan Ibn Khaldun
          Seperti telah disebutkan bahwa dalam perjalanan hidupnya Ibn Khaldun banyak bergelut dengan masalah politik. Namun demikian, etos keilmuan yang dimilikinya cukup tinggi, sehingga aktivitas politik yang digelutinya tersebut bertolak pada ijtihad murni untuk menjadi politisi yang tercerahkan dan alim, di mana setiap agenda politiknya berlandaskan keilmuan dan logika. Kecerdasan, pengalaman dan keilmuanya yang tak diragukan membuatnya begitu cermat dan kritis terhadap fenomena tatanan sosial dan dan ekonomi (masyarakat manusia). Hal ini pada gilirannya berpengaruh pada intuisi intlektualnya dalam meneropong sejarah dan dinamika perkembangannya.
          Sebagai seorang pemikir muslim, Ibn Khaldun merupakan produk sejarah yang tak ternilai harganya. Pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran Islamnya. Disinilah letak alasan Iqbal mengatakan bahwa seluruh semangat al-Muqaddimah yang merupakan manifestasi pemikiran Ibnu khaldun, diilhaminya dari al-Quran sebagai sumber utama dan pertama dari ajaran Islam. Ungkapan ini dituliskan Ibn Khaldun secara eksplisit dalam al-Muqaddimah nya , bahwa;  dasar dari semua ilmu adalah materi sah dari al-Qur’an dan Sunnah.[7]
          Merujuk kepada kitab al-Muqaddimah, maka akan didapati corak dari pemikiran Ibn Khaldun bahwa dalam setiap analisisnya yang tajam dan rasional, ia senantiasa mengkonsultasikan antara fakta empiric dan rasional dengan wahyu.  Wahyu tidaklah dia letakan sebagai premis minor dalam tata fikir yang dikembangkannya, tetapi sebagai premis mayor yang menjadi referensi setiap pemecahan masalah.[8]
a.    Konsep Ilmu
     Dalam kaitannya dengan ilmu, pendidikan atau pengajaran, Ibn Khaldun mengawali konsepnya dengan menjelaskan bahwa manusia pada hakikatnya termasuk jenis binatang yang memiliki kemampuan mengindra (idrak). Adapun yang membedakannya ialah manusia memiliki kemampuan lain selain idrak, yaitu kemampuan berfikir. Aktivitas berfikir ini adalah proses kejiwaan di balik pencerapan indrawi dan proses “mondar-mandir” kognitif, mengabstraksi dan mensistemasi cerapan indrawi tersebut. dengan kata lain, idrak berarti kesadaran subjek terhadap sesuatu di luar dirinya, sedangkan al-fikr berarti sarana subjek (manusia) mengabstraksikan cerapan-cerapan indrawi untuk konseptualisasi dan sistemasinya.
     Menjelaskan lebih lanjut tentang al-fikr tersebut, ibn Khaldun menjelaskan tiga tingkatan berjenjang yang distingtif dari fungsi kompleks al-fikr, yaitu, pertama, al-‘aql al-tamyiz (akal pemilah), akal ini merupakan tingkatan terbawah karena kemampuannya hanya sebatas mengetahui hal-hal luar yang bersifat empiris indrawi. Kedua, al-aql al-tajribi (akal eksperimental) yaitu tingkatan berfikir yang menghasilkan gagasan pemikiran cemerlang dan moralitas etik bagi tata pergaulan bersama. Ketiga, al-aql al-nadhari (akal kritis), yaitu proses berfikir yang membuahkan keilmuan atau asumsi kuat akan hal meta empiris yang merupakan kompleksitas dari berbagai tashawwur dan tashdiq hingga membangun disiplin keilmuan tertentu.
     Berdasarkan perjenjangan tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa menurut ibn Khaldun fungsi tertinggi dari akal adalah konseptualisasi realitas secara objektif, detail dan mendalam dengan rangkaian kausalitas di dalamnya, yang pada gilirannya akal dapat mencapai perkembangan sempurna dan tercerahkan.
     Kembali pada kemampuan berfikir sebagai kelebihan manusia atas hewan sebagaimana telah disnggung, menurut ibn Khaldun kemampuan tersebut baru merupakan potensi, dan akan menjadi aktual setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan yang dimulai dari kemampuannya membedakan (tamyiz).[9] Dengan kata lain, sebelum manusia memiliki kemampua tamyiz, dia sama sekalai tidak memiliki pengetahuan, dan dianggap sebagian dari binatang.
     Setelah  masa itu, pencapaian yang didapat oleh manusia adalah akibat dari persepsi sensual dan kemampuan fikirnya. Pikiran dan pandangan manusia tersebut kemudian akan dicurahkan untuk mencari hakikat kebenaran. Selain itu, manusia juga akan memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang bermanfaat bagi essensi dan eksistensinya. Akhirnya, upaya mencari pengetahuan tentang hakikat sesuatu menjadi suatu kebiasan dalam dirinya. Kebiasaan tersebut oleh Ibn Khaldun disebut dengan Malakah.
     Ilmu pengetahuan timbul  melalui malakah karena dengannya  manusia mampu  mengenali gejala dan hakikat segala sesuatu. Setelah itu, jiwa manusia akan tertarik untuk mendalami ilmu tersebut sehingga ia membutuhkan orang lain untuk melepaskan dahaga keingintahuannya (dari sinilah timbul pengajaran). Dengan demikian, ia kemudian menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan pengajaran (ta’lim) merupakan hal yang alami di tengah umat manusia.[10]
     Perbendaharaan ilmu manusia menurut Ibn Khaldun adalah jiwa manusia itu sendiri. Di dalamnya Allah menciptakan persepsi yang bermanfaat baginya untuk berpikir dan memperoleh pengetahuan ilmiah. Manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan melalui naluri yang ditanamkan Allah dalam akal, apabila tujuan esensial mereka dalam penyelidikannya itu adalah mencari  kebenaran serta menggantungkan diri pada rahmat Allah.
     Ibn Khaldun memandang kebenaran yang hakiki bersumber dari Allah SWT. Kebenaran bukan hanya ada di dalam realita, melainkan ada kebenaran hakiki (haq-al yakin) yang  datang dari Ilahi. Meskipun demikian, pengetahuan yang mungkin didapat manusia dari penyelidikannya hanya sebatas ‘ain al-yaqin atau lebih tinggi lagi yang dapat dicapai manusia adalah ilm al-yaqin meskipun mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai yang haq al-yakin.
b.    Tujuan Pendidikan
     Pendidikan menurut Ibn Khaldun, merupakan sebuah proses transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Dalam kaitannya tentang tujuan pendidikan, meski tidak disebut secara eksplisit (dalam muqaddimah), namun dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
Ø  Pendidikan sebagai usaha transformatif potensialitas (attaqah al-quswa) manusia yang bertujuan mengoptimalkan pertumbuhkan dan perkembangannya.
Ø  Pendidikan sebagai bagian integral dari peradaban (al-umran) karena peradaban sendiri adalah isi pendidikan.
Ø  Pendidikan sebagai sarana bagi manusia mengetahui hukum-hukum Allah SWT yang telah disyariatkan atasnya dan menggapai ma’rifat dengan menjalankan praktek-praktek ibadah.[11]
Dengan demikian dapat disimpulkan tujuan pendidikan baginya ialah peningkatan kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia dalam kehidupannya, serta peningkatan segi kerohanian manusia.
Sedangkan Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany[12], setelah melakukan analisa terhadap kitab al-Muqaddimah, ia mengemukakan dan menjelaskan bahwa setidaknya menurut ibn Khaldun ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, yaitu: 
1.      Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi, sebab dengan jalan ini potensi iman diperkuat.
2.      Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR, bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia. 
3.      Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4.      Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ia menegaskan tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia. Sedangkan pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara keterampilan-keterampilan itu.
5.      Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6.      Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain. 
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian.[13] Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial. 
Dengan demikian maka dapatlah kita ketahui bahwa ibn Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi.
c.    Kurikulum dan Materi
     Berbeda dengan pengertian kurikulum modern yang telah mencakup konsep lebih luas dan setidaknya terdiri dari tiga point penting, yaitu; mencakup kurikulum yang memuat isi dan materi pelajaran, kurikulum sebagai rencana pembelajaran dan kurikulum sebagai pengalaman belajar.[14] Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih cukup sempit, yaitu terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Pengertian yang sempit terhadap kurikulum pada zaman itu tidak saja berlaku pada dunia Islam, bahkan juga di sebahagian negeri-negeri Timur, negeri-negeri Afrika yang bukan Islam, bahkan negeri-negeri Barat.[15]
     Kembali kepada ibn Khaldun, dalam pembahasannya mengenai kurikulum ibn Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Dari hasil analisis komparasinya, disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik setidaknya meliputi tiga hal, yaitu: pertama, kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga, kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan sebagainya).
     Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini ibn Khaldun mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yaitu:[16]
         I.     Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini merupakan ilmu pengetahuan alami bagi manusia melalui bimbingan pikirannya. Ibn Khaldun berpendapat manusia memiliki persepsi-persepsi yang akan membimbingnya kepada objek-objek dengan problema, argumen dan metode pengajaran.
Ilmu aqli di bagi menjadi empat kelompok, yaitu :
Ø Ilmu Logika
Ø Ilmu Fisika
Ø Ilmu Metafisika
Ø Ilmu Matematika
       II.     Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
     Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Ibn Khaldun menyusun ilmu-ilmu naqli sesuai dengan manfaat dan kepentingannya bagi peserta didik kepada beberapa ilmu, yaitu :
Ø  Al-Quran dan Hadits
Ø  Ulum al-Quran
Ø  Ulum Hadits
Ø  Ushul Fiqh
Ø  Fiqh
Ø  Ilm al-Kalam
Ø  Ilm al-Tasawuf
Ø  Ilm al-Ta’bir Ru’ya
Menurutnya, Al-quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak. Al-Quran mengajarkan kepada anak tentang syariat Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap umat Islam. Ilmu-ilmu naqli hanya ditujukan untuk dipelajari pemeluk Islam. Walaupun dalam setiap agama sebelumnya ilmu-ilmu tersebut telah ada, akan tetapi berbeda dengan yang tedapat dalam Islam. Dalam Islam, eksistensi ilmu berfungsi menasakhkan ilmu-ilmu dari setiap agama yang lalu dan mengembangkan kebudayaan manusia secara dinamis.[17]
Dengan pembatasan ibn Khaldun terhadap ilmu-ilmu naqliyyah hanya pada umat Islam, baik dalam teori maupun prakek, tampak bahwa ia meletakkan eksplorasi intelektual akal pikir dalam ruang lingkup keilmuan ini di antara dua pembatas, yaitu: pertama, larangan mengkaji kitab-kitab suci selain al-Qur’an. Kedua, penyerahan (percaya) sepenuhnya terhadap generasi terdahulu (salaf) berkenaan dengan buah pemikiran mereka dalam lingkup kajian keilmuan naqliyyah  tersebut. Atau dengan kata lain, ibn Khaldun telah menutup pintu ijtihad dalam setiap hal yang terkait dengan keilmuan naqliyyah.[18]
Selanjutnya Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
Ø  Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
Ø  Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
Ø  Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
Ø  Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
d.   Metode Pendidikan
     Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada kitab al-Muqaddimahnya. Ia menjelaskan bahwa didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, seoarang pendidik hendaknya: Pertama: Memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik. Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi, baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci. Ketiga: Pada langkah ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.
     Secara eksplisit (dalam muqaddimah) Ibn Khaldun juga menyebutkan metode diskusi sebagai sebuah metode yang unggul, sebab dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, di samping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Dengan berdiskusi menurutnya kreativitas pikir anak akan lebih hidup, anak juga dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Metode ini menurutnya merupakan cara yang mampu menjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian.[19]
e.    Prinsip-Prinsip Dalam Proses Belajar Mengajar
Ibn Khaldun telah meletakkan prinsip-prinsip proses belajar mengajar sebagai suatu hal yang sangat mendasar dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa. Prinsip-prinsip tersebut secara garis besar meliputi beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, pentahapan dan pengulangan. Mengajar anak-anak / remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang di ajarkan, lalu guru mendekatkan ilmu itu kepada pikirannya dengan penjelasan dan uraian-uraian sesuai dengan tingkat kemampuan berpikirnya anak-anak tersebut serta kesiapan kemampuan menerima apa yang di ajarkan. Kemudian guru mengulangi lagi ilmu yang di ajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannya sampai pada taraf yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas, setelah itu beralih dari uraian yang global kepada uraian yang hingga tercapai tujuan akhirnya yang terakhir, kemudian diulangi sekali lagi pelajaran tersebut, sehingga tidak adalagi terdapat kesulitan murid/anak untuk memahaminya dan tak ada lagi bagian-bagian yang di ingatkan.[20]
Kedua, tidak membebani pikiran siswa. Dalam masalah ini Ibn Khaldun menyatakan bahwa pemikiran manusia tumbuh dan berkembang secara berproses (bertahap).  Hal ini akan mempengarui pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya. Ini semua akan kembali pada bagaimana dan sejauh mana perkembangan dan kesuksesan tersebut berkembang secara positif dan negatif. Oleh karena itu, seorang guru hendaknya selalu mempersiapkan cara yang akan dipergunakan dan dikembangkan dalam proses memberikan pemahaman dan penerimaan ilmu secara bertahap. Terutama ketika ia berusaha memberikan materi baru atau pengetahuan baru, yang tentunya akan memberikan beban tambahan dalam proses penerimaan pengetahuan dan materi lainnya.[21]
Ketiga, tidak pindah dari satu materi ke materi lain sebelum siswa memahaminya secara utuh.[22] Dalam hal ini, Ibn Khaldun mengaskan bahwa dalam proses belajar mengajar seorang siswa merupakan objek, seorang guru tidak dianjurkan berpindah pada materi yang baru sebelum ia yakin bahwa siswanya telah paham terhadap materi pelajaran yang lalu. Hal tersebut ditandai dengan bertambahnya tingkat kemampuan yang dimiliki seorang siswa dan daya kesiapan yang dimilikinya.
Keempat, lupa merupakan hal biasa dalam belajar. Solusinya adalah dengan sering mengulang dan mempelajarinya kembali. Ibn Khaldun dengan prinsip belajar mengajarnya, menghendaki agar seorang guru juga memperhatikan terhadap proses pendidikan potensi yang dimiliki seorang siswa. Pendidikan terhadap potensi pada individu menuntut agar siswa tersebut memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut tentu membutuhkan proses waktu. Sementara, waktu juga berperan secara negatif terhadap memori seseorang. Namun ,hal negatif tersebut dapat diselesaikan dengan senantiasa mengulang kembali tanpa adanya pemisahan tepat dan memutuskannya.[23] Pengulangan secara bertingkat ini, menurut pendapat Ibn Khaldun sangat besar manfaatnya dalam upaya menjelaskan dan memantapkan untuk memahami ilmu. Tujuan mempelajari ilmu tersebut adalah kemahiran anak dalam mengamalkannya, serta mengambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Alasan mengulang-ulang sampai beberapa kali (tiga kali) adalah karena kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan atau seni berlangsung secara bertahap.
Kelima, tidak bertindak keras terhadap siswa. Menurut Ibn Khaldun, tindakan keras atau kasar terhadap siswa dapat menyebabkan munculnya sikap rendah diri, dan mendorong seseorang memiliki perilaku dan kebiasaan buruk. Menurutnya siapapun yang mendidik dengan proses kekerasan dan pemaksaan yang di tunjukannya akan mengakibatkan seseorang mempunyai sifat dusta dan buruk, sehingga membuat seseorang memiliki ruang gerak yang sempit.[24]
f.     Pendidik
Tentang pendidik/guru dalam pandangan ibn Khaldun, setidaknya dapat dikemukakan beberapa sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik untuk mendukung profesionalismenya yakni[25]
Pertama, pendidik hendaknya lemah lembut, senantiasa menjauhi sifat kasar, dan menjauhi hukuman yang merusak fisik dan psikis peserta didik. Sebab, pendidik yang dalam proses pembelajaran teramat keras dan galak terhadap anak didiknya, maka sikap keras dan galak tadi membekas dalam diri anak didik, sehingga ia terlatih hidup dalam kepura-puraan, kepalsuan dan ketidak wajaran, dannyalinya pun menjadi kecil. Keadaan ini terus berlanjut hingga membentuk kebiasaan dan akhlak anak didik. Maka nilai kemanusiaannya mengikis dan rasa egonya sirna. Bahkan lebih jauh, jiwa anak didik yang bersangkutan menjadi malas untuk berkembang  ke arah kebaikan, melainkan justru turun ke titik nol.[26]
Kedua, pendidik hendaknya menjadikan dirinya sebagai uswatuhasanah (teladan) bagi peserta didik.
Ketiga, pendidik hendaknya memperhatikan kondisi peserta didik dalam memberikan pengajaran sehingga metode dan materi dapat disesuaikan secara proporsional.
Keempat, pendidik harus profesional dan mempunyai wawasan yang luas tentang peserta didik, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya,serta kesiapan untuk menerima pelajaran.
g.    Peserta didik
     Sedangkan konsepnya mengenai peserta didik, dapat dijelaskan bahwa peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta didik membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah yang lebih baik dengan potensi dan fitrah yang telah ada
 C.           Analisis Kritis Pemikiran Pendidikan Ibn Khaldun
          Gagasan-gagasan yang telah dilontarkan ibn Khaldun (dalam hal ini tentang pendidikan), sejatinya merupakan gagasan brilian yang tidak saja berbicara prihal masanya, namun mampu mengarungi waktu untuk terus berada dalam ruang sejarah. Kendati demikian sebagai produk pemikiran yang lahir dari rahim sejarah, gagasan tersebut tentu tak dapat lepas dari kritik di tiap waktu yang dilaluinya. Dalam kaitan ini, berdasarkan kajian penulis maka ada beberapa hal yang penulis anggap perlu dikritiksi dari pemikiran ibn Khaldun tersebut, yaitu:
1.      Tentang pembatasan ibn Khaldun terhadap ­ilmu naqliyyah, yaitu: pertama, larangan mengkaji kitab-kitab suci selain al-Qur’an. Kedua, penyerahan (percaya) sepenuhnya terhadap generasi terdahulu (salaf) berkenaan dengan buah pemikiran mereka dalam lingkup kajian keilmuan naqliyyah  tersebut.[27] 
Tentang yang pertama, kendati al-Qur’an merupakan suara langit terakhir yang dibawa Rasul, namun tidak berarti kajian terhadap kitab sebelumya menjadi dilarang (haram). Sebab, dalam beberapa hal, sejarah misalnya, al-Qur’an hanya mengemukakan hal pokok dari peristiwa sejarah yang di sebutkannya. Sedangkan secara lebih rinci diceritakan dalam kitab lain (injil, misalnya). Tentang pembatasan yang kedua, ibn Khaldun secara “gegabah” telah menutup pintu ijtihad dalam setiap hal yang terkait dengan keilmuan naqliyyah. Padahal bukankah ilmu tersebut akan terus berkembang seiring zaman yang melaju? Oleh sebab itu, tidak relevan kiranya jika pengkajian terhadap ilmu naqliyyah tersebut hanya dibatasi kepada ulama terdahulu (salaf).
2.      Terkait prinsip dalam belajar mengajar, ia menjelaskan bahwa pendidik atau guru hendaknya tidak berpindah dari satu materi ke materi lain sebelum murid benar-benar paham. Untuk itu ia menekankan pengulangan sampai materi benar-benar dipahami oleh murid.[28] Ketika dibenturkan dalam konteks hari ini, tentu prinsip tersebut tidak lagi relevan. Sebab, pada kondisi sekarang ini pengulangan yang terlalau lama pada satu tema tertentu dapat memakan waktu sehingga mengakibatkan materi lainnya akan berceceran. Guru seyogyanya tidak lagi dituntut sebagaimana prinsip tersebut, malainkan bagaimana murid termotivasi untuk mengakses sendiri berbagai sumber yang terkait dengan materi yang dibahas untuk kemudian mendiskusikannya kepada guru. Dengan demikian, pembelajaran tidak lagi berjalan searah.
3.      Pendapat lain yang dikemukakan ibn Khaldun ialah tidak memperbolehkan memberi selang waktu ketika pelajaran sedang diajarkan, hal ini menurutnya dapat mengakibatkan pelajaran terpisah-pisah sehingga pelajar cepat lupa.
Hal ini tentu tidak relevan, sebab menurut para ahli pendidikan modern,  memberikan tenggang waktu untuk istirahat dalam pemberian pelajaran sangat diperlukan, terutama di antara dua mata pelajaran yang berbeda. Hal ini dapat menghilangkan rasa kejenuhan serta dapat memantapkan mata pelajaran yang baru diberikan ke dalam jiwa siswa.
KESIMPULAN
Dari apa yang telah diuraikan di atas tentang pemikiran pendidikan Ibn Khaldun, maka dapat disimpulkan bahwa Ibn Khaldun merupakan seorang pemikir pendidikan yang cukup cemerlang, dimana dalam pemikiran-pemikirannya baik dalam bidang pendidikan maupun lainnya ia selalu mendasarkannya kepada fakta empirik dan kemudian mengkonsultasikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah yang dijelaskannya merupakan dasar dari ilmu pengetahuan. dengan kecemerlangan pikirannya ia berhasil mendudukan secara proporsional ilmu-ilmu naqliyyah dengan aqliah.
          Berangkat dari apa yang penulis pahami terhadap pemikirannya tentang pendidikan, (khususnya yang tertuang dalam kitab muqaddimah), maka secara umum dapat dikatakan bahwa selain apa yang telah penulis kritisi dalam tulisan ini, maka konsep dan gagasan pendidikan Ibn Khaldun masih cukup relevan dengan pendidikan hari ini.

DAFTAR PUSTAKA 
Al-Jumbulati, Ali, 2002, Perbandingan Pendidikan Islam (Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyyah), Jakarta: PT Rineka Cipta.
al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Penrj: Hasan Langgulung.
Enan, Muhammad Abdullah, 2003, Biografi Ibnu Khaldun, Jakarta; Mizan.
Khaldun, Ibn, 2011, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet-10, penj: Ahmadie Thoha.
Kurniawan, Syamsul, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Ma’arif, Ahmad Syafii, 1996, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta; Gema Insani Press.
Ridha, Muhammad Jawwad, 2002, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Walidin, Warul, 2003, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan Modern, Aceh : yayasan Nadia.
Yamin, Moh, 2010, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, Yogyalarta: Divapress, Cet ke-2.





             [1] Ahmad Syafii Ma’arif. Lihat dalam; http://moechrizal.blogspot.com/2011/12/wawancara-dengan-prof-dr-ahmad-syafii.html
   [2] Ahmad Syafii Ma’arif, Ibnu Khaldun Dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, (Jakarta; Gema Insani Press, 1996), hlm. ix.
[3] Ibid, hlm. 11.
[4] Tentang Muhammad (ayah Ibn Khaldun), ia berbeda dengan ayah dan saudara-saudaranya  yang aktif bergelut di dunia politik. Ia lebih senang belajar terutama menekuni fiqih, filologi dan puisi.
[5] Muhammad Abdullah Enan, Biografi Ibnu Khaldun, (Jakarta; Mizan, 2003), hlm. 21.
[6] Ma’arif, Ibnu Khaldun, hlm. 17.
[7] Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet-10, 2011), penj: Ahmadie Thoha, hlm. 544.
[8] Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan Modern, (Aceh : yayasan Nadia, 2003), hlm. 66
[9] Khaldun, Muqaddimah, hlm, 532.
[10] Ibid, hlm. 534.
[11] Walidin, Konstelasi, hlm. 105-107
[12] Lihat: Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidika Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Penrj: Hasan Langgulung, hlm. 398-474.
[13] Pandangan tentang hal inilah yang oleh banyak kalangan dijadikan alasan mengkategorikan ibn Khaldun kepada seorang yang Pragmatis, sebab pendidikan menurutnya bukan untuk ilmu sendiri, malainkan juga untuk keahlian yang diperlukan manusia dalam kehidupannya.
[14] Dr. Oemar Hamalik, dikutip dalam; Moh. Yamin, Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Yogyalarta: Divapress, 2010, Cet ke-2), hlm, 35.
[15] Al-Toumy, Falsafah, hlm. 479.
[16] Khaldun, Muqaddimah, hlm, 543-544.
[17] Ibid, hlm, 545.
[18] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 189.
[19] Ibid, hlm, 537.
[20] Al-Jumbulati, Ali Penerjemah Arifin, Perbandingan Pendidikan Islam (Dirasatun Muqaaranatun fit-Tarbiyyatil Islamiyyah), (Jakarta: PT Rineka Cipta 2002), hlm. 199-200.
[21] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2011),hlm. 106
[22] Jumbulati, Perbandingan.., hlm. 205-206
[23] Samsul, Jejak.., hlm, 111.
[24] Ibid, hlm 112.
[25] Ibid, 107-108.
[26] Ridha, Tiga Aliran.., hlm. 195.
[27] Lihat halaman 11 dari makalah ini.
[28] Lihat prinsip belajar mengajar, pada halaman 13-14 dalam makalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi