PENDAHULUAN
Semenjak abad ke 17 rasionalisme Rene
Descartes mencapai posisi penting bagi ilustrasi
keilmuan manusia, pemikirannya bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk
memperoleh pengetahuan. Lalu dilanjutkan dengan empirisisme yang mencapai
puncak pada masa David Hume yang mana pengetahuan kita hanya bersumber dari
pengalaman dan hanya terbatas pada dunia cerapan indra saja. Selanjutnya
pada abad ke 19 muncullah positivisme yang diperkenalkan oleh Agustus Comte.
Istilah
“positivisme” berasal dari kata “positif” yang berarti “factual” atau apa yag
berdasarkan fakta-fakta. Sehingga positivisme dalam hal ini diartikan sebagai
teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati. Dalam
pandangan positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang
pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu.[1]
Positivisme memang berkaitan erat dengan
dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Ia pun mengutamakan pentingnya
pengalaman. Akan tetapi, berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima
pengalaman bathiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme
tidak menerima pengalaman bathiniah sebagai sumber pengetahuan. Baginya,
pengetahuan sejati hanyalah pengalaman obyektif yang bersifat lahiriah, yang
bisa diuji secara indrawi. Karena itu, menurut F. Budi Hardiman, positivisme
adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam pencerahan Prancis.
PEMBAHASAN
Biografi Auguste
Comte
Auguste Comte
memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir di
Montpelier, Prancis pada tanggal 19 Januari 1798, dan meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada
umur 59 tahun. Comte kecil tinggal di sebuah kota kecil
bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia
melanjutkan pendidikannya di École
Polytechnique di Paris (1814), yang
kemudian menghantarkannya menjadi seorang matematikawan yang brilian.[2]
Comte memulai
karir profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika. Meskipun ia
telah memperoleh pendidikan dalam bidang matematika, namun perhatian yang
sebenarnya ialah masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Perhatiannya tersebut
kemudian berkembang setelah ia bertemu dengan Henri de Saint-Simon, seorang
ahli teori sosial yang tertarik pada reformasi utopis dan pendiri awal
sosialisme Eropa, yang kemudian mempekerjakan
Comte sebagai sekretarisnya.[3]
Dengan Simon,
Comte menjalin kerjasama yang erat dalam pengembangan karya awalnya. Namun,
setelah tujuh tahun pasangan ini akhirnya pecah karena perdebatan mengenai
kepengarangan karya bersama, dan Comte pun meninggalkan pembimbingnya tersebut.[4] Namun, walaupun
Comte tidak lagi bekerjasama dengan Simon, pengaruhnya tetap saja melekat
sepanjang hidup comte.
Pasca meninggalkan Simon, comte
selanjutnya meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian
dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour
réorganiser la société (1822) (Rencana studi
ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi
akademis sehingga menghambat penelitiannya.
Sementara Comte sedang mengembangkan
filsafat positifnya yang komprehensif, ia menikah dengan seorang bekas pelacur
bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga
pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum
sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan
kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, pada tahun 1842 ia
bercerai dengan Massin. Saat-saat di antara pengerjaan kembali rencananya
sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Course
of Positive Philosophy.
Pada tahun 1844,
Comte menjalin kasih dengan Clothilde
de Vaux, seorang wanita yang sedang di tinggal suaminya. Perasaan
Comte terhadap Clothilde cukup besar, namun sayangnya hal itu tak berlangsung
lama karena Clothilde mengidap TBC dan akhirnya meninggal. Hal ini
mengakibatkan Comte cukup terguncang, sampai bersumpah bahwa ia akan
membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari” nya tersebut.
Sifat tulisan Comte umumnya berubah secara
mencolok pasca menjalin hubungan dengan Clothilde. Dalam karya keduanya System
of Positive Politics, ia menggagas bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong
orang dalam dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi
manusia yang mantap. Dia mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat, dengan
sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta murni tanpa egois
demi kebesaran manusia. Tujuannya ialah mengembangkan suatu agama yang baru
yaitu agama Humanitas.[5] Dan pada
gilirannya ia menyatakan diri sebagai pendiri agama universal, Imam Agung
Humanitas.[6]
Meskipun egois dan egosentris, Auguste
Comte mengabdikan dirinya untuk kemajuan masyarakat sampai akhir hayatnya. Ia
meninggal karena kanker perut di Paris pada tanggal 5 September 1857.
Filsafat Auguste
Comte
Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai
pemikiran Auguste Comte, baiknya mengetahui terlebih dahulu apa-apa yang
melatarbelakangi/ mempengaruhi pemikirannya. Dalam buku Hotman M.
Siahaan (1986) dijelaskan ada beberapa sumber penting yang menjadi
latar belakang yang menentukan jalan pikiran Comte[7],
yaitu:
1. Revolusi
Perancis dengan segala aliran pikiran yang berkembang pada masa itu. Comte
tidaklah dapat dipahami tanpa latar belakang revolusi Perancis dan juga restorasi
dinasti Burbon di Perancis pada masa itu. Pada masa mana menimbulkan krisis
sosial yang maha hebat di negeri itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte
berusaha untuk memahami krisis yang terjadi tersebut. Dan dia berpendapat bahwa
manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui
pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientific. Revolusi itu oleh karenanya
merupakan stimulus bagi pikiran Comte sendiri.
2. Sumber lain
yang menjadi latar belakang pemikiran Comte adalah filsafat sosial yang
berkambang di Perancis pada abad ke-18, khususnya filsafat yang dikembangkan
oleh para penganut paham Encyclopedist Perancis. Comte banyak menyerap ajaran
filsafat kaum encyclopedist ini, terutama dasar-dasar pikirannya, sekalipun
kelak dia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari aliran ini.
3. Sumber ketiga
adalah aliran reaksioner dari pada ahli pikir Theocratic, terutama yang bernama
De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner dalam pemikiran Katholik Roma
adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan di mana kekuasaan gereja
sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu peiode yang dapat secara
paling baik memecahkan berbagai masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat
para ahli yang mengatakan bahwa abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya
stagnasi di dalam ilmu pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar
di segala lapangan kehidupan. Comte telah membaca karya-karya pemikir
theocratic di bawah pengaruh Saint Simont. Sebagaimana diketahui, Saint Simont
juga menganggap bahwa abad pertengahan adalah periode organic yang bersifat
konstruktif.
4. Sumber terahir
yang melatarbelakangi pikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan
oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Saint Simont.
Comte telah membangun hubungan yang sangat erat dengan Saint Simont juga dengan
para ahli pikir sosialis Perancis lainnya. Dan seperti itu juga mereka, Comte
di satu pihak akan membangun ilmu pengetahuan sosial yang bersifat scientific.
Sebenarnya Comte memiliki sikap tersendiri terhadap aliran ini, tetapi
sekalipun demikian, dasar-dasar aliran ini masih tetap dianutnya, terutama
pemikiran mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat,
dan mendasarkan pengawasan tersebut di dalam suatu dasar bersifat scientific.
a. Positivisme
Pada dasarnya
positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan
yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan
demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode
saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme,
dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno
dan juga digunakan oleh ibn al-Haytham dalam karyanya kitab al-Manazhir.
Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama
kali dilakukan Comte.[8]
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste
Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive
(1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Discours
L’esprit Positive (1844). Dalam karya inilah Comte menguraikan
pendapat-pendapat positivis, hukum tiga tahap, klasifikasi ilmu-ilmu
pengetahuan dan bagan mengenai mengenai tatanan kemajuan.[9]
Dalam kaitannya (positivisme) tentang
masyarakat, Comte meyakini bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, maka
untuk memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut pengetahuan
metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya.[10] Comte melihat
perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu
proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu
lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk pemikiran
teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya
hukum-hukum ilmiah yang positif.
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural
science) yang dengan penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan
hukum-hukum tetap yang dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian
melakukan copy-paste metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki
prilaku sosial, dengan begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum
tetap yang berlaku general pada masyarakat (hukum sosial).[11]
Comte memulai pekerjaannya tersebut denga
melakukan refleksi mendalam terkait sejarah perkembangan alam pikir manusia. Ia
kemudian mendapati bahwa sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari
tiga tahap, yaitu teologik, metafisik dan positif, yang akan di jelaskan pada
bahagian berikutnya. Dari ketiga tahapan tersebut, tahap positif merupakan
babak terakhir dimana pada tahapan itu manusia telah memasuki peradaban yang
positif. Selanjutnya, Comte membuat norma-norma ilmiah yang disebut metodologi
ilmiah.
Metodologi positivisme berkaitan erat
dengan pandangannya tentang objek positif. Objek positif sebagaimana dimaksud
dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi, yaitu; antara yang nyata dan
yang khayal, yang pasti dan yang meragukan, yang tepat dan yang kabur, yang
berguna dan yang sia-sia, yang mengklaim memiliki kesahihan relative dan yang
mengklaim memiliki kesahihan mutlak.[12]
Distingsi-distingsi tersebut, oleh Comte diterjemahkan kedalam norma-norma
metodologis sebagai berikut:
Semua pengetahuan
harus terbukti lewat rasa-kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis
yang terjamin secara intersubjektif.
Kepastian metodis
sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuna ilmiah dijamin
oleh kesatuan metode.
Ketepatan
pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal
kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum.
Pengetahuan
ilmiah harus dapat dipergunakan secara tekhnis. Ilmu pengetahuan memungkinkan
control tekhnis atas proses-proses alam maupun sosial.
Pengetahuan kita pada
prinsipnya tak pernah selesai dan relative, sesuai dengan sifat relative dan
semangat positif.[13]
Atas dasar pandangan diatas, menurut Comte
metode penelitian yang harus digunakan dalam proses keilmuan adalah observasi,
eksperimentasi, dan komparasi. Yang terakhir ini digunakan untuk melihat
hal-hal yang lebih komplek, seperti biologi dan sosiologi. Berkaitan dengan
sosial, asumsi comte berkonsentrasi pada tiga hal, yakni; pertama,
prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada
ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk
hukum-hukum seperti dalam ilmu alam.
Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat tekhnis, yaitu menyediakan
pengetahuan yang bersifat instrumental murni.
Dengan uraian diatas, dapat dijelaskan
bahwa dalam perspektif positivisme, ilmu-ilmu menganut tiga prinsip; bersifat
empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ketiganya tidak
hanya berlaku pada ilmu alam, namun juga berlaku bagi ilmu sosial, dan inilah
kontribusi terbesar daru Auguste Comte, yang menghantarkannya sebagai bapak
sosiologi modern.
b. Hukum Tiga Tahap
Dalam Cours de Philosophy Positive, Comte
menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas
dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah
pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yaitu Teologi, Metafisis dan
Positif.[14]
Hukum tiga tahap ini merupakan usaha Comte
untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai
peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Mengenai hukum tiga
tahap ini, comte menjelaskannya sebagai berikut;
“Dari studi mengenai
perkembangan intelegensi manusia, dan melalui segala zaman, penemuan muncul
dari suatu hukum dasar yang besar. Inilah hukumnya: bahwa setiap konsepsi kita
yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga
kondisi teoritis yang berbeda; teologis atau fiktif, metafisik atau abstrak dan
ilmiah atau positif” (Doyle Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang,85).[15]
Dalam tahap teologis, manusia percaya
bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang
mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai
makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya
bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk insani
biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif
yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental
untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek.
Animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia, dimana
mereka menganggap bahwa benda-benda memiliki jiwa, lalu beranjak kepada
politeisme, yang menganggap adanya Dewa-dewa yang menguasai suatu lapangan
tertentu, dan kemudian Monoteisme yang menganggap hanya ada satu Tuhan
penguasa.
Selanjutnya tahap metafisik. Tahapan ini
merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai
oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan
dengan akal budi.
Tahap terakhir ialah tahap positif, pada tahap
ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang
dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini
menghasilkan pengetahuan yang instrumental. Akan tetapi pengetahuan selalu
bersifat sementara, dan tidak mutlak. Karenanya, semangat positivisme
memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar
pengetahuan yang dapat ditinjau kembali.
Sebagai contoh perbedaan dan peralihan
dari tiap tahap tersebut, dapat dilihat misalanya dari penjelasan tentang angin
topan. Pada tahap teologis, hal ini akan dijelaskan sebagai hasl tindakan
lagsung dari seorang dewa angin, atau tuhan yang agung. Dalam tahap metafisik,
hal ini akan dijelaskan sebagai manifestasi dari hukum alam yang tidak dapat diubah.
Dan dalam tahap positif, angin topan akan dijelaskan sebagai hasil dari
kombinasi tertentu dan tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembapan dan
suhu.
c. Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial
Sejalan dengan
perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang
harmonis antara bagian-bagian masyarakat, dan sumbangannya terhadap bertahannya
stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki
sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali.
Analisis Comte
mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk
menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu
cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak
sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.[16]
Menurut comte,
individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan
masyarakat asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga. Dalam
keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat.
Keteraturan
sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi.
Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individunya.
Akan tetapi begitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu dalam
kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan saling ketergantungan
dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian pekerjaan meningkat bersama
industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan dengan itu
mendorong individualisme, sekaligus meningkatkan derajat saling ketergantungan.
Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan
masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, berstandar
pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian
pekerjaan yang sangat tinggi.
d. Agama Humanitas
Wawasan Comte tentang konsekuensi-konsekuensi
agama yang menguntungkan dan ramalannya terhadap tahap positif postreligius
dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada masalah rumit. Melirik fakta
sejarah, ia tidak bisa menafikan peran penting agama terhadap keteraturan
sosial yang paling utama. Akan tetapi, kalau dilihat dalam perspektif ilmiah
(positif), agama didasarkan pada kekeliruan intlektual asasi yang mula-mula
sudah berkembang pada saat-saat awal perkembangan intlektual manusia. Lalu,
pertanyaan rumit yang dihadapi Comte adalah bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam masyarakat positif
pada masa-masa yang akan datang, Dengan satu dasar tradisi pokok mengenai
keteraturan sosial yang digali oleh positivisme.
Mengatasi masalah tersebut, Comte kemudian
mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu agama baru yakni agama Humanitas,
dan mengangkat dirinya sebagai imam agung agama tersebut. Ini aspek kedua dari
perhatian Comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama meliputi suatu
analisis objektif mengenai sumber sumber stabilitas dalam masyarakat, sedangkan
aspek kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial dengan agama
Humanitas sebagai cita-cita normatifnya.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat
positive di bawah bimbingan moral agama Humanitas makin lama makin terperinci.
Misalnya, dia menyusun satu kelender baru dengan hari-hari tertentu untuk
menghormati ilmuan-ilmuan besar dan lainnya, yang sudah bekerja demi
kemanusiaan dan kemajuan manusia. Akan ada beberapa ritus doa yang disusun
untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya ke dalam the great
being of humanity. Selain itu, ada juga ritual dimana Comte sebagai imam agung
berlutut didepan altarnya sambil memegang seikat rambut kepala Cothilde de
Vaux. Ia juga bahkan mengusulkan agar kuburan de Vaux dijadikan sebagai tempat
ziarah.[17] Dalam agama
baru ini, moralitas tertinggi adalah
cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah pada abad pertengahan digantikan
dengan “Le Grand Etre” (Ada Agung), yakni Kemanusiaan.[18]
e. Altruisme
Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai
kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai
penyerahan diri kepada keseluruhan masyarakat. Bahkan bukan hanya salah satu
masyarakat, melainkan suku bangsa manusia pada umumnya. Dengan demikia,
altruism bukanlah sekedar lawan dari egoisme.
Keteraturan masyarakat yang diidamkan oleh
positivisme haya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruism sebagi
prinsip dalam setiap tindakan mereka. Sehubungan dengan ini, Comte sampai
beranggapan bahwa bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Keilahian
baru dari positivisme ini disebut le Grand Eire (Maha Makhluk).[19]
Bila paham altruism ini dibandingkan
dengan filsafat islam, maka akan tampak dalam pemikiran yang dikembangkan oleh
filusuf islam yang membagi dua macam hak. Pertama haqqullah dan hak adamyy.
Haqqullah ini digunakan untuk menjelaskan kepantingan bersama, baik masyarakat
maupun Negara yang merupakan symbol dari kehendak Allah. Sementara hak adamyy
yang berarti hak manusia, melambangkan kebebasan individu untuk menggunakan hak
pribadinya.
Ujung dari pencarian kebenaran yang
dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang
membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai
teori sosiologinya.
f. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan tidaklah mencapai titik
kematangan yang sama secara serentak. Karenanya, perlu dilukiskan
perkembangannya berdasarkan tingkat kerumitan bahan yang dipelajari di
dalamnya. Ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga ilmu yang satu selalu
mengandalkan ilmu yang lahir mendahuluinya. Auguste Comte membedakan ilmu
pengetahuan pokok menjadi enam, yaitu; ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia,
biologi dan puncaknya pada sosiologi. Semua ilmu pengetahuan, dapat dijabarkan
kepada salah satu dari enam ilmu tersebut diatas.[20]
Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling fundamental
dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis,
astronomi membicarakannya juga tentang gerak, sedangkan dalam fisika ditambah
lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya kimia membahas proses
perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan dan dikupas
dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi yang kini
membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan yang
diberi nama sosiologi yang mengambil objek penyelidikannya gejala-gejala
kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk hidup yang merupakan objek biologi
(ilmu sebelum sosiologi).
Karenanya, sosiologi merupakan puncak dan
penghabisan untuk usaha manusia seluruhnya, sosiologi baru dapat berkembang
sesudah ilmu lainnya mencapai kematangan. Oleh karena itu, Comte beranggapan
bahwa selaku pencipta sosiologi, ia mengantarkan ilmu pengetahuan ke tahap
positifnya. Comte dalam merancang sosiologinya bermaksud praktis, yaitu atas
dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan
susunan masyarakat yang lebih sempurna.
KESIMPULAN
Positivisme adalah aliran filsafat yang
berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan
dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. positivisme
bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan
empirisme dan rasionalisme yang bekerjasama. Dengan kata lain, ia
menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perluanya
eksperimen dan ukuran-ukuran. Dengan demikian positivisme sama dengan emperisme
plus rasionalisme
Dalam kaitannya tentang sosial,
positivisme merupakan doktrin Comte yang menjadi pondasi strategi rekonstruksi
masyarakat. Bagi Comte, sosiologi merupakan puncak perkembangan positivisme dan
menjadikannya ratu dari ilmu-ilmu sosial. Sehingga, sosiologi positif
diharapkan Comte mampu menjadi kunci kemajuan sosial dimasa depan
Ujung dari pencarian kebenaran yang
dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang
membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai
teori sosiologinya.
[1] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, (Bandung; Pustaka Setia-
2008), hlm. 296.
[2] Wikipedia; Ensiklopedia Bebas, Biografi Auguste Comte, dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte
[3] Bio, True Story, Auguste Comte. Biografi, dalam
http://www.biography.com/people/auguste-comte-9254680
[4] Hakim, Filsafat, hlm. 290.
[5] Hakim, Filsafa, hlm. 291-292.
[6] Ibid, hlm. 293
[7] Little Science, Sejarah Sosiologi, dalam
http://mohammadhasbi.blogspot.com/
[8] Rabbani. Auguste Comte dan Positivisme, dalam
http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/
[9] Hakim, Filsafat, hlm. 296.
[10] Ibid, hlm.297.
[11] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta; Belukar,
2008-Cet. V), hlm. 108.
[12] Ibid, hlm. 109
[13] Ibid, hlm. 111.
[14] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta; Gramedia
Pustaka Utama-2007), hlm. 206.
[15] Hakim, Filsafat, hlm. 301.
[16] Ibid, hlm. 307.
[17] Ibid, hlm.311
[18] Hardiman, Filsafat, hlm. 212.
[19] Hakim, Filsafat, hlm. 317.
[20] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika,
(Bogor; Kencana, 2003), hlm. 136.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar