Kamis, 17 Januari 2013

KURIKUM PENDIDIKAN 2013; ANTARA BARU DAN BAU.


Dunia pendidikan kita seolah tak pernah usai dari beragam persoalan yang membelit. Belakangan panggung pendidikan kita diramaikan dengan kabar kurikulum baru 2013 yang katanya akan digulirkan pada pertengahan tahun ini. Uji public telah dilakukan bahkan telah selesai. Pro kontra terkait kurikulum ini terus bermunculan, Muhammad Nuh selaku Mentri yang bertanggung jawab belakangan seperti artis yang kerapkali muncul di media. Satu hal yang cukup menarik dari kebijakan kurikum baru ini ialah  bahwa dari berbagai sudut pandang ia bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standart Nasional Pendidikan.
Kurikulm baru 2013  di tingkat pusat tersebut yang nantinya akan menggunakan system tematik integrative cukup paradoks dengan UU No. 20 Tahun 2003, sedikitnya ada tiga pasal yang dilanggar oleh kurikulum baru tersebut yakni pasal 36, 37 dan 38. Sedangkan dalam PP No 19 tahun 2005, sedikitnya kurikulm baru tersebut melanggar Bab II, bagian ke dua. Dalam pasal 38 ayat (2) misalnya, disebutkan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah”. Hal ini tentunya sangat paradoks dengan kebijakan yang akan mensentralisasikan kurikulum dari pusat. Pertanyaannya, apakah mungkin kebijakan ini bisa bertetangan dengan UU?. Tentunya tidak, oleh karena itu harus lebih dahulu dilakukan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi, namun dengan rencana implementasi kurikulum baru yang katanya akan mulai bergulir pertengahan tahun ini, apakah mungkin melakukan judicial review dalam waktu yang cukup singkat?, tentunya ini sangat mustahil, mengingat draf rancangan kurikulum tersebutpun belum juga diajukan ke DPR. Perubahan kurikulum sesuai dengan perkembangan pengetahuan, ilmu, teknologi, sosial ekonomi dan kebutuhan masyarakat memang diperlukan. kurikulum 2013 mungkin dirasa lebih sederhana, khususnya bagi sekolah dasar. Namun agar tidak melanggar undang-undang maka revisi undang-undang harus disegerakan, jika tidak ingin kurikulum tersebut ber-“bau busuk”.
Selanjutnya, dalam pasal 36 ayat (1) UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Sedangkan menurut PP 19 Tahun 2005 pasal 73 disebutkan bahwa pengembangan Standar Nasional Pendidikan dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Permasalahannya kemudian ialah ternyata pengembangan kurikulm yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan ini, kurang –untuk mengatakan tidak- melibatkan BSNP. Hal ini ditunjukkan bahwa kajian pengembangan kurikulum 2013 dilakukan oleh tim baik yang langsung di bawah Wakil Presiden atau pun tim yang berada di bawah Mendikbud. Padahal jika memperhatikan elemen perubahan kurikulum 2013 pada standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian, merupakan ranah BSNP untuk mengkaji dan mengembangkan. Salah satu fakta terdekat menunjukkan bahwa uji publik dilakukan melalui laman kemendikbud, tidak laman BSNP. Begitu pula uji publik oleh Kemendibud bukan BSNP. Pertanyaannya; Kemana BSNP?, apakah memang tidak ingin terlibat atau sengaja tidak dilibatkan?
Jika pemerintah tidak mengajukan revisi Undang-undang Sisdiknas yang baru, paling tidak pemerintah harus melakukan adendum pasal terkait pengembangan kurikulum. Selanjutnya pemerintah juga harus melakukan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Keempat elemen perubahan dimasukkan ke dalam peraturan pemerintah yang baru terkait dengan Standar Nasional Pendidikan. Sebab jika tidak dilakukan, bagaimana mungkin kurikulum baru 2013 yang katanya hendak mengedepankan pengembangan kejujuran, disiplin dan sikap keperwiraan lainnya bisa berhasil, sementara proses kebijakan itu sendiri penuh dengan pelanggaran dan ketidakjujuran. Jika demikian, tidak salah jika dikatakan kurikulum baru 2013 tak lebih dari “kurikulum bau” yang menebarkan aroma busuk Undang-undang yang mati tergilas.
Akhirnya menurut hemat penulis, Pemerintah harus mengkaji lebih cermat dan seksama kebijakan ini dengan menggunakan kacamata obyektif yang berorientasi pada perbaikan mutu pendidikan, sehingga lebih tepat guna dan sasaran tanpa harus menggilas aturan yang ada. Hal ini harus dilakukan  dengan melibatkan semua elemen yang terkait, serta dengan melepaskan selimut kepentingan individu atau golongan. Sebagai pertimbangan, tentunya nasib sekolah didaerah-daerah harus menjadi bahan kajian, sebab jangankan kurikulum 2013 nantinya, bahkan kurikulum tingkat satuan pendidikanpun masih banyak guru yang belum benar-benar paham. Dengan demikian, memantapkan pembumian KTSP hingga keakar rumpun, penulis nilai lebih bijak dari pada kebijakan kurikulum yang baru nantinya.

Yogyakarta; 14 Januari 2013
Mukhrizal Arif, S.Pd.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi