Dunia pendidikan kita seolah tak
pernah usai dari beragam persoalan yang membelit. Belakangan panggung
pendidikan kita diramaikan dengan kabar kurikulum baru 2013 yang katanya akan
digulirkan pada pertengahan tahun ini. Uji public telah dilakukan bahkan telah
selesai. Pro kontra terkait kurikulum ini terus bermunculan, Muhammad Nuh
selaku Mentri yang bertanggung jawab belakangan seperti artis yang kerapkali
muncul di media. Satu hal yang cukup menarik dari kebijakan kurikum baru ini
ialah bahwa dari berbagai sudut pandang
ia bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005
tentang Standart Nasional Pendidikan.
Kurikulm baru 2013 di tingkat pusat tersebut yang nantinya akan
menggunakan system tematik integrative cukup paradoks dengan UU No. 20 Tahun
2003, sedikitnya ada tiga pasal yang dilanggar oleh kurikulum baru tersebut
yakni pasal 36, 37 dan 38. Sedangkan dalam PP No 19 tahun 2005, sedikitnya
kurikulm baru tersebut melanggar Bab II, bagian ke dua. Dalam pasal 38 ayat (2)
misalnya, disebutkan bahwa “Kurikulum pendidikan dasar dan menengah
dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas
Pendidikan atau kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar
dan provinsi untuk pendidikan menengah”. Hal ini tentunya sangat paradoks
dengan kebijakan yang akan mensentralisasikan kurikulum dari pusat. Pertanyaannya,
apakah mungkin kebijakan ini bisa bertetangan dengan UU?. Tentunya tidak, oleh
karena itu harus lebih dahulu dilakukan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi, namun dengan rencana
implementasi kurikulum baru yang katanya akan mulai bergulir pertengahan tahun
ini, apakah mungkin melakukan judicial
review dalam waktu yang cukup singkat?, tentunya ini sangat mustahil,
mengingat draf rancangan kurikulum tersebutpun belum juga diajukan ke DPR. Perubahan
kurikulum sesuai dengan perkembangan pengetahuan, ilmu, teknologi, sosial
ekonomi dan kebutuhan masyarakat memang diperlukan. kurikulum 2013 mungkin dirasa
lebih sederhana, khususnya bagi sekolah dasar. Namun agar tidak melanggar
undang-undang maka revisi undang-undang harus disegerakan, jika tidak ingin
kurikulum tersebut ber-“bau busuk”.
Selanjutnya, dalam pasal 36 ayat (1)
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa Pengembangan kurikulum
dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan
tujuan Pendidikan Nasional. Sedangkan menurut PP 19 Tahun 2005 pasal 73
disebutkan bahwa pengembangan Standar Nasional Pendidikan dilakukan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Permasalahannya kemudian ialah
ternyata pengembangan kurikulm yang dilakukan oleh Kementrian Pendidikan ini,
kurang –untuk mengatakan tidak- melibatkan BSNP. Hal ini ditunjukkan bahwa
kajian pengembangan kurikulum 2013 dilakukan oleh tim baik yang langsung di
bawah Wakil Presiden atau pun tim yang berada di bawah Mendikbud. Padahal jika memperhatikan
elemen perubahan kurikulum 2013 pada standar kompetensi lulusan, standar isi,
standar proses, dan standar penilaian, merupakan ranah BSNP untuk mengkaji dan
mengembangkan. Salah satu fakta terdekat menunjukkan bahwa uji publik dilakukan
melalui laman kemendikbud,
tidak laman BSNP.
Begitu pula uji publik oleh Kemendibud bukan BSNP. Pertanyaannya; Kemana BSNP?,
apakah memang tidak ingin terlibat atau sengaja tidak dilibatkan?
Jika pemerintah tidak mengajukan
revisi Undang-undang Sisdiknas yang baru, paling tidak pemerintah harus
melakukan adendum pasal terkait pengembangan kurikulum. Selanjutnya pemerintah
juga harus melakukan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Keempat elemen perubahan dimasukkan ke dalam peraturan
pemerintah yang baru terkait dengan Standar Nasional Pendidikan. Sebab jika
tidak dilakukan, bagaimana mungkin kurikulum baru 2013 yang katanya hendak
mengedepankan pengembangan kejujuran, disiplin dan sikap keperwiraan lainnya
bisa berhasil, sementara proses kebijakan itu sendiri penuh dengan pelanggaran
dan ketidakjujuran. Jika demikian, tidak salah jika dikatakan kurikulum baru
2013 tak lebih dari “kurikulum bau” yang menebarkan aroma busuk Undang-undang
yang mati tergilas.
Akhirnya menurut hemat penulis,
Pemerintah harus mengkaji lebih cermat dan seksama kebijakan ini dengan
menggunakan kacamata obyektif yang berorientasi pada perbaikan mutu pendidikan,
sehingga lebih tepat guna dan sasaran tanpa harus menggilas aturan yang ada.
Hal ini harus dilakukan dengan
melibatkan semua elemen yang terkait, serta dengan melepaskan selimut
kepentingan individu atau golongan. Sebagai pertimbangan, tentunya nasib
sekolah didaerah-daerah harus menjadi bahan kajian, sebab jangankan kurikulum
2013 nantinya, bahkan kurikulum tingkat satuan pendidikanpun masih banyak guru
yang belum benar-benar paham. Dengan demikian, memantapkan pembumian KTSP
hingga keakar rumpun, penulis nilai lebih bijak dari pada kebijakan kurikulum
yang baru nantinya.
Yogyakarta; 14 Januari 2013
Mukhrizal Arif, S.Pd.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar