PENDAHULUAN
Berbicara tentang pendidikan
tentunya tidak dapat diredusir hanya sebatas proses yang terjadi di dalam
lembaga sekolah semata, tetapi dalam skala yang lebih luas sekolah sebagai
lembaga sosial merupakan bagian dari proses pendidikan sebagai proses
pemberdayaan. Dengan demikian, proses pendidikan hanya dapat diketahui apabila
kita menempatkannya dalam lingkungan kebudayaan suatu masyarakat.
Pendidikan dalam konteks di atas
(kebudayaan) meliputi masalah-masalah yang pelik seperti konsep kekuasaan (power). Sebab, pada hakikatnya
kebudayaan mengatur kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat, yang berati
hakikatnya juga mempertahankan kekuasaan tertentu.
Dengan kondisi yang demikian, ketika
pendidikan sudah menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan, maka tujuan dari
pendidikanpun akan menjadi tidak jelas, kalau boleh dikatakan tak ubah seperti
layangan putus, yang tidak tahu kemana arah angin akan membawanya, jangankan
ingin memberi angin segar bagi keberlangsungan suatu bangsa yang carutmarut,
pendidikan yang demikian justru hanya akan menjadi agen kepentingan elit
politik, yang pada gilirannya tidak mustahil menjadi bom yang siap
memporakporandakan bangsa ini.
Oleh karenanya, pendidikan sebagai
bentuk pelaksanaan konsep kekuasaan Negara perlu dirumuskan peranannya agar
terdapat keseimbangan antara kebebasan individu serta keterikatan individu
sebagai warga negara dalam wadah persatuan Indonesia.
Sebab, proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan
memberikan kepada peserta didik kesadaran akan kemandirian atau memberikan
kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu.
PEMBAHASAN
A.
Konsep-konsep Kekuasaan
Masalah kekuasan merupakan fenomena
yang sangat menarik khusunya bagi masyarakat modern. Selain hampir seluruh
aspek kehidupan manusia diliputi oleh pengaruh kekuasaan, kekuasaan itu sendiri
dalam arti ingin menguasai sesuatu merupakan sifat dasar manusia. Dalam
kehidupan sehari-hari, kekuasaan mungkin hanya diidentikkan dengan kekuasaan
politik, padahal itu hanya sebahagian dari apa yang disebut kekuasaan sosial (social Power). Seorang pakar sosiologi,
Gianfranco Poggi membedakan kekuasaan sosial atas tiga jenis, yaitu: 1)
kekuasaan politik; 2) kekuasaan ekonomi; dan 3) kekuasaan normatif atau
ideologis.
Teori mengenai sifat kekuasaan
biasanya digolongkan kedalam dua kategori besar, pertama organic. Dalam teori ini kekuasaan merupakan lembaga etis dengan
tujuan moral. Teori organic beranggapan bahwa kesatuan politik seperti Negara merupakan tuntutan dari dalam
manusia untuk berasosiasi dengan orang lain. Sebagai makhluk rasional, manusia
menyadari bahwa kekuasaanlah yang membuat hidup menjadi mungkin dan bermanfaat
bagi mereka. Kedua mekanistik. Dalam
pandanganya mekanistik cendrung mengabaikan sifat sosial manusia dan memandang
kekuasaan sebagai suatu lembaga artificial yang didasarkan atas
tuntutan-tuntutan individual. Teori ini beranggapan bahwa kekuasaan sebagai
sarana atau mesin kesepakatan bersama antara individu untuk memuaskan
kekinginan-keinginannya.
Dari uraian diatas kita dapat melihat
tentang arti kekuasaan bagi kelangsungan hidup manusia dalam kehidupan bersama.
Selanjutnya, untuk memperjelas hakikat sebenarnya dari kekuasaan, berikut akan
dituliskan beberapa pandangan mengenai hakikat kekuasaan tersebut. Menurut Rosinski, kekuasaan merupakan suatu
fenomena yang berhubungan dengan esensi manusia, yaitu sebagai karakteristis
yang khas dalam posisinya terhadap alam.
Dalam pengertian yang lain, kekuasaan merupakan kemampuan manusia untuk berbuat
sesuatu yang lain dari yang lain. Disini dapat kita lihat bahwa kekuasaan
merupakan suatu hal yang hakiki bagi manusia dalam arti menyimpan dan
menggunakan energy yang ada dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang lain
dari lainnya.
Dalam pandangan lainnya, seperti
Antonio Gramsci, seorang marxis dari Italia yang tidak sedikit menulis tentang
kekuasaan. Menurut Gramsci, Hegemoni
adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau
disokong oleh kelas tertentu.
Keberhasilan hegemoni ditentukan oleh terciptanya kesepakatan, dan kesepakatan
itu sendiri harus melalui proses belajar. Dengan demikian hegemoni adalah hubungan
edukasional yag pada gilirannya akan membentuk civil society yang didalamnya
terletak dasar dari kekuasaan.
Selanjutnya, Arthur Schopenhauer
menjelaskan tentang arti kekuasaan dari segi kemanusiaan, menurutnya sumber
kekuasaan tidaklah datang dari kekuatan yang transenden, meliankan berada dalam
diri manusia, yaitu kehendak (will).
Tambahnya, hanya ada satu kebenaran yang pasti di balik kenyataan, yaitu
berbagai pertarungan yang terus menerus, yang penuh gairah dari kehendak manusia,
yang kehendak tersebut sangat sulit untuk dihindari. Falsafah Schopenhauer ini
selanjutnya mempengaruhi Nietzsche, ia berpendapat bahwa dari berbagai macam
kehendak yang paling menentukan adalah kehendak berkuasa (the will to power). Terakhir, penulis mengutip pandangan Michael
Foucault. Ia mengatakan bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya dimiliki
Negara, manusia yang otonom selalu memiliki sejarah sendiri seperti halnya
keyakinan dan nilai-nilainya.
Dari beberapa pendapat diatas, maka
dapat dipahami bahwa kekuasan merupakan karakter khas manusia untuk bisa
berbuat sesuatu yang lain dari pada yang lain dalam proses interaksinya
terhadap alam dan lingkungan sosial, yang pada gilirannya dapat menaikkan kelas
manusia tersebut untuk bisa mendominasi.
B. Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan.
Ketika membicarakan hubungan kekuasaan
dan pendidikan, maka asumsi yang banyak berkembang bahwa keduanya merupakan
bahagian yang terpisah, dan tidak memiliki hubungan satu sama lainnya, padahal
keduanya (kekuasaan dan pendidikan) merupakan dua elemen penting dalam system
sosial politik disetiap Negara, baik Negara berkembang maupun Negara maju. Keduanya
bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Ada
hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara,
keduanya merupkan sumber transformasi sosial dalam masyarakat modern.
Pengertian kekuasaan (power) dalam pendidikan ternyata
memiliki konotasi yang berbeda dengan pengertian kekuasaan yang kita lihat
sehari-hari. Jenis kekuasaan tersebut dapat kita bedakan menjadi kekuasaan yang
transformative dan kekuasaan yang berfungsi sebagai transmitif. Kekusaan dalam
pendidikan adalah yang bersifat transformative, yang dalam proses terjadinya
hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek
yang lain. Kekuasaan yang transformative bahkan membangkitkan refleksi dan
refleksi tersebut menimbulkan. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut
merupakan orientasi yang advokatif.
Sedangkan proses kekuasaan sebagai
transmitif, terjadi proses transmisi yang diinginkan oleh subjek yang memegang
kekuasaan terhadap subjek yang terkena kekuasaan itu sendiri. Orientasi
kekuasaan disini bersifat legitimatif.
Perbedaan lainnya dari kedua orientasi tersebut (advokatif dan legitimatif)
ialah dalam hal proses perubahan dari refleksi kepada aksi yang memakan waktu.
Arti penting pendidikan bagi
keberlangsungan hidup ternyata masih bayak mengalami masalah-masalah yang cukup
pelik ketika dilangsungkan berdasarkan kekuasaan. Setidaknya ada empat masalah
yang berkenaan erat dengan pelaksanaan pendidikan berdasarkan kekuasaan; 1)
Domestifikasi dan Stupidikasi, 2) Indoktrinasi, 3) Demokrasi dalam Pendidikan,
dan 4) Integrasi Sosial.
1.
Proses Domestifikasi dan Stupidikasi
Proses domestifikasi (penjinakan) dan
stupidikasi (pembodohan) dalam pendidikan disebut juga imprealisme pendidikan dan kekuasaan. Artinya, peserta didik
menjadi menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan dan
menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat dari penjajahan mental yang
dilakukan oleh para penguasa.
Proses domestifikasi dalam pendidikan
ini dapat kita lihat dari perlakuan yang salah terhadap ijazah (pemujaan
ijazah). Ijazah dijadikan tangga untuk menaikkan status sosial, terlepas dari
bagaimana proses yang dilalui dalam mendapatkannya. Dengan pemujaan tersebut,
dampaknya sangat luas seperti bertaburannya para pemegang ijazah yang tidak
berkualitas, namun tak jarang mendapatkan posisi penting dan strategis dalam
sebuah instansi baik negeri maupun swasta. Contoh lain dari proses pembodohan
dalam pendidikan dapat juga kita lihat dari evaluasi pendidikan yang masih
menggunakan tes obyektif. Tes seperti ini sungguh tidak efektif bagi peserta
didik, selain karena tidak mengembangkan kemampuan rasio manusia, tes ini
bahkan melumpuhkan berpikir. Hasilnya peserta didik akan kehilangan kemampuan
analisis serta enggan mencari alternative dalam hidup, dan hidup sendiri
terkadang diartikan tak lebih dari teka-teki silang, yang masing-masing kotak
telah memiliki jawaban yang pasti tanpa perlu dilakukan analisis untuk mencari
jawaban/alternative lainnya.
2. Indoktrinasi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
system pendidikan menjadi sasaran empuk bagi penguasa untuk bisa menancapkan
kukunya dalam penentuan kurikulum. Kurikulum dari mulai taman kanak-kanak
sampai dengan perguruan tinggi semuaya berada dalam genggaman pemerintah tanpa
ada kebebasan dari lembaga-lembaga pendidikan tersebut untuk menyusun sendiri
kurikulumnya. Melalui kurikulum inilah proses indoktrinasi yaitu proses untuk
mengekalkan struktur kekuasaan yang ada terjadi. Dengan kondisi yang demikian,
maka apa yang terjadi dalam proses pendidikan sebenarnya adalah suatu proses
mentransferkan ilmu pengetahuan secara paksa.
Selanjutnya, apabila kurikulum berisi
indoktrinasi maka cara penyampaian proses belajar mengajar tentunya juga
mengikuti pola indoktrinasi. Pola pembelajaran yang demikian pada gilirannya
akan menghantarkan kebudayaan bangsa menghadapi stagnasi, hal ini disebabkan
karena matinya daya kreatifitas dari para anggota masyarakat sebagai buah dari
proses pendidikan yang diwarnai dengan indoktrinasi.
3. Demokrasi
Inti
dari pendidikan demokrasi ialah manusia yang bebas, yaitu seseorang yang
menghadapi masalah-masalah hidup yang penih problematic dengan
alternative-alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk
mencari solusi yang terbaik.
Dari sini jelas bahwa tuntutan dari demokratis yaitu adanya
kemungkinan-kemungkinan yang terbuka yang dihadapkan kepada seseorang.
Pendidikan demokratis bukan hanya merupakan suatu prinsip tetapi juga merupakan
suatu pengembangan tingkah laku yang membebaskan manusia dari berbagai jenis
kungkungan.
Berbeda dengan fakta dilapangan,
system pendidikan demokratis tak lebih dari sekedar nama, tanpa menyuguhkan
kesempatan-kesempatan bagi perkembangan kebebasan yang merupakan cirri
demokrasi. Hal ini dapat dilihat dari apa yang tengah digaungkan belakangan ini
terkait wajib belajar, bahkan dikatakan bahwa pendidikan merupakan hak asasi
dari setiap insan, namun ternyata masih cukup bayak kalangan yang belum atau
mungkin tidak bisa mengenyam pendidikan karena berbagai macam keterbatasan. Hal
ini tentunya menjadi dosa besar demokrasi di bangsa ini.
Tumbuhnya demokrasi dalam proses pendidikan mendorong
tumbuhnya pendekatan multikulturalisme. Multikulturalisme menghargai berbagai
corak dan warna yang beragam dari bagsa plural seperti Indonesia. Dengan
pendekatan ini diharapkan corak dan warna yang cukup beragam tersebut bisa
tetap bersaudara dalam perbedaan sehingga terhindar dari benturan budaya yang
merupakan tantangan tersenidir dalam proses demokrasi.
4. Integrasi Sosial
Integrasi sosial merupakan capital
budaya yang sangat ampuh oleh suatu masyarakat dalam melanjutkan kehidupannya.
Masyarakat yang ketiadaan capital budaya akan sangat rentan kepada disintegrasi
pada waktu mengalami krisis. Kita bisa lihat bagaimana Negara-negara di Asia
tenggara ketika menghadapi krisis tahun 1997, akibat kurangnya capital budaya
tidak kuat menahan krisis sehingga berakibat keterpurukan yang berlarut seperti
di Indonesia. Pengalaman ini kiranya cukup mengajarkan betapa pentingnya
kekuasaan yang berakar dari bawah (grass-root)
atau yang berdasarkan kepada kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Iniah yang disebut tribalisme positif,
yang merupakan kekuatan yang mengikat dari suatu masyarakat.
Integrasi sosial hanya dapat
ditumbuhkan dari bawah, dari pendekatan multikulturalisme dalam pengembangan
budaya dan pengembangan pendidikan.
Sumber kekuasaan bukan berasal dari atas tetapi yang tumbuh dari
bawah/masyarakat adat. Kekuasaan yang datang dari atas hanya akan mematikan
budaya dan menghasilkan budaya yang cendrung kepada uniformisme dan
menghilangkan budaya local yang justru merupakan kekuatan dari kebudayaan itu
sendiri.
Dari penjelasan diatas tentang
hubungan pendidikan dan kekuasaan termasuk masalah-masalah yang ada di dalamnya,
maka dapat kita catat beberapa hal penting; pertama, proses pendidikan
menghasilkan manusia yang bebas, yang mempunyai akal budi dalam mengambil
keputusan menghadapi berbagai jenis dan kondisi serta keterikatan manusia dalam
lingkungan kebudayaannya. Kedua, kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan
yang terbatas tetapi sekaligus pula
bebas untuk dikembangkan oleh individu-individu dalam mengembangkan individunya
sendiri melalui partisipasi antara sesamanya dalam lingkungan kebudayaan.
Selanjutnya, pendidikan
sering juga dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau
tulang yang menopang kerangka politik. Di Negara–negara barat kajian tentang
hubungan antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalam bukunya Republic
yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan
metode pendidikan.
Plato mendemonstrasikan dalam
buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek
kehidupan yang terkait dengan lembanga–lembaga politik. Plato menggambarkan
adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik.
Keduanya seakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan.
Kuatnya cengkraman kekuasaan yang ada
dalam lingkungan pendidikan menyebabkan proses belajar berjalan dalam suasana
tidak menentu, kalau boleh dikatakan tak ubah seperti
layangan putus, yang tidak tahu kemana arah angin akan membawanya. Pendidik
(guru) kehilangan kebebasannya dalam melakukan kreativitas pembelajaran. Sebab
banyaknya aturan yang memasung ruang ekspresi belajar. Belajar mestinya sama
alamiyahnya dengan bernafas. Pendidikan hendaknya tidak lagi dimaknai sebagai
upaya sistematis untuk menyiapkan pelajar menghadapi masa depannya, tetapi
sebagai kegiatan memfasilitasi para pelajar menggali potensi untuk merangkai
masa depan. Sehingga pendidikan tidak boleh bertentangan dengan kehendak Tuhan
yaitu bahwa anak didik adalah hasil Maha Karya-Nya harus dioptimalkan potensi
positifnya. Seperti yang menjadi tujuan Pendidikan Nasional dalam UU No 20
Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS yaitu "Untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab"
Indikasi pergeseran itu menjadi tampak
jelas. Dimana posisi struktural dan fungsional dalam institusi pendidikan kita
sudah menjadi ajang rebutan jabatan. Ketika jabatan itu berada di pundak maka
yang sering terjadi adalah menjalankan fungsi dan wewenang sebagai sebuah
kekuasaan. Kondisi ini tentunya akan menggeser tujuan pendidikan kita. Semisal
Kepala Sekolah dapat saja diganti dalam hitungan bulan, Kepala Dinas dan
pejabat struktural pendidikan dapat diganti oleh Kepala daerah tanpa mengetahui
kompetensinya dalam pendidikan dan menguasai hakikat pendidikan. Yang bahaya
adalah menilai kehendak diri dianggap sebagai sebuah tafsir atas
peraturan-peraturan dan undang-undang dalam pendidikan. Atau melahirkan
aturan-aturan baru yang membentur aturan diatasnya (pokok).
Hal tersebut menegaskan bahwa
pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling
mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung
unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada
kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan.
C. Peran Negara
Dalam Pembangunan Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan
corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan
apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan
manusia sehingga program–program
dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan
sedemikian rupa untuk mendapatkan output
yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara
yang menerapkan control yang sangat ketat terhadap program–program
pendidikan tersebut. Akan tetapi,
campur tangan dari pemerintah tidak selamanya berdampak positif bagi
penyelenggaraan pendidikan, kekuasaan pemerintah dalam manajemen pendidikan
nasional harusnya tidak sampai melampaui batas yang dapat melanggar hak asasi
manusia.
Kekuasaan
politik secara tidak langsung berada dan merasuk dalam sistem pendidikan dengan
bentuk “hidden curriculum”, yang
tanpa disadari suatu sistem pendidikan telah menjalankan berbagai macam
kepentingan para penguasa. Karenanya dalam reformasi pendidikan dewasa ini
dikembangkan kesadaran masyarakat dan peserta didik terhadap adanya hidden curriculum dibalik kurikulum
sistem pendidikan. Selanjutnya, terkait peran Negara
terkahadap proses pendidikan secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif,
yaitu perspektif mikro dan perspektif studi cultural.
1.
Perspektif Mikro
Dalam perspektif mikro, yang dijadikan
pusat perhatian ialah peserta didik dalam proses belajar mengajar. Peserta
didik dalam proses belajar berkaitan dengan tujuan pendidikan, metodologi, dan
evaluasi hasil belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut didukung oleh system
internal, yaitu; 1) pembuat kebijakan, 2) manajemen dan 3) service.
Selanjutnya, keseluruhan system tersebut didukung oleh system eksternal, yaitu;
1) buaya, 2) kekuatan politik dan 3) kondisi ekonomi.
Dalam pandangan mikro ini
masing-masing komponen mempunyai permsalahannya sendiri dalam pengembangannya.
Negera dapat berbuat sesuatu atau melakukan intervensi dalam perumusan tujuan,
penentuan metodologi dan cara evaluasi pembelajaran. Keseluruhan upaya Negara
tersebut tergantung kepada pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, system
manajemen yang digunakan, serta service pendidikan yang diberikan dengan bantuan Negara. Keseluruhannya juga
tergantung kepada budaya masyarakat untuk menopang dan berkomitmen atas
terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
2. Perspektis Studi Kultural
Dalam perspektif studi cultural,
system pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari system budaya,
sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhun.
Dalam hal ini, antara Negara dan pendidikan merupakan system yang terintegrasi
dalam system kekuasaan. Peran Negara dalam perspektif ini dapat bersifat
positif apabila lembaga-lembaga pendidikan juga mempunyai control terhadap
pelaksanaan kekuasaan Negara.
Lembaga pendidikan dalam perspektif
ini bukanlah merupakan kepanjangan tangan dari kekuasaan Negara, melainkan
sebagai partner dari Negara dalam melaksanakan kekuasaannya. Hal ini mempunyai
implikasi yang sangat jauh dalam metodologi pendidikan, dalam manajemen dan
service pendidikan terhadap rakyat banyak.
Dengan melihat dua perspektif
sebagaimana telah dijelaskan, maka dapat kita uraikan berbagai peranan Negara
terkait pendidikan. Secara garis besar peranan tersebut adalah:
1. Pemerataan
pendidikan. Jika pada masa lalu pemerataan pendidikan berorientasi kepada
target, maka hari ini dan masa depan haruslah diarahkan kepada kualitas.
Masyarakat global hari ini menuntut pribadi yang berkualitas, bukan sekedar
pemegang ijazah yang tak jarang atau mungkin banyak yang tuna kualitas.
2. Kualitas.
Jika pada masa lalu kualitas dicapai dengan evaluasi dan standarisasi semu
melalui ujuan terpusat da kurikulum baku secara nasional, maka hari ini dan
kedepan kualitas utama yang ingin dicapai ialah yang tertinggi sesuai kebutuhan
dan kondisi daerah.
3. Proses
pendidikan. Pada masa lalu proses pendidikan tidaklah dipertimbangkan, karena
yang penting ialah target kantitatif.
4. Metodologi.
Pada masa lalu metodologi adalah indiktrinasi sedangkan pada masa depan
metodologi yang efektif adalah dialog.
5. Manajemen.
Pada masa lalu manajemen dipegang oleh Negara dengan birokrasinya yang memegang
peranan sebtral, pada masa depan manajemen terpusat pada institusi sekolah.
6. Pelaksanaan
service pendidikan. Pada masa lalu Negara adalah pelaku utama. Pada masa depan
pemerintah sebagai partner yang cukup memberikan arah.
7. Perubahan
sosial. Pada masa lalu terarah dan opresif. Pada masa depan demokrasi dan
tumbuh pada grass-root.
8. Perkembangan
demokrasi. Pada masa lalu Negara menentukan bingkai dalam berdemokrasi dan
terbatas pada prosedur. Pada masa depan Negara mengarahkan perubahan tingkah
laku yang demokratis.
9. Perkembangan
sosial ekonomi masyarakat. Pada masa lalu bukan merupakan suatu bahan pertimbangan dalam penyususnan
kurikulum. Pada masa depan dijadikan salah satu komponen pokok penyusunan
kurikulum.
10. Perkembangan
nilai moral dan agama. Pada masa lalu ditentukan oleh Negara dalam kurikulum yang terpusat. Pada masa
depan berakar dari kebudayaan dan agama setempat.
11. Nasionalisme.
Pada masa lalu pemaksaan dari atas dan bersifat formalistic dan mengabaikan
identitas daerah. Pada masa depan pendidikan multikulturalisme menjadi sangat
relevan untuk dikembangkan.
12. Pendanaan.
Pada masa lalu seluruhnya ditaggung oleh Negara. Dana sebagai alat pelestarian
kekuasaan pemerintah. Pada masa depan Negara menggunakan dana secara selektif
sebagai sarana intervensi pemerataan pendidikan, kualitas.
13. Pelaksanaan
wajib belajar 9-12 tahun. Pada masa lalu ditentukan secara terpusat oleh
pemerintah pusat. Pada masa depan pelaksanaan wajib belajar sesuai dengan
kondisi dan kemampuan daerah dan dapat dilaksanakan secara bertahap.
Demikianlah secara
garis besar peranan Negara dalam pendidikan yang berubah fungsinya dari masa
lalu, sekarang dan masa depan. Kemauan politik telah ada dengan amandemen UUD
mengenai pendidikan. Dari segi teknis, diperlukan penelitian-penelitian
akuntabilitas yang memadai sehingga dapat digunakan sebagai justifikasi
pengalokasian dana nasional dan daerah maupun dana dari masyarakat. Dimasa lalu
apropriasi dana kebanyakan didasarkan atas asumsi dan conjectures sehingga
cendrung semata-mata kearah pencapaian target kuantitatif. Akuntabilitas
anggaran Negara harus ditopang oleh riset yang terus menerus dan ekstensif.
KESIMPULAN
kekuasan merupakan karakter khas manusia untuk bisa
berbuat sesuatu yang lain dari pada yang lain dalam proses interaksinya
terhadap alam dan lingkungan sosial, yang pada gilirannya dapat menaikkan kelas
manusia tersebut untuk bisa mendominasi
Kekusaan dalam pendidikan adalah yang bersifat
transformative, yang dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada
bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang
transformative bahkan membangkitkan refleksi dan refleksi tersebut menimbulkan.
Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif.
pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan
saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa
mengandung unsur–unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas
politik ada kaitannya dengan aspek–aspek kependidikan.
terkait peran Negara terkahadap proses pendidikan
secara teoritis dapat dikemukakan dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan
perspektif studi cultural. Dalam perspektif mikro, yang dijadikan pusat
perhatian ialah peserta didik dalam proses belajar mengajar. Dalam perspektif
studi cultural, system pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari
system budaya, sosial, politik dan ekonomi sebagai suatu keutuhan.
DAFTAR BACAAN
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, (Magelang;
Indonesia Tera, 2003).
httpditpolkom.bappenas.go.idbasedirArtikel046.%20Politik%20dan%20Pendidikan%20%285%20Juni%202009%29.pdf