Sungai waktu yang
mengalir deras kini kembali menghantarkan kita kepenghujung tahun di bulan
Desember, yang sekaligus membawa kita menuju tahun baru, serta akan membawa
kaum Kristiani kepada peringatan Natal (25 Desember). Membicarakan tahun baru
Masehi di Negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam tentunya tidak akan
menjadi masalah, kecuali bagi segelintir orang yang masih saja menganggap tahun
Hijriah menjadi harga mati bagi umat Islam.
Berbeda dengan perayaan
tahun baru Masehi yang bukan saja tidak menjadi masalah, namun juga ikut
dirayakan oleh mayoritas Muslim Indonesia, peringatan Natal justru masih saja
dianggap sebagai “binatang buas” yang mampu memangsa hidup-hidup akidah umat Islam.
“binatang buas” tersebut menjelma
kedalam sebuah kalimat “Selamat Hari Natal” yang konon katanya jika diucapkan
Muslim, maka dapat mencabik-cabik akidahnya. Apakah mungkin akidah yang
merupakan sebuah hal yang dianggap penting pundamental sedemikian rapuhnya
sehingga dengan mudah tercabik hanya karena sebuah kalimat?.
Imam Ahmad bin Hambal
menilai bahwa ucapan selamat (tahniah)
kepada umat lain adalah hal yang dibolehkan. Prof.DR. Hamka Haq menambahkan
bahwa pembolehan tersebut tentunya dengan menjaga agar penyampaian tidak
bersifat sinkretis, yakni pencampur
adukan keimanan. Dengan demikian, pemilihan kalimat yang bersifat umum, yang
dapat dipahami dan diterima oleh umat lain dalam menjaga harmonisasi kehidupan
bersama, disamping tetap berada dalam bingkai aqidah Islam tentunya tidaklah
menjadi persoalan.
Terlepas dari sejarah
yang dituduhkan atau mungkin benar terjadi perihal asal-usul peringatan Natal,
namun Natal yang hari ini diperingati kaum Kristiani adalah sebagai peringatan
mereka atas kelahiran Yesus, yang dalam Islam dikenal sebagai Nabi Isa as.
Al-Qur’an sendiri dalam surat al-Shaffat ayat 181 mengucapkan selamat atas para
Rasul Tuhan yang tentunya juga bagi Nabi Isa “wasalam ‘ala al-mursalin” (dan
selamatlah atas Rasul-rasul Tuhan). Bahkan ucapan “selamat Natal” pernah diucapkan sendiri atasnya oleh nabi Isa yang
tertuang dalam QS.19;33 “dan selamat atasku, pada hari aku dilahirkan
(dinatalkan), pada hari wafatku, dan pada hari kebangkitanku kembali”.
Dengan demikian
jelaslah mengucapkan selamat Natal bagi seorang muslim sepanjang itu sebagai
bentuk penghargaan terhadap diri Yesus (Nabi Isa), sebagai anak manusia pilihan
Tuhan, tentulah tidak masalah, apalagi sampai menciderai akidah. al-Qur’an yang
selama ini kita yakini sebagai pedoman hidup, haruslah dipahami dengan jujur,
cerdas dan obyektif, serta lepas dan jauh dari segala macam kepentingan baik
pribadi maupun kelompok, serta dendam masa lalu. dengan begitu Islam sebagai
rahmat bagi alam, akan dapat benar-benar terwujud dibumi ini.
Selanjutnya,
terlepas dari bingkai Islam, bahwa Natal merupakan bahagian dari hari besar
bangsa Indonesia adalah sesuatu yang tak terbantahkan, karena membantahnya sama
dengan membantah apa yang telah diatur Negara. Dengan demikian tanggung jawab
untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban serta keharmonisan saat
berlangsungnya Natal harusnya juga menjadi tanggung jawab penduduk bangsa
dengan tidak memandang latar belakang agama. Islam, Hindu, Budha dan Konghucu
bahkan atheis sekalipun jika merasa bahagian dari bangsa ini juga ikut
bertanggung jawab untuk menjaganya. Sebagai bahagian dari bangsa majemuk, anak
bangsa harus bisa bersikap Profesional dan Proporsional. Anak bangsa juga harus
bijak untuk menempatkan diri sebagai bangsawan dan agamawan sesuai waktunya.
Untuk itu menyikapai Peringatan natal yang sebentar lagi tiba, diperlukan
kesadaran seluruh masyarakat bangsa untuk bisa menjadi seorang bangsawan yang
siap mengawal keamanan, ketertiban dan keharmonisan bangsanya, termasuk
kegiatan Natal yang juga merupakan bahagian dari hari besar Indonesia.
Dengan
saling menjaga antar sesama penganut agama dibawah payung Bangsa, diharapkan
mampu memperkecil lobang yang bisa dimasuki para penyusup yang siap
mempropaganda keharmonisan umat beragama di bangsa ini. Bukankah esensi dari
kehadiran islam di muka bumi merupakan “rahmatan
lil’alamin”, rahmat bagi seluruh alam tanpa memandang ras, warna kulit dan
agama. Perbedaan agama bukanlah sesuatu yang lantas bisa menghancurkan
harmonisasi hidup berbangsa dan Negara. Dengan sikap toleran dan saling menjaga
antar sesama penganut agama, Indonesia sebagai bangsa akan mampu berdiri lebih
tegak. Bahkan islam sendiri melalui Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Syaibah
dan Bukhari mengajarkan ”Ahabbu al-din
ila Allah al-hanifiyyah al-samhah (Agama yag paling dicintai Allah adalah
Ajaran yang lurus dan Toleran). Mengenai siapa yang benar dan salah biarlah
Allah yang menjadi Hakim tertinggi atasnya di akhirat kelak. Dalam konteks
kehidupan dunia, perdamaian harus jadi prioritas dengan kita semua ikut serta
dalam menjaganya. Perbedaan baik ras maupun agama dengan formula “bersaudara
dalam perbedaan dan berbeda dalam persaudaraan” harus bisa kita jadikan sebagai
“jembatan emas” untuk saling
menguatkan dan bersatu padu. Dengan demikian perbedaan akan tampil sebagai
produsen peradaban baru yang cinta perdamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar