Selasa, 06 Maret 2012

PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF AHMAD SYAFI’I MA’ARIF


 A. Pandangan Ahmad Syafii Ma’arif terhadap Pluralisme agama
Pluralisme agama sebagai bentuk kemajemukan/keragaman dalam beragama merupakan sebuah realita yang harus diterima. Seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.
Dalam kaiatan ini, buya ma’arif telah berbicara cukup banyak dan jelas. Pluralisme dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya tidak bisa dilepaskan dengan prisip kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi, kendati dimata Al-qur’an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas, yaitu dibatasi oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri[1].
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai kebebasan ini, buya ma’arif mengutip penjelasan dari Machasin, dimana Machasin memberikan penjelesan yang proporsional terkait kebebasan tersebut, menurutnya (Machasin) :
Kebebasan itu bukan tak terbatas sama sekali. Manusia hanya bebas melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariah, yakni yang didalamnya ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Tidak semua aspek dalam kehidupannya dapat dikuasainya. Oleh karena itu, ia pun bertanggung jawab dalam hal-hal yang benar-benar ia tidak terpaksa dalam melakukan atau tidak melakukannya[2].
Dari penjelasan Machasin diatas jelas bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih melakukan atau tidak melakuakan, termasuk dalam memilih agama untuk ia yakini kebenarannya, namun setiap pilihan tersebut akan di pertanggung jawabkan disaatnya kelak. Bukankah doktrin tauhid sendiri yang menjadi inti system keimanan Islam mengajarkan bahwa kebebasan itu tidak boleh dipasung dengan dalih apa pun, dimana pun dan oleh siapa pun[3].
Selanjutnya buya Ma’arif berprinsip bahwa pluralisme harus terus dijaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme menunjukkan kemajuan suatu bangsa. Ia memastikan negara atau masyarakat tanpa pluralisme akan menghasilkan kondisi yang berantakan. Baginya, setiap insan yang ingin melintasi abad harus berpikir cerdas.
Dengan berpikir cerdaslah maka pesan dari agama-agama bagi penganutnya bisa tetap direlevansikan dari zaman kezaman. jika tidak demikian maka agama selamanya hanya akan terbelenggu oleh teks pesannya tersebut tanpa bisa direlevansikan dengan konteks zaman yang melaju begitu cepat sehingga pada akhirnya agama akan jadi sebuah sejarah karena dianggap sebagai penghambat lajunya peradaban.
Buya Maarif memandang bahwa Islam adalah agama yang perannya harus dirasakan oleh semua orang, rahmatan li al ‘âlamîn[4]. karenanya islam harus mampu menaburkan kerahmatannya bagi segenap alam (maa siwa Allah : apa-apa yang selain Allah)  terkhusus bagi manusia sebagai makhluq yang mengelola bumi ini. Hal ini berarti bahwa Islam harus melahirkan kedamaian tidak hanya untuk umat Islam tapi juga non Muslim bahkan Atheis sekalipun.
Dictum rahmat bagi alam semesta tidak boleh hilang sekejap pun dari memori kolektif umat Islam, betapa pun hebatnya hempasan sejarah yang memukul tubuh dan jiwa kita sebagai manusia beriman[5].
Dengan demikian maka tidaklah ada alasan dan tempat dalam islam bagi orang-orang yang ingin berbuat peyoratif dan diskriminatif kepada penganut agama lain. Sebab selain bertentangan dengan sifat dasar islam, hal ini juga turut menciderai cita-cita damai yang selalu dipromosikannya. Buya Maarif menegaskan bahwa setiap orang, apapun agamanya, harus  diperlakukan secara layak dan dihargai sebagai manusia[6].
Kendati demikian, apa yang dipaparkan buya tentang bagaimana penghargaan islam terhadap kemanusiaan ini tidaklah bisa berjalan dengan mudah dalam implementasinya di kehidupan majemuk khususnya dalam konteks ke Indonesiaan. Prinsip Pluralisme masih saja banyak dianggap sebagai momok yang menakutkan dikalangan umat islam itu sendiri, dan tak jarang pula mereka yag mendukungnya dituding sesat dan kafir. Tapi hal seperti ini tidaklah dijadikan buya sebagai penghambat dirinya untuk terus mengkampanyekan prinsip pluralisme sebagai buah dari kerinduannya terhadap Islam Indonesia yang progresif dan mampu menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dari pemahan buya Ma’arif terhadap ayat Al-qur’an, tidak ada dalil yang kuat untuk memaksa seseorang agar beragama. Bahkan sebaliknya Al-qur’an justru sangat Toleran sebagaimana tercantum dalam QS Al-baqaroh : 256 :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Diawal ayat jelas dikatakan la ikraha fi al-din (tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Seorang mufassir A.Hassan menjelaskan inti dari kandungan ayat ini. Pertama, tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang buat masuk satu agama, kedua, tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang dalam urusan iman[7].
Dengan demikian, maka setiap bentuk paksaan agar seseorang itu masuk ke satu agama atau beriman sama dengan melawan Al-qur’an atau merasa lebih pintar dari Allah. Bukankah sikap seperti ini merupakan sebuah kesombongan, dan bukankah sombong itu merupakan Pakaian Allah ?.
Lanjutan ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya kebenaran itu telah nyata atau gambling dari kesesatan. Dengan demikian jika masih saja ada sebahagian orang yang memilih jalan kesesatan, apakah harus dibinasakan ?. dalam kaitan ini buya Ma’arif mengatakan bahwa ini semua menjadi bahagian dari urusan Allah, hukum dunia tidak berhak mengadilinya. Orang-orang yang memilih jalan sesat ini dalam konteks duniawi tidak boleh dikucilkan apalagi dibinasakan, dengan catatan mereka mau menjaga pilar-pilar keharmonisan dalam kehidupan bersama.
Ayat diatas dengan penjelasannya sudah cukup menunjukkan bahwa islam yang merupakan rahmat bagi alam sangat toleran terhadap perbedaan khususnya iman. Karena iman sendiri sejatinya adalah merupakan hidayah dan izin dari Allah. Hal ini ditegaskan dalam QS Yunus : 100 :
$tBur šc%x. C§øÿuZÏ9 br& šÆÏB÷sè? žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$#
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah.
Dengan demikian sekalipun kita sebagai seorang muslim merindukan dan menginginkan agar semua penduduk bumi ini bisa menjadi muslim, namun ketika Allah tidak mengizinkannya maka rindu dan keinginan itu tidak akan menjadi kenyataan. Bukankah Abu Thalib yang merupakan paman kandung dari Rasulullah Muhammad SAW hingga akhir hayatnya belum jua sempat mengucapkan syahadah ?. hal ini sebagai contoh nyata bahwa iman jika tidak seizin Allah maka ia tidak akan bisa dipaksakan kepada seseorang sekalipun orang tersebut merupakan keluarga sendiri.
Karenanya kita perlu membuka mata selebar mungkin ditengah kehidupan yang plural ini agar Islam benar-benar bisa berfungsi sebagai rahmat bukan laknat bagi mereka diluar Islam. Agama khususnya islam tidak boleh dijadikan sebagai sumber masalah, namun sebaliknya agama islam ini harus bisa memberikan solusi atas masalah-masalah sosial yang muncul ditengah kehidupan yang pluralis ini. Perbedaan yang ada khususnya agama harus bisa disikapi dengan lapang dada.
Dengan sikap lapang dada ini berarti sikap pluralisme menjadi penting dalam hal kesediaan kita mengakui hak orang lain untuk berpendirian bahwa agama yang dipeluknya adalah yang paling benar, sekalipun kita juga perlu untuk tidak menyetujuinya.[8] Ungkapan paling benar disini harus dikembalikan kepada kepercayaan pemeluknya masing-masing dengan tidak mengikutinya dengan klaim bahwa agama lain adalah sesat sekalipun ini harus tetap kita akui. Karena sikap seperti ini dapat menjadi bumereng yang akan menghancurkan kedamaian dan kerukunan umat lintas agama.
Disinilah sebahagian orang gagal memahami prinsip pluralisme. Apakah mereka tidak tahu atau tidak mau tahu, sehingga beranggapan bahwa pluralisme berarti membenarkan semua agama. Padahal tidak demikian, kita hanya dituntut memberikan kesempatan bagi umat agama lain untuk mengakui kebenaran agamanya. Karenanya buya ma’arif dalam berbagai kesempatan dan tulisan sering mengatakan jika kita harus bisa cerdas dalam memahami agama ini, dalam artian beragama yang cerdas harus dengan sikap yang jujur, tulus dan lapang dada.
Dengan sikap cerdas dalam beragama maka pluralisme tidak akan menjadi masalah yang perlu dipermasalahkan. Akan tetapi, bagi mereka yang pendek akal, kenyataan historis pluralisme agama dan budaya dipandang sebagai ancaman bagi eksistensinya.[9]
Kendati demikian, buya ma’arif dengan cukup berlapang dada dan toleran terhadap perbedaan yang ada khususnya terkait paham pluralisme tersebut, baginya, perbedaan paham tentang agama tampaknya tidak akan pernah selesai didunia ini sampai kiamat.[10] Karenya ia menyerahkannya kepada Allah sebagai hakim tertinggi atas perbedaan tersebut, hal ini didasari dari firman Allah “ila allahi marji’ukum jami’an, fayunabbiukum bima kuntum fihi takhtalifun” (kepada Allah tempat kamu semua kembali, maka dia akan kabarkan kepadamu semua tentang apa yang kamu perselisihkan (mengenai agma).
Dengan demikian, maka tidaklah ada otoritas kita untuk mengklaim bahwa kita yg terbaik dan yang lain sesat karena ini merupakan wilayah Allah yang tidak perlu kita campuri. Kita hanya dituntut dan dituntun untuk terus berlomba dalam kebajikan. Untuk selanjutnya maka sikap lapang dada, terbuka dan toleransi akan sangat diperlukan, karena tanpa ini kita akan sangat sulit bahkan tidak mungkin bisa menumbuhkembangkan budaya kemajemukan agama/pluralism. untuk menggapai harapan mulia itu buya Ma’arif menyarankan suasana bernegara yang pluralistik, toleran, moderat dan demokratis yang dibangun diatas landasan moral ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. golongan mayoritas dan minoritas harus mendapatkan tempat secara proporsional dalam kegiatan bangsa. Sebaliknya, sikap tertutup, intoleran, penuh rasa curiga, hanya akan membuahkan satu hal, yaitu; kegagalan.
Akhirnya, cerdas dalam menyikapi perbedaan khususnya perbedaan agama adalah keharusan jika mimpi akan Islam yang Rahmatan lil’alamin serta indonesia yang damai ingin diwujudkan. ketika hal ini bisa kita aplikasikan dalam kehidupan nyata ditengah realita yang ada maka sebuah peradaban baru yang penuh dengan nuansa kedamaian akan segera terlahir. untuk itu buya Ma’arif memberikan sebuah formula yang cukup bijak dan jitu dalam menyikapi segala bentuk perbedaan khususnya perbedaan agama yaitu “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan[11]”.

B. Sikap Ahmad Syafii Ma’arif terhadap Pluralisme Agama
Dari uraian tentang pandangan buya Ma’arif terkait pluralisme sebagaimana diatas dapat kita simpulkan bahwa buya sangat menginginkan dan merindukan agar umat islam bisa sadar akan posisi islam yang hadir sebagai rahmat bagi jagat raya ini. Namun bagi buya semua keinginan dan kerinduan tersebut tidak akan berarti apa-apa jika hanya sebatas pemikiran tanpa sikap dan tindakan untuk mewujudkannya. Karenanya buya ma’arif dengan dan dalam berbagai kesempatan cukup keras meyuarakan umat islam untuk menerima konsep pluralisme dalam konteks kehidupan majemuk saat ini.
Teriakannya terkait dukungan terhadap pluralisme senantiasa hadir dalam forum-forum intelektual diberbagai daerah yang sengaja mengundangnya sebagai pembicara, bahkan hal ini tidak hanya dalam skala nasonal, sampai kedunia international pun ia sering menereiakkan agar umat islam bisa dengan bijak dan cerdas dalam memahami agama sehingga pluralime pada akhirnya bukanlah suatu masalah. Selain teriakannya dalam forum intelektual di berbagai daerah dan negeri, upaya membumikan nilai pluralisme juga sering menghiasi tulisan-tulisannya baik di media-media masa, maupun diberbagai buku yang telah ia tulis.
Dalam sebuah acara peluncuran buku ‘Muhammadiyah Gerakan Pembaruan’ di Gedung Joeang, Jumat (23/4/2010), buya Ma’arif mengatakan “pluralisme kenapa diharamkan itu kan tak lain dari tidak mengakui kemajemukan. Nanti katanya akan pindah agama, itu paham siapa? Cerdas dikitlah…”[12]. Begitu ungkapannya pada kesempatan terseebut,  Dengan demikian, apabila agama dipahami secara benar dan cerdas, pasti mendorong pemeluknya untuk mengembangkan budaya dialogis, bukan budaya saling mengunci pintu.[13]
Dalam pembelaannya terhadap pluralisme, buya berharap agar Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) mau meninjau ulang faktanya terkait pengharaman pluralisme agama. Dia mengatakan, saat ini banyak pemuka agama Islam yang berpandangan miring terhadap konsep pluralisme. “Pluralisme adalah kemajemukan, intelektualisme sama dengan pluralisme,”. Pandangan miring para ulama tersebut, ujarnya, terlihat dalam penyikapan terhadap gerakan pluralisme di Indonesia. “Banyak ulama yang tidak paham (pluralisme), tapi langsung menghukum,”[14]
Dengan segala kerendahan hati dan santunnya buya tidak menyalahkan MUI, tapi ia menyarankan agar MUI mau meninjau ulang fatwanya terkait pengharaman pluralisme tersebut. Setelah ditinjau ia katakan boleh jadi MUI semakin menguatkan pengharamannya atau justru mencabut fatwanya tersebut. Apapun itu yang penting keputusan tersebut didasari dari sumber yang kuat dan jiwa beragama yang sehat dan cerdas.
Selanjutnya untuk memuluskan langkahnya dalam menularkan virus-virus jiwa beragama yang sehat termasuk dalam hal memandang pluralisme, maka buya syafii menggagas berdirinya Ma’arif Institute (2002). sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang bertujuan untuk menampung pemikiran-pemikirannya terutama dalam mengembangkan sikap saling pengertian dan kerjasama umat beragama. Ma’arif institute didirikan dengan visi menjadi lembaga pembaruan pemikiran dan advokasi untuk mewujudkan praksisme Islam sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan menjadi fondasi keindonesiaan sesuai cita-cita sosial dan intelektualisme buya Syafi’i[15].
Lembaga ini mengusung dua misi besar ; pertama, Mengembangkan pembaharuan Islam dan menjembatani dialog serta kerja sama antar-agama, antar-budaya, dan antar-peradaban dalam rangka mewujudkan keadaban, perdamaian, saling pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. Dan kedua, Memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat dan memperluas partisipasi civil society melalui advokasi kebijakan publik. Visi dan dua misi tersebut dilandaskan pada kepada empat nilai dasar yakni Egaliter,  Non-diskriminasi, Toleran dan Inklusif.
Demikian besar dan tingginya perhatian serta peranan buya Ma’arif dalam membangun dan mengembangkan sikap islam yang lapang dada, toleran dan terbuka. Dengan demikian pluralism tidak akan dipandang sebagi sebuah masalah yang perlu dipermasalahkan, serta dengan demikian jua kehadiran islam sebagai agama mayoritas bangsa Indonesia bisa menjadi rahmat bagi semua bukan malah sebaliknya menjadi hantu yang menakutkan.


C. Konsep Jihad dan Relevansinya dalam Pluralisme agama
Kata jihad memanglah bukan sebuah kata yang asing ditelinga setiap orang baik muslim maupun kalangan nonmuslim. Bahkan bagi sebahagian muslim kata jihad bukan sekedar kata-kata biasa dengan nilai ibadah biasa, melainkan jihad dijadikan sebagai cita-cita tertinggi mereka dalam hidup dan kehidupannya. Sikap  seperti ini memang tidak salah, namun juga belum tentu benar. Sebelum seseorang berbicara tentang jihad dan kemudian menjadikannya sebagai cita-cita tertinggi dalam kehidupan, ia harus paham betul jihad seperti apa dan bagaimana yang harus ia lakukan. Karena jihad sebagai aktivitas yang bernilai ibadah tentunya harus menghasilkan maslahah bagi siapapun, bukan justru sebaliknya, jihad malah dipandang sebahagian orang sebagai hantu yang menghantui ketentraman dan kedamaian. Jika seperti ini tentunya ada sesuatu yang salah dengan paradigma kita memandang jihat tersebut dan ini harus segera diluruskan secepat mungkin.
Dalam literature barat umumnya, kata jihad diterjemahkan dengan Holy War (perang suci), padahal perang hanyalah salah satu bentuk dari arti jihad tersebut. Dalam Al-qur’an kata jihad dengan segala derivasinya terdapat sebanyak 41 kali, baik dalam surah-surah yang diturunkan di Makkah (makkiyah), maupun surah-surah yang diturunkan di Madinah (madaniyah). Akar kata jihad adalah د 0   ج menjadi جهد (keletihan, kegentingan, ketegangan kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras dan yang mirip dengan itu).[16]
Dengan artian jihad sebagaimana diatas dapat diketahui bahwasanya jihad memilik pengertian yang cukup luas yang lebih dari sekedar perang. Namun seiring bergulirnya waktu makna jihad dibonsai sehingga ia hanya dipahami sebatas perang dan memerangi atas nama agama. Pengertia seperti inilah yang kemudian memicu opini kolektif dikalangan masyarakat kebanyakan bahwa jihad adalah hantu yang menakutkan karena hanya akan berujung dengan pertumpahan darah.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an mengandung begitu banyak ayat-ayat yang menganjurkan perang dan bersikap bermusuhan dengan kaum ataupun golongan lain. Misalnya, ayat 120 yang terdapat dalam surah al-Baqarah:
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ  
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
Kemudian ayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin seharusnya memerangi orang-orang yang tidak beriman dan ahli kitab:
(#qè=ÏG»s% šúïÏ%©!$# Ÿw šcqãZÏB÷sム«!$$Î/ Ÿwur ÏQöquø9$$Î/ ̍ÅzFy$# Ÿwur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur Ÿwur šcqãYƒÏtƒ tûïÏŠ Èd,ysø9$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èムsptƒ÷Éfø9$# `tã 7tƒ öNèdur šcrãÉó»|¹ ÇËÒÈ  
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.
Ayat jihad dalam artian perang (qital) melawan musuh sebagai salah satu maknanya seperti diatas baru turun pada tahun kedua hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang konkret dalam perang badar (624 M) yang terkenal itu. Disinilah kemudian jihad dan qital menjadi sinonim.[17]
Ayat-ayat inilah disamping QS Al-isra’ “Asyiddaa ‘ala al-kuffaar” yang kemudian dikantongi oleh sebahagian kita (muslim) untuk melegitimasi perbuatannya merusak peradaban manusia dimuka bumi ini khususnya terhadap mereka yang berlainan aqidah. Mereka seakan buta terhadap ayat lain terkait jihad dalam konteks yang lebih luas, seperti jihad sebagai ujian dan cobaan dari Allah (QS Ali Imran 142), jihad dalam arti "kemampuan"  yang  menuntut  sang mujahid mengeluarkan   segala  daya  dan  kemampuannya  demi mencapai tujuan (QS Attaubah 79).
Karenanya buya Ma’arif sering mengajak kita untuk bisa belajar bersikap jujur dalam memahami Al-qur’an, buang jauh-jauh subjektivisme dan kepentingan Pribadi.[18] Dengan demikian, maka ketika kita ingin berbicara tentag jihad, maka kita harus mengutip semua dalil tentangnya baru kemudian menyimpulkan pengertiannya. Bukan sebaliknya malah memilah milih mana ayat dan dalil jihad yang sesuai denga keinginan hati dan kemudian mengubur ayat dan dalil yang tidak dikehendaki.
Pakar  Al-Quran Ar-Raghib Al-Isfahani, dalam kamus A1-Qurannya Mu'jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran, menegaskan bahwa  jihad  dan mujahadah  adalah  mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Musuh disini bukanlah semata mereka yang nonmuslim melainkan musuh yang lebih penting yaitu musuh yang dapat menjerumuskan manusia kepada kejahatan (syaithon dan hawa nafsu). dalam sebuah hadits Nabi bersabda :
رجعنا من الجهاد الاصغر الى الجهاد الاكبر الجهاد الاكبر هو الجهاد النفس
Artinya            : “Ketika telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar (jihad el-akbar) yaitu jihad melawan hawa nafsu”. (Al-Hadits)
Dalam hadits iini dijelaskan bahwa perang melawan hawa nafsu merupakan bahagian dari jihad besar. Ketika umat islam telah berhasil menundukkan nafsunya dibawah payung syariat, maka penulis yakin keebiadaban peradaban akan berangsur hilang. Karena sejatinya segala macam bentuk kerusakan dan kekacauan yang ada didunia ini berawal dari hawa nafsu yang bebas dan terkadang diberi sedikit gincu agama. Sehingga luapan nafsu tersebut tak jarang dianggap oleh kalangan awam sebagai sesuatu yang bersifat syari’ haya karena ia telah berhasil diberi gincu syariah yang sebenarnya palsu.
Karenanya, defenisis syariah dan ruang lingkup yang hendak ditegakkan itupun, semuanya masih memerlukan diskusi panjang yang tak akan berujung. Dengan demikian, untuk menegakkan syariat islam yang sejatinya hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin, diperlukan semangat dan penelaahan ijtihad, tidak cukup hanya denga semangat jihad.
Prof. DR. Hamka Haq menegaskan bahwa semagat jihad (militansi) tanpa diformulasikan dalam proses ijtihad sangatlah berbahaya. Sebab, tanpa semangat ijtihad (penelaahan), dikhawatirkan semangat jihad kaum militan akan menjadi kontra produktif dan bertentangan dengan syariah yang rahmah dan ramah. Akibatnya jihad akan berubah menjadi tindakan anarkis yang mengerikan. Roh syariat Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin akan terabaikan.[19]
Karenanya, dalam konteks kehidupan majemuk ini, maka jihad harus bisa tetap dikontekstualisasikan dan harus direlevansikan dengan tidak mengubur hidup-hidup subtansi syariat yang hadir sebagai rahmat bagi alam. Artinya, dalam kehidupan kini, maka bersikap plurasisme sssdengan tujuan bersama membangun bangsa penulis anggap sebagai bahagian dari jihad.


[1] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam BingkaiKe Indonesiaan dan KeManusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, h. 165.
[2] Ibid, h. 166.
[3] Ibid, h. 164.
[4] Ibid, h. 199.
[5] Prof. DR. Hamka Haq, MA. 2009,  Islam Rahmat Untuk Bangsa, RMBOOKS, Jakarta, h. viii.
[6] Ahmad Syafii Ma’arif, 2006, Tuhan Menyapa Kita, Grafindo, Jakarta, h.74.
[7] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam dalam Bingkai.., h. 167.
[8] Ibid, h.29.
[9] Ahmad Syafii Ma’arif, 2014, Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan, PSAP, Jakarta, h. 11.
[10] Op. cit, 2009, Islam dalam Bingkai, h. 29.
[11] Ibid, h. 279.
[13]  Ahmad Syafii Ma’arif, 2014, Mencari Autentisitas, h. 30.
[15] Sumber : http://muhammadqorib.blogspot.com/ dalam “Islam dan Kemajemukan Agama (Kajian Atas Pemikiran Amad Syafii Ma’arif)”
[16] Ahmad Syafii Ma’arif, op.cit, h. 87.
[17] Ahmad Syafii Ma’arif, Loc. Cit.
[18] Ahmad Syafii Ma’arif, 2010, Al-qur’an dan Realitas Sosial, Jakarta, Republika, h. 3.
[19] Prof. DR. Hamka Haq, MA. 2009,  Op. cit, h. 35.

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi