Pluralisme agama sebagai bentuk kemajemukan/keragaman
dalam beragama merupakan sebuah realita yang harus diterima. Seseorang
baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi
positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian
pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan
persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.
Dalam
kaiatan ini, buya ma’arif telah berbicara cukup banyak dan jelas. Pluralisme
dalam arti keragaman/kemajemukan beragama menurutnya tidak bisa dilepaskan
dengan prisip kebebasan yang merupakan pilar utama demokrasi, kendati dimata
Al-qur’an kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang tanpa batas, yaitu dibatasi
oleh ruang lingkup kemanusiaan itu sendiri[1].
Untuk
penjelasan lebih lanjut mengenai kebebasan ini, buya ma’arif mengutip
penjelasan dari Machasin, dimana Machasin memberikan penjelesan yang
proporsional terkait kebebasan tersebut, menurutnya (Machasin) :
Kebebasan itu bukan tak terbatas sama sekali. Manusia
hanya bebas melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat ikhtiariah, yakni yang
didalamnya ia mempunyai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Tidak
semua aspek dalam kehidupannya dapat dikuasainya. Oleh karena itu, ia pun
bertanggung jawab dalam hal-hal yang benar-benar ia tidak terpaksa dalam
melakukan atau tidak melakukannya[2].
Dari
penjelasan Machasin diatas jelas bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih
melakukan atau tidak melakuakan, termasuk dalam memilih agama untuk ia yakini
kebenarannya, namun setiap pilihan tersebut akan di pertanggung jawabkan
disaatnya kelak. Bukankah doktrin tauhid sendiri yang menjadi inti system
keimanan Islam mengajarkan bahwa kebebasan itu tidak boleh dipasung dengan
dalih apa pun, dimana pun dan oleh siapa pun[3].
Selanjutnya buya Ma’arif berprinsip bahwa
pluralisme harus terus dijaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Pluralisme menunjukkan kemajuan suatu bangsa. Ia memastikan negara atau
masyarakat tanpa pluralisme akan menghasilkan kondisi yang berantakan. Baginya,
setiap insan yang ingin melintasi abad harus berpikir cerdas.
Dengan berpikir cerdaslah maka pesan dari
agama-agama bagi penganutnya bisa tetap direlevansikan dari zaman kezaman. jika
tidak demikian maka agama selamanya hanya akan terbelenggu oleh teks pesannya
tersebut tanpa bisa direlevansikan dengan konteks zaman yang melaju begitu
cepat sehingga pada akhirnya agama akan jadi sebuah sejarah karena dianggap
sebagai penghambat lajunya peradaban.
Buya Maarif memandang bahwa Islam adalah agama yang perannya
harus dirasakan oleh semua orang, rahmatan li al ‘âlamîn[4].
karenanya islam harus mampu menaburkan kerahmatannya
bagi segenap alam (maa siwa Allah :
apa-apa yang selain Allah) terkhusus
bagi manusia sebagai makhluq yang mengelola bumi ini. Hal ini berarti bahwa
Islam harus melahirkan kedamaian tidak hanya untuk umat Islam tapi juga non
Muslim bahkan Atheis sekalipun.
Dictum rahmat bagi alam semesta tidak boleh hilang sekejap pun dari memori
kolektif umat Islam, betapa pun hebatnya hempasan sejarah yang memukul tubuh
dan jiwa kita sebagai manusia beriman[5].
Dengan demikian maka tidaklah ada
alasan dan tempat dalam islam bagi orang-orang yang ingin berbuat peyoratif dan
diskriminatif kepada penganut agama lain. Sebab selain bertentangan dengan
sifat dasar islam, hal ini juga turut menciderai cita-cita damai yang selalu
dipromosikannya. Buya Maarif menegaskan bahwa setiap orang, apapun agamanya,
harus diperlakukan secara layak dan
dihargai sebagai manusia[6].
Kendati demikian, apa yang
dipaparkan buya tentang bagaimana penghargaan islam terhadap kemanusiaan ini
tidaklah bisa berjalan dengan mudah dalam implementasinya di kehidupan majemuk
khususnya dalam konteks ke Indonesiaan. Prinsip Pluralisme masih saja banyak
dianggap sebagai momok yang menakutkan dikalangan umat islam itu sendiri, dan
tak jarang pula mereka yag mendukungnya dituding sesat dan kafir. Tapi hal
seperti ini tidaklah dijadikan buya sebagai penghambat dirinya untuk terus
mengkampanyekan prinsip pluralisme sebagai buah dari kerinduannya terhadap
Islam Indonesia yang progresif dan mampu menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dari pemahan buya Ma’arif terhadap
ayat Al-qur’an, tidak ada dalil yang kuat untuk memaksa seseorang agar
beragama. Bahkan sebaliknya Al-qur’an justru sangat Toleran sebagaimana
tercantum dalam QS Al-baqaroh : 256 :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Diawal
ayat jelas dikatakan la ikraha fi al-din (tidak
ada paksaan dalam memeluk agama). Seorang mufassir A.Hassan menjelaskan inti
dari kandungan ayat ini. Pertama, tidak
boleh sekali-kali dipaksa seseorang buat masuk satu agama, kedua, tidak boleh sekali-kali dipaksa seseorang dalam urusan iman[7].
Dengan
demikian, maka setiap bentuk paksaan agar seseorang itu masuk ke satu agama
atau beriman sama dengan melawan Al-qur’an atau merasa lebih pintar dari Allah.
Bukankah sikap seperti ini merupakan sebuah kesombongan, dan bukankah sombong
itu merupakan Pakaian Allah ?.
Lanjutan
ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya kebenaran itu telah nyata atau
gambling dari kesesatan. Dengan demikian jika masih saja ada sebahagian orang
yang memilih jalan kesesatan, apakah harus dibinasakan ?. dalam kaitan ini buya
Ma’arif mengatakan bahwa ini semua menjadi bahagian dari urusan Allah, hukum
dunia tidak berhak mengadilinya. Orang-orang yang memilih jalan sesat ini dalam
konteks duniawi tidak boleh dikucilkan apalagi dibinasakan, dengan catatan
mereka mau menjaga pilar-pilar keharmonisan dalam kehidupan bersama.
Ayat diatas dengan penjelasannya
sudah cukup menunjukkan bahwa islam yang merupakan rahmat bagi alam sangat
toleran terhadap perbedaan khususnya iman. Karena iman sendiri sejatinya adalah merupakan hidayah dan izin
dari Allah. Hal ini ditegaskan dalam QS Yunus : 100 :
$tBur c%x. C§øÿuZÏ9 br& ÆÏB÷sè? wÎ) ÈbøÎ*Î/ «!$#
Dan tidak ada seorangpun akan
beriman kecuali dengan izin Allah.
Dengan
demikian sekalipun kita sebagai seorang muslim merindukan dan menginginkan agar
semua penduduk bumi ini bisa menjadi muslim, namun ketika Allah tidak
mengizinkannya maka rindu dan keinginan itu tidak akan menjadi kenyataan.
Bukankah Abu Thalib yang merupakan paman kandung dari Rasulullah Muhammad SAW
hingga akhir hayatnya belum jua sempat mengucapkan syahadah ?. hal ini sebagai
contoh nyata bahwa iman jika tidak seizin Allah maka ia tidak akan bisa
dipaksakan kepada seseorang sekalipun orang tersebut merupakan keluarga
sendiri.
Karenanya
kita perlu membuka mata selebar mungkin ditengah kehidupan yang plural ini agar
Islam benar-benar bisa berfungsi sebagai rahmat bukan laknat bagi mereka diluar
Islam. Agama khususnya islam tidak boleh dijadikan sebagai sumber masalah,
namun sebaliknya agama islam ini harus bisa memberikan solusi atas
masalah-masalah sosial yang muncul ditengah kehidupan yang pluralis ini.
Perbedaan yang ada khususnya agama harus bisa disikapi dengan lapang dada.
Dengan
sikap lapang dada ini berarti sikap pluralisme menjadi penting dalam hal
kesediaan kita mengakui hak orang lain untuk berpendirian bahwa agama yang
dipeluknya adalah yang paling benar, sekalipun kita juga perlu untuk tidak
menyetujuinya.[8]
Ungkapan paling benar disini harus dikembalikan kepada kepercayaan pemeluknya
masing-masing dengan tidak mengikutinya dengan klaim bahwa agama lain adalah
sesat sekalipun ini harus tetap kita akui. Karena sikap seperti ini dapat
menjadi bumereng yang akan menghancurkan kedamaian dan kerukunan umat lintas
agama.
Disinilah
sebahagian orang gagal memahami prinsip pluralisme. Apakah mereka tidak tahu
atau tidak mau tahu, sehingga beranggapan bahwa pluralisme berarti membenarkan
semua agama. Padahal tidak demikian, kita hanya dituntut memberikan kesempatan
bagi umat agama lain untuk mengakui kebenaran agamanya. Karenanya buya ma’arif
dalam berbagai kesempatan dan tulisan sering mengatakan jika kita harus bisa
cerdas dalam memahami agama ini, dalam artian beragama yang cerdas harus dengan
sikap yang jujur, tulus dan lapang dada.
Dengan
sikap cerdas dalam beragama maka pluralisme tidak akan menjadi masalah yang
perlu dipermasalahkan. Akan tetapi, bagi mereka yang pendek akal, kenyataan
historis pluralisme agama dan budaya dipandang sebagai ancaman bagi
eksistensinya.[9]
Kendati
demikian, buya ma’arif dengan cukup berlapang dada dan toleran terhadap
perbedaan yang ada khususnya terkait paham pluralisme tersebut, baginya,
perbedaan paham tentang agama tampaknya tidak akan pernah selesai didunia ini
sampai kiamat.[10]
Karenya ia menyerahkannya kepada Allah sebagai hakim tertinggi atas perbedaan
tersebut, hal ini didasari dari firman Allah “ila allahi marji’ukum jami’an, fayunabbiukum bima kuntum fihi
takhtalifun” (kepada Allah tempat kamu semua kembali, maka dia akan
kabarkan kepadamu semua tentang apa yang kamu perselisihkan (mengenai agma).
Dengan
demikian, maka tidaklah ada otoritas kita untuk mengklaim bahwa kita yg terbaik
dan yang lain sesat karena ini merupakan wilayah Allah yang tidak perlu kita
campuri. Kita hanya dituntut dan dituntun untuk terus berlomba dalam kebajikan.
Untuk selanjutnya maka sikap lapang dada, terbuka dan toleransi akan sangat diperlukan, karena tanpa ini kita akan
sangat sulit bahkan tidak mungkin bisa menumbuhkembangkan budaya kemajemukan
agama/pluralism. untuk menggapai
harapan mulia itu buya Ma’arif menyarankan suasana bernegara yang pluralistik,
toleran, moderat dan demokratis yang dibangun diatas landasan moral ketuhanan
dan kemanusiaan yang adil dan beradab. golongan mayoritas dan minoritas harus
mendapatkan tempat secara proporsional dalam kegiatan bangsa. Sebaliknya, sikap tertutup,
intoleran, penuh rasa curiga, hanya akan membuahkan satu
hal, yaitu; kegagalan.
Akhirnya,
cerdas dalam menyikapi perbedaan khususnya perbedaan agama adalah keharusan
jika mimpi akan Islam yang Rahmatan
lil’alamin serta indonesia yang damai ingin diwujudkan. ketika hal ini bisa
kita aplikasikan dalam kehidupan nyata ditengah realita yang ada maka sebuah
peradaban baru yang penuh dengan nuansa kedamaian akan segera terlahir. untuk
itu buya Ma’arif memberikan sebuah formula yang cukup bijak dan jitu dalam
menyikapi segala bentuk perbedaan khususnya perbedaan agama yaitu “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara
dalam perbedaan[11]”.
B. Sikap
Ahmad Syafii Ma’arif terhadap Pluralisme Agama
Dari
uraian tentang pandangan buya Ma’arif terkait pluralisme sebagaimana diatas
dapat kita simpulkan bahwa buya sangat menginginkan dan merindukan agar umat
islam bisa sadar akan posisi islam yang hadir sebagai rahmat bagi jagat raya
ini. Namun bagi buya semua keinginan dan kerinduan tersebut tidak akan berarti
apa-apa jika hanya sebatas pemikiran tanpa sikap dan tindakan untuk
mewujudkannya. Karenanya buya ma’arif dengan dan dalam berbagai kesempatan
cukup keras meyuarakan umat islam untuk menerima konsep pluralisme dalam
konteks kehidupan majemuk saat ini.
Teriakannya
terkait dukungan terhadap pluralisme senantiasa hadir dalam forum-forum intelektual
diberbagai daerah yang sengaja mengundangnya sebagai pembicara, bahkan hal ini
tidak hanya dalam skala nasonal, sampai kedunia international pun ia sering
menereiakkan agar umat islam bisa dengan bijak dan cerdas dalam memahami agama
sehingga pluralime pada akhirnya bukanlah suatu masalah. Selain teriakannya
dalam forum intelektual di berbagai daerah dan negeri, upaya membumikan nilai
pluralisme juga sering menghiasi tulisan-tulisannya baik di media-media masa,
maupun diberbagai buku yang telah ia tulis.
Dalam
sebuah acara peluncuran
buku ‘Muhammadiyah Gerakan Pembaruan’ di Gedung Joeang, Jumat (23/4/2010), buya
Ma’arif mengatakan “pluralisme kenapa diharamkan itu kan tak lain dari tidak
mengakui kemajemukan. Nanti katanya akan pindah agama, itu paham siapa? Cerdas
dikitlah…”[12].
Begitu ungkapannya pada kesempatan terseebut, Dengan demikian, apabila agama dipahami secara
benar dan cerdas, pasti mendorong pemeluknya untuk mengembangkan budaya
dialogis, bukan budaya saling mengunci pintu.[13]
Dalam pembelaannya terhadap
pluralisme, buya berharap agar Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) mau meninjau
ulang faktanya terkait pengharaman pluralisme agama. Dia mengatakan, saat ini
banyak pemuka agama Islam yang berpandangan miring terhadap konsep pluralisme.
“Pluralisme adalah kemajemukan, intelektualisme sama dengan pluralisme,”.
Pandangan miring para ulama tersebut, ujarnya, terlihat dalam penyikapan
terhadap gerakan pluralisme di Indonesia. “Banyak ulama yang tidak paham
(pluralisme), tapi langsung menghukum,”[14]
Dengan segala kerendahan hati dan
santunnya buya tidak menyalahkan MUI, tapi ia menyarankan agar MUI mau meninjau
ulang fatwanya terkait pengharaman pluralisme tersebut. Setelah ditinjau ia
katakan boleh jadi MUI semakin menguatkan pengharamannya atau justru mencabut
fatwanya tersebut. Apapun itu yang penting keputusan tersebut didasari dari
sumber yang kuat dan jiwa beragama yang sehat dan cerdas.
Selanjutnya untuk memuluskan
langkahnya dalam menularkan virus-virus
jiwa beragama yang sehat termasuk dalam hal memandang pluralisme, maka buya
syafii menggagas berdirinya Ma’arif
Institute (2002). sebuah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), yang bertujuan untuk menampung
pemikiran-pemikirannya terutama dalam mengembangkan sikap saling pengertian dan
kerjasama umat beragama. Ma’arif institute didirikan dengan visi menjadi
lembaga pembaruan pemikiran dan advokasi untuk mewujudkan praksisme Islam
sehingga keadilan sosial dan kemanusiaan menjadi fondasi keindonesiaan sesuai
cita-cita sosial dan intelektualisme buya Syafi’i[15].
Lembaga
ini mengusung dua misi besar ; pertama, Mengembangkan pembaharuan Islam dan
menjembatani dialog serta kerja sama antar-agama, antar-budaya, dan
antar-peradaban dalam rangka mewujudkan keadaban, perdamaian, saling
pengertian, dan kerjasama yang konstruktif bagi kemanusiaan. Dan kedua,
Memperjuangkan percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat dan memperluas
partisipasi civil society melalui advokasi kebijakan publik. Visi dan dua misi
tersebut dilandaskan pada kepada empat nilai dasar yakni Egaliter, Non-diskriminasi, Toleran dan Inklusif.
Demikian
besar dan tingginya perhatian serta peranan buya Ma’arif dalam membangun dan
mengembangkan sikap islam yang lapang dada, toleran dan terbuka. Dengan
demikian pluralism tidak akan dipandang sebagi sebuah masalah yang perlu
dipermasalahkan, serta dengan demikian jua kehadiran islam sebagai agama
mayoritas bangsa Indonesia bisa menjadi rahmat bagi semua bukan malah
sebaliknya menjadi hantu yang menakutkan.
C. Konsep Jihad dan Relevansinya
dalam Pluralisme agama
Kata
jihad memanglah bukan sebuah kata yang asing ditelinga setiap orang baik muslim
maupun kalangan nonmuslim. Bahkan bagi sebahagian muslim kata jihad bukan
sekedar kata-kata biasa dengan nilai ibadah biasa, melainkan jihad dijadikan
sebagai cita-cita tertinggi mereka dalam hidup dan kehidupannya. Sikap seperti ini memang tidak salah, namun juga
belum tentu benar. Sebelum seseorang berbicara tentang jihad dan kemudian
menjadikannya sebagai cita-cita tertinggi dalam kehidupan, ia harus paham betul
jihad seperti apa dan bagaimana yang harus ia lakukan. Karena jihad sebagai
aktivitas yang bernilai ibadah tentunya harus menghasilkan maslahah bagi
siapapun, bukan justru sebaliknya, jihad malah dipandang sebahagian orang
sebagai hantu yang menghantui ketentraman dan kedamaian. Jika seperti ini
tentunya ada sesuatu yang salah dengan paradigma kita memandang jihat tersebut
dan ini harus segera diluruskan secepat mungkin.
Dalam literature barat umumnya, kata jihad diterjemahkan dengan Holy War (perang suci), padahal perang
hanyalah salah satu bentuk dari arti jihad tersebut. Dalam Al-qur’an kata jihad
dengan segala derivasinya terdapat sebanyak 41 kali, baik dalam surah-surah
yang diturunkan di Makkah (makkiyah), maupun surah-surah yang diturunkan di
Madinah (madaniyah). Akar kata jihad adalah د 0 ج menjadi جهد (keletihan, kegentingan,
ketegangan kepedihan, kesulitan, upaya, kemampuan, kerja keras dan yang mirip
dengan itu).[16]
Dengan
artian jihad sebagaimana diatas dapat diketahui bahwasanya jihad memilik
pengertian yang cukup luas yang lebih dari sekedar perang. Namun seiring
bergulirnya waktu makna jihad dibonsai
sehingga ia hanya dipahami sebatas perang dan memerangi atas nama agama.
Pengertia seperti inilah yang kemudian memicu opini kolektif dikalangan
masyarakat kebanyakan bahwa jihad adalah hantu yang menakutkan karena hanya
akan berujung dengan pertumpahan darah.
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an mengandung begitu banyak ayat-ayat
yang menganjurkan perang dan bersikap bermusuhan dengan kaum ataupun golongan
lain. Misalnya, ayat 120 yang terdapat dalam surah al-Baqarah:
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ßqåkuø9$# wur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% cÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$# $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur wur AÅÁtR ÇÊËÉÈ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya
petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu
mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak
lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
Kemudian
ayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin seharusnya memerangi orang-orang yang
tidak beriman dan ahli kitab:
(#qè=ÏG»s% úïÏ%©!$# w cqãZÏB÷sã «!$$Î/ wur ÏQöquø9$$Î/ ÌÅzFy$# wur tbqãBÌhptä $tB tP§ym ª!$# ¼ã&è!qßuur wur cqãYÏt tûïÏ Èd,ysø9$# z`ÏB úïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tFÅ6ø9$# 4Ó®Lym (#qäÜ÷èã spt÷Éfø9$# `tã 7t öNèdur crãÉó»|¹ ÇËÒÈ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan
tunduk.
Ayat
jihad dalam artian perang (qital)
melawan musuh sebagai salah satu maknanya seperti diatas baru turun pada tahun
kedua hijriyah yang kemudian digumulkan dengan realitas yang konkret dalam
perang badar (624 M) yang terkenal itu. Disinilah kemudian jihad dan qital
menjadi sinonim.[17]
Ayat-ayat inilah disamping QS Al-isra’ “Asyiddaa ‘ala al-kuffaar” yang kemudian dikantongi oleh sebahagian kita (muslim) untuk melegitimasi perbuatannya merusak peradaban manusia dimuka bumi ini khususnya terhadap mereka yang berlainan aqidah. Mereka seakan buta terhadap ayat lain terkait jihad dalam konteks yang lebih luas, seperti jihad sebagai ujian dan cobaan dari Allah (QS Ali Imran 142), jihad dalam arti "kemampuan" yang menuntut sang mujahid mengeluarkan segala daya dan kemampuannya demi mencapai tujuan (QS Attaubah 79).
Karenanya buya Ma’arif sering mengajak kita untuk bisa belajar bersikap jujur dalam memahami Al-qur’an, buang jauh-jauh subjektivisme dan kepentingan Pribadi.[18] Dengan demikian, maka ketika kita ingin berbicara tentag jihad, maka kita harus mengutip semua dalil tentangnya baru kemudian menyimpulkan pengertiannya. Bukan sebaliknya malah memilah milih mana ayat dan dalil jihad yang sesuai denga keinginan hati dan kemudian mengubur ayat dan dalil yang tidak dikehendaki.
Pakar Al-Quran Ar-Raghib Al-Isfahani, dalam kamus A1-Qurannya Mu'jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran, menegaskan bahwa jihad dan mujahadah adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Musuh disini bukanlah semata mereka yang nonmuslim melainkan musuh yang lebih penting yaitu musuh yang dapat menjerumuskan manusia kepada kejahatan (syaithon dan hawa nafsu). dalam sebuah hadits Nabi bersabda :
رجعنا من الجهاد الاصغر الى الجهاد الاكبر الجهاد
الاكبر هو الجهاد النفس
Artinya : “Ketika telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar
(jihad el-akbar) yaitu jihad melawan hawa nafsu”. (Al-Hadits)
Dalam
hadits iini dijelaskan bahwa perang melawan hawa nafsu merupakan bahagian dari
jihad besar. Ketika umat islam telah berhasil menundukkan nafsunya dibawah
payung syariat, maka penulis yakin keebiadaban peradaban akan berangsur hilang.
Karena sejatinya segala macam bentuk kerusakan dan kekacauan yang ada didunia
ini berawal dari hawa nafsu yang bebas dan terkadang diberi sedikit gincu
agama. Sehingga luapan nafsu tersebut tak jarang dianggap oleh kalangan awam
sebagai sesuatu yang bersifat syari’ haya karena ia telah berhasil diberi gincu
syariah yang sebenarnya palsu.
Karenanya,
defenisis syariah dan ruang lingkup yang hendak ditegakkan itupun, semuanya
masih memerlukan diskusi panjang yang tak akan berujung. Dengan demikian, untuk
menegakkan syariat islam yang sejatinya hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin, diperlukan semangat dan penelaahan ijtihad,
tidak cukup hanya denga semangat jihad.
Prof.
DR. Hamka Haq menegaskan bahwa semagat jihad (militansi) tanpa diformulasikan
dalam proses ijtihad sangatlah berbahaya. Sebab, tanpa semangat ijtihad (penelaahan),
dikhawatirkan semangat jihad kaum militan akan menjadi kontra produktif dan
bertentangan dengan syariah yang rahmah dan ramah. Akibatnya jihad akan berubah
menjadi tindakan anarkis yang mengerikan. Roh syariat Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin akan terabaikan.[19]
Karenanya, dalam konteks kehidupan majemuk ini, maka jihad harus bisa tetap dikontekstualisasikan dan harus direlevansikan dengan tidak mengubur hidup-hidup subtansi syariat yang hadir sebagai rahmat bagi alam. Artinya, dalam kehidupan kini, maka bersikap plurasisme sssdengan tujuan bersama membangun bangsa penulis anggap sebagai bahagian dari jihad.
[1] Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam Dalam BingkaiKe Indonesiaan dan
KeManusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, Mizan, Bandung, h. 165.
[2] Ibid, h. 166.
[3]
Ibid, h. 164.
[4]
Ibid, h. 199.
[5]
Prof. DR. Hamka Haq, MA. 2009, Islam Rahmat Untuk Bangsa, RMBOOKS,
Jakarta, h. viii.
[6]
Ahmad Syafii Ma’arif, 2006, Tuhan Menyapa
Kita, Grafindo, Jakarta, h.74.
[7]
Ahmad Syafii Ma’arif, 2009, Islam dalam
Bingkai.., h. 167.
[8]
Ibid, h.29.
[9]
Ahmad Syafii Ma’arif, 2014, Mencari
Autentisitas Dalam Kegalauan, PSAP, Jakarta, h. 11.
[10]
Op. cit, 2009, Islam dalam Bingkai, h. 29.
[11]
Ibid, h. 279.
[13] Ahmad Syafii Ma’arif, 2014, Mencari Autentisitas, h. 30.
[15] Sumber
: http://muhammadqorib.blogspot.com/
dalam “Islam dan Kemajemukan Agama
(Kajian Atas Pemikiran Amad Syafii Ma’arif)”
[16]
Ahmad Syafii Ma’arif, op.cit, h. 87.
[17]
Ahmad Syafii Ma’arif, Loc. Cit.
[18]
Ahmad Syafii Ma’arif, 2010, Al-qur’an dan
Realitas Sosial, Jakarta, Republika, h. 3.
[19]
Prof. DR. Hamka Haq, MA. 2009, Op. cit,
h. 35.