Masih
cukup segar dalam ingatan ketika segerombolan masa dengan topeng agama kemudian
secara “membabi buta” menyerang
dengan ganasnya jamaah ahmadiyah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran
islam. Dengan ke “babi dan butaan” massa
yang ada saat itu jamaah ahmadiyah menjadi bulan-bulanan, nyawa mereka (jamaah
ahmadiyah) seakan tidak berarti apa-apa.
Belum
sempat trauma akan keganasan itu hilang dari ingatan kita, kejadian serupa
justru kembali terulang bagi pengikut syi’ah di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben,
Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur sebagai Adegan penutup dari
panggung theology maut ditahun 2011. Dalam adegan ini sekitar 500 warga dengan
topeng agamanya melakukan aksi
pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta
dua rumah jemaah Syiah lainnya serta sebuah mushollah yang digunakan sebagai
sarana peribadatan.
Memang, tindakan kekerasan, brutalitas,
bahkan peperangan atas nama agama bukan barang baru dalam sejarah peradaban
(kebiadaban) manusia. Pelaku tindakan ini merasa paling beriman di muka bumi.
Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka
mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Karena itu,
mereka berhak memonopoli kebenaran. Seakan-akan mereka telah menjadi wakil
Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka
terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak
belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan.
Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka
bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.
Agama yang sejatinya hadir sebagai Rahmatan lil’alamin justru ditampilkan
oleh sebahagian umatnya sebagai Drakula yang
selalu haus akan darah manusia. Alasan sesat dan menyimpang dari syariat islam
kemudian dijadikan malam sebagai
isyarat bahwa penghisapan darah telah waktunya untuk dilakukan. Jika islam
terus ditampilkan dengan wajah garang oleh segelintir orang egoistic yang penuh
dengan retorika murahan ini, maka islam pasti akan menjadi momok yang
menakutkan dan akan dibenci oleh banyak pihak yang masih berpikir jernih,
siapapun mereka dan apapun agamanya. Jika islam sudah sampai pada posisi ini
maka tidaklah ada bedanya segelintir orang tersebut dengan gangster Qurays yang coba menghalangi Nabi Muhammad dalam upaya
membumikan Islam.
Sebagai Agamais tentunya siapapun tidak
rela jika agama yang diyakini kebenarannya tersebut kemudian “diinjak-injak” kesuciannya. Namun bukan
berarti ketidakrelaan tersebut harus diaplikasikan dengan membantai siapapun
yang telah menginjaknya. Melakukan hal ini sama dengan membela agama dengan
menginjaknya, sebuah perbuatan yang cukup konyol dan tolol. Islam sebagai agama
yang saya dan anda yakini melalui al-qur’an dan sunnahnya banyak menjelaskan
tentang larangan untuk bertindak seperti binatang buas yang suka memangsa
apapun alasannya, sebab menunggang agama untuk memangsa merupakan prilaku
agamais yang biadab. Seorang agamais dituntut dan dituntun untuk senantiasa
beradab dalam menjalankan segala macam aktivitasnya termasuk beragama. Bukankah
kehadiran nabi sendiri liutammima
makarimal akhlaq, beragama secara beradab sebagaimana dituliskan Buya Syafi’I
ialah dengan bersikap jujur, tulus dan berlapang dada.
Jujur dalam membaca dan memahami teks
kalamullah tanpa memilah-milih mana yang harus di ambil sebagai pedoman karena
menguntungkan dan mana yang harus disingkirkan karena merugikan,
tulus dalam aplikasi ajarannya tanpa di
iringi dengan berbagai kepentingan yang selalu saja ingin dekat dan mengikuti
tiap hentakan kaki manusia dalam melangkah,
serta berlapang dada dalam hal menerima
setiap perbedaan. Dengan sikap lapang dada ini berarti prinsip pluralism
menjadi penting dalam hal kesediaan kita mengakui hak orang lain untuk
berpendirian bahwa agama atau aliran yang dipercayanya adalah yang paling
benar, sekalipun kita juga perlu mengikuti pengakuan tersebut dengan ketidak
setujuan. Ungkapan paling benar dimaksud harus dikembalikkan kepada kepercayaan
masing-masing pemeluknya.
Adalah sebuah sikap yang salah dan tak
beradab jika seseorang berkata “Agama/aliran Kamilah yang paling benar dan
Agama/aliran kalian adalah salah dan sesat”. Pernyataan seperti ini menurut
buya syafii adalah pernyataan yang tak berkebudayaan, sebuah pernyataan
sarkastik yang bikin perkara saja.
Kita sebagai manusia diseru untuk terus
berlomba dalam berbuat kebaikan dan terbaik, bukan justru menilai kebaikan dan
menyalahkan keburukan. Karena tidaklah ada otoritas kita sebagai manusia untuk
mewasiti diri kita sendiri yang juga manusia, biarlah hal ini menjadi urusan
Allah, karena memang itulah yang diperintahkannya dalam Al-qur’an surah
Al-Maidah ayat 48 :
öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
Ayat ini cukup menjelaskan kepada kita
bahwa perbedaan bukanlah suatu yang buruk. Allah dengan segala kemahaannya
tentu tidak akan sulit jika ia mau jadikan kita manusia sebagi umat yang satu
tanpa perbedaan, tapi itu tidak ia lakukan sebagai bahagian bentuk ujian nya
kepada kita (manusia). Memang dalam firmannya yang lain Allah mengatakan bahwa
:
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ wur (#qè%§xÿs?
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai (berpecah)
Dalam hal ini allah menyerukan kita untuk
bersatu padu dan jangan berpecah belah, namun apakah esensi dari kedua
kandungan ayat diatas kontras dan paradoks ?. tentu saja mustahil bagi Allah salah dalam firmannya. Kedua
ayat ini menjelaskan bahwa kita diserukan untuk bersatu padu dan jangan
berpecah, kendati kepada kita dititipkan Allah ujian “Perbedaan”. Nah, hal inilah yag harus kita sikapi dengan baik dan
bijak dibawah bimbingan Syariat bahwa kita sebagai manusia yang memiliki banyak
perbedaan dituntut agar tidak terpecah belah dengan tawaran solusi berpegang
teguh kepada tali Allah.
Dengan demikian apa yang ditawarkan oleh
Buya Syafii Ma’arif “Bersaudara dalam perbedaan dan Berbeda dalam
Persaudaraan” merupakan sebuah Formula jitu dalam menyikapi tiap perbedaan,
baik berbeda dalam hal internal agama maupun lintas agama. Teruslah berlomba
dalam kebaikan dan tunggulah Allah kelak mengumpulkan kita untuk menghakimi apa
yang telah kita risaukan dari perbedaan tersebut.
Dengan menyerahkan kepada Allah urusan
penghakiman atas apa yang diperselisihkan maka peluang kita untuk hidup
harmonis berdampingan atas perbedaan menjadi semakin terbuka, karena tidak lagi
ada tudingan dan klaim siapa salah dan siapa benar yang justru merupakan remote
control pemicu meledaknya bom perpecahan. Bukankah perbedaan itu sendiri jika
disikapi dengan baik dan benar justru akan melahirkan sebuah keindahan,
kehidupan dan peradaban. Sudah cukup banyak catatan sejarah yang menjadi saksi
bahwa peradaban besar dan maju justru lahir dari perbedaan yang disikapi dengan
baik dan bijak, atau dalam contoh paling sederhana kita saksikan bahwa proses
lahirnya saya, anda dan kita semua adalah berkat perbedaan (laki-laki dan
perempuan) yang disikapi dengan baik dan cara yang baik pula.
Dengan demikian, mari kita sikapi
perbedaan yang ada khususnya terkait Aliran keagamaan maupun agama itu sendiri
sebaik dan sebijak mungkin dengan tetap berada dibawah payung syariat. Amal dan
aplikasikan apa yang kita yakini kebenarannya tanpa perlu memaksa orang lain
untuk ikut serupa dan sama dengan kita, karena selain hal ini akan memicu
perpecahan juga sama dengan merasa lebih pintar dari Allah, sebab Allah sendiri
menegaskan dalama QS Al-baqarah 256 :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
256.
tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dengan demikian jika Allah saja tidak
memaksa dalam hal agama kenapa kita justru melakukannya, apakah otoritas kita
melebihi Allah ?. dikatakan juga bahwa antara yang benar dan salah itu telah
jelas dan gambaing, tetapi jika masih ada yang memilih jalan sesat, apakah
harus dibinasakan ?. dari ayat ini cukup jelas sebagaimana dikatakan buya
syafii bahwa hukum dunia tidak berhak mengadilinya, artinya dalam kehidupan
dunia, orang yang memilih agama dan jalan sesat ini tidak boleh dikucilkan
apalagi dibinasakan.
Karenanya,
Al-qur’an dan Sunnah sebagai Pedoman beragama (islam) harus bisa dipahami dengan catatan mau bersikap jujur dalam
memahaminya, dan membuang jauh-jauh subjektivisme dan kepentingan Pribadi.
Dengan memahami kedua sumber utama tersebut islam akan tampil dengan wajah yang
ramah dan siap mamayungi seluruh jagat raya dengan Rahmatnya.
Akhirnya,
dilembaran baru yang telah sepekan kita lalui ini , kiranya cukuplah kekerasan
atas nama agama berakhir bersama pergantian tahun tersebut. Di lembaran baru yang
telah sepekan kita torehkan ini mari sama-sama kita jaga agar tidak lagi ada tertulis
coretan dengan tinta merah dari darah saudara sendiri.
Billahi fii sabilil Haq,
Wassalamu’alaikum.
Medan, 07 Januari 2012
Mukhrizal Arif