Sabtu, 07 Januari 2012

ISLAM-KU BUKAN “DRAKULA” ( Menyingkap Tabir Perdamaian Dalam Islam )


Masih cukup segar dalam ingatan ketika segerombolan masa dengan topeng agama kemudian secara “membabi buta” menyerang dengan ganasnya jamaah ahmadiyah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran islam. Dengan ke “babi dan butaan” massa yang ada saat itu jamaah ahmadiyah menjadi bulan-bulanan, nyawa mereka (jamaah ahmadiyah) seakan tidak berarti apa-apa.
Belum sempat trauma akan keganasan itu hilang dari ingatan kita, kejadian serupa justru kembali terulang bagi pengikut syi’ah di Dusun Nangkrenang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur sebagai Adegan penutup dari panggung theology maut ditahun 2011.  Dalam adegan ini sekitar 500 warga dengan topeng agamanya melakukan aksi pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl al-Bait (IJABI), Tajul Muluk, beserta dua rumah jemaah Syiah lainnya serta sebuah mushollah yang digunakan sebagai sarana peribadatan.
Memang, tindakan kekerasan, brutalitas, bahkan peperangan atas nama agama bukan barang baru dalam sejarah peradaban (kebiadaban) manusia. Pelaku tindakan ini merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Karena itu, mereka berhak memonopoli kebenaran. Seakan-akan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi "membuat kebinasaan di muka bumi", tetapi merasa telah berbuat baik.
Agama yang sejatinya hadir sebagai Rahmatan lil’alamin justru ditampilkan oleh sebahagian umatnya sebagai Drakula yang selalu haus akan darah manusia. Alasan sesat dan menyimpang dari syariat islam kemudian dijadikan malam sebagai isyarat bahwa penghisapan darah telah waktunya untuk dilakukan. Jika islam terus ditampilkan dengan wajah garang oleh segelintir orang egoistic yang penuh dengan retorika murahan ini, maka islam pasti akan menjadi momok yang menakutkan dan akan dibenci oleh banyak pihak yang masih berpikir jernih, siapapun mereka dan apapun agamanya. Jika islam sudah sampai pada posisi ini maka tidaklah ada bedanya segelintir orang tersebut dengan gangster Qurays yang coba menghalangi Nabi Muhammad dalam upaya membumikan Islam.
Sebagai Agamais tentunya siapapun tidak rela jika agama yang diyakini kebenarannya tersebut kemudian “diinjak-injak” kesuciannya. Namun bukan berarti ketidakrelaan tersebut harus diaplikasikan dengan membantai siapapun yang telah menginjaknya. Melakukan hal ini sama dengan membela agama dengan menginjaknya, sebuah perbuatan yang cukup konyol dan tolol. Islam sebagai agama yang saya dan anda yakini melalui al-qur’an dan sunnahnya banyak menjelaskan tentang larangan untuk bertindak seperti binatang buas yang suka memangsa apapun alasannya, sebab menunggang agama untuk memangsa merupakan prilaku agamais yang biadab. Seorang agamais dituntut dan dituntun untuk senantiasa beradab dalam menjalankan segala macam aktivitasnya termasuk beragama. Bukankah kehadiran nabi sendiri liutammima makarimal akhlaq, beragama secara beradab sebagaimana dituliskan Buya Syafi’I ialah dengan bersikap jujur, tulus dan berlapang dada.
Jujur dalam membaca dan memahami teks kalamullah tanpa memilah-milih mana yang harus di ambil sebagai pedoman karena menguntungkan dan mana yang harus disingkirkan karena merugikan,
tulus dalam aplikasi ajarannya tanpa di iringi dengan berbagai kepentingan yang selalu saja ingin dekat dan mengikuti tiap hentakan kaki manusia dalam melangkah,
serta berlapang dada dalam hal menerima setiap perbedaan. Dengan sikap lapang dada ini berarti prinsip pluralism menjadi penting dalam hal kesediaan kita mengakui hak orang lain untuk berpendirian bahwa agama atau aliran yang dipercayanya adalah yang paling benar, sekalipun kita juga perlu mengikuti pengakuan tersebut dengan ketidak setujuan. Ungkapan paling benar dimaksud harus dikembalikkan kepada kepercayaan masing-masing pemeluknya.
Adalah sebuah sikap yang salah dan tak beradab jika seseorang berkata “Agama/aliran Kamilah yang paling benar dan Agama/aliran kalian adalah salah dan sesat”. Pernyataan seperti ini menurut buya syafii adalah pernyataan yang tak berkebudayaan, sebuah pernyataan sarkastik yang bikin perkara saja.
Kita sebagai manusia diseru untuk terus berlomba dalam berbuat kebaikan dan terbaik, bukan justru menilai kebaikan dan menyalahkan keburukan. Karena tidaklah ada otoritas kita sebagai manusia untuk mewasiti diri kita sendiri yang juga manusia, biarlah hal ini menjadi urusan Allah, karena memang itulah yang diperintahkannya dalam Al-qur’an surah Al-Maidah ayat 48 :
öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,

Ayat ini cukup menjelaskan kepada kita bahwa perbedaan bukanlah suatu yang buruk. Allah dengan segala kemahaannya tentu tidak akan sulit jika ia mau jadikan kita manusia sebagi umat yang satu tanpa perbedaan, tapi itu tidak ia lakukan sebagai bahagian bentuk ujian nya kepada kita (manusia). Memang dalam firmannya yang lain Allah mengatakan bahwa :
(#qßJÅÁtGôã$#ur È@ö7pt¿2 «!$# $YèÏJy_ Ÿwur (#qè%§xÿs?
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (berpecah)
Dalam hal ini allah menyerukan kita untuk bersatu padu dan jangan berpecah belah, namun apakah esensi dari kedua kandungan ayat diatas kontras dan paradoks ?. tentu saja  mustahil bagi Allah salah dalam firmannya. Kedua ayat ini menjelaskan bahwa kita diserukan untuk bersatu padu dan jangan berpecah, kendati kepada kita dititipkan Allah ujian “Perbedaan”. Nah, hal inilah yag harus kita sikapi dengan baik dan bijak dibawah bimbingan Syariat bahwa kita sebagai manusia yang memiliki banyak perbedaan dituntut agar tidak terpecah belah dengan tawaran solusi berpegang teguh kepada tali Allah.
Dengan demikian apa yang ditawarkan oleh Buya Syafii Ma’arif  “Bersaudara dalam perbedaan dan Berbeda dalam Persaudaraan” merupakan sebuah Formula jitu dalam menyikapi tiap perbedaan, baik berbeda dalam hal internal agama maupun lintas agama. Teruslah berlomba dalam kebaikan dan tunggulah Allah kelak mengumpulkan kita untuk menghakimi apa yang telah kita risaukan dari perbedaan tersebut.
Dengan menyerahkan kepada Allah urusan penghakiman atas apa yang diperselisihkan maka peluang kita untuk hidup harmonis berdampingan atas perbedaan menjadi semakin terbuka, karena tidak lagi ada tudingan dan klaim siapa salah dan siapa benar yang justru merupakan remote control pemicu meledaknya bom perpecahan. Bukankah perbedaan itu sendiri jika disikapi dengan baik dan benar justru akan melahirkan sebuah keindahan, kehidupan dan peradaban. Sudah cukup banyak catatan sejarah yang menjadi saksi bahwa peradaban besar dan maju justru lahir dari perbedaan yang disikapi dengan baik dan bijak, atau dalam contoh paling sederhana kita saksikan bahwa proses lahirnya saya, anda dan kita semua adalah berkat perbedaan (laki-laki dan perempuan) yang disikapi dengan baik dan cara yang baik pula.
Dengan demikian, mari kita sikapi perbedaan yang ada khususnya terkait Aliran keagamaan maupun agama itu sendiri sebaik dan sebijak mungkin dengan tetap berada dibawah payung syariat. Amal dan aplikasikan apa yang kita yakini kebenarannya tanpa perlu memaksa orang lain untuk ikut serupa dan sama dengan kita, karena selain hal ini akan memicu perpecahan juga sama dengan merasa lebih pintar dari Allah, sebab Allah sendiri menegaskan dalama QS Al-baqarah 256 :
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ  
256. tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dengan demikian jika Allah saja tidak memaksa dalam hal agama kenapa kita justru melakukannya, apakah otoritas kita melebihi Allah ?. dikatakan juga bahwa antara yang benar dan salah itu telah jelas dan gambaing, tetapi jika masih ada yang memilih jalan sesat, apakah harus dibinasakan ?. dari ayat ini cukup jelas sebagaimana dikatakan buya syafii bahwa hukum dunia tidak berhak mengadilinya, artinya dalam kehidupan dunia, orang yang memilih agama dan jalan sesat ini tidak boleh dikucilkan apalagi dibinasakan.
Karenanya, Al-qur’an dan Sunnah sebagai Pedoman beragama (islam) harus bisa dipahami  dengan catatan mau bersikap jujur dalam memahaminya, dan membuang jauh-jauh subjektivisme dan kepentingan Pribadi. Dengan memahami kedua sumber utama tersebut islam akan tampil dengan wajah yang ramah dan siap mamayungi seluruh jagat raya dengan Rahmatnya.
Akhirnya, dilembaran baru yang telah sepekan kita lalui ini , kiranya cukuplah kekerasan atas nama agama berakhir bersama pergantian tahun tersebut. Di lembaran baru yang telah sepekan kita torehkan ini mari sama-sama kita jaga agar tidak lagi ada tertulis coretan dengan tinta merah dari darah saudara sendiri.
Billahi fii sabilil Haq,
Wassalamu’alaikum.
Medan, 07 Januari 2012
Mukhrizal Arif

Entri Populer

Bujang Lapok

Bujang Lapok
Bersama Feri, Ari, Fitrah dan Rudi