BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam
hamparan luas lautan sejarah umat Islam, perbedaan pemikiran dan ide yang pada
pokoknya disebabkan perbedaan aspirasi politik, terpecah kepada tiga golongan,
yaitu Syi’ah, Khawarij, dan Sunni atau yang lebih akrab disapa Ahlussunnah Wa Al-jama’ah. Jika boleh dikatakan,
Syia’ah merupakan kelompok sayap kanan, maka Khawarij merupakan kelompok sayap
kiri. Mereka sama-sama radikal dan ekstrim serta paradoks antara satu dan
lainnya, jika yang satu mengatakan putih maka yag lain akan mengatakan hitam.
Berbeda dengan keduanya, Sunni berada di jalur tengah dengan mengkompromikan
kedua pemikiran tersebut[1].
Dari
ketiga kelompok senior dalam dalam dunia Islam ini, dengan mengabaikan
perpecahan pada masing-masing kelompok, maka Sunnilah yang paling banyak
pengikutnya, kemudian Syi’ah dan yang terkecil adalah Khawarij. Kendati tidak
sebanyak Sunni dalam jumlah pengikut, bukan berarti keduanya (Syi’ah dan
Khawarij) tidak memiliki peran dalam lintas panjang sejarah umat Islam.
Keduanya bahkan menambah corak dan warna tersendiri dalam potret Islam dari
masa kemasa.
Karenanya,
mengkaji sejarah keduanya menjadi hal yang cukup menarik untuk dilakukan.
Selain karena keduanya masih memiliki pengikut hingga saat ini, keduanya juga
berasal dari rahim yag sama; yaitu pandangan terhadap sayyidina Ali. Jika Syiah
menjadi barisan yang pro dan setia terhadap Ali, Khawarij justru barisan yang
memisahkan diri dan kontra terhadap Ali. Selain alasan tersebut, dalam konteks
Indonesia, masih cukup segar dalam ingatan ketika media seperti kompak dalam
menyoroti tragedi sampang Madura terkait pembantaian kaum syiah. Karenanya,
mengkaji Syi’ah dalam berbagai aspek seperti sejarah kelahiran, perkembangan,
politik dan teologi menjadi hal yang urgen untuk dilakukan dan diskusikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Syi’ah
Kata
Syi’ah (الشيعة) bentuk tunggalnya
adalah Syi’iy (شيعى) yang berarti
Kelompok atau golongan, dapat digunakan untuk
seorang, dua orang atau jamak baik pria maupun wanita.[2]
Sedangkan
menurut Ahmad al-Waili, Syiah menurut bahasa adalah pengikut atau pembantu.
Pengertian ini sama dengan pengertian yang dikemukan Abd al-Qadir Syihab
al-Hamdi guru besar pada Universitas Islam di Madina, yang menyatakan: “Syi’ah
dalam percakapan orang arab berarti pengikut atau pembantu.[3]
Kata
Syi’ah Sendiri pernah beberapa kali disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti pada QS
al-Shaffat ayat 83.
* cÎ)ur `ÏB ¾ÏmÏGyèÏ© zNÏdºtö/Z} ÇÑÌÈ
dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar Termasuk golongannya (Nuh).
Selanjutnya, kata Syi’ah kemudian menjurus kepada
sekelompok orang yang menjadi pengikut dan pendukung Ali ibn Abi Thalib ra.
Dalam pengertian ini asy-Syahrastani sebagaimana di kutip Nourouzzaman
Ash-shiddiqi memberikan batasan bahwa Syi’ah adalah nama kelompok bagi mereka
yang menjadi pengikut Ali ra, dan berpendirian bahwa keimanan atau kekhalifahan
itu adalah berdasarkan pengangkatan dan
pendelegasian, baik yang dilakukan secara terbuka maupun yang dilakukan secara
tersembunyi atau rahasia dan mereka yang percaya bahwa keimaman itu tidaklah
terlepas dari anak keturunan Ali ra.[4]
Dari pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa Syi’ah
adalah golongan atau kelompok fanatic yang mendukung dan mengikuti Ali dan
mengaggap bahwa Ali dan keturunannya merupakan harga mati dalam meneruskan
kepemimpina pasca meninggalnya Nabi SAW.
B. Sejarah
Kelahiran Syi’ah
Ide tentang hak Ali dan anak keturunannnya untuk meneruskan
estafet kepemimpinan umat Islam sebagai khalifah atau imam pasca wafatnya Nabi
telah ada sesa’at setelah wafatnya Nabi. Bagi kaum Syi’ah, pangkal dari
kepercayaan tentang sahnya Ali sebagai penerus nabi adalah persitiwa Ghadir Khum.
Kaum Syiah bekeyakinan bahwa sebenarnya Nabi telah menunjuk
calon penggantinya, dan calon tersebut adalah Ali ra. Menurut mereka penunjukan
tersebut dilakukan Nabi dalam perjalanannya kembali dari haji Wada’, pada tanggal delapan belas
Dzulhijjah tahun kesebelas Hijriah (623 M) di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum (kolam Khum), dimana Nabi
telah membuat pernyataan bersejarah yang telah diriwayatkan dalam berbagai
versi.[5]
Hadits tentag Ghadir
Khum tersebut :
“Kurasa seakan-akan segera akan dipanggil Allah dan
segera pula memenuhi paggilan itu. Dan sesungguhnya Aku meningalkan kepadamu
al-Tsaqalain, yang satu lebih besar dari yang kedua : yaitu Kitab Allah dan
‘ithoh Ku. Jagalah baik-baik kedua peninggalan-Ku itu, sebab keduanya tak akan
terpisah sehingga berkumpul kembali dengan-Ku di al-Haudh. Kemudian beliau berkata
lagi, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah maula-Ku, dan Aku adalah maula
bagi setiap mukmin. Lalu beliau mengangkat tangan Ali ibn ABi Thalib, dan
bersabda; barangsiapa yang menganggap-Ku sebagai pemimpin, maka dia ini (Ali)
adalah pemimpin baginya. Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya, dan
musuhilah siapa yang memusuhinya.[6]
Kata maula dan wali dalam hadits diatas memiliki beberapa
pengertian seperti : pendukung, penolong,
kawan karib, pecinta, pemimpin dan lainnya. Disinilah kemudian perbedaan
paham muncul, sebahagian umat yang kemudian disebut Sunni setelah mengakui
keshahihan hadits tersebut mengartikan maula sebagai yang dicintai, seperti
wali Allah yang berarti dicintai Allah. Dan sebahagian lainnya yang kemudian
disebut Syi’ah memandang bahwa maula atau wali dalam hadits tersebut adalah yang
memiliki otoritas kekuasaan dan harus di ikuti kepemimpinannya.
Dengan demikian dapatlah dipahami bila orang-orang Syi’ah
begitu meyakini bahwa Ali adalah pemegang tunggal estafet kepemimpinan umat
Islam saat itu pasca wafatnya Nabi (12 Rabi’ul awal 10 H / 08 Juni 632 M).
namun kenyataannya hal itu tidak langsung terwujud. Setelah terjadinya
perdebatan yang sengit di Tsaqifah bani
Sa’adah, akhirnya secara aklamasi diambillah suatu kesepakatan, mem-bai’at Abu Bakar sebagai Khalifah dengan
pertimbangan senioritas, di mana pada saat itu syarat utama menjadi al-mala’
(DPR) dan Nadi al-qaum adalah minimal berusia 40 tahun. Dalam pertemuan ini,
Ali yang oleh Syi’ah di harapkan menjadi Imam justru tidak hadir. Ia tahu
persis bahwa Ia tidak akan dipilih karena belum berusia 40 tahun.
Setelah dua tahun kepemimpinan Abu Bakar (632-634 M),
ke-Khalifahan kemudian dijabat Oleh Umar ibn Khattab selama sepuluh tahun sejak
634 M sampai dengan 644 M. dan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan (644-656) hingga
kemudian ia wafat terbunuh.
Setelah wafatnya Utsman, ditengah kegentingan yang terjadi
saat itu, orang-orang yang terlibat baik secara langsung maupun tidak terhadap
terbunuhnya Utsman menunjuk Ali ibn Abi thalib sebagai Khalifah. Meski sempat
menolak dan mengusulkan Talha dan Zubair karna pertimbangan senioritas, Ali
akhirnya menerima tawaran/penunjukan itu sehingga kemudian terpilih sebagai
Khalifah di hari keenam pasca terbunuhnya Utsman.
Pada masa-masa awal ke-khalifahannya, Ali langsung
dihadapkan kepada berbagai persoalan hingga harus berakhir dengan peperangan,
seperti perang Jamal (9 Desember 656 M). Yakni
peperangan antara khalifah Ali dengan gabungan pemberontak yang juga di ikuti
oleh ‘Aisyah yang menuntut pengusutan kasus terbunuhnya Utsman ra. Selanjutnya
pada tanggal 26 juli 657 M, Ali kembali dihadapkan pada peperangan yang dikenal
dengan nama perang Siffin, yang
mempertemukan kekeuatan Mua’awiyah dan Ali. Dalam perang ini, atas usulan Amr
ibn al-Ash, Mu’awwiyah menawarkan perdamaian dengan mengangkat Al-Qur’an,
akhirnya perang berhenti. Peristiwa ini disebut tahkim.[7]
Tawaran Mu’awiyah disambut baik oleh Ali yang kemudian
menghentikan perang, padahal pada saat itu Ali dan pasukannya sudah hampir
memenangkan peperangan. inilah kemudian yang memicu kekecewaan sebahagian
pasukan Ali, hingga akhirnya melahirkan kelompok Khawarij yang dipimpin oleh Abdullah ibn Wahab al-Rasyibi. Dimana
selanjutnya kelompok tersebut banyak membuat huruhara, sehingga diambil
tindakan oleh Ali untuk memeranginya yang dikenal dengan nama perang Nahrwan, yang berujung pada pembunuhan
Ali oleh ibn Muljam pada tanggal 24 Januari 661 M.
Pasca wafatnya Ali tersebut, terjadilah pertarungan berebut
kekuatan politik antara pendukung-pendukung Ali, pendukung Muawiyah, dan
barisan yang kontra terhadap keduanya. Pendukung Ali menuntut agar ke-Khalifan tetap
di pegang oleh ahli bait, dan untuk merealisasikan itu mereka mengangkat Hasan
sebagai Khalifah. Inilah yang mejadi awal doktrin politik Syiah.[8]
walaupun bibit Syi’ah telah ada saat pemilihan khalifah Abu
Bakar namun dalam catatan sejarah Islam, mulai munculnya Syi’ah adalah setelah
wafatnya Ali ibn Abi Thalib, dan karena adanya rivalitas politik dari kelompok
Khawarij.[9]
Selanjutnya, setelah peristiwa dibunuhnya Husain ibn Ali di padang Karbala (10
Okteber 680 M), barulah kemudian Syiah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik
yang utuh secara “de jure”.
Dengan demikian jelaslah bahwa awal hadirnya Syi’ah dalam
coretan sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan atau faham agama yang
khas seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini. Kehadiran Syiah adalah sebagai
respon politik terhadap gerakan politik yang dilacarkan oleh kelompok Khawarij, dan sebagai bentuk sikap dan
dukungan orang-orang terhadap Ali yang menurut mereka merupakan pemegang hak
tunggal kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah periode pertama dari kaum
Syi’ah ini berlalu, gerakan Syiah mengalami perkembangan baru dan terjadilah
perubahan dalam haluannya.[10]
Perkembangan tersebut pada gilirannya membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa
bahagian.
C. Kelompok
dalam Syi’ah
Kendati Syi’ah telah terbagi-bagi dalam kelompok yang
jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut Al-Baghdawi sebagaimana
dikutip M. Qurays Shihab dalam “Syi’ah dan Sunni bergandengan Tangan, Mungkinkah?”
mengatakan bahwa secara umum Syi’ah terbagi kepada empat kelompok yang masing-masing
terbagi pula kepada kelompok-kelompok kecil.[11]
Keempat kelompok tersebut:
1. Syi’ah Ghulat (ekstrim)
Syi’ah
Ghulat merupakan kelompok yang memiliki sikap berlebihan terhadap Ali, sehingga
Ali sampai ditempatkan pada posisi Nabi, atau lebih tinggi dari Nabi, bahkan
ada yang menempatkannya sebagai Tuhan.
Kelompok ini terbagi menjadi beberapa bahagian, Pertama As-Sabaiyah: mereka adalah
pengikut Abdullah ibn Saba’, yang konon katanya sempat sampai menuhankan Ali. Kedua Al-Khathabiyah: mereka adalah
golongan Syi’ah yang menyatakan bahwa Imam Ja’far Ash-Shodiq adalah Tuhan. Ketiga Al-Ghurabiyah: mereka adalah kelompok
yang mengutuk malaikat jibril karena menganggapnya telah keliru menyampaikan
wahyu kepada Muhammad yang seharusnya diberikan kepada Ali. Keempat Al-Qaramithah: kelompok ini
cukup ekstrim, selain karena menuhanan Ali, mereka juga membatalkan kewajiban
Sholat dan Puasa Ramadhan.
2. Syi’ah Ismailiyah
Kelompok
ini meyakini bahwa Ismail, putra Imam Ja’far ash-Shadiq, adalah imam yang
menggantikan ayahnya, yang merupakan imam keenam dari aliran Syi’ah secara
umum.[12]
3.
Az-Zaidiyah
Kelompok
ini adalah kelompok Syi’ah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin
Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Syi’ah Zaidiyah menetapkan bahwa Imamah dapat diemban oleh siapapun yang
memiliki garis keturunan Fathimah binti Muhammad SAW. Baik dari garis Hasan,
maupun Husain, dengan catatan harus memiliki kemampuan, keilmuan dan keberanian
dalam mengangkat senjata melawan kezaliman.
4.
Syi’ah Itsna
Asy’ari
Kelompok
ini ialah mereka yang mempercayai akan adanya duabelas orang imam yang
kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra, putrid
Rasulullah SAW. Kelompok ini merupakan kelompok Syi’ah mayoritas yang tersebar
di Iran, Irak serta ditemukan juga dibeberapa daerah di Suriah, Kuwait,
Bahrain, India, juga disaudi Arabia, dan beberapa daerah bekas Uni Soviet.[13]
D. Teori
Politik dan Doktrin Agama syi’ah
Dalam kajian sejarah pemikiran Islam, sulit rasanya untuk
membicarakan secara terpisah antara teori politik dan doktrin agama. Sebab
Islam itu sendiri tidak mengenal pemisahan antara keduanya. Dalam rentetan
panjang sejarah islam, interaksi antara keduanya sangat erat, terkhusus bagi
Syi’ah. Sebab Syi’ah selalu berupaya keras mencari dukungan agama untuk
mendukung teori politik yang mereka anut.
Dalam masalah kepemimpinan, Syi’ah menganut teori hak
legitimasi berdasarkan hak suci Tuhan. Dan tuhan telah mendelegasikan hak
suci-Nya kepada para nabi, dan nabi Muhammad telah mewasiatkannya kepada Ali,
maka Ali lah pemegang hak penuh atas kepemimpinan pasca Nabi. Imam atau
Khalifah perspektif Syi’ah bukanlah sebatas kelayakan politik semata, namun
imam adalah kepentingan agama. Menurut mereka kekhalifahan adalah satu rukun
agama yang fundamental yang disejajarkan urgensitasnya dengan al-Qur’an dan
Sunnah.
Mengingat kedudukan imam/khalifah yang begitu mulia dan
agung, penting serta tinggi, maka menurut kepercayaan orang-orang Syi’ah,
tidaklah sepantasnya masalah pemilihan dan pengangkatannya dipercayakan pada
orang banyak yang bukan Nabi, atau orang pilihan Nabi, tetapi haruslah diangkat
oleh Tuhan melalui Nabi, atau melalui Ali, atau oleh seorang Imam yang
mendahului sebagai pemangku hak suci. Dengan demikian, menurut Syi’ah
pengangkatan Imam itu adalah hak suci Tuhan, bukan berdasarkan prinsip
pemilihan demokratis. Bahkan pada golongna Syi’ah waqifiyah berpendirian bahwa,
bukan saja seorang imam itu diangkat oleh imam sebelumnya, bahkan ruh imam yang
sebelumnya itu berpindah ke diri imam yang diangkatnya.
Kendati demikian, tidak semua golongan Syi’ah sependapat
dengan doktrin agama tentang keimaman seperti tersebut diatas, golongan
zaidiyah menolak doktrin nash-washiyat. Mereka (Syi’ah Zaidiyah) berpendapat
bahwa, imam itu harus dipilih berdasarkan criteria, berilmu, bertaqwa, murah
tangan, berani dan berhasrat untuk menjabat posisi imam, dengan catatan orang
tersebut masih berada dibawah garis keturunan Ali ibn Abi Thalib dan Fathimah
az-Zahra binti Muhammad SAW.
Selanjutnya,
Untuk mendudukkan Syi’ah dalam koridor yang ada
maka perlu dikemukakan doktrin keagamaan yang ada dan di anut dalam tradisi Syi’ah.
Dari konteks keagamaan inilah kemudian diturunkan ke dalam konteks sosial
seperti politik dan lainnya. Doktrin ke-agamaan tersebut:
a. Imamah
Doktrin Syi‘ah tentang Imamah, berangkat dari keyakinan akan penunjukan Nabi atas diri
‘Ali sebagai khalifah penggantinya dengan penunjukan yang jelas berdasarkan
hadits ghadir khum. Di dalamnya termaktub adanya
fungsi spiritual dalam diri penerus Nabi dari kalangan ahl al-bait yang berhubungan dengan penafsiran esoterik
tentang wahyu dan kelangsungan ajaran esoterik Nabi.
Dalil dan paham Imamah didasarkan pada Q.S. Yunus (10):
35. Q.S. al-Maidah 5: 55). Adapun hadis yang menjadi dasar doktrin imamah adalah hadis ghadir khum yang dikumandangkan Nabi ketika haji wada’,
yang dikutip langsung sebagai dalil untuk mendukung hak ‘Ali atas khilafah.
Doktrin Imamah juga dipahami sebagai
contoh dari upaya awal untuk merumuskan struktur politik dalam kerangka hukum,
serta memberikan suatu teori politik yang koheren. Akan tetapi, prinsip dasar
tentang suksesi yang dikemukakan oleh doktrin ini tidak pernah diterima secara
universal, dan tetap menjadi harapan eskatologis yang tak realistik.
b. Mahdiisme
Dalam akidah Syiah, kemunculan Imam Mahdi
adalah permasalahan yang sudah pasti, persis dengan ungkapan akan munculnya Yaum al-Mau’ud (hari kiamat). Hari yang dijanjikan
dengan kemunculan Imam Mahdi adalah langkah awal untuk menuju hari akhir yang
telah dijanjikan Allah.
Gagasan tentang Mahdi tidak semata-mata
dimonopoli oleh Islam, meskipun nama Mahdi itu merupakan nama Islam. Memang,
gagasan tentang penyelamat terakhir merupakan suatu gagasan yang usianya setua
agama itu sendiri. Seperti
dikutip oleh Henry Corbin, bahwa esoterisme Syi‘ah mengajarkan hierarki mistis
yang tidak kasatmata. Ide dasarnya yang paling khas adalah gaiban (gaybah) atau absennya imam.
Muhammad al-Mahdi, dipercaya golongan ini
diberikan Tuhan kehidupan panjang sampai akhir dunia, tetapi ia berada dalam
alam gaib. Imam Mahdi hidup sebagaimana Elijah, yang menurut kepercayaan Yahudi
diangkat ke surga dan hidup di sana. Pada akhirnya, perdebatan mengenai
kemunculan al-Mahdi mendorong para pemikir dan agamawan untuk memberikan
penafsiran tentang Mahdi atau Messiah “Sang Juru Selamat“. Di antara
tanda-tanda kemunculannya adalah ketika bumi ini telah dipenuhi dengan
kerusakan, kebobrokan, ketidakadilan dan penindasan yang merajalela. Kemunculan
al-Mahdi akan memenuhi bumi dengan keadilan dan persamaan (hak), dan penegakan
moral.
c. Ishmah.
Dalam Syi‘ah, seorang Imam mempunyai
tingkatan kemaksuman. Ia haruslah seseorang yang memiliki sifat maksum, karena
seorang yang mendapat tugas membawa amanat Allah Swt., jika tidak bersifat
maksum maka akan timbul keraguan atas kebenaran risalah atau amanah yang
dibawanya.
Doktrin ishmah merupakan proses
pengembangbiakan dari hadis Gadir Khumm. Ajaran ini berkenaan dengan prasyarat imamah yang menyatakan, bahwa seorang Imam sama sekali tidak
dapat dicela, sifat dan tindakan-tindakannya menempatkan ia di atas derajat
orang-orang biasa. Dia merupakan legislator sekaligus eksekutor, tetapi
tindakannya tidak pernah dipertanyakan. Dia adalah tolak ukur baik dan buruk,
apa yang dilakukannya adalah baik, apa yang dilarangnya adalah buruk. Ia
merupakan pemimpin rohani sejati, kewenangan rohaninya mengungguli kewenangan
Paus dalam gereja Katholik.
Dengan kata lain, bahwa seorang imam adalah
orang yang menjalankan fungsi wilayah, mempertahankan dan menjamin
kesinambungan hukum agama dengan bantuan cahaya ke-Tuhanan dalam dirinya. Oleh
karena itu, sebagai akibat dari adanya cahaya ke-Tuhanan dalam dirinya, imam
mempunyai potensi untuk tidak melakukan kesalahan dalam soal-soal spiritual dan
keagamaan.
d. Taqiyyah
Secara etimologi, kata taqiyyah berasal dari bahasa Arab, dari
akar kata waqa-yaqi yang berarti melindungi atau menjaga
diri. Dari terjemahan tersebut, maka praktek taqiyyah diartikan dengan seseorang yang
menyembunyikan agamanya atau beberapa praktek tertentu dari agamanya dalam
keadaan yang mungkin atau pasti akan menimbulkan bahaya sebagai akibat
tindakan-tindakan dari orang-orang yang menentang agamanya atau praktek-praktek
keagamaan tertentu.
Dalam prakteknya, kadang taqiyyah telah menjadi norma atau perilaku umum
setiap kali terjadi konflik antara iman dan kebutuhan. Kaum modernis Syi‘ah menyatakan,
bahwa taqiyyah kadang-kadang merosot menjadi
dalih bagi kemunafikan dan kepengecutan yang nyata.
e. Marja’iyyah
Marja’iyyah, yang
kemudian menjelma ke dalam Wilayat
al-Faqih, merupakan sebuah doktrin keagamaan yang juga menduduki posisi
sentral dalam Syi‘ah. Karena doktrin tersebut nantinya akan menentukan
bagaimana masyarakat akan menjalani sebuah pemahaman keagamaan, baik yang
bersifat ta’abbudi maupun i’tiqadi.
Konsep Marja’iyyah ialah proses pelimpahan tanggungjawab kepemimpinan
kepada para fuqaha yang bersifat adil dan mempunyai kemampuan memimpin dari
Imam Mahdi. Dalam hal ini, setiap orang Syi‘ah yang tidak mampu mengambil
kesimpulan hukum dalam permasalahan keagamaan sehari-hari harus merujuk kepada
orang yang lebih tahu, yaitu para Ulama atau Fuqaha. Hal ini disebabkan karena
para Fuqaha merupakan penerus kepemimpinan Imam Mahdi selama masa kegaibannya.
Maka, wewenang atau kekuasaan yang dimiliki fuqaha terhadap umat sangat besar.
Doktrin keagamaan dalam Syi‘ah sebagaimana
tersebut, selanjutnya termanifestasikan
dalam ranah kehidupan dengan berbagai aspeknya yang kemudian menghasilkan warna
tersendiri bagi Syi’ah baik dalam hal politik, maupun dalam aktivitas dan
ritual keagamaannya.
E. Dinasti pendukung kekuasaan politik Syi’ah
Dalam perjalanan panjangnya, Syi’ah baik
sebagai idiologi agama terlebih sebagai kekuatan politik bisa selamat dan
berhasil merebak ke berbagai kolong langit, tak terlepas dari adanya
dinasti-dinasti yang mendukung eksistensinya. Setidaknya, ada enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah,
buwaihiyyah, Shafawi, dan Qajar) yang menjadi pendukungnya. Berikut akan
sedikit diperkenalkan ke-enam dinasti tersebut.
Dinasti ini berkedudukan di Maroko yang didirikan oleh
Muhammad bin Idris. Idris adalah cicit dari Hasa ibn Ali ibn Abi Thalib dan
seorang yang beraliran Syi’ah dan memperkenalkan aliran Syi’ah melalui
dinastinya. Dinasti ini sempat berkuasa dibawah pimpinan 10 orang yang dimulai
dari Muhammad Idris, dan di akhiri oleh Hasan al- Hajjam.
Dalam masa
berikutnya, muncul dinasti Fathimiyah dikawasan Afrika, Mesir dan Syiria.
Fathimiyah adalah sekte Syiah Imamiyah yang menisbikan kecintaannya pada isteri
Ali, Fathimah az-Zahra. Berbeda dengan Syi’ah lainnya yang menggunakan
panggilan Imam bagi pemimpinnya, Fathimiyah justru menggunakan istilah Khalifah
bagi para pemimpinnya.
Dinasti Fathimiyyah
menjadikan Kairo sebagai ibukota, dimasa Khalifah Mu’iz Lidinillah (953-975).
Di kota ini telah didirkan sebuah masjid jami’ yang kemudian berkembang hingga
hari ini menjadi Universitas Al-Azhar.
iii.
Dinasti Zaidiyyah (893-1962)[16]
Zaidiyyah adalah cabang Syi’ah yang berbeda dengan
lainnya dan di anggap lebih moderat, bahkan dikatakan lebih mendekati Sunni
meskipun dalam hal mazhab, mereka mempunyai mazhab sendiri.
Meskipun rincian awal sejarahnya tak jelas,
namun masih dapat diketahui bahwa kekuatan politik kelompok z#aidyyah yang
mandiri untuk pertama-tama dibangun ketika al-Hasan bin Zaid mendirikan Negara
di Iran Utara.
iv.
Dinasti Buwaihiyyah (932-1062)[17]
Dinasti ini memiliki wilayah yang sangat luas
di Persia. Dinasti ini berasal dari tiga bersaudara, Ahmad, Ali dan Hasan anak
dari Abu Suja’ Buwaih. Dimasa kekuasan bani buwaihi yang beraliran Syi’ah ini,
Baghdad dijadikan sebagai pusat pemerintahan dengan membangun gedung-gedung
tersendiri yang diberi nama darul mahkamah.
v.
Dinasti Shafawi (1501-1732)
Pada
mulanya sekte ini adalah suatu thariqat sufi yang bergabung dengan Syi’ah Imam
duabelas. Dinasti ini berada di Azerbaijan yang didirikan oleh Ismail pada
tahun 1500 dalam usia belia 16 tahun, ia menggantikan system pir (hirarki sufisme) dari thariqat kala
itu. Pada tahun 1501 Ia menakhlukkan Tabriz, dan kemudian di ikuti dengan
daerah lainnya pada decade berikutnya. Dia (ismail) mengatakan bahwa Syi’ah
Imam duabelas akan menjadi agama resmi kerajaan barunya.
vi.
Dinasti Qajar (1796-1925)
Dinasti
Qajar merupakan yang terakhir dari serangkaian dinasti kesukuan yang memerintah
Iran sejak abad kesepuluh. Nama Qajar di ambil dari nama tokoh mereka yaitu
Qajar Noyan, putra dari Sertaq Noyan. Dinasti Qajar telah memainkan peran
penting dalam mengenalkan program meodernisasi, baik di bidang pendidikan,
politik, ekonomi, maupun militer, dan
berandil besar dalam terbentuknya Iran.
BAB
III
KESIMPULAN
Syi’ah adalah golongan atau kelompok fanatic yang mendukung
dan mengikuti Ali dan mengaggap bahwa Ali dan keturunannya merupakan harga mati
dalam meneruskan kepemimpinan pasca meninggalnya nabi SAW.
Awal hadirnya
Syi’ah dalam coretan sejarah dimasa lalu tidaklah berciri kepercayaan atau
faham agama yang khas seperti Syi’ah yang kita saksikan hari ini. Kehadiran
Syiah adalah sebagai respon politik terhadap gerakan politik yang dilacarkan
oleh kelompok Khawarij, dan sebagai
bentuk sikap dan dukungan orang-orang terhadap Ali yang menurut mereka
merupakan pemegang hak tunggal kepemimpinan pasca Nabi. Tetapi setelah periode
pertama dari kaum Syi’ah ini berlalu, gerakan Syiah mengalami perkembangan baru
dan terjadilah perubahan dalam haluannya. Perkembangan tersebut pada gilirannya
membuat Syi’ah terbagi menjadi beberapa bahagian.
secara
umum Syi’ah terbagi kepada empat kelompok yang masing-masing terbagi pula
kepada kelompok-kelompok kecil. Keempat kelompok tersebut: Syi’ah Ghulat,
Syi’ah Ismailiyah, Az-Zaidiyah, Syi’ah Itsna Asy’ari.
Dalam
masalah kepemimpinan, Syi’ah menganut teori hak legitimasi berdasarkan hak suci
Tuhan. Menurut mereka kekhalifahan adalah satu rukun agama yang fundamental
yang disejajarkan urgensitasnya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan dalam
masalah agama, Syi’ah memiliki doktrin-doktrin yang membedakannya dari yang
lain, doktrin tersebut; Imamah, Mahdiisme,Ishmah,
Taqiyyah, dan Marja’iyyah
Dalam
perjalanan panjangnya, eksistensi Syi’ah dipanggung sejarah hingga bisa terus
hidup sampai hari ini tak lepas dari dukungan enam dinasti (Idrisiyyah, Fathimiyyah, zaidiyyah,
buwaihiyyah, Shafawi, dan Qajar).
DAFTAR
PUSTAKA
Fadli
Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang:
UIN MALIKI PRES, 2010).
Ihsan
Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan
Perkembangan Gerakan Syi’ah, (Bandung:
Ma’arif, 1985).
M.
Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan
Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bagaskara, 2012- cet.ke-IV).
Muhammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah,
(Malang; Pustaka Bayan, 2004)
M.
Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni
Bergandengan Tangan, Mungkinkah?, (Jakarta; Lentera Hati, 2007).
Nourouzzaman
Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij
Dalam Perspektif Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985).
[1] Nourouzzaman Shiddiqi, Drs, MA, Syi’ah dan Khawarij Dalam Perspektif
Sejarah, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), cet. ke-1, hlm. 2.
[2] Fadli Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah, (Malang: UIN MALIKI PRES,
2010), hlm. 19.
[3] Ibid.
[4] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 6.
[5] Ja’fari, Syi’ah, hlm. 27.
[6] Ibid, hlm. 28.
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Peradaban dan Pemikiran Islam, (Yogyakarta:
Bagaskara, 2012- cet.ke-IV), hlm. 107.
[8] Nourouzzaman, Syi’ah, hlm. 10.
[9] Karim, Sejarah, hlm. 109.
[10] Ihsan Ilahi Zhahier, Sejarah Perttumbuhan dan Perkembangan
Gerakan Syi’ah, (Bandung: Ma’arif, 1985), hlm. 43.
[11] M. Qurays Shihab, Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan,
Mungkinkah?, (Jakarta; Lentera Hati, 2007), hlm. 69-70.
[12] Ibud, hlm. 72.
[13] Ibid, hlm. 83.
[14] Muhammad Baharun, Epistemologi Antagonisme Syi’ah, (Malang;
Pustaka Bayan, 2004), hlm. 60.
[15] Ibid.
[16] Ibid. hlm 66.
[17] Ibid, hlm. 69.